SUDUT PANDANG ISLAM TERHADAP BUDAYA
DUFA
ATAU AKULTURASI BUDAYA DALAM TRADISI
MENYALAKAN DUFA
MAKALAH
disusun untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam
Dosen :
DRS. SUDIRMAN, M.AG
Disusun oleh :
Friesca Putri M 1104943
Lestari
Apriyanti 1105601
Temi Setiabudi
1101052
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur mari kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah senantiasa memberikan
rahmat serta hidayah-Nya kepada kita
semua. Tidak lupa shalawat
serta salam semoga tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya
menyelesaikan makalah yang berjudul “Sudut Pandang Islam Terhadap Tradisi Menyalakan Dufa” dengan penuh kelancaran. Ucapkan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada
dosen yang telah memberikan bimbingan kepada penulis tanpa kenal lelah.
Makalah observasi ini disusun agar para
pembaca lebih dapat memahami mengenai bagaimana tradisi dufa atau ngukus di daerah Talegong
Garut.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca pada
umumnya dan penulis pada khususnya. Walaupun laporan ini
memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
Bandung, Oktober 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena
hanya amat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tak
perlu dibiasakannya dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri
beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan
apabila ia sedang membabi buta. Menurut Antopologi, ‘’kebudayaan’’ adalah
keseluruhan system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Begitupun dengan Agama atau religi, memmang merupakan
bagian dari kebudayaan, karena menganut konsep bahwa tiap religi atau agama
adalah suatu system yang terintegrasi secara bulat. Karena getaran jiwa yang
disebut emosi keagamaan tadi bisa juga dirasakan seseorang individu dalam
keadaan sendiri, maka suatu aktivitas religius dapat dilakukan sorang diri
dalam keadaan sunyi senyap. Seorang bisa berdoa, bersujud, atau melakukan salat
sendiri dengan penuh khidmat, dan dalam keadaan terhinggap oleh emosi
keagamaan. Wujud dari bayangan tadi akan ditentukan oleh kepercayaan yang lazim
hidup dalam masyarakat dan kebudayaannya, dan selanjutnya kelakuan-kelakuan
keagamaan yang dijalankannya akan juga menurut adat yang lazim. Misalnya, kalau
ia mulai membakar kemenyan dan menaburkan bunga diatas makam, maka
kelakuan-kelakuan religious itu pun telah menurut adat yang lazim dalam
kebudayaannya.
Begitupun materi yang kelompok kami angkat mengenai
‘’budaya Ngukus’’ yang sampai saat ini masih ada yang melakukan. Dimana budaya
ngukus atau dufa itu dilakukan oleh orang islam dan tidak disangka budaya
Ngukus ini malah dijadikan hal negatif seperti berhubungan dengan alam gaib.
1.2
Rumusan Permasalahan
Adapun
terdapat beberapa permasalahan yang dapat penulis rumuskan berdasarkan latar
belakang di atas, yaitu :
1.
Apakah
kebudayaan dufa atau ngukus itu?
2.
Bagaimana
sejarah dan perkembangan dufa atau ngukus?
3.
Bagaimana
ciri-ciri, fungsi, dan tujuan seseorang yang melakukan budaya ngukus atau dufa?
4.
Bagaimana sudut
pandang islam terhadap budaya dufa dan ngukus ini?
5.
Bagaimana
pandangan masyarakat terhadap budaya dufa atau ngukus?
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun
beberapa tujuan penelitian yang dilakukan penulis , yaitu :
1.
Mengetahui
bagaimana budaya dufa tersebut.
2.
Mengetahui
bagaimana sejarah perkembangan budaya Dufa.
3.
Mengetahui apa
tujuan, fungsi dan cirri-ciri kebudayaan dufa atau ngukus tersebut.
4.
Mengetahui
bagaimana sudut pandang islam terhadap budaya menyalakan dufa tersebut.
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian yang
dilakukan diharapkan dapat memebrikan pengetahuan dan pemahaman tentang sejarah
singkat dari kebudayaan dufa atau ngukus
dilihat segi kebudayaan
dan islam khususnya. Adapun
manfaat bagi pembaca lebih kepada bahan yang dapat dijadikan sebagai referensi
untuk topik dan pembahasan yang serupa serta diharapkan dapat mengambil nilai
positif dari dari makalah yang kami buat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kebudayaan Dufa atau Ngukus
Kebudayan
menurut E.B. Tylor merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota
masyarakat. (Effendi, 2011:).
Kebudayaan
Ngukus adalah kebudayaan orang sunda yang berkembang secara turun temurun
dengan kemenyan sebagai medianya. Ngukus sendiri merupakan sebuah kata kerja
dari kata “kukus”, yang mempunyai makna asal mengepul, berasap, ataupun
mengeluarkan asap. Dalam budaya sunda sendiri, kebudayaan ngukus bermakna
dengan melakukan aktivitas membakar menyan (kemenyan) yang menyertai ritual
tertentu. Sedangkan, kata kukusan sendiri bermakna tempat kukus yang biasanya
dibuat dari tembikar yang berbentuk mangkuk.
“Kemenyan” berasal dari “getah” (eksudat)
kering yang berasal dari pohon kemenyan, yang keluar dengan sendirinya atau
senagaja ditoreh (diturih), serupa dengan cara mengambil getah karet. Terdapat
beberapa jenis kemenyan yang masing-masing memiliki kadar wangi yang
berbeda-beda, sangat tergantung pada kualitasnya. Kemenyan yang bagus, pada masanya, mempunyai harga sebanding dengan emas.
Pada
satu sisi, ngukus merupakan bagian dari budaya yang dilaksanakan oleh sebagian
masyarakat Sunda, dan lainnya. Pada sisi lainnya, kepemilikan kemenyan dapat
menunjukkan status sosial pemiliknya, yakni jika ia memiliki kemenyan yang
berkualitas tinggi, berarti ia adalah orang kaya, demikian sebaliknya. Pada
sisi lain juga, pada jamannya, kemenyan menunjukkan komoditas yang mampu menggerakkan
roda ekonomi.
2.2
Sejarah dan Perkembangan Dufa atau
Ngukus
Jika
dilihat dari sejarahnya, kebudayaan dufa atau ngukus ini berasal dari
orang-orang Hindu yang diikuti oleh
nenek moyang dari kalangan orang sunda, dikalangan orang sunda sendiri ada yang
namanya “tarari karuhun” yang sampai
sekarang masih dikembangkan dan dilanjutkan oleh anak cucunya. Sehingga pada
masa perkembangan Agama Islam di Nusantara kebudayaan ngukus ini menjadi lebih
terkenal dan dianggap sebagai suatu adat kebiasaan. Seiring dengan perkembangan
jaman atau faham pembaharuan yang diusung oleh golongan Islam modernis,
akhirnya kebiasaan umat Islam dalam membakar kemenyan ditunduh sebagai kegiatan
perdukunan, pemanggilan roh, jin, dan perbuatan musyrik.
Pada
dasarnya mengharumkan ruangan dan tempat-tempat yang bersifat ruhaniah dengan
membakar kemenyan, dufa, misik, setanggi, gaharu, cendana dapat membawa
ketenangan suasana adalah suatu hal yang baik. Karena hal ini sama dengan
Rasulullulah Saw yang sangat menyukai wangi-wangian, baik minyak wangi,
bunga-bungaan, maupun pembakaran dufa. Hal ini pun disebabkan oleh adat yang
turun temurun yang diwariskan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya.
2.3
Cara-cara, fungsi, dan tujuan
melakukan Ngukus
§ Ciri-ciri
kebudayaan ngukus
Terdapat beberapa
tahapan dalam melakukan kegiatan ngukus, diantaranya : a) Unjuk salam atau
ucapan salam kepada hal-hal gaib, b) Badanten adanya komunikasi antara yang melakukan
dengan hal-hal yang gaib dengan tujuan terdapat sesuatu yang diminta oleh yang
melakukan ngukus. Contohnya dalam hal orang tersebut meminta kekayaan,
keselamatan, dan lain-lain, dan yang terakhir c) membaca mantra-mantra untuk
mengembalikan lagi kealam mereka.
§ Fungsi
dan tujuan dari kebudayaan ngukus
Ada
beberapa fungsi ngukus (membakar kemenyan) dalam pelaksanaan ritus atau ritual
pada masyarakat sunda. Pertama, untuk mengharumkan ruangan. Pada zamannya
“ngukus” dimaksudkan untuk mengharumkan ruangan, serupa dengan fungsi “dupa”
atau minyak wangi. Sebagian menyebutkan bahwa “ngukus” juga dapat mengusir
nyamuk. Kedua, meningkatkan konsentrasi ketika melakukan semedi (mujasmedi)
atau “bertapa”. Ketiga, sebagian memaknai bahwa “ngukus” merupakan media untuk
menghadirkan “makhluk ghaib” (malaikat atau jin) agar mau mendekat ke ruangan
tersebut dan memberkatu ritual yang akan dilakukan. Ada juga yang memaknai
bahwa kukusan merupakan media untuk menghubungkan dunia manusia dengan dunia
alam gaib (repeh-rapih).
2.4
Sudut pandang Islam terhadap
budaya Dufa atau Ngukus
Sudut
pandang islam terhadap budaya ngukus ini, menurut narasumber sendiri terdapat
dua hukum yang bisa dikatakan hal ini tersirat. Dimana bisa dilarang bisa juga
termasuk kedalam Sunnah, Kenapa bisa dikatakan Sunnah. Sebenarnya jika budaya
ngukus ini dipakai untuk mengharumkan ruangan, hal ini disebabkan karena
kemenyan ini bersifat wangi dan Rosul pun sangat menyukai wangi-wangian.
Pada
zaman dahulu sebelum ada parfum jika sedang ada acara kendurian atau tahlilan
suka sekali menggunakan kemenyan untuk menghilangkan bau, sehingga mereka pun
menggunakan kemenyan untuk mengharumkan ruangannya. Untuk wanginya sendiri
boleh saja digunakan ketika holakoh untuk mengusir nyamuk, tetapi jika kemenyan
tersebut digunakan untuk hal-hal gaib, membangkitkan arwah atau meminta kepada
Allah itu merupakan sesuatu hal yang dilarang dan mendekati ke hal yang
bersifat musyrik.
Contohnya
kalau di sebuah kampung atau pedesaan seperti di daerah garut, kalau akan menggarap
sawah, ada cara hajatan, dan meminta keselamatan. Dalam acara pembakaran
kemenyan tersebut sangat disakralkan, hal ini terlihat pada yang membakar
kemenyan tersebut harus orang tertentu (tokoh ataupun pemimpin tahlil). Pada
saat panenan sawah-sawah itu dikelilingi oleh sesaji lalu membakar kemenyan
dengan tujuan agar hasil panennya melimpah dan ada juga yang ingin mendoakan
kepada arwah yang meninggal. Sehingga pada dasarnya menggunakan kemenyan
tersebut boleh-boleh saja asalkan hal tersebut tidak menyimpang dari tujuan
awalnya, dan tidak mendekati ke arah yang bersifat musyrik.
Menurut narasumber
sendiri tidak ada larangan khusus dalam Al-Qur’an, hanya saja kebiasaannya yang
bisa dimasukan kedalam kemusyrikan. Bahkan ada salah satu hadis yang menyebutkan
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan jangan menyekutukan Allah”. Adapun hukum
seseorang yang membakar kemenyan hanya untuk mendapatkan keselamatan, yaitu :
a. Hukum
membakar kemenyan dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan adalah haram,
sebab memohon keselamatan dan lainnya bagi orang muslim hanyalah kepada Allah
SWT, sedangkan untuk memohon kepadanya haruslah sesuai dengan ketentuan yang
disebutkan oleh Allah SWT. Sebagaimana dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat
Al Bawarah ayat 186 yang berbunyi :
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَإِنِّيْ قَرِيْبٌ، أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ، فَلْيَسْتِجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ.
Dan apabila
hamba-hamba-ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (Jawablah), bahwasannya aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-ku maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-ku) dan hendaklah
mereka beriman kepada-ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
b. Tentang
membakar kemenyan untuk memanggil ruh nenek moyang, maka yang datang bisa yang
dibakarkan oleh kemenyan tersebut adalah ruh-ruh jahat yang disebut syaithan
atau jin-jin kafir yang mengaku-ngaku seperti nenek moyang. Adapun ruh-ruh
nenek moyang itu sendiri, setelah meninggal dunia, semuanya ditahan di alam
barzakh (alam kubur) dan tidak dapat keluar kecuali pada hari kiamat nanti.
Memang ada nabi-nabi tertentu yang dapat memanggil ruh orang yang sudah mati
untuk kembali ke jasadnya lagi, seperti nabi Musa yang memanggil ruh dari orang
yang telah dibunuh untuk ditanyai siapa pembunuhnya sebagaimana yang
diceriterakan dalam Al Qur'an dan nabi Isa yang dapat menghidupkan kembali
orang yang sudah mati ratusan tahun untuk membuktikan bahwa beliau adalah
utusan Allah, tetapi tidak untuk dimintai keselamatan dan lainnya.
2.5
Sudut Pandang Masyarakat
Sudut
pandang masyarakat mengenai kebudayaan ngukus ini memang berbeda-beda. Bagi
mereka yang tidak melakukan hal itu memandang bahwa budaya/tradisi itu jauh
dari ajaran islam dan mendekati kemusyrikan. Sedangkan bagi mereka yang masih
melakukan memang beranggapan bahwa dengan ngukus ini doa seseorang dengan cepat
dikabulkannya. Kedua pandangan ini saya dapatkan bukan melalui wawancara,
tetapi mengamati langsung bagaimana pembicaraan mereka dan dapat disimpulkan
seperti itu.
2.6
Analisis
Berbicara sebuah
kebudayaan akan sangat erat kaitannya dengan tradisi dan kebiasaan suatu
masyarakat yang berkembang. Semua itu tercakup dalam 7 unsur kebudayaan secara
universal yang didalamnya terdapat sebuah kepercayaan/religi. Berbicara
mengenai kepercayaan, sangat sensitif sekali dan rawan akan bermasalah dan
terjadi singgungan.
Budaya ngukus merupakan
salah satu kebudayaan yang berkaitan erat dengan sebuah kepercayaan. Ngukus
jika dilihat dari sudut pandang budaya yang berkembang dimasyarakat itu bukan
hal yang asing dan dianggap tidak baik. Akan tetapi jika dilihat dari sudut pandang
lain khususnya islam sangat berbanding terbalik. Dimana bahwa islam tidak
mengajarkan manusia untuk ngukus, dan dilarang untuk menyekutukan Allah salah
satunya dengan prilaku-prilaku yang mengarah kesana seperti ngukus. Jika
mendengar perkataan orang yang suka melakukan ngukus, secara sepintas bahwa
ngukus memang baik dan banyak mengatakan bahwa segala sesuatunya pasti ada
perantara lain yang dapat membantu/mempercepat tujuan yang ingin dicapai.
Dalam sudut pandang
islam, ngukus ini mendekati kemusyrikan. Dalam al-Quran dikatakan bahwa
beribadahlah kepada Allah dan jangan menyekutukan Allah. Hal-hal yang dapat
menyekutukan Allah ini disebut musyrik, dan prilaku dengan membudayakan ngukus
untuk hal-hal gaib itu dapat dikatakan sebagai bentuk menyekutukan Allah. Dalam
pandangan para ulama dan ustadz mengenai ngukus/membakar kemenyan, bahwa itu
sah sah saja jika itu hanya sebagai untuk wangi-wangian atau mengusir nyamuk
saja, bukan kaitannya dengan hal-hal yang gaib yang mendatangkan sebuah arwah
yang telah meninggal atau sebagai media untuk meminta sesuatu walaupun
tujuannya kepada Allah semata.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Secara
keseluruhan kebudayaan ngukus atau dufa itu merupakan kebudayaan orang sunda
yang berkembang secara turun temurun dengan kemenyan sebagai medianya. Makna
dari membakar kemenyan bagi orang Islam sendiri adalah untuk wangi-wangian
karena pada saat penyebaran Islam Rosulullah suka terhadap wangi-wangian dan
diturunkan kepada para pengikutnya. Sedangkan makna dari membakar kemenyan atau
dufa bagi orang hindu adalah sebagai bentuk persembahan kepada dewa api.
Islam
mengajarkan untuk menyelisihi kebiasaan agama lain, jadi jika ingin membakar
kemenyan atau dufa sebaiknya jangan mengikuti kebiasaan agama lain yg
mengkhususkan waktu atau tempat membakar kemenyan atau dupa, tapi jika memang
diperlukan tidak mengapa asal bisa menjaga hati dari mengikuti agama lain
3.2
Saran
Semoga
dengan adanya makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan juga
pembaca. Saran kami adalah jangan sekali-sekali berbuat hal yang dapat
menyekutukan Allah SWT walaupun itu ada kaitannya dengan agama ini. salah
satunya dengan budaya ngukus.
DAFTAR
PUSTAKA
Koentjaraningrat, (1993). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Koentjaraningrat, (1985). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Effendi, Ridwan dkk (2011). Pendidikan Lingkungan, Sosial, Budaya dan
Teknologi. Bandung: CV. Maulana Media Grafika.
Rusmana,
dadan (2011). Ngukus Tradisi Membakar
Kemenyan. [online]. Tersedia : http://dadanrusmana.wordpress.com/2011/04/21/ngukus-tradisi-membakar-kemenyan/ [diakses pada tanggal 28
september 2013]
Anonim
(2013). Pesantren budaya nusantara.
[online]. Tersedia: http://pesantrenbudaya.blogspot.com/2013/04/nabi-saw-menyukai-wewangian-kemenyan.html [diakses pada tanggal 06
oktober 2013]
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI............................................................................................................ii
LAMPIRAN
No comments:
Post a Comment