12/26/2017

Eksperimen Alami Manusia: Moriori vs Maori

Melanjutkan tulisan sebelumnya, kali ini saya akan menuliskan sebuah cerita yang akan masuk kategori label CERITA ORANG YANG PERNAH AING DENGAR. Cerita ini pertama kali saya tahu dari seorang dosen bernama Pak Asep di mata kuliah Kependudukan aka Demografi aka Geografi Sosial saat mengempu pendidikan S1 di UPI Bandung.

Tidak seperti postingan sebelumnya, kali ini saya tidak akan memakai sudut pandang pencerita, tetapi lebih ke mendeskripsikannya secara naratif tanpa dialog.

Pada saat menulis ini, di saat bersamaan saya juga googling agar meminimalisir kesalahan pada penulisan nama tempat, tahun & pengejaan.

Berikut adalah cerita "Eksperimen Alami Manusia". Check this out!

______________

Andai kamu seorang ilmuwan yang ingin melakukan penelitian dengan tema "pengaruh lingkungan terhadap makhluk hidup", apa yang akan kamu lakukan?

Biasanya ilmuwan akan ke laboratorium untuk melakukan tes seperti dengan mengambil satu koloni tikus, membagi tikus leluhur itu ke beberapa kelompok dalam kandang dengan lingkungan berbeda-beda, biarkan beberapa lama, kemudian kembali setelah banyak generasi tikus untuk melihat apa yang terjadi.

Voala, jadilah suatu jawaban terhadap hipotesis awal.

Namun bagaimana dengan manusia? Percobaan seperti itu tentu saja tidak dapat dilakukan terhadap masyarakat manusia. Sebagai gantinya para ilmuwan harus mencari "eksperimen alami", di mana kejadian serupa pernah terjadi terhadap masyakat manusia di masa lalu.

Mikronesia, Malanesia dan Polinesia
Satu eksperimen seperti itu berlangsung selama proses pemukiman Polinesia. Ribuan pulau yang sangat beragam dalam hal luas wilayah, keterpencilan, ketinggian, iklim, produktivitas, dan sumber daya geologis dan biologis tersebar di Samudera Pasifik setelah Papua dan Milenesia. Hampir sepanjang sejarah manusia, pulau-pulau tersebut berada di luar jangkauan kendaraan air.


Nenek Moyang Yang Sama

Sekitar tahun 1200 SM sekelompok orang dari kepulauan Bismarck di sebelah utara Papua (di peta di atas Bismarck Archipelago) yang cakap dalam hal bertani, mencari ikan, dan melaut akhirnya berhasil mencapai salah saru pulau di Polinesia. Selama berabad-abad kemudian, keturunan mereka menduduki nyaris setiap potong tanah yang dapat dihuni di wilayah Pasifik. Proses tersebut hampir tuntas seluruhnya pada 500 SM, dengan sisa hanya segelintir lagi pulau yang belum dihuni.

Jadi, dalam kurun waktu yang singkat, pulau-pulau dengan lingkungan yang sangat beragam telah didiami oleh para kolonis yang semuanya berasal dari populasi awal yang sama. Kaum leluhur semua orang Polinesia modern ini pada dasarnya memiliki kebudayaan, bahasa, teknologi, serta tumbuhan budidaya dan hewan ternak yang sama. Dengan demikian sejarah Polinesia merupakan suatu eksperimen alami yang memungkinkan kita mempelajari proses adaptasi manusia tanpa harus menghadapi berbagai kerumitan terkait dengan kolonialisasi bergelombang oleh suku bangsa yang berbeda, yang sering kali mempersulit upaya kita untuk memahami proses adaptasi di bagian lain dunia.

__________________

New Zealand & Chatham Islands

Seperti yang dituliskan di judul artikel, pembahasan kali ini akan membahas suku Moriori yang tinggal di Kepulauan Chatam dan suku Maori di pulau utara Selandia Baru

Suku Moriori

Walaupun nenek moyang suku Moriori yang tiba di Kepulauan Chatham mungkin saja petani, tumbuh-tumbuhan tropis yang mereka bawa tidak tahan menghadapi iklim dingin di Kepulaun Chatam, sehingga bagi mereka tidak ada jalan lain selain kembali menjadi pemburu-pengumpul. Berhubung mereka sebagai pemburu-pengumpul tidak menghasilkan surplus panen yang dapat direstribusikan atau disimpan, mereka tidak dapat menopang dan memberi makan tukang, prajurit, dan kepala suku yang tidak ikut berburu. Dengan kata lain, profesi dari masyarakat Moriori tidak variatif.

Selain itu, Kepulaun Chatam terdiri atas pulau-pulau yang relatf kecil dan terpencil, sehingga hanya dapat menopang populasi keseluruhan sekitar 2.000 orang pemburu-pengumpul.

Tanpa adanya pulau-pulau lain yang dapat dikolonialisasi, orang Moriori terpaksa tinggal di Kepulaun Chatham dan belajar hidup berdampingan. Mereka melakukannya dengan tidak melakukan peperangan, dan mereka mengurangi potensi kelebihan jumlah penduduk dengan mengebiri anak laki-laki. Hasilnya adalah populasi kecil yang tidak suka berperang, dengan teknologi dan senjata sederhana, tanpa kepemimpinan atau organisasi yang kuat.

Suku Moriori

Suku Maori

Suku Maori tinggal di bagian utara Selandia Baru, yang merupakan kelompok pulau terbesar di Polinesia. Karena letaknya yang lebih dekat dengan khatulistiwa bila dibandingkan dengan pulau Chatham, udara di bagian utara Selandia Baru menjadi lebih hangat yang cocok untuk pembudidayaan tanaman. Dengan surplus panen yang berhasil mereka produksi dan simpan, mereka dapat memberi makan tukang, kepala suku dan prajurit paruh waktu. Dengan kata lain, profesi orang-orang Maori lebih variatif.

Mereka memerlukan dan mengembangkan berbagai perkakas untuk bercocok tanam, bertempur, dan membuat benda seni. Mereka mendirikan bangunan upacara yang megah dan benteng dalam jumlah besar. 

Orang Maori yang tinggal di Selandia Baru terus bertambah, sampai mencapai jumlah 100.000 jiwa. Mereka mengembangkan populasi-populasi lokal yang padat, yang senantiasa berperang dengan sengit melawan populasi-populasi tetengga. 

Orang-orang Maori. Tough Kids.
_____________________

Jadi, masyarakat Moriori dan masyarakat Maori berasal dari masyarakat awal yang sama, namun tumbuh mengikuti jalur yang sangat berbeda. Kedua masyarakat yang kemudian terbentuk itu pada gilirannya  tidak lagi menyadari kehadiran yang lainnya dan tidak saling berhubungan selama berabad-abad.

Konfrontasi
Sampai pada suatu waktu, satu kapal pemburu anjing laut dari Australia ada yang mampir ke kepulauan Chatham.

Kemudian saat dalam perjalanan pulang ke Australia, kapal tersebut mampir di Selandia Baru dengan membawa kabar kurang lebih seperti ini:

Ada sebuah pulau di sebelah timur Selandia Baru yang mempunyai ikan-ikan dan kerang-kerang yang berlimpah, danau yang dipenuhi belut, buah beri keraka yang tumbuh dimana-mana.
Penduduknya sangat banyak, tetapi mereka tidak mampu bertempur dan tidak memiliki senjata.

Berita tersebut cukup untuk mendorong 900an orang Maori untuk berlayar ke Kepulauan Chatham.

Hasil pertemuan tersebut menggambarkan dengan jelas bagaimana lingkungan dapat mempengaruhi perekonomian, teknologi, organisasi politik, serta kemampuan tempur dalam waktu singkat.

KESIMPULAN

Faktor yang membentuk perbedaan antara masyarakat Moriori & Maori adalah setidaknya enam variabel lingkungan:
1. Iklim pulau.
2. Jenis pulau dari segi geologi.
3. Sumber daya kelautan.
4. Luas wilayah.
5. Fregmentasi medan.
6. Tingkat keterpencilan.

__________________

Untuk membaca artikel lain seperti ini, kalian bisa klik label CERITA ORANG YANG PERNAH AING DENGAR. Di sebelah kanan bila menggunakan desktop, di sebelah bawah bila menggunakan smartphone.

__________________

Thanks for visit. See you next post!

__________________

Sumber Data:

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Moriori
https://www.newzealand.com › Beranda › Fakta tentang Selandia Baru › Sejarah
https://maorisgenocide.weebly.com/-maori-vs-moriori.html

12/21/2017

Anak Indonesia pindah ke U.S.A

Semakin bertambahnya umur, gue semakin merasa kalau kehidupan gue semakin sini semakin hambar, hari ke hari ya b aja gitu. Kalau kata Adri di PAM:
Hal yang bagus-bagus dalam hidup itu, ya yang ada di belakang semua, yang di depan itu tinggal sisanya. Iya, cuma ampas doang. Makannya orang-orang seneng banget buat nostalgia dan ngebayangin gimana rasanya kalo bisa kembali ke masa lalu. Wish we can turn back time, and any other similiar bullshit. 
Kenapa? Soalnya yang di depan tinggal tai-tai sisa doang."
Gue juga gitu, merasa kalau hidup gue yang sekarang itu tinggal tai-tai sisa doang, gak ada menarik-menariknya kalau dibandingkan dengan hidup gue di masa lalu kaya yang pernah dituliskan di label PERSONAL LIFE.

Karena kehidupan yang biasa-biasa inilah,  gue merasa kehabisan bahan untuk nulis. Padahal dulu yah, pas awal nulis di blog ini, gue punya filosofi gini "before I too old to remember every good things in life. I write it."  *Badass abis

Hari ini gue mikir dan dapat pencerahan kaya gini


Gak harus semuanya cerita berasal dari gue, ada loh cerita-cerita dari orang lain yang pernah gue denger, yang seru, yang ada pesan moral, yang asik buat ditulis, yang nanti pasti bakal pengen gue inget ulang. 
Dari pada maksa merubah hidup jadi menarik, mending banyakin denger cerita orang yang menarik, terus diinget baik-baik. 
Just in case kalau jadi Senpai, terus butuh cerita-cerita berisi petuah buat orang-orang yang lebih muda. Gue tinggal dongengin mereka dengan cerita-cerita yang pernah gue denger dari orang aja." 

Ok, I got it.

Jadi sekarang gue berniat untuk menuliskan berbagai cerita yang gue pernah denger dari orang lain, tentunya dengan terlebih dahulu memilah-milah mana yang seru, ada pesan moral  dan asik buat ditulis. Sebelum nanti ada kemungkinan gue melupakannya

______________________________

Ngomong-ngomong soal melupakan nih. Gue punya asumsi kalau perkembangan teknologi informasi dewasa ini  berpengaruh terhadap daya inget seseorang dalam kehidupan sosialnya. Soalnya ini kejadian di gue, gak tau kalau orang lain.

Jadi gini, aku bisa jelasin.

Menurut gue, di era internet dan social media kaya sekarang ini, berbagai informasi penting dan gak penting selalu bisa sampai ke jangkauan tiap orang. Gue sendiri selalu betah untuk ngeklik-klik LINE TODAY atau ngescroll Twitter, walau gue sendiri sebenernya udah bisa meramalkan kalau isi dari berita-berita tersebut gak penting-penting amat buat gue tau. 

Malah kayanya gara-gara keseringan baca informasi yang gak penting-penting amat, gue kadang melupakan cerita-cerita dari orang-orang sekitar.

Sering kejadian pas ngobrol sama temen, terus dia cerita sesuatu yang baru tapi nyambung sama cerita yang lama, gue suka lupa akan kejadian yang dulu terus minta diceritain dari awal. Lalu pas temen gue mulai cerita dari awal, gue kemudian mudeng dan menyetop pembicaraan dia sambil bekata "Oh nu eta, aing inget sekarang."

Kalau gak diceritain ulang, kayanya ada bahan bakal lupa semua aja gitu. Berasa jadi orang pikun, beneran.

Sebelum melupakan cerita yang sebenernya ingin gue inget, mumpung sekarang masih inget, gue ingin menuliskan cerita-cerita yang menurut gue penting untuk terus diingat (bukan personal life, tapi lebih ke cerita orang), sebelum ingatan ini terhapus karena ke-distract oleh berita-berita receh di LINE TODAY.

Ini sih mending. Biasanya judul artikelnya clickbait banget, kaya "7 Cara Blablabla, no 5 Mengejutkan."
Sampai sekarang type judul kaya di atas selalu membuat gue tergoda. Cih.

_______________________________________

Langsung yah.

Jadi gini, gue denger cerita ini dari Pak Hilmi, dosen gue di UNIGA saat matrikulasi pada bulan Agustus 2017. Gue akan mencoba  bercerita dari sudut pandang Pak Hilmi saat mengajar di kelas. 

Nama pemeran utama Pak Dadang (nama samaran), sebenarnya karena gue lupa namanya siapa. hehe

Aku mulai!

_______________________________________

SUDUT PANDANG PAK HILMI

Saya punya temen namanya Pak Dadang, lebih tua sekitar 10 tahunan dari saya. Dia berprofesi  sama seperti saya, seorang dosen juga. Sekarang Pak Dadang jadi guru besar di salah satu Universitas Swasta di Bandung. 

Sekitar tahun 1995 atau 1996, saya lupa lagi tahunnya, pokoknya sekitar tahun itu. Dia mendapat tawaran untuk meneruskan pendidikan S3 di University of Massachusetts, US. Tau US? Amerika atuh bisi teu apal mah.

*Mahasiswa ketawa lemah*



Dia kepengen pergi ke sana, tapi Pak Dadang bingung, soalnya pendidikan S3 saat itu bakal menghabiskan waktu lama. Dia lalu birundinglah sama keluarganya,

"Mamah, papah kan ingin nerusin sekolah ke Amerika nih. Nanti papah pindah  ke sana sendirian, atau mamah sama ade juga ikut."

Oke kita skip aja perbincangannya, pokoknya akhir keputusannya gini, istri dan anaknya yang masih SD akan dibawa ke Amerika. 

Deal weh mereka tiluan!

Swiiiing, sampailah mereka di Amerika. Si bapak kuliah, si ibu ngurusin kebutuhan rumah tangga, si anak sekolah. Sampai sini, normal.

Seminggu kemudian, ada keanehan. Si anak tiba-tiba gak mau sekolah.

Lah, kok?

Ditanya dong Si Anak sama Pak Dadang. "Kenapa ade sekarang tiba-tiba gak mau sekolah?"

Si anaknya diem aja sambil jamedud.

Anak Pak Dadang jamedud

Serba salah jeng budak mah, ditanya moal ngajawab, diambekan bakal ceurik sabari angger moal ngajawab.

Terus Pak Dadang menyimpulkan, kayanya anaknya alami culture shock sama budaya di Amerika.

"Biarin aja dulu, nanti ge bakal mau sekolah. Culture shock mah sama kaya homesick, obat terbaik adalah waktu. Tsaaah" pikir Pak Dadang.

Dia diemin aja anaknya, gak dipaksa-paksa buat sekolah.

_______________

Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, masih, gak ada perubahan. Si anak belum mau sakola wae.

Pak Dadang kasihan juga ngeliat anaknya di rumah terus seharian selama beberapa bulan. Takut anaknya jadi bodoh, Pak Dadang kemudian memutuskan bahwa sekarang sudah waktunya untuk mengurus pengundurkan diri anaknya dari sekolah, terus rencananya akan belajar Homeschooling. 

________________________________


Pak Dadang bawa anaknya ke sekolah, buat mengurus administrasi pengunduran diri.

Elementary School

Di sekolah, si petugas Administrasi, mun di dieu mah petugas TU. Petugas itu ngomong gini sama Pak Dadang. 

"Sebelum mengurus pengunduran diri, lebih baik berkonsultasi dulu dengan kanselor sekolah, Pak." kata petugas Administrasi.

Kanselor teh guru BK mun di Indonesia mah.

*mahasiswa ngangguk-ngangguk*

 Pak Dadang bersama anaknya berjalan ke ruang konseling.

"Silahkan duduk, pak" kata Ibu kanselor.

Setelah dipersilahkan. Pak Dadang beserta anaknya duduk di kursi yang berhadapan dengan ibu kanselor.

"Baik, ada yang bisa saya bantu, pak?" tanya Ibu Kanselor

"Buk, gimana nih anak saya udah beberapa bulan gak mau sekolah. Saya ingin mengurus pengunduran diri anak saya. Saya ingin Homeschooling aja." kata pak Dadang.

"Sebentar dulu pak, kalau saya lihat-lihat anak anda, sepertinya kelihatan baik-baik saja, cuma sepertinya kurang percaya diri." kata guru Konseling.

'Si anjing, cuma. Ieu geus babaraha bulan budak urang embung sakola gara-gara cuma kurang percaya diri.' kata pak Dadang dalam hati.

"Jadi, gimana baiknya bu?" Tanya pak Dadang.

"Sebentar, saya lihat dulu kelas anak Bapak di mana." kata Ibu Kanselor sambil buka-buka berkas.

"Baik, saya pinjem dulu anaknya yah, pak? Bapak bisa ikuti saya!" Bu Kanselor melanjutkan

Berjalanlah mereka bertiga dari ruang kanselor ke ruang kelas. 

"Oke pak, saya bawa anaknya masuk. Bapak bisa melihat-lihat dari sini."

Di sekolah anaknya Pak Dadang di negara bagian Massachusetts mah, jadi kaca jandela ruang kelas Elementary School na teh ada sebagian yang  kaya ruang interogasi, dari dalem gak kelihatan ke luar, dari luar keliahatan ke dalem. 

Pak Dadang merhatiin weh dari luar.

Ibu Konselor masuk ke dalam kelas sambil megang tangan anak Pak Dadang, mereka berdua berdiri di depan anak-anak lain. Terus Bu Kanselor ngomong gini.

"Mohon perhatian! Anak-anak, sekarang kita kedatangan teman baru."

Si anak Pak Dadang kan minder yah, nunduk weh ninggali ke bawah. Kurang PD.

"Anak-anak, kita sekarang punya temen baru!"


"Di sini ada yang tau daerah tropis, daerah yang udaranya hangat, tanahnya luaaar biasa subur dan tak ada musim dingin?" Bu konselor nanya ke murid-murid di kelas.

"Seperti hutan Amazon bu?" salah satu siswa cowok nyeletuk.

"Ya, seperti Amazon di Brazil, ada yang pernah ke daerah tropis seperti Brazil?" tanya Bu Kanselor.

Ada dua atau tiga siswa mengacungkan tangan, sisanya geleng-geleng. Beberapa siswa berbisik-bisik menduga-duga.

"Nah, teman baru kita ini berasal dari negeri dengan iklim tropis."

Siswa-siswa berhenti berbisik, pandangan mereka lurus ke depan mengamati anak Pak Dadang dengan seksama. Siswa-siswa bule di kelas itu terkagum-kagum bahkan ada yang nyeletuk "Awesome!", "Cool!". 

Anak Pak Dadang masih nunduk, namun matanya mulai ngintip-ngintip melihat anak-anak di kelasnya yang merhatiin dia.

Ada salah satu siswa bule nanya "Is he from Brazil?"

Bu kanselor menjawab, "Hampir, James." 

Ibu kanselor melanjutkan, "Ibu akan bertanya lagi, Ada diantara kalian yang pernah melakukan perjalanan jauh? Tempat terjauh mana yang pernah kalian datangi?"

Siswa bergemuruh, ada yang teriak Los Angeles, ada yang bilang East Coast, ada yang bilang Mexico, ada yang bilang Canada, ada dua orang yang tadi mengacungkan tangan bilang Brazil. Macem-macem pokokna jawaban murid-murid teh.

Si ibu melanjutkan "Nah teman baru kita berasal dari tempat yang saaangat jauh, kalian pernah dengar ada satu negara bernama Indonesia?"

Hampir semua siswa geleng-geleng kepala.

Namun ada satu siswa yang duduk paling depan menjawab "Saya tahu, saya tahu. Saya pernah melihatnya di Globe, Indonesia adalah negara kepulauan yang letaknya di other side of the planet."

Si ibu menjawab "Ya, betul Sarah. Teman baru kita berasal dari negara itu. Negara di belahan lain dunia, dia telah menempuh belasan jam perjalanan di pesawat untuk sampai ke sini."

Siswa-siswa lain semakin excited dan bergemuruh. "Wow!" "Awesome!" "Amazing!"  "Unbelievable!"

Sebagian lain bertepuk tangan dan makin memperhatikan anaknya Pak Dadang.

Karena dipuji, anak Pak Dadang makin PD dong. Yang awalnya nunduk, dia mulai mengangkat kepalanya terus melihat murid-murid lain dengan tatapan yang penasaran terhadap dirinya.

Yang awalnya terus ngelihat ke bawah, sekarang berani menatap siswa-siswa lain.

Excited lihat perkenelan murid baru


"Selanjutnya, siapa diantara kalian yang sudah bisa menguasai dua bahasa?" tanya Bu Kanselor meredam gemuruh murid-murid.

Para siswa yang awalnya berisik, kemudian diam, senyap, gak ada suara, gak ada yang menjawab.

"Nah teman baru kita, bisa menggunakan 2 bahasa, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia." lanjutnya.

"No. Three. I can speak three languages. English, Indonesian and Sundanese." sanggah anaknya pak Dadang sambil mengacungkan tiga jari untuk isyarat bahwa dia menguasai tiga bahasa.

Siswa-siswa lain bertepuk tangan, tak sabar menunggu kesempatan untuk mengobrol dengan anak Pak Dadang.

Salah satu siswa bertanya "Bisakah dia duduk di dekat bangku saya, Bu?" 

Salah satu siswa lain "Jangan! Dia harus duduk di sebelahku!"

*mahasiswa berbisik-bisik*

Iya betul, bukan anak Pak Dadang yang pengen temenan duluan, tapi anak-anak bule di kelas itu yang kepengen temenan duluan sama anak Pak Dadang.

Anak Pak Dadang senyum semringah karena sekarang merasa jadi golongan cool kids di sekolah itu. Dia tersenyum ke teman-teman barunya kaya Harry Potter pas pertama masuk asrama Gryffindor.

Semringah


*Mahasiswa di kelas merinding, sebagian tepuk tangan*

Beberapa tahun kemudian, geus beres S3, Pak Dadang balik deui ka Indonesia. Budakna geus SMA ayeuna mah, pindah weh ka salah sahiji sakola SMA di Bandung.

Pas akhir Catur Wulan, baheula mah catur wulan lain semester.

*Mahasiswa ngangguk-ngangguk mengiyakan*

Pas akhir catur wulan, si Pak Dadang dipanggil ke sekolah.

Pak Dadang besoknya datang ke sekolah untuk menemui Wali Kelas anaknya. 

Si wali kelas terus ngomong gini,

"Begini pak, jadi anak bapak teh nilai pelajaran PPKN dan Bahasa Indonesia na belum memenuhi standar. Kalau terus seperti ini, ditakutkan pas kelulusan nanti bakal susah untuk masuk Universitas."

Pak dadang meradang.

"Yeuh bu, budak saya teh karek ge balik ti Amerika tahun ayeuna. Maenya ujug-ujug kudu nilai PPKN jeng Bhs Indonesiana alus. Budak saya teu bodo, lamun diadu bahasa inggrisna sareng ibu masih leuwih jago anak sayah, yakin." kata Pak Dadang berdiri dari kursi.

"Eu....... Jadi pak, saya bisa jelasin......." kata wali kelas.

TAMAT

___________________________

KESIMPULAN

Tau dimana perbedaannya sekolah di US sama di RI? Yep, tepat sekali; Apresiasi.

Di Amerika, si anak diajarkan untuk percaya diri dengan mengapresiasi kelebihannya. Di Indonesia, tanpa sengaja si anak menjadi minder karena pendidikan di kita saat itu belum bisa memaklumi kekurangannya. Cerita ini mirip juga sama contoh-contoh Teori Labeling. 

Karena gue males bikin kesimpulan, kesimpulannya googling aja weh yah. Keywords: Labeling Theory.

Thanks for visit. See you next post!