10/31/2015

Makalah Sudut pandang masyarkat terhadap budaya membakar dupa / dufa

SUDUT PANDANG ISLAM TERHADAP BUDAYA DUFA
 ATAU AKULTURASI BUDAYA DALAM TRADISI MENYALAKAN DUFA
MAKALAH
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam
Dosen :
DRS. SUDIRMAN, M.AG




Disusun oleh :
Friesca Putri M    1104943
Lestari Apriyanti              1105601
Temi Setiabudi    1101052

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013


KATA PENGANTAR


Puji dan syukur mari kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah senantiasa memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua. Tidak lupa shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah yang berjudul “Sudut Pandang Islam Terhadap Tradisi Menyalakan Dufa dengan penuh kelancaran. Ucapkan terima kasih juga penulis sampaikan kepada dosen yang telah memberikan bimbingan kepada penulis tanpa kenal lelah.
Makalah observasi ini disusun agar para pembaca lebih dapat memahami mengenai bagaimana tradisi dufa atau ngukus di daerah Talegong Garut.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Walaupun laporan ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.


Bandung, Oktober 2013


Penulis


BAB I

PENDAHULUAN

                                  

1.1  Latar Belakang

Seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya amat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tak perlu dibiasakannya dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila ia sedang membabi buta. Menurut Antopologi, ‘’kebudayaan’’ adalah keseluruhan system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. 
Begitupun dengan Agama atau religi, memmang merupakan bagian dari kebudayaan, karena menganut konsep bahwa tiap religi atau agama adalah suatu system yang terintegrasi secara bulat. Karena getaran jiwa yang disebut emosi keagamaan tadi bisa juga dirasakan seseorang individu dalam keadaan sendiri, maka suatu aktivitas religius dapat dilakukan sorang diri dalam keadaan sunyi senyap. Seorang bisa berdoa, bersujud, atau melakukan salat sendiri dengan penuh khidmat, dan dalam keadaan terhinggap oleh emosi keagamaan. Wujud dari bayangan tadi akan ditentukan oleh kepercayaan yang lazim hidup dalam masyarakat dan kebudayaannya, dan selanjutnya kelakuan-kelakuan keagamaan yang dijalankannya akan juga menurut adat yang lazim. Misalnya, kalau ia mulai membakar kemenyan dan menaburkan bunga diatas makam, maka kelakuan-kelakuan religious itu pun telah menurut adat yang lazim dalam kebudayaannya.
Begitupun materi yang kelompok kami angkat mengenai ‘’budaya Ngukus’’ yang sampai saat ini masih ada yang melakukan. Dimana budaya ngukus atau dufa itu dilakukan oleh orang islam dan tidak disangka budaya Ngukus ini malah dijadikan hal negatif seperti berhubungan dengan alam gaib.


1.2  Rumusan Permasalahan

Adapun terdapat beberapa permasalahan yang dapat penulis rumuskan berdasarkan latar belakang di atas, yaitu :
1.      Apakah kebudayaan dufa atau ngukus itu?
2.      Bagaimana sejarah dan perkembangan dufa atau ngukus?
3.      Bagaimana ciri-ciri, fungsi, dan tujuan seseorang yang melakukan budaya ngukus atau dufa?
4.      Bagaimana sudut pandang islam terhadap budaya dufa dan ngukus ini?
5.      Bagaimana pandangan masyarakat terhadap budaya dufa atau ngukus?

1.3  Tujuan Penelitian

Adapun beberapa tujuan penelitian yang dilakukan penulis , yaitu :
1.      Mengetahui bagaimana budaya dufa tersebut.
2.      Mengetahui bagaimana sejarah perkembangan budaya Dufa.
3.      Mengetahui apa tujuan, fungsi dan cirri-ciri kebudayaan dufa atau ngukus tersebut.
4.      Mengetahui bagaimana sudut pandang islam terhadap budaya menyalakan dufa tersebut.

1.4  Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memebrikan pengetahuan dan pemahaman tentang sejarah singkat dari kebudayaan dufa atau ngukus dilihat segi kebudayaan dan islam khususnya. Adapun manfaat bagi pembaca lebih kepada bahan yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk topik dan pembahasan yang serupa serta diharapkan dapat mengambil nilai positif dari dari makalah yang kami buat.


BAB II

PEMBAHASAN


2.1  Kebudayaan Dufa atau Ngukus

Kebudayan menurut E.B. Tylor merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. (Effendi, 2011:).
Kebudayaan Ngukus adalah kebudayaan orang sunda yang berkembang secara turun temurun dengan kemenyan sebagai medianya. Ngukus sendiri merupakan sebuah kata kerja dari kata “kukus”, yang mempunyai makna asal mengepul, berasap, ataupun mengeluarkan asap. Dalam budaya sunda sendiri, kebudayaan ngukus bermakna dengan melakukan aktivitas membakar menyan (kemenyan) yang menyertai ritual tertentu. Sedangkan, kata kukusan sendiri bermakna tempat kukus yang biasanya dibuat dari tembikar yang berbentuk mangkuk.
 “Kemenyan” berasal dari “getah” (eksudat) kering yang berasal dari pohon kemenyan, yang keluar dengan sendirinya atau senagaja ditoreh (diturih), serupa dengan cara mengambil getah karet. Terdapat beberapa jenis kemenyan yang masing-masing memiliki kadar wangi yang berbeda-beda, sangat tergantung pada kualitasnya.  Kemenyan yang bagus, pada masanya,  mempunyai harga sebanding dengan emas.
Pada satu sisi, ngukus merupakan bagian dari budaya yang dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Sunda, dan lainnya. Pada sisi lainnya, kepemilikan kemenyan dapat menunjukkan status sosial pemiliknya, yakni jika ia memiliki kemenyan yang berkualitas tinggi, berarti ia adalah orang kaya, demikian sebaliknya. Pada sisi lain juga, pada jamannya, kemenyan menunjukkan komoditas yang mampu menggerakkan roda ekonomi.



2.2  Sejarah dan Perkembangan Dufa atau Ngukus

Jika dilihat dari sejarahnya, kebudayaan dufa atau ngukus ini berasal dari orang-orang  Hindu yang diikuti oleh nenek moyang dari kalangan orang sunda, dikalangan orang sunda sendiri ada yang namanya “tarari karuhun” yang sampai sekarang masih dikembangkan dan dilanjutkan oleh anak cucunya. Sehingga pada masa perkembangan Agama Islam di Nusantara kebudayaan ngukus ini menjadi lebih terkenal dan dianggap sebagai suatu adat kebiasaan. Seiring dengan perkembangan jaman atau faham pembaharuan yang diusung oleh golongan Islam modernis, akhirnya kebiasaan umat Islam dalam membakar kemenyan ditunduh sebagai kegiatan perdukunan, pemanggilan roh, jin, dan perbuatan musyrik.
Pada dasarnya mengharumkan ruangan dan tempat-tempat yang bersifat ruhaniah dengan membakar kemenyan, dufa, misik, setanggi, gaharu, cendana dapat membawa ketenangan suasana adalah suatu hal yang baik. Karena hal ini sama dengan Rasulullulah Saw yang sangat menyukai wangi-wangian, baik minyak wangi, bunga-bungaan, maupun pembakaran dufa. Hal ini pun disebabkan oleh adat yang turun temurun yang diwariskan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya.

2.3  Cara-cara, fungsi, dan tujuan melakukan Ngukus

§  Ciri-ciri kebudayaan ngukus
Terdapat beberapa tahapan dalam melakukan kegiatan ngukus, diantaranya : a) Unjuk salam atau ucapan salam kepada hal-hal gaib, b) Badanten adanya komunikasi antara yang melakukan dengan hal-hal yang gaib dengan tujuan terdapat sesuatu yang diminta oleh yang melakukan ngukus. Contohnya dalam hal orang tersebut meminta kekayaan, keselamatan, dan lain-lain, dan yang terakhir c) membaca mantra-mantra untuk mengembalikan lagi kealam mereka.
§  Fungsi dan tujuan dari kebudayaan ngukus
Ada beberapa fungsi ngukus (membakar kemenyan) dalam pelaksanaan ritus atau ritual pada masyarakat sunda. Pertama, untuk mengharumkan ruangan. Pada zamannya “ngukus” dimaksudkan untuk mengharumkan ruangan, serupa dengan fungsi “dupa” atau minyak wangi. Sebagian menyebutkan bahwa “ngukus” juga dapat mengusir nyamuk. Kedua, meningkatkan konsentrasi ketika melakukan semedi (mujasmedi) atau “bertapa”. Ketiga, sebagian memaknai bahwa “ngukus” merupakan media untuk menghadirkan “makhluk ghaib” (malaikat atau jin) agar mau mendekat ke ruangan tersebut dan memberkatu ritual yang akan dilakukan. Ada juga yang memaknai bahwa kukusan merupakan media untuk menghubungkan dunia manusia dengan dunia alam gaib (repeh-rapih).

2.4  Sudut pandang Islam terhadap budaya Dufa atau Ngukus

Sudut pandang islam terhadap budaya ngukus ini, menurut narasumber sendiri terdapat dua hukum yang bisa dikatakan hal ini tersirat. Dimana bisa dilarang bisa juga termasuk kedalam Sunnah, Kenapa bisa dikatakan Sunnah. Sebenarnya jika budaya ngukus ini dipakai untuk mengharumkan ruangan, hal ini disebabkan karena kemenyan ini bersifat wangi dan Rosul pun sangat menyukai wangi-wangian.
Pada zaman dahulu sebelum ada parfum jika sedang ada acara kendurian atau tahlilan suka sekali menggunakan kemenyan untuk menghilangkan bau, sehingga mereka pun menggunakan kemenyan untuk mengharumkan ruangannya. Untuk wanginya sendiri boleh saja digunakan ketika holakoh untuk mengusir nyamuk, tetapi jika kemenyan tersebut digunakan untuk hal-hal gaib, membangkitkan arwah atau meminta kepada Allah itu merupakan sesuatu hal yang dilarang dan mendekati ke hal yang bersifat musyrik.
Contohnya kalau di sebuah kampung atau pedesaan seperti di daerah garut, kalau akan menggarap sawah, ada cara hajatan, dan meminta keselamatan. Dalam acara pembakaran kemenyan tersebut sangat disakralkan, hal ini terlihat pada yang membakar kemenyan tersebut harus orang tertentu (tokoh ataupun pemimpin tahlil). Pada saat panenan sawah-sawah itu dikelilingi oleh sesaji lalu membakar kemenyan dengan tujuan agar hasil panennya melimpah dan ada juga yang ingin mendoakan kepada arwah yang meninggal. Sehingga pada dasarnya menggunakan kemenyan tersebut boleh-boleh saja asalkan hal tersebut tidak menyimpang dari tujuan awalnya, dan tidak mendekati ke arah yang bersifat musyrik.
Menurut narasumber sendiri tidak ada larangan khusus dalam Al-Qur’an, hanya saja kebiasaannya yang bisa dimasukan kedalam kemusyrikan. Bahkan ada salah satu hadis yang menyebutkan “Beribadahlah kalian kepada Allah dan jangan menyekutukan Allah”. Adapun hukum seseorang yang membakar kemenyan hanya untuk mendapatkan keselamatan, yaitu :
a.       Hukum membakar kemenyan dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan adalah haram, sebab memohon keselamatan dan lainnya bagi orang muslim hanyalah kepada Allah SWT, sedangkan untuk memohon kepadanya haruslah sesuai dengan ketentuan yang disebutkan oleh Allah SWT. Sebagaimana dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al Bawarah ayat 186 yang berbunyi :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَإِنِّيْ قَرِيْبٌ، أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ، فَلْيَسْتِجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ.
Dan apabila hamba-hamba-ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (Jawablah), bahwasannya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-ku maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
b.    Tentang membakar kemenyan untuk memanggil ruh nenek moyang, maka yang datang bisa yang dibakarkan oleh kemenyan tersebut adalah ruh-ruh jahat yang disebut syaithan atau jin-jin kafir yang mengaku-ngaku seperti nenek moyang. Adapun ruh-ruh nenek moyang itu sendiri, setelah meninggal dunia, semuanya ditahan di alam barzakh (alam kubur) dan tidak dapat keluar kecuali pada hari kiamat nanti. Memang ada nabi-nabi tertentu yang dapat memanggil ruh orang yang sudah mati untuk kembali ke jasadnya lagi, seperti nabi Musa yang memanggil ruh dari orang yang telah dibunuh untuk ditanyai siapa pembunuhnya sebagaimana yang diceriterakan dalam Al Qur'an dan nabi Isa yang dapat menghidupkan kembali orang yang sudah mati ratusan tahun untuk membuktikan bahwa beliau adalah utusan Allah, tetapi tidak untuk dimintai keselamatan dan lainnya.

2.5  Sudut Pandang Masyarakat

Sudut pandang masyarakat mengenai kebudayaan ngukus ini memang berbeda-beda. Bagi mereka yang tidak melakukan hal itu memandang bahwa budaya/tradisi itu jauh dari ajaran islam dan mendekati kemusyrikan. Sedangkan bagi mereka yang masih melakukan memang beranggapan bahwa dengan ngukus ini doa seseorang dengan cepat dikabulkannya. Kedua pandangan ini saya dapatkan bukan melalui wawancara, tetapi mengamati langsung bagaimana pembicaraan mereka dan dapat disimpulkan seperti itu.

2.6  Analisis

Berbicara sebuah kebudayaan akan sangat erat kaitannya dengan tradisi dan kebiasaan suatu masyarakat yang berkembang. Semua itu tercakup dalam 7 unsur kebudayaan secara universal yang didalamnya terdapat sebuah kepercayaan/religi. Berbicara mengenai kepercayaan, sangat sensitif sekali dan rawan akan bermasalah dan terjadi singgungan.
Budaya ngukus merupakan salah satu kebudayaan yang berkaitan erat dengan sebuah kepercayaan. Ngukus jika dilihat dari sudut pandang budaya yang berkembang dimasyarakat itu bukan hal yang asing dan dianggap tidak baik. Akan tetapi jika dilihat dari sudut pandang lain khususnya islam sangat berbanding terbalik. Dimana bahwa islam tidak mengajarkan manusia untuk ngukus, dan dilarang untuk menyekutukan Allah salah satunya dengan prilaku-prilaku yang mengarah kesana seperti ngukus. Jika mendengar perkataan orang yang suka melakukan ngukus, secara sepintas bahwa ngukus memang baik dan banyak mengatakan bahwa segala sesuatunya pasti ada perantara lain yang dapat membantu/mempercepat tujuan yang ingin dicapai.
Dalam sudut pandang islam, ngukus ini mendekati kemusyrikan. Dalam al-Quran dikatakan bahwa beribadahlah kepada Allah dan jangan menyekutukan Allah. Hal-hal yang dapat menyekutukan Allah ini disebut musyrik, dan prilaku dengan membudayakan ngukus untuk hal-hal gaib itu dapat dikatakan sebagai bentuk menyekutukan Allah. Dalam pandangan para ulama dan ustadz mengenai ngukus/membakar kemenyan, bahwa itu sah sah saja jika itu hanya sebagai untuk wangi-wangian atau mengusir nyamuk saja, bukan kaitannya dengan hal-hal yang gaib yang mendatangkan sebuah arwah yang telah meninggal atau sebagai media untuk meminta sesuatu walaupun tujuannya kepada Allah semata.






















BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan

Secara keseluruhan kebudayaan ngukus atau dufa itu merupakan kebudayaan orang sunda yang berkembang secara turun temurun dengan kemenyan sebagai medianya. Makna dari membakar kemenyan bagi orang Islam sendiri adalah untuk wangi-wangian karena pada saat penyebaran Islam Rosulullah suka terhadap wangi-wangian dan diturunkan kepada para pengikutnya. Sedangkan makna dari membakar kemenyan atau dufa bagi orang hindu adalah sebagai bentuk persembahan kepada dewa api.
Islam mengajarkan untuk menyelisihi kebiasaan agama lain, jadi jika ingin membakar kemenyan atau dufa sebaiknya jangan mengikuti kebiasaan agama lain yg mengkhususkan waktu atau tempat membakar kemenyan atau dupa, tapi jika memang diperlukan tidak mengapa asal bisa menjaga hati dari mengikuti agama lain

3.2  Saran

Semoga dengan adanya makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan juga pembaca. Saran kami adalah jangan sekali-sekali berbuat hal yang dapat menyekutukan Allah SWT walaupun itu ada kaitannya dengan agama ini. salah satunya dengan budaya ngukus.








DAFTAR PUSTAKA


Koentjaraningrat, (1993). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat, (1985). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Effendi, Ridwan dkk (2011). Pendidikan Lingkungan, Sosial, Budaya dan Teknologi. Bandung: CV. Maulana Media Grafika.
Rusmana, dadan (2011). Ngukus Tradisi Membakar Kemenyan. [online]. Tersedia : http://dadanrusmana.wordpress.com/2011/04/21/ngukus-tradisi-membakar-kemenyan/ [diakses pada tanggal 28 september 2013]
Anonim (2013). Pesantren budaya nusantara. [online]. Tersedia: http://pesantrenbudaya.blogspot.com/2013/04/nabi-saw-menyukai-wewangian-kemenyan.html [diakses pada tanggal 06 oktober 2013]




DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
LAMPIRAN



No comments:

Post a Comment