10/04/2015

Makalah Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin sampai Reformasi


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam perjalanan sitem politik di Indonesia banyak bukti menunjukan bahwa UUD tidak dapat dijadikan pegangan dalam sistem pilitik maupun penegakan hu­kum. Telah terjadi empat periode pemerintahan masa Kemerdekaan (1945-1959), era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), masa Orde Baru (1966-1998) dan era Reformasi (1998-Sekarang). Pada saat kemerdekaan dulu berlaku tiga macam UUD(1945, RIS dan 1950) namun dalam prosesnya sitem demokrasi dan hukum dapat ditegakan. Dekrit presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 kembali berlaku dan dinyatakan penggunaan sistem Demokrasi Terpimpin, namun yang berlaku sistem otoritarian (Hatta, Demokrasi Kita, 1960). Kemudian beralih pada masa Demokrasi Orde Baru 1966. Rakyat dan pemerintah bekerjasama menjalankan pemerintahan yang demokratis dan menegakan hukum dengan semboyan “kembali ke UUD 1945 dengan murni dan konsekuen”. Kemudian belangsung Era Reformasi yang diawali perubahan mendadak dari sistem politik otoriter ke sistem demokrasi. Pada saat pergantian kepemimpinan di bawah presiden BJ Habibie, sistem demokrasi berubah 180 derajat. Kebebasan membentuk partai politik, Lembaga-lembaga perwakilan bebas berbicara.









1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana terjadinya Demokrasi Liberal di Indonesia itu berlangsung sampai berakhirnya Demokrasi Liberal?
2.      Apa yang melatar belakangi berlangsungnya Demokrasi Liberal?
3.      Bagaimana proses Demokrasi Terpimpin belangsung di Indonesia sampai berakhirnya Demokrasi Terpimpin?
4.      Apa yamg melatarbelakangi munculnya Demokrasi Terpimpin?
5.       Bagaimana proses Reformasi belangsung di Indonesia sampai Fberakhirnya masa Reformasi?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dibuatnya makalah ini untuk memberikan pemahaman kepada para pembaca mengenai proses pergantian sitem politik di Indonesia. Hingga para pembaca mengerti dan memahami proses dan gejala yang ada dalam didalamnya.
 1.4 Manfaat Penulisan
Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa atau pembaca tentang proses pergantian sistem politik di Indonesia.
1.5 Sistematika Penulisan
Bab I berisikan pendahuluan, pada bab ini menjelaskan latar belakang masalah, tujuan masalah, rumusan masalah, serta sistematika perumusan masalah.
Bab II menjelaskan mengenai isi dari materi yang menjelaskan bagaimana politik di Indonesia dari Demokrasi Liberal samapai pada Masa Reformasi.
Bab III berisikan penutup yang berisikan kesimpulan, saran dan juda daftar pustaka.





BAB II
PEMBAHASAN
Seperti yang kita ketahui dalam perkembangan sejarah Indonesia bahwa negara Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan sistem demokrasi. Diharapkan hal ini bisa mewujudkan demokrasi berbau indonesia meski konsep dasar mengadopsi teori demokrasi luar. Berikut ini adalah salah satu analisis dialektik-historis pada penerapan demokrasi di Indonesia.
II.1. Demokrasi Liberal
A.     Sejarah munculnya Demokrasi Liberal
            Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI Melaksanakan demokrasi parlementer yang Liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat, dan masa ini disebut Masa demokrasi Liberal. Indonesia dibagi manjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi dan berdasarkan Undang – undang Dasar Sementara tahun 1950 yang juga bernafaskan liberal. Akibat pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Sistem politik pada masa demokrasi liberal telah mendorong untuk lahirnya partai – partai politik, karena dalam sistem kepartaian menganut sistem multi partai.
Demokrasi Liberal berlangsung selama hampir 9 tahun, dalam kenyataanya rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sisten Demoktasi Liberal tidak cocok dan tidak sesuai dengan. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan dekrit mengenai pembubaranKonstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950 karena dianggap tidak cocok dengan kedaan ketatanegaraan Indonesia.
B.     Pelaksanaan Pemerintahan
1.      Bidang Politik
Tahun 1950 sampai dengan tahun 1959 merupakan masa berjayanya partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. PNI dan Masyumi merupakan partai yang terkuat dalam DPR, dan dalam waktu lima tahun (1950 -1955) PNI dan Masyumi silih berganti memegang kekuasaan dalam empat kabinet. Adapun susunan kabinetnya sebagai berikut;
a.       Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi) sebagai perdana menteri. Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi di mana PNI sebagai partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut serta, karena tidak diberi kedudukan yang sesuai. Kabinet ini kuat formasinya di mana tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX,Mr.Asaat,Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
1.     Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
2.     Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
3.      Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
4.      Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
5.      Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
         Kendala yang dihadapi oleh cabinet inin yaitu dalam memperjuangkan Irian Barat dan Belanda mengalami kebuntuan, terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS. Keberhasilan Kabinet Natsir adanya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
         Berakhirnya kekuasaan kabinet disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
b.      KABINET SUKIMAN (27 April 1951 – 3 April 1952)
Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur, namun gagal, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951).Presiden Soekarno kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro ( PNI ) dan Soekiman Wijosandjojo ( Masyumi ) sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi dari Masyumi dan PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman ( Masyumi )- Soewirjo ( PNI ) yang dipimpin oleh Soekiman.
Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:
1.Menjamin keamanan dan ketentraman
2.Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
3.Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4.Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
5. Di bidang hukum, menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama,penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh.
            Terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman. Kendala/Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini yaitu adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika. Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat. Adanya krisis moral yaitu korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah. Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik karena kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden karena adanya pertentangan dari Masyumi dan PNI.
c.       KABINET WILOPO (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
            Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjukan Sidik Djojosukarto ( PNI ) dan Prawoto Mangkusasmito ( M asyumi ) menjadi formatur, namun gagal.Kemudian menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.
Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:
1.      Program dalam negeri      : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
2.      Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Banyak sekali kendala yang muncul antara lain sebagai berikut; adanya kondisi krisis ekonomi, terjadi defisit kas negara, munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa, terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 yang menempatkan TNI sebagai alat sipil, munculnya masalah intern dalam TNI sendiri. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan.Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli), peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.
d.       KABINET ALI SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet keempat adalah kabinet Ali Sastroamidjojo,yang terbentuk pada tanggal 31 juli 1953. Kabinet Ali ini mendapat dukungan yang cukup banyak dari berbagai partai yang diikutsertakan dalam kabinet, termasuk partai baru NU. Kabinet Ali ini dengan Wakil perdana Menteri Mr. Wongsonegoro (partai Indonesia Raya PIR).
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I adalah:
1.     Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
2.     Pembebasan Irian Barat secepatnya.
3.     Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
4.     Penyelesaian Pertikaian politik.
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo I yaitu; Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955, menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 dan memiliki pengaruh dan arti penting dagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa – bangsa Asia – Afrika dan juga membawa akibat yang lain, seperti :
a. Berkurangnya ketegangan dunia.
b. Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik rasdiskriminasi di negaranya.
c. Belanda mulai repot menghadapi blok afro- asia di PBB, karena belanda masih bertahan di Irian Barat.
            Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut.
Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. Nu menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.
e.       KABINET BURHANUDDIN HARAHAP (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi.
Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:
1.Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
2.Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru
3.Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
4.Perjuangan pengembalian Irian Barat
5.Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Burhanuddin Harahapyaitu;
Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer. Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin. Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini adalah banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.
f.        KABINET ALI SASTROAMIJOYO II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Ali Sastroamijoyo kembali diserahi mandate untuk membentuk kabinet
baru pada tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut.
1.      Perjuangan pengembalian Irian Barat
2.     Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
3.      Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
4.      Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
5.     Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokoknya adalah,
·        Pembatalan KMB
·        Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif
·        Melaksanakan keputusan KAA.
            Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah kabinet ini mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB. Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut. Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat. Muncul pergolakan / kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di daerahnya. Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.
      G. KABINET DJUANDA ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
            Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dipimpin oleh Ir.Juanda. Program pokok dari Kabinet Djuanda adalah Programnya disebut Panca Karya yaitu:
·           Membentuk Dewan Nasional
·           Normalisasi keadaan RI
·           Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
·           Perjuangan pengembalian Irian Jaya
·           Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
            Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Djuanda yaitu.
Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut.
Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat. Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya, terjadi peristiwa Cikini. Kabinet Djuanda berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
C.     Bidang Ekonomi
Faktor yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut;
·         Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam KMB. Beban tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah.
·        Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 miliar
·         Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia.
·         Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang oleh Belanda.
·         Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
·        Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai
·         Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
·        Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
·         Kabinet terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
·         Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
Kelebihan dari pelaksanaan Demokrasi Liberal sebagai berikut;
a)      Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
b)      Penyelenggaraan pemilu untuk yang pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia secara demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante).
c)       Pembatalan seluruh perjanjian KMB. KMB
d)      Indonesia dapat mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda
e)      Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia.
f)        Masa ini bisa dikatakan sebagai masa paling demokratis selama republik ini berdiri.
Kegagalan dari pelaksanaan Demokrasi Liberal yaitu;
·        Instabilitas Negara karena terlalu sering terjadi pergantian kabinet. Hal ini menjadikan pemerintah tidak berjalan secara efisien sehingga perekonomian Indonesia sering jatuh dan terinflasi.
·        Timbul berbagai masalah keamanan
·        Sering terjadi konflik dengan pihak militer seperti pada peristwa 17 Oktober 1952.
·        Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akibat lemahnya sistem pemerintahan.
·        Sering terjadi konflik antar partai politik dalam pemerintahan untuk mendapatkan kekuasaan.
·        Praktik korupsi meluas.
·        Kesejahteraan rakyat terbengkalai karena pemerintah hanya terfokus pada pengembangan bidang politik bukan pada ekonomi.
D.     Akhir Masa Demokrasi Liberal di Indonesia.
Kekacauan politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam keadaan darurat. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga Negara Indinesia tidak memiliki pijakan hukum yang mantap. Kegagalan konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Masalah utama yang dihadapi konstituante adalah tentang penetapan dasar negara. Terjadi tarik-ulur di antara golongan-golongan dalam konstituante. Sekelompok partai menghendaki agar Pancasila menjadi dasar negara, namun sekelompok partai lainnya menghendaki agama Islam sebagai dasar negara. Pemungutan suara dilakukan 3 kali dan hasilnya yaitu suara yang setuju selalu lebih banyak dari suara yang menolak kembali ke UUD 1945, tetapi anggota yang hadir selalu kurang dari dua pertiga. Hal ini menjadi masalah karena masih belum memenuhi syarat. Dengan kegagalan konstituante mengambil suatu keputusan, maka sebagian aanggotanya menyatakan tidak akan menghadiri siding konstituante lagi. Sampai tahun 1959 Konstituante tidak pernah berhasil merumuskan UUD baru. Keadaan itu semakin mengguncang situasi politik Indonesia saat itu.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Oleh karena itu pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut;
·        Pembubaran Konstituante.
·        Berlakunya kembali UUD 1945.
·        Tidak berlakunya UUDS 1950.
·        Pembentukan MPRS dan DPAS.
Setelah keluarnya dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan tidak diberlakukannya lagi UUDS 1950, maka secara otomatis sistem pemerintahan Demokrasi Liberal tidak berlaku lagi di Indonesia.
II.2. Demokrasi Terpimpin
Semula demokrasi ini di maksudkan untuk menangani masalah-masalah yang ada, tetapi kemudian berkembang menjadi alat kekuasaan ekstra-konstitusional. Konsep demokrasi terpimpin soekarno di anggap sebagai rumusan polotik baru bagi bentuk pemerintahan yang lebih otoriter. Menurut Adnan buyung nasution dalam bukunya yang berjudul “Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia”(2001:301), bahwa demokrasi terpimpin bukan konsep yang siap pakai atau yang mempunyai definisi yang jelas. Pada awalnya, konsep tersebut hanya merupakan ide Presiden Soekarno yang luas dan kabur, yang kemungkinan besar dimaksudkan untuk menangani masalah-masalah yang semakain bertumpuk yang dihadapi Negara yang pemerintahannya masih sedang dirumuskan oleh Konstituante. Dengan berjalannya waktu konsep tersebut berubah menjadi konsep politik yang sama sekali berbeda, yang dimaksudkan untuk meruntuhkan konsep pemerintahan parlimenter. Demokrasi Terpimpin ini sebagian besar ditentukan oleh peristiwa-peristiwa sosial-politik yang terjadi antara tahun 1956 dan Juli 1959. Demokrasi Terpimpin dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama , dari bulan Februari 1957 hingga Juli 1958 dan mencakup perkembangan seajak muncul samapai berakhirnya pemberontakan daerah. Tahap kedua, dari bulan Juli 1958 sampai November 1958, ketika diusahakan perumuasan dasar Demokrasi Terpimpin. Dalam tahap ini pertentangan antara pendukung dan penentang menjadi jelas. Tahap ketiga, dari bulan November 1958 hingga Juli 1959 ketika demokrasi terpimpin memasuki tahap pelaksanaan melalui jalan kembali ke UUD 1945 dan perubahan seluruh sistem politik, dalam tahap ini Angkatan Darat memainkan perananan yang menentukan. Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno :
-         Dari segi keamanan nasional: Banyaknya gerakan separatis pada masa demokrasi liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.
-         Dari segi perekonomian  : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
-         Dari segi politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959, akhirnya mendorong Presiden Soekarno untuk sampai kepada kesimpulan bahwa telah muncul suatu keadaan kacau yang membahayakan kehidupan negara. Atas kesimpulannya tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden. Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung dan KSAD.
 
        Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata. Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin presiden. Partai politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi Soekarno.
Penetapan Presiden (Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling ampuh untuk melumpuhkan apa saja yang dinilainya menghalangi jalannya revolusi yang hendak dibawakannya. Demokrasi terpimpin yang dianggapnya mengandung nilai-nilai asli Indonesia dan lebih baik dibandingkan dengan sistim ala Barat, ternyata dalam pelaksanaannya lebih mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter. Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955 yang didalamnya terdiri dari partai-partai pemenang pemilihan umum, dibubarkan. Beberapa partai yang dianggap terlibat dalam pemberontakan sepanjang tahun 1950an, seperti Masyumi dan PSI, juga dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada tahun 1961 semua partai politik, kecuali 9 partai yang dianggap dapat menyokong atau dapat dikendalikan, dibubarkan pula. Dalam penggambaran kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada satu partai yang pergerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan partai politik pada masa demokrasi terpimpin, pergerakan PKI pada masa ini tidak dapat dilepaskan. PKI di bawah pemimpin mudanya, antara lain Aidit dan Nyoto, menghimpun massa dengan intensif dan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang sedemikian progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai besar pada akhir periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga juta orang anggota ditambah 17 juta pengikut yang menjadi antek-antek organisasi pendukungnya, sehingga di negara non-komunis, PKI merupakan partai terbesar. Seperti yang telah disebutkan di atas, partai politik pada masa Demokrasi Terpimpin mengalami pembubaran secara paksa. Pembubaran tersebut pada umumnya dilakukan dengan cara diterapkannya Penerapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1959. Peraturan tersebut menyangkut persyaratan partai, sebagai berikut:
  1. Menerima dan membela Konstitusi 1945 dan Pancasila.
  2. Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya.
  3. Menerima bantuan luar negeri hanya seizin pemerintah.
  4. Partai-partai harus mempunyai cabang-cabang yang terbesar paling sedikit di seperempat jumlah daerah tingkat I dan jumlah cabang-cabang itu harus sekurang-kurangnya seperempat dari jumlah daerah tingkat II seluruh wilayah Republik Indonesia.
  5. Presiden berhak menyelidiki administrasi dan keuangan partai.
  6. Presiden berhak membubarkan partai, yang programnya diarahkan untuk merongrong politik pemerintah atau yang secara resmi tidak mengutuk anggotanya partai, yang membantu pemberontakan.
Sampai dengan tahun 1961, hanya ada 10 partai yang diakui dan dianggap memenuhi prasyarat di atas. Melalui Keppres No. 128 tahun 1961, partai-partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII dan IPKI. Sedangkan Keppres No. 129 tahun 1961 menolak untuk diakuinya PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo dan partai rakyat nasional Djodi Goondokusumo. Selanjutnya melalui Keppres No. 440 tahun 1961 telah pula diakui Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).

II.3. Masa Reformasi
            Dalam sejarahnya, Indonesia telah mencatat sebanyak tiga fase pemerintahan. Atau yang lebih kita kenal dengan era Orde Lama yaitu masa kepemimpinan Ir. Soekarno dari sejak kemedakaan Indonesia, era Orde Baru yaitu masa kepemimpinan Jendral H Muhammad Soeharto yang manggantikan presiden Ir Soekarno, dan yang terakhir adalah era yang disebut-sebut dengan Reformasi, yaitu masa yang dimulai dari lengsernya Presiden Soeharto dari kursi presiden setelah menjabat sejak tahun 1968-1998. Pada era Reformasi seluruh sistem pemerintahan di Orde Lama yang tidak sesuai dengan rakyat Indonesia telah dirubah. Seperti pemerintahan yang bertajukkan kekuatan militer, tidak adanya kebebasan pers dan berpendapat, sistem DPR-MPR yang tidak berjalan sehingga aspirasi rakyat tidak secara penuh tersampaikan, adanya pemerintahan yang korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan dibungkamnya sistem oposisi terhadap pemerintahan, semuanya telah berubah sejak era reformasi. Setelah Orde Baru bisa dilumpuhkan dengan kekuatan mahasiswa, di Indonesia mulai membuka lembaran baru. Tuntutan terhadap reformasi pemerintahan ini tentu saja dari ketidakpuasan rakyat dengan pemerintah sebelumnya. yang paling mendesak ketika itu adalah tuntutan pemulihan perekonomian negara saat terjadinya krisis moneter. Tuntutan itu akhirnya dapat terwujud dengan pengunduran diri Presiden Soeharto dari kursi pemerintahan pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian digantikan oleh BJ. Habibie. Meskipun sempat terjadi penolakan dari sebagian mahasiswa dengan dipilihnya BJ. Habibie sebagai presiden yang menggantikan Soeharto dengan dalih BJ. Habibie juga bagian dari rezim Orde Baru, tapi pelantikan presiden BJ Habibie tetap dilaksanakan. Dalam masa pemerintahn B.J Habibie telah terwujud kebebasan pers, berpendapat maupun berpolitik layaknya air terjun yang mengalir deras. Dengan adanya reformasi, paling tidak kita telah bisa bernafas lega setelah dikekang kebebasan kita di masa Orde Baru. Suara rakyat yang dulunya tidak dapat tersampaikan di DPR, sekarang sudah benar-benar terwakilkan. Bahkan kita bisa menuntut suara tersebut. Pers yang dulunya tidak dapat bergerak bebas, sekarang sudah dapat memuat berita apa saja dengan bebasnya. Kelompok oposisi yang dulunya diharamkan, sekarang sudah berani berkoar-koar mengkritiki kinerja pemerintah. Bahkan budayawan dan seniman pun dipersilahkan mengkritik pemerintah, kalau memang ada ketidakberesan dalam pemerintahan.
Kondisi bangsa dan rakyat di era Reformasi
Lebih dari 10 tahun sudah reformasi berjalan. Tentu ada kemajuan yang dicapai, namun juga pastinya ada kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki. Ada sisi positif dari reformasi, juga ada sisi negatifnya. Tapi yang perlu menjadi bahan evaluasi adalah kekurangan-kekurangan tersebut, meskipun tidak mengesampingkan sisi positifnya. Harga BBM sempat terombang-ambing. Korupsi juga masih merajalela. Nuansa perpolitkan semakin mencekam. Banyak terjadi bentrokan yang tak berarti yang terjadi selama Pilkada ataupun Pemilu. Belum lagi bentrokan antar kelompok dan golongan. Masalah kemiskinan, meskipun program Pemerintah untuk menangani masalah ini sudah cukup banyak yang terealisasikan seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan BOS (Bantuan Oprasional Sekolah), namun ternyata itu masih belum mampu menurunkan angka kemiskinan yang signifikan. Berkenaan dengan pendidikan, Indonesia masih menyimpan sekitar 15,04 jiwa yang buta huruf. Berdasarkan laporan di tahun 2005, Indonesia menempati nomor urut 111 dari 177 negara. sejak jatuhnya perekonomian di era Orde Baru, kita masih belum dapat bangkit meski sudah di era reformasi. Bahkan kondisi tersebut kian terancam memburuk saat terjadinya krisis finansial Amerika Serikat yang berimbas kepada krisis finansial global. Dampak dari itu semua, banyak pengusah-pengusaha yang bangkrut. Dan banyak juga terjadi PHK besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Dan juga bangsa Indonesia mempunyai banyak hutang luar negeri yang setiap tahunnya meningkat Untuk dapat membayar utang sebesar itu tentunya membutuhkan kebijakan yang besar pula, salah satunya dari Pajak Investor dan Eksport. Untuk mendapatkan Pajak Investor yang besar tentunya Pemerintah harus banyak mengundang Investor dan memberikan kemudahan-kemudahan bagi mereka supaya mereka dapat menanamkan modalnya di indonesia. Sehinggga apabila Investor tumbuh maka nilai eksport juga akan meningkat.

BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
            Dalam perkembangan Demokrasi Indonesia, Indonesia sudah mengalami beberapa kali pergantian sistem politik dan pemimpin. Namun dengan sejalannya demokrasi itu Indonesia sampai saat ini masih saja belum menemukan sistem Demokrasi yang tepat. Banyak permasalahan yang datang dalam pencarian sistem Indonesia maupun jiwa para pemimpinnya.
III.2 Saran     
Entah mengapa sampai saat ini Indonesia masih tertinnggal oleh negara lain, tapi patut kita ketahui bahwa perubahan itu tidak ada dengan sendirinya. Kita sebagai rakyat Indonesia lah yang harus memulai perubahan itu. Dimulai dari penetapan sistem politik yang benar-benar tepat dan juga para anak bangsa yang harus memperbaharuinya dengan perubahan yang membawa Indonesia maju.











Daftar Pustaka
Nasution, Adnan Buyung. (2001). Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (second ed.).   Jakarta; Grafiti.
Crouch, Herbert, (2001). Militer & Politik di Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan.
Karim, Rusli. (1993). Perjalanan Partai Politik Di Indonesia: Sebuah Potret Pasang-Surut, Jakarta: Rajawali Pers.
Marwati Djoened Poesponegoro dkk (1993). Sejarah Nasional Indonesia jilid VI, Jakarta: Depdikbud-Balai Pustaka.











2 comments: