PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Globalisasi yang sedang melanda
kehidupan pada abad ini menjadikan berbagai pengaruh dalam perubahan kehidupan.
Perubahan yang terjadi merupakan pengaruh dari berbagai elemen dalam era
globalisasi tersebut. Tak dipungkiri setiap manusia tidak bisa menghindari
pengaruh globalisasi, mengingat pengaruh globalisasi terjadi hampir pada
seluruh aspek kehidupan yang menyentuh pada seluruh lapisan masyarakat.
Adanya pengaruh globalisasi ini
sedikit banyak berpengaruh pada pola hidup masyarakat. Aspek psikologis
merupakan salah satu hal yang secara langsung maupun tidak langsung cukup
dipengaruhhi oleh globalisasi. Mobilitas yang semakin dinamin menghasilkan
suatu etos kerja yang kompetitif, persaingan yang tak selalu sehat, tuntutan
hidup yang menuntut, serta masalah psikologis lainnya yang berdampak bagi
kehidupan seseorang.
Kaitan kehidupan sehari-hari dan
psikologis dapatlah kita mengambil contoh dalam dunia pendidikan. Globalisasi
pun begitu erat kaitannya dengan pendidikan. Dalam pendidikan sendiri terdapat
profei sendiri dalam menangani psikologis klien atau peserta didik, yaitu
seorang konselor.
Dalam kajian makalah ini kami
memaparkan mengenai profesi konselor. Bagaimana standar kompetensi seorang
konselor dalam beberapa kriteria kelayakan seorang konselor. Serta, kekuatan
dalam pengorganisasian manajemen sekolah dalam membingkai layanan bimbingan dan
konseling yang harus pula dilakukan oleh seluruh warga sekolah.
Layanan bimbingan dan konseling di
sekolah sangatlah penting dalam proses perkembangan peserta didik. Sehingga,
diharapkan peserta didik dapat sehat secara fisik maupun psikologisnya yang akan
berpengaruh pada kehidupan sehari-hari yang lebih baik dan seimbang dalam
kehidupan pribadi dan masyarakat.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
kompetensi pengetahuan seorang konselor dalam layanan bimbingan dan konseling?
2. Bagaimana
kompetensi pribadi seorang konselor dalam layanan bimbingan dan konseling?
3. Bagaimana
kompetensi profesional seorang konselor dalam layanan bimbingan dan konseling?
4. Apa
saja kode etik profesi konselor?
5. Apa
dampak layanan bimbingan dan konseling terhadap stakeholder pendidikan?
C. TUJUAN
1. Menjadikan
pembahasan ini sebagai salah satu kriteria dalam menentukan standar dalam
keprofesional seorang konselor.
2. Pemahaman ranah kerja bagi seorang konselor
dan peran serta seluruh warga sekolah dalam memberikan layanan da konsleing.
3. Diharapkan
pengorganisasian dan manajemen sekolah semakin profesional.
4. Pemahaman
mengenai kode etik dalam dunia konselor.
5. Memiliki
pengetahuan mengenai standar kompetensi konselor.
BAB II
KOMPETENSI
DAN DAMPAK LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING
A.
Pengertian
Kompetensi
Kompetensi
mengandung pengertian pemilikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang
dituntut oleh jabatan tertentu (Rustyah, 1982). Kompetensi dimaknai pula
sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan
dalam kebiasaan berfikir, dan bertindak. Kompetensi dapat pula dimaksudkan
sebagai kemampuan melaksanakan tugas yang diperoleh melalui pendidikan dan atau
latihan (Herry, 1998 dalam http://wawan-junaidi.blogspot.com/2011/07/pengertian-kompetensi.html
(17 Maret]).
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan) untuk
menentukan atau memutuskan sesuatu hal.
Menurut
Finch dan Crunkilton dalam Mulyasa (2004: 38) bahwa yang dimaksud dengan
kompetensi adalah penguasaan terhadap suatu tugas, ketrampilan, sikap, dan
apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Hal itu menunjukkan
bahwa kompetensi mencakup tugas, ketrampilan sikap dan apresiasi yang harus dimiliki
peserta didik untuk dapat melaksanakan tugas - tugas pembelajaran sesuai dengan
jenis pekerjaan tertentu. Sedangkan menurut Broke dan Stone (Uzer Usman,
2007:14) kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru
yang tampak sangat berarti.
Kompetensi
menurut UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan: pasal 1 (10), “Kompetensi
adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan”.
B.
Kompetensi Konselor
Rumusan
Standar Kompetensi Konselor telah dikembangkan dan dirumuskan atas dasar
kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.
Namun bila ditata ke dalam empat kompetensi pendidik sebagaimana tertuang dalam
PP 19/2005, maka rumusan kompetensi akademik dan profesional konselor dapat
dipetakan dan dirumuskan ke dalam kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial,
dan profesional sebagai berikut.
KOMPETENSI INTI
|
KOMPETENSI
|
A.
KOMPETENSI
PEDAGOGIK
|
|
1. Menguasai teori dan praksis
pendidikan
|
1.1 Menguasai ilmu pendidikan
dan landasan keilmuannya
1.2 Mengimplementasikan
prinsip-prinsip pendidikan dan proses pembelajaran
1.3 Menguasai landasan budaya
dalam praksis pendidikan
|
2. Mengaplikasikan perkembangan
fisiologis dan psikologis serta perilaku konseli
|
2.1 Mengaplikasikan
kaidah-kaidah perilaku manusia, perkembangan fisik dan psikologis individu
terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan
2.2 Mengaplikasikan kaidah-kaidah
kepribadian, individualitas dan perbedaan konseli terhadap sasaran pelayanan
bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan
2.3 Mengaplikasikan
kaidah-kaidah belajar terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling
dalam upaya pendidikan
2.4 Mengaplikasikan
kaidah-kaidah keberbakatan terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling
dalam upaya pendidikan
2.5. Mengaplikasikan
kaidah-kaidah kesehatan mental terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan
konseling dalam upaya pendidikan
|
3. Menguasai esensi pelayanan
bimbingan dan konseling dalam jalur, jenis, dan jenjang satuan pendidikan
|
3.1 Menguasai esensi bimbingan
dan konseling pada satuan jalur pendidikan formal, nonformal dan informal
3.2 Menguasai esensi bimbingan
dan konseling pada satuan jenis pendidikan umum, kejuruan, keagamaan, dan
khusus
|
3.3 Menguasai esensi bimbingan
dan konseling pada satuan jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah,
serta tinggi.
|
|
B. KOMPETENSI
KEPRIBADIAN
|
|
4. Beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa
|
4.1 Menampilkan kepribadian
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
4.2 Konsisten dalam menjalankan
kehidupan beragama dan toleran terhadap pemeluk agama lain
4.3 Berakhlak mulia dan berbudi
pekerti luhur
|
5. Menghargai dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan memilih
|
5.1 Mengaplikasikan pandangan
positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial,
individual, dan berpotensi
5.2 Menghargai dan
mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada
khususnya
5.3 Peduli terhadap
kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya
5.4 Menjunjung tinggi harkat
dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya.
5.5 Toleran terhadap
permasalahan konseling
5.6 Bersikap demokratis.
|
6. Menunjukkan integritasdan
stabilitas kepribadian yang kuat
|
6.1 Menampilkan kepribadian dan
perilaku yang terpuji (seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan konsisten
)
6.2 Menampilkan emosi yang
stabil.
6.3 Peka, bersikap empati,
serta menghormati keragaman dan perubahan 6.4 Menampilkan toleransi tinggi
terhadap konseli yang menghadapi stres dan frustasi
|
7. Menampilkan kinerja
berkualitas tinggi
|
7.1 Menampilkan tindakan yang
cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif
7.2 Bersemangat, berdisiplin,
dan mandiri 7.3 Berpenampilan menarik dan menyenangkan
7.4 Berkomunikasi secara
efektif
|
C. KOMPETENSI SOSIAL
|
|
8. Mengimplementasikan
kolaborasi intern di tempat bekerja
|
8.1 Memahami dasar, tujuan,
organisasi, dan peran pihak-pihak lain (guru, wali kelas, pimpinan
sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah) di tempat bekerja
8.2 Mengkomunikasikan dasar,
tujuan, dan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak-pihak
lain di tempat bekerja
8.3 Bekerja sama dengan
pihak-pihak terkait di dalam tempat bekerja (seperti guru, orang tua, tenaga
administrasi)
|
9. Berperan dalam organisasi
dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling
|
9.1 Memahami dasar, tujuan, dan
AD/ART organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan
profesi
9.2 Menaati Kode Etik profesi
bimbingan dan konseling
9.3 Aktif dalam organisasi
profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi
|
10. Mengimplementasikan
kolaborasi antarprofesi
|
10.1 Mengkomunikasikan
aspek-aspek profesional bimbingan dan konseling kepada organisasi profesi
lain
10.2 Memahami peran organisasi
profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan
konseling
10.3 Bekerja dalam tim bersama
tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain.
10.4 Melaksanakan referal
kepada ahli profesi lain sesuai dengan keperluan
|
D. KOMPETENSI
PROFESIONAL
|
|
11. Menguasai konsep dan
praksis asesmen untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah konseli
|
11.1 Menguasai hakikat asesmen
11.2 Memilih teknik asesmen,
sesuai dengan kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling
11.3 Menyusun dan mengembangkan
instrumen asesmen untuk keperluan bimbingan dan konseling
11.4 Mengadministrasikan
asesmen untuk mengungkapkan masalah-masalah konseli. 11.5 Memilih dan
mengadministrasikan teknik asesmen pengungkapan kemampuan dasar dan
kecenderungan pribadi konseli.
11.6 Memilih dan
mengadministrasikan instrumen untuk mengungkapkan kondisi aktual konseli
berkaitan dengan lingkungan
11.7 Mengakses data dokumentasi
tentang konseli dalam pelayanan bimbingan dan konseling
11.8 Menggunakan hasil asesmen
dalam pelayanan bimbingan dan konseling dengan tepat
11.9 Menampilkan tanggung jawab
profesional dalam praktik asesmen
|
12. Menguasai kerangka teoretik
dan praksis bimbingan dan konseling
|
12.1 Mengaplikasikan hakikat
pelayanan bimbingan dan konseling.
12.2 Mengaplikasikan arah
profesi bimbingan dan konseling.
12.3 Mengaplikasikan
dasar-dasar pelayanan bimbingan dan konseling.
12.4 Mengaplikasikan pelayanan
bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja.
12.5 Mengaplikasikan pendekatan
/model/jenis pelayanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling.
12.6 Mengaplikasikan dalam
praktik format pelayanan bimbingan dan konseling.
|
13. Merancang program Bimbingan
dan Konseling
|
13.1 Menganalisis kebutuhan
konseli
13.2 Menyusun program bimbingan
dan konseling yang berkelanjutan berdasar kebutuhan peserta didik secara
komprehensif dengan pendekatan perkembangan
13.3 Menyusun rencana
pelaksanaan program bimbingan dan konseling
13.4 Merencanakan sarana dan
biaya penyelenggaraan program bimbingan dan konseling
|
14. Mengimplementasikan
program Bimbingan dan Konseling yang komprehensif
|
14.1 Melaksanakan program
bimbingan dan konseling.
14.2 Melaksanakan pendekatan
kolaboratif dalam pelayanan bimbingan dan konseling.
14.3 Memfasilitasi perkembangan
akademik, karier, personal, dan sosial konseli
14.4 Mengelola sarana dan biaya
program bimbingan dan konseling
|
15. Menilai proses dan hasil
kegiatan Bimbingan dan Konseling.
|
15.1 Melakukan evaluasi hasil,
proses, dan program bimbingan dan konseling 15.2 Melakukan penyesuaian proses
pelayanan bimbingan dan konseling. 15.3 Menginformasikan hasil pelaksanaan
evaluasi pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait
15.4 Menggunakan hasil
pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan
konseling
|
16. Memiliki kesadaran dan
komitmen terhadap etika profesional
|
16.1 Memahami dan mengelola
kekuatan dan keterbatasan pribadi dan profesional.
16.2 Menyelenggarakan pelayanan
sesuai dengan kewenangan dan kode etik profesional konselor
16.3 Mempertahankan
objektivitas dan menjaga agar tidak larut dengan masalah konseli.
16.4 Melaksanakan referal
sesuai dengan keperluan
16.5 Peduli terhadap identitas
profesional dan pengembangan profesi
16.6 Mendahulukan kepentingan
konseli daripada kepentingan pribadi konselor
16.7 Menjaga kerahasiaan
konseli
|
17. Menguasai konsep dan
praksis penelitian dalam bimbingan dan konseling
|
17.1 Memahami berbagai jenis
dan metode penelitian 17.2 Mampu merancang penelitian bimbingan dan konseling
17.3 Melaksaanakan penelitian bimbingan dan konseling 17.4 Memanfaatkan hasil
penelitian dalam bimbingan dan konseling dengan mengakses jurnal pendidikan
dan bimbingan dan konseling
|
C.
Kompetensi
Pengetahuan Konselor Dalam Layanan Bimbingan dan Konseling
Pada masa ini, kemajuan
zaman semakin berkembang. Kecanggihan teknologi pun semakin meningkat.
Tantangan kehidupanpun akan semakin besar, karena daya saing dari setiap
individu yang akan semakin tinggi. Kemampuan individu ini, tidak terlepas dari
latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Pendidikan adalah satu langkah yang
cukup menentukan keberhasilan individu. Maka dari itu pemerintah menyusun
langkah-langkah guna pendidikan dapat mencetak generasi-generasi penerus bangsa
yang siap dengan tantangan-tantangan dunia global.
Untuk memajukan dunia
pendidikan ini, tentunya pemerintah membuat serangkaian pedoman dalam
pelaksanaan pendidikan. Pedoman ini berkaitan dengan hal ihwal yang berkaitan
dalam pendidikan, seperti salah satunya tenaga kependidikan. Segala peraturan,
persyaratan tentaang tenaga pendidikan, disusun sedemikian rupa agar siswa-siswa
di negara ini benar-benar mendapatkan pendidikan yang baik. Agar berjalannya
pendidikan yang diharapkan, pemerintah melakukan pengawasan dalam
proses-prosesnya. Dengan terpantaunya setiap kegiatan yang ada di dalam
pendidikan, pemerintah mengharapkan kegiatan pendidikan dilakukan sesuai dengan
pedoman yang telah dikeluarkan. Maka dari itu, disusunlah makalah yang berjudul
“Peranan Pengawas dalam Organisasi Bimbingan”. Untuk mengetahui lebih jauh
mengenai persyaratan dan fungsi pengawas dalam organisasi bimbingan/pendidikan.
Untuk menjadi seorang konselor kita
harus mengetahui pengetahuan mengenai Apa yang dimaksud dengan pengawas
konselor, apa saja persyaratan bagi
seorang pengawas konselor, apa saja yang menjadi tugas pokok bagi seorang
pengawas konselor, apa saja fungsi pengawas konselor, apa saja hak dan
kewenangan seorang pengawas konselor ?
1. Persaratan
bagi Konselor
Untuk melaksanakan tugas pokok dan
fungsi pengawas. Setiap pengawas dituntut memiliki kemampuan dasar atau
pengetahuan tertentu yang berbeda dengan tenaga kependidikan lainnya. Kemampuan
dasar tersebut dinamakan kompetensi. Kompetensi adalah pengetahuan,
keterampilan, kecakapan atau kapabilitas yang dicapai seseorang, yang menjadi
bagian dari keberadaaanya sampai ia mampu menginerjakan perilaku kognitif,
afektif, dan psikomotor tertentu secara optimal, (Sudjana dalam Anas, 200).
Dapat juga dikatakan bahwa
kompetensi merupakan perpaduan dari kemampuan, pengetahuan, kecakapan, sikap,
sifat, pemahaman, apresiasi, dan harapan yang mendasari karakteristik seseorang
untuk berunjuk kerja dalam menjalankan tugas atau pekerjaannya guna mencapai
standar kualitas dalam pekerjaan nyata. Kompetensi juga merujuk pada kecakapan
seseorang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diamanatkan kepadanya
dengan hasil baik dan piawai.
Kompetensi dapat dikategorikan
menjadi tiga aspek, yaitu :
a. Kemampuan,
pengetahuan, kecakapan, sikap, sifat, pemahaman, apresisi dan harapan yang
menjadi ciri dan karateristik seseorang dalam menjalankan tugas.
b. Ciri
dan karateristik kompetensi yang digambarkan dalam aspek pertama itu tampil
nyata (manifest) dalam tindakan, tingkah laku, dan unjuk kerjanya.
c. Hasil
unjuk kerjanya itu memenuhi suatu criteria standar kualitas tertentu.
Secara umum, kompetensi
pengawas merupakan seperangkat
kemampuan, baik berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dituntut untuk
jabatan professional sebagai pengawas. Seperangkat kemampuan yang hasrus
dimiliki pengawas tersebut searah dengan kebutuhan manajemen pendidikan di
sekolah, kurikulum, tuntunan masyarakat, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kompetensi pengawas berarti kesesuaian antara kemampuan, kecakapan,
dan kepribadian pengawas dengan perilaku dan tindakan atau kemampuan yang
mumpuni dalam melaksanakan tugas berkaitan dengan kativitas-aktivitas yang
menjadi tanggung jawabnya sebaga pengawas. Dengan demikian, kompetensi pengawas
merupakan himpunan pengetahuan, kemampuan, dan keyakinan yang dimilki pengawas
dan ditampilkan dalam tindakannya untuk peningkatan mutu pendidikan/sekolah.
Kompetensi pengawas satuan
pendidikan mengacu pada standar kompetensi tenaga kependiikan, sebagaimana
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005, yang mencakup
kompetensi pedagogic, kepribadian, kompetensi professional, dan kompetensi
sosial. Selain standar kompetensi, diberlakukan pula sejumlah persyaratan yang
harus dipenuhi oleh calon pengawas. Ada dua kategori persyarana calon pengawas
sekolah, yakni persyaratan administrasi dan persyaratan akademik.
2.
Tugas Pokok Pengawas
Bimbingan dan Konseling
a.
Penyusunan Program
Pengawasan Bimbingan dan Konseling
Setiap pengawas baik
secara berkelompok maupun secara perorangan wajib menyusun rencana program
pengawasan. Program pengawasan terdiri atas (1) program pengawasan tahunan, (2)
program pengawasan semester, dan (3) rencana kepengawasan akademik (RKA).
b.
Melksanakan Pembinaan, Pemantauan dan
Penilaian
Kegiatan supervisi
bimbingan dan konseling meliputi pembinaan dan pemantauan pelaksanaan bimbingan
dan konseling di sekolah merupakan kegiatan dimana terjadi interaksi langsung
antara pengawas dengan guru biasanya, melaksanakan penilaian adalah menilai
kinerja guru dalam merencanakan, melaksanakan dan menilai proses pembimbingan,
kegiatan ini dilakukan di sekolah binaan, sesuai dengan uraian kegiatan dan
jadwal yang tercantum dalam RKBK yang telah disusun
c.
Menyusun Laporan Pelaksanaan Program
Pengawasan
Setiap pengawas membuat
laporan dalam bentuk laporan per sekolah dari seluruh sekolah binaan. Laporan
ini lebih ditekankan kepada pencapaian tujuan dari setiap butir kegiatan
pengawasan sekolah yang telah dilaksanakan pada setiap sekolah binaan,
penyusunan laporan oleh pengawas merupakan upaya untuk mengkomunikasikan hasil
kegiatan atau keterlaksanaan program yang telah direncanakan, menyusun laporan
pelaksanaan program pengawasan dilakukan oleh setiap pengawas sekolah dengan
segera setelah melaksanakan pembinaan, pemantauan atau penilaian.
d.
Melaksanakan pembimbingan dan pelatihan
profesionalitas guru BK.
Kegiatan pembimbingan
dan pelatihan profesionalitas guru BK dilaksanakan paling sedikit 3 (tiga) kali
dalam satu semester secara berkelompok di Musyawarah Guru Pembimbing (MGP).
Kegiatan dilaksanakan terjadwal baik waktu maupun jumlah jam yang diperlukan
untuk setiap kegiatan sesuai dengan tema atau jenis keterampilan dan kompetensi
yang akan ditingkatkan. Dalam pelatihan diperkenalkan kepada guru cara-cara
baru yang lebih sesuai dalam melaksanakan suatu proses pembimbingan. Kegiatan
pembimbingan dan pelatihan profesionalitas guru BK ini dapat dilakukan melalui
workshop, seminar, observasi, individual dan group conference.
3.
Fungsi Pengawas
Konselor
Dalam buku, “Bimbingan
dan Konseling di sekolah,” terbitan direktor tenaga kependidikan dirjen
peningkatan mutu pendidik dan tenaga keppendidikan, Depdiknas, (2008:33),
dijelaskan bahwa pengawas (TK/SD) hendaknya memahami struktur program bimbingan
dan konseling dan dapat memberikan pembinaan dan pengawasan agar sekolah
memiliki program bimbingan dan konseling yang dapat dilaksanakan dengan baik.
Pengawas melakukan pembinaan dan
pengawasan dengan melakukan diskusi terfokus berkenaan dengan ketersediaan
personal konselor sesuai dengan kebutuhan (berdasarkan jumlah siswa) serta
upaya-upaya untuk memenuhi ketersediaan konselor, optimalisasi peran, dan
fungsi personal sekolah dalam layanan bimbingan dan konseling, serta mekanisme
layanan sesuai dengan peran dan fungsi.
Pengawasan bimbingan
dan konseling di sekolah diselenggarakan oleh pengawas sekolah sesuai SK menpan
No. 118/1996 dan petunjuk pelaksanaannya. Kegiatan pengawasan bimbingan dan
konseling disekolah melibatkan guru pembimbing dan pengawas sekolah dibawah
koordinasi kepala sekolah. Guru pembimbing menyiapkan pala sekolah. Guru
pembimbing menyiapkan diri dan bahan-bahan secukupnya untuk kegiatan
pengawasan, sedangkan koordinator BK mengoordinasikan guru-guru pembimbing
dalam menyiapkan diri untuk kegiatan pengawasan.
Guru pembimbing
mengikuti dengan cermat penilaian dan pembinaan dalam kegiatan pengawasan.
Adapun kepala sekolah mendorong dan memberikan fasilitas untuk terlaksananya
kegiatan pengawasan secara obyektif dan dinamis demi meningkatnya mutu
bimbingan dan konseling.
Mengacu pada buku
pedoman kepengawasan oleh prof. Nana Sujana, dkk., untuk melaksanakan tugas
kepengawasan, dbidang bimbingan dan konseling atau secara umum sebagai pengawas
sekolah, pengawas harus melaksanakan fungsi supervisi, baik supervisi akademik
maupun supervisi manajerial. Supervisi akademik adalah fungsi supervisi yang
berkenaan dengan aspek pembinaan dan pengembangan kemampuan profesional guru
dalam meningkatkan mutu pembelajaran dan bimbingan di sekolah.
4.
Hak dan Kewenangan
Pengawas Konselor
Dalam melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya sebagai pengawas sekolah/satuan pendidikan, setiap
pengawas memiliki kewenangan dan hak-hak yang melekat pada jabatannya. Beberapa
kewenangan yang ada pada pengawas adalah kewenangan untuk:
a.
Bersama pihak sekolah
yang dibinanya, menentukan program peningkatan mutu pendidikan di sekolah
binaannya.
b.
Menyusun program
kerja/agenda kerja kepengawasan pada sekolah binaannya dan membicarakannya
dengan kepala sekolah yang bersangkutan,
Menentukan
metode kerja untuk pencapaian hasil optimal berdasarkan program kerja yang
telah disusun.
c.
Menetapkan kinerja
sekolah, kepala sekolah dan guru serta tenaga kependidikan guna peningkatan
kualitas diri dan layanan pengawas.
Hak yang seharusnya diperoleh pengawas sekolah
yang profesional adalah :
a.
Menerima gaji sebagai
pegawai negeri sipil sesuai dengan pangkat dan golongannya,
b. Memperoleh
tunjangan fungsional sesuai dengan jabatan pengawas yang dimilikinya,
c. Memperoleh
biaya operasional/rutin untuk melaksanakan tugas-tugas kepengawasan seperti;
transportasi, akomodasi dan biaya untuk kegiatan tttt kepengawasan.
d. Memperoleh
tunjangan profesi pengawas setelah memiliki sertifikasi pengawas.
e. Menerima
subsidi dan insentif untuk menunjang pelaksanaan tugas dan pengembangan profesi
pengawas.
f.
Memperoleh tunjangan
khusus bagi pengawas yang bertugas di daerah terpencil, rawan kerusuhan dan
atau daerah bencana alam.
Semua biaya hak di atas
dibebankan pada Pemerintah Pusat dan Daerah.
Sedangkan tunjangan kesejahteraan diharapkan diberikan oleh pemerintah
daerah. Besarnya tunjangan-tunjangan di atas disesuaikan dengan kemampuan
pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
D.
Kompetensi Pribadi Konselor Dalam Layanan
Bimbingan dan Konseling
Kompetensi kepribadian merupakan
kemampuan, kecakapan dan keterampilan yang ditampilkan seseorang. Menurut
Mungin Eddy Wibowo kompetensi kepribadian adalah “kemampuan kepribadian yang
mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan, dan berakhlak
mulia”. Dari pendapat di atas menyatakan
bahwa kompetensi kepribadian adalah suatu kemampuan pribadi yang mantap,
stabil, dewasa, arif, berwibawa, bisa menjadi teladan dan berakhlak mulia yang
harus dimiliki oleh konselor, sebagai pembimbing atau pendidik di sekolah.
Foker (dalam kepribadiankonselor.blogspot.com/2012/11/kompetensi-kepribadian-konselor
[14 Maret 2013])
menyatakan bahwa ”kompetensi kepribadian yang
dimiliki oleh konselor adalah berjiwa pendidik, terbuka, mampu mengembangkan
diri dan memiliki integritas kepribadian”. Kompetensi kepribadian yang harus
dimiliki konselor adalah jiwa pendidik yang terbuka, mampu mengembangkan diri
dan memiliki integritas kepribadian.
Konselor mesti memiliki jiwa terbuka dan mampu mengendalikan
diri. Kepribadian konselor tersebut melibatkan hal seperti nilai, semangat
bekerja, sifat atau karakteristik, dan tingkah laku. Sanusi menyatakan bahwa
“kemampuan kepribadian guru meliputi
beberapa hal sebagai berikut:
1)
Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru
2)
Pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut oleh
seorang guru
3) Penampilan upaya untuk menjadikan
dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya.
Pernyataan di atas
menjelaskan bahwa, seorang guru harus menerapkan kemampuan kepribadian di mana
saja berada seperti, selalu berpandangan positif terhadap semua orang, berlaku
adil, dan dapat berpenampilan yang menarik peserta didik menjadi aman dan nyaman
dengan pendidik, karena guru di sekolah merupakan panutan dan teladan bagi
peserta didik. Hal itu sama dengan konselor, konselor dituntut untuk selalu
perpandangan positif terhadap orang lain khususnya siswa, memiliki pemahaman
yang baik serta berpenampilan yang sopan dan rapi kerena konselor akan menjadi
contoh, panutan dan teladan bagi peserta didik di sekolah dan masyarakat pada
umumnya.
Secara rinci Dede Sugita menyatakan bahwa “setiap elemen
kepribadian tersebut dapat dijabarkan menjadi subkompetensi dan indikator
esensial sebagai berikut:
1)
Memiliki kepribadian yang mantap dan stabil
2)
Memiliki kepribadian yang dewasa.
3)
Memiliki kepribadian yang arif
4)
Memiliki kepribadian yang berwibawa.
5)
Memiliki akhlak mulia dan menjadi teladan”.
Senada dengan pendapat di atas,
Mungin Eddy Wibowo menyatakan bahwa “kompetensi kepribadian adalah kemampuan
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi
orang lain dan berakhlak mulia”. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa kompetensi kepribadian konselor adalah kemampuan, keterampilan yang harus
dimiliki oleh konselor di sekolah dalam
bersikap, bertindak dengan pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif,
berwibawa, berakhlak mulia dan menjadi teladan bagi orang lain.
Berdasarka kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan sebagai mahkluk tuhan. Ia wajib menguaai pengetahuan yang
akan diajarkanmya kepada peserta didik secara benar dan bertanggung jawab. Ia
harus memiliki pengetahuan penunjang tentang kondisi fisiologis, psikologis,
dan pedagogic dari peserta didik yang dihadapinya. Beberapa kopetensi pribadi
yang semestinya ada pada seorang guru , yaitu memiliki pengetahuan tentang
materi pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, mempunyai
pengetahuan tentang perkembangan peserta didik serta kemampuan untuk
memperlakukan mereka secra individual.
Berlawanan dengan sedikitnya riset
terhadap kompetensi kognitif atau konseptual, terhadap sejumlah besar riset
substansi yang menjadi dasar pembahasan nilai penting factor kepribadian dan
kesehatan mental umum sebagai variable yang dikaitkan dengan efektifitas
konseling. Studi ini berkontribusi pada dua isu utama : mengidentifikasikan
karakteristik kepribadian terafis yang efektif , dan memberikan penilaian terhadap
nilai terapi personal bagi praktisi. Sebagia besar pekerjaan dalam bidang ini
dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan dukungan terhadap kritik
keterampilan atau pedekatan berorientasi teknik. Semngat tang mendasari studi
ini digambarkan oleh McConnaughy (1987 : 304) dalam pernyataannya bahwa :
“Teknik
actual yang digunakan oleh terapis kurang penting dibandingkan dengan karakter
dan kepribadian unik terapis itu sendiri. Terapis memilih teknik dan teori
berdasarkan “siapa mereka” sebagai seoranng individu. Dengan kata lain,
strategi terapi tersebut merupakan manifestasi kepribadian terapis. Dengan
demikian, sebagai individu, terapis merupakan instrument pengaruh utama dalam
bidang terapi. Konsekuensi dari prinsip ini adalah semakin terapis menerima dan
menilai dirina sendiri, semakin efektif ia dalam membantu klien untuk
mengetahui dan mengharga dirinya sendiri.”
Sejumlah study telah mengeksplorasi
pengaruh kepribadian konselor terhadap
hasil konselor. Dapat dikatakan bahwa seluruh bidang riset kepribadian
merupakan hal yang problematic, karena ciri kepribadian yang diukur oleh
kuesioner cenderung menunjukan korelasi yang rendah dengan prilaku actual pada semua astudi. Selain itu terdapat bukti
yang cukup bahwa konselor yang baik adalah orang-orang yang menunjukan tingkat
penyesuaian emosional umum yang lebih tinggi dan kemampuan membuka diri yang
besar. Harus dicatat bahwa variable kepribadian yang tampaknya tidak
disosialisasikan dengan kesuksesan konseling
adalah variable tertutup-terbuka dan submisiviytas-dominan. Studi lain
telah mengekplorasikan kemungkinan diasosiasikan hasil dengan kemiripan atau
perbedaan ciri kepribadian antara konseling dan klien. Pekerjaan dalam hal ini
telah diulas oleh Beuler, et al. (1986) yang menmukan tidak adanya hubungan
yang konsisten antara kemiripan klien-kinselor dengan hasil. Banyak pelatihan
konselor yang menganjurkan terapi personal pagi para peserta pendidikan sebagai
cara menyakinkan pertumbuhan kepribadian dalam bidang penyesuaian diri dan
keterbukaan. Terdapat pula bukti bahwa terapi personal bermuara pada
meningkatan efektivitas profesioanal konselor dan psikoterapis dengan
memberikan basis yang kuat bagi kepercayaan diri dan penggunaan “diri”
(Balwid,1987) yang tepat dalam hubungan klien.
Terapis personal mempresentasikan
cara unik untuk mempelajari proses
terapeutik, dalam hal terapi tersebut memberikan wawasan tentang peran klien,
dan akhirnya terapi tersebut memberikan konstribusi terhadap peningkatan umum
kesdaran diri dalam diri peserta pendidikaan. Walaupun demikian, terdapat
beberapa kesulitan mendasar yang ditimbulakan oleh praktik terapi personal
untuk para peserta pendidikan.
1. Klien
dituntut untuk hadir, bukan digantungkan pada kesediaan berpartisiapsi
2. Apabila
peserta terlalu jauh terbenam dalam kerja terapeutik, maka hal tersebut akan
menghancurkan kemampuan emosionalnya terhadap kliennya endiri.
3. Dalam
sebagian institute penyelenggaraan pendidikan, terapis personal merupakan
anggota staff pelatihan, dank arena itu bukan hanya melaporkan perkembangan
para peserta dalam terapi personal tersebut, tapi juga bila peserta
merampungkan program tersebut pada
gilirannya menjadi kolega dari seseorang yang merupakan mantan kliennya.
Walaupun
sekarang praktik ini tidak perpengaruh dimasa lalu, namum ia menghadirkan
tekanan eksternal tidak biasa yang dapat menyembunyikan manfaat yang didapat
pada terapi tersebut. Karena itu, ada alasan untuk bersumsi bahwa terapi
personal terdapat asumsi sebaliknya. Studi berkaitan dengan terapi personal
dapat dikaitkan dengan kompetensi konselor yang lebih besar, sebagai mana
juga terdapat asumsi sebaliknya. Study berkaitan dengan terapi personal
mencerminksn pandangan yang seimbang ini. Misalnya, walaupun Buckley et al.
(1981) menemukan bahwa 90 persen terapis yang menjadi semple mereka melaporkan
bahwa terapi professional memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan
kepribadian dan profesioanal mereka. Peebles (1980) melaporkan bahwa terapi
personal dikaitkan dengan tingkat empati, kongruen, dan pemerintahan yang lebih
tinggi dalam terapis, sedangkan Garfield dan Bergin (1971) menarik kesimpulan
dari sebuah studi berskala kecil bahwa terapis yang tidak menerima terapi
personal lebih efektif dibandingkan yang menerimanya. Dalam sebuah studi
penting psikoanalitik psikoterapis baru di Swedia, sandell. Et al. (2000) mampu
membandingkan karakteristik personal pendidikan, supervise, dan terapi
perseorangan yang membentuk seorang terapis, yang ditemukan kurang efektif atau
sebaliknya, lebih efektif, secara klonis dalam menghadapi klien. Studi ini
mengungkapkan terapi yang kurang efektif dilaporkan menjadi terapi personal
lebih banyak ketimbang kolega mereka yang fektif. Sandell, et al.(2000)
menginterpretasikan hasil ini dengan adanya kemungkinan terapis yang merasa tidak
terlalu baik dalam menaganin klien untuk memasuki terapi personal sebagai cara
untuk meningkatkan sensitivitas dan performa mereka.
Survey di AS telah menyatakan bahwa
tiga perempat terapis telah menerima paling tidak satu kali trapi personal
(Narcross,et al. 1998). Karena itu, ada komitmen profesioanal yang tinggi dalam
praktik ini. Tidak menemukan adanya bukti berkenaan dengan kecelakaan yang terjadi dalam terapi personal terhadap
para terapi konselor. Secara khusus, biaya keuangan dan emosioanal bagi
konselor profesioanal sulit untuk di justifikasi dikarenakan rendahnya jumlah
kasus dan terbatasnya pendidikan secara umum. Tidak ada bukti riset saat ini
yang mengarah pada isu berkaitan dengan seberapa banyak sesi terapi personal
yang direkomendasikan atau dipersyaratkan bagi peserta pelatihan atau praktisi.
Terdapat pula kekurangan bukti tentang konsekuensi dari kapan terapi semacam
itu dilaksanakan (sebelum, ketika dan sesudah pelatihan). Saat ini, terapi
personal yang dituntut oleh asosiasi profesioanal dn badan lesensi didasarkan
pada kebiasaan, praktik, dan pemahaman klinis, ketimbang bukti riset.
Memeberikan terapi personal merupakan elemen pendidikan yang memiliki potensi
penting serta melanjutkan perkembangan profesioanal dalam diri konselor, dank
arena terapi tersebut amat mahal, maka tidak adanya pembuatan kebijakan riset
terinformasi menjadi yang patut disayangkan.
E.
Kompetensi
Profesional Konselor Dalam Layanan Bimbingan dan Konseling
Profesionalisme
seorang guru merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis
pengetahuan, yaitu pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan
manusia termasuk gaya belajar. Pada umumnya di sekolah-sekolah yang memiliki
guru dengan kompetensi profesional akan menerapkan “pembelajaran dengan
melakukan” untuk menggantikan cara mengajar guru di mana guru hanya berbicara
dan peserta didik hanya mendengarkan. Dalam suasana seperti ini peserta didik
dituntut untuk aktif dan dilibatkan dalam pemecaha masalah, mencari sumber
informasi, data efaluasi, serta menyajikan dan mempertahankan pandangan dan
hasil kerja mereka kepada teman mereka.
Kompetensi
profesional yaitu kemampuan yang harus dimiliki oleh guru dalam perencanaan dan
pelaksanaan proses pembelajaran. Guru mempunyai tugas untuk mengarahkan kegiatan
belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, untuk itu guru dituntut mampu
menyampaikan bahan pelajaran. Guru harus selalu memperbaharui dan menguasai
materi pelajaran yang disajikan. Persiapan diri tentang materi diusahakan
dengan jalan mencari informasi dari berbagai sumber seperti membaca buku-buku
terbaru, mengakses dari internet, selalu mengikuti perkembangan dan kemajuan
tentang materi yang akan disajikan.
Adapun
peran guru sebagai proses pembelajarn harus memiliki kemampuan:
1. Merencanakan
sistem pembelajaran
-
Merumuskan tujuan
-
Memilih prioritas
materi yang akan diajarkan
-
Memilih dan menggunakan
metode
-
Memilih dan menggunakan
sumber belajar yang ada
-
Memilih dan menggunakan
media pembelajaran
2. Melaksanakan
sistem pembelajaran
-
Memilih bentuk kegiatan
pembelajaran yang tepat
-
Menyajikan urutan
pembelajaran scara tepat
3. Mengevaluasi
sitem pembelajaran
-
Memilih dan menyusun
jenis evaluasi
-
Melaksanakan kegiatan
evaluasi sepanjang proses
-
Mengadministrasikan
hasil evaluasi
4. Mengembangkan
sistem pembejaran
-
Mengoptimalisasi
potensi peserta didik
-
Meningkatkan wawasan
kemampuan diri sendiri
-
Mengembangkan program
pembelajaran lebih lanjut
Adapun
kemampuan yang harus dimiliki guru dalam proses pembelajaran dapat diamati dari
aspek profesional, yaitu:
1. Menguasai
materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran
yang dikuasai.
2. Menguasai
standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran atau bidang pengembangan
yang dikuasai.
3. Mengembangkan
materi yang dikuasai secara kreatif.
4. Mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.
5. Memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
Kompetensi
profesional dideskripsikan menjadi beberapa indikator yaitu:
1. Menyelenggarakan
administrasi sekolah
2. Menyelenggrakan
administrasi sekolah
3. Menyelenggarakan
penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran
4. Merencanakan
sistem pembelajaran
5. Mengevaluasi
sistem pembelajaran
6. Mengembangkan
sistem pembelajaran
Konselor mesti memiliki jiwa terbuka
dan mampu mengendalikan diri. Profesional dari konselor yang dibutuhkan disini
dari seorang guru yaitu:
-
Sukarela untuk
melakukan pekerjaan ekstra
-
Telah menunjukkn dapat
menyesuaikan diri dan sabar
-
Memiliki sikap yang
yang konstruktif
-
Berkemauan untuk
melatih pekerjaan
-
Memiliki semangat untuk
memberikan layanan kepada siswa, sekolah, dan masyarakat.
Dari
hal yang telah disebutkan diatas dapat dipahami oleh guru bahwa mengajar harus
lebih dari dari sekedar bekerja. Ini adalah profesi dan karier. Mengajar adalah
kompetensi jangka panjang, untuk melakukanyang terbaik dalam membantu generasi
muda mengembangkan intelektualitas, emosional, dan perilakunya. Ini adalah
posisi yang luar biasa penting: guru yang antusiasme dan empatinya akan sangat berpengaruh dalam
kehidupan siswanya. Pada sisi terburuk, guru juga memiliki kekuatan untuk
menekan, mempermalukan, dan merusak semangat siswa. Dengan kedua sisi tersebut,
kehadiran guru telah menjadi bagian dari budaya kita dan bersifat abadi.
Di
sini konselor profesional memberikan layanan berupa pendapingan (advokasi)
pengkoordinasian, mengkolaborasi dan memberikan layanan konsultasi yang dapat
menciptakan peluang yang setara dalam meraih kesempatan dan kesuksesan bagi
konseli berdasarkan prinsip-prinsip profesionaitas:
1.
Setiap individu
memiliki hak untuk dihargai dan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh layanan
bimbingan dan konseling. Konselor memeberikan pendampingan bagi individu dari
berbagai latar belakang kehidupan yang beragam dalam budaya, etnis, agama dan
keyakinan, usia, status sosial, dan ekonomi, individu dengan kebutuhan khusus,
individu yang mengalami kendala bahasa, dan identitas gender.
2.
Setiap individu berhak
memperoleh informasi yang mendukung kebutuhannya untuk mengembangkan dirinya.
3.
Setiap individu
mempunyai hak untuk memahami arti penting dari pilihan hidup dan bagaimana
pilihan tersebut akan mempengaruhi masa depannya
4.
Setiap individu
memiliki hak untuk dijaga kerahasiaan pribadinya sesuai dengan aturan hukum,
kebijakan, dan standar etika layanan.
F.
Kode
Etik Konselor
Pengertian kode
etik adalah merupakan Kode
Etik Dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam
melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau
tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan
tata cara atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi.
Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai professional suatu profesi yang
diterjemahkan kedalam standaart perilaku anggotanya. Nilai professional paling
utama adalah keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat.
Nilai professional dapat disebut juga dengan istilah asas
etis.(Chung, 1981 mengemukakan empat asas etis, yaitu : (1). Menghargai
harkat dan martabat (2). Peduli dan bertanggung jawab (3). Integritas
dalam hubungan (4).Tanggung jawab terhadap masyarakat.
Kode etik dijadikan standart aktvitas anggota profesi, kode
etik tersebut sekaligus sebagai pedoman (guidelines). Masyarakat pun
menjadikan sebagai perdoman dengan tujuan mengantisipasi terjadinya bias
interaksi antara anggota profesi. Bias interaksi merupakan monopoli profesi.,
yaitu memanfaatkan kekuasan dan hak-hak istimewa yang melindungi kepentingan
pribadi yang betentangan dengan masyarakat. Oteng/ Sutisna (1986: 364)
mendefisikan bahwa kode etik sebagai pedoman yang memaksa perilaku etis
anggota profesi.
Sedangkan, Kode Etik Guru Pembimbing/ Konselor
Sekolah
“ Konselor harus menghormati harkat pribadi,
integritas dan keyakinan kliennya”. Apabila kode etik itu telah diterapkan maka
konselor ketika berhadapan dalam bidang apapun demi lancarnya pendidikan
diharapkan memiliki kepercayaan dengan clientnya, sehingga tidak membuat
clientnya merasa terseinggung.
Untuk
menjadi seorang konselor profesional tidak cukup hanya memiliki ilmu,
keterampilan, dan kepribadian belaka, akan tetapi harus pula memahami dan
mengaplikasikan kode etik konseling (KEK). Pada saat ini konselor sedunia
menggunakan KEK dari lembaga yang bernama American Counselor Association (ACA).
Berikut ini kutipan beberapa aspek
penting KEK dari ACA terutama untuk memantapkan hubungan konseling.
1. Menghormati
Hubungan Konseling
Hubungan
konseling amat menetukan terhadap keberhasilan proses konseling. Hubungan
konseling ditentukan oleh kepribadian, pengetahuan, dan skill konselor. Ketigas
aspek ini menyatu dalam diri konselor. Sehingga dia mampu mengelola proses
konseling dengan menciptakan hubungan konseling yang dapat melibatkan klien
untuk selalu mengeluarkan isi hati, cita-cita, kebutuhan, tekanan-tekanan
psikis, serta rencana hidup yang ingin dibangun. Maka tujuan konseling
mudah-mudahan tercapai, yaitu kesejahteraan klien (client welfare).
Dengan
kata lain tanggung jawab utama konselor adalah kesejahteraan klien. Tanggung
jawab utama lainnya adalah menghormati martabat klien (client dignity).
Martabat klien adalah suatu yang bernilai yang harus dihormati
Konselor
harus membantu meningkatkan kesejahteraan klien artinya kesejahteraan jasmani
dan rohani. Aspek jasmani misalnya kesehatan badan, peningkatan penghasilan,
menaikkan kemampuan intelektual, dll. Dengan kata lain hubungan konseling harus
mencapai hasil berupa kemajuan diri klien di bidang martabat dan kesejahteraan,
sehingga jati diri klien mencapai puncak.
Disamping
dua hal tersebut, hubungan konseling harus pula dapat meningkatkan pertumbuhan
dan perkembangan klien. Yaitu klien meningkatkan minatnya dalam kehidupan untuk
mencapai kesejahteraan.
Hubungan
konseling bukan semata-mata membantu memecahkan masalah masalah klien, akan
tetapi lebih merupakan aspek pendidikan akhlak dan kepribadian. Karena itu
peran pendidikan agama dapat difungsikan bagi konselor yang paham.
2. Menghormati
Perbedaan (Respecting Diversity)
(1)Nondiskriminasi
Konselor tidak boleh membeda-bedakan
klien tentang agama, ras, warna kulit, usia, jabatan, derajat, jenis kelamin,
status perkawinan dan sebagainya. Adalah merupakan tindakan negatif dan amat
sangat tercela jika konselor melakukan halseperti ini. Sebab perbuatan
diskriminasi akan menuai celaan dan menjauhi profesi ini oleh klien-klien
lainnya. Sebagai contoh, jika konselor hanya akan melayani orang kaya, maka dia
akan dianggap sebagai konselor materialistis.
Manfaat tindakan nondiskriminasi
akan meningkatkan popularitas profesi dan penghargaan masyarakat terhadap
profesi konselingakan naik. Dengan kata lain akuntabilitas konselor menjadi
menanjak.
(2)
Menghormati Perbedaan
Disamping nondiskriinasi, konselor
harus pula menghormati perbedaannyadengan klien dalam hal beda budaya, ras,
agama, status sosial ekonomi, dan politik. Dan yang penting dalam hal
kepercayaan dan atau agama.
3. Menghormati
Hak-Hak Klien
Ada
dua hak kien yang penting dalam hubungan konseling, pertama, keterbukaan
konselor terhadap klin; kedua, kebebasan klien untuk memilih.
Keterbukaan
konselor amat penting. Magsudnya seorang konselor tidak dibenarkan tertutup
terhadap klien yang disebabkan aroganisinya. Misalnya merasa diri tinggi,
sehingga begitu kaku, tertutup, dan jarang mengenalkan identitasnya.
Sikap
seperti ini akan berdampak terhadap klien sehingga klien itupun tertutup,
kurang mau berkomunikasi. Padahal didalam proses konseling, keterbukaan klien
adalah amat penting. Sebab dengan cara demikian dia akan mudah mengungkapkan
rahasia batin yang selama ini disimpannya.
Mengenai
kebebasan klien untuk memilih (freedom of choice), adalah hal konselor kurang
demokratis maka kebanyakan klien diatur untuk mencapai tujuan yang memuaskan
konselor. Biasanya melalui mekanisme nasehat
adapun
penerapan prinsip dalam kode etik yang dikembangkan oleh organisasi profesi
adalah sebagai berikut :
British
Association for Counselling, 1984 (dalam McLeod, John. 2003 : 435) :
1. Konselor
akan memperlakukan informasi pribadi klien dengan penuh kerahasiaan, baik itu
yang didapat secara langsung maupun tidak langsung melalui penyimpulan.
Termasuk dalam informasi tersebut adalah nama, alamat, detail riwayat hidup dan
deskripsi lain kehidupan dan kondisi peserta didik yang dapat menghasilkan
identifikasi klien.
2. Maksud
kalimat “Memperlakukan dengan penuh kerahasiaan” adalah tidak mengungkapkam
informasi yang disebutkan di atas kepada orang lain atau melalui medium publik
apapun, kecuali kepada pihak yang mewajibkan konselor memberikan laporan
pertanggung jawaban atas kerjanya (dalam kasus mereka yang bekerja dalam setting agensi atau organisasi) atau
kepada mereka yang menjadi tempat konselor menyandarkan dukungan dan
pengawasan.
3. Terlepas
dari poin di atas, apabila konselor yakin bahwa peserta didik dapat
membahayakan orang lain, mereka akan memberitahukan kepada klien bahwa mereka
dapat membatalkan kerahasiaan tersebut dan mengambil tindakan yang sesuai untuk
memperingatkan seseorang atau pihak yang berwenang.
4. Informasi
tentang peserta didik tentunya hanya dapat digunakan untuk dipublikasikan dalam
jurnal yang tepat atau sesuai dengan izin peserta didik dan dengan tidak
menyebutkan nama tertentu.
5. Diskusi
konselor berkenaan dengan peserta didik tertentu dengan kolega profesionalnya
harus memiliki tujuan dan tidak sekedar berbincang-bincang.
G.
Peranan
stakeholder pendidikan dalam layanan Bimbingan dan Konseling
1.
Pengertian stakeholder
pendidikan
Stakeholder awalnya digunakan dalam
dunia kerja dan usaha, terdiri dari dua kata stake dan holder. Stake berarti to give support to, holder
berarti pemegang. Sehingga, Pengertian stakeholder dalam pendidikan dapat
diartikan sebagai orang yang menjadi pemegang dan sekaligus pemberi support terhadap pendidikan atau lembaga
pendidikan. Kalau lembaga pendidikan itu berupa sekolah, maka stakeholdernya
adalah birokrasi pendidikan (dinas pendidikan), pengawas, kepala sekolah, guru,
komite sekolah, dewan sekolah, masyarakat, dunia usaha dan dunia industri.
Dengan kata lain, stakeholder adalah orang-orang yang berkepentingan langsung
atau tidak langsung terhadap kegiatan pendidikan di sekolah. Definisi lain
mengatakan bahwa stakeholder merupakan adalah pemegang atau pemangku
kepentingan. Orang per orang atau kelompok tertentu yang memiliki kepentingan
apapun terhadap sebuah obyek yang disebut stakeholder.
Stakeholder
pendidikan dibagi dalam tiga kategori utama, yaitu :
a. Sekolah,
terdiri dari para guru, kepala sekolah, murid dan tata usaha sekolah.
b. Pemerintah
diwakili oleh para pengawas, pemilik, dinas pendidikan, walikota sampai menteri
pendidikan nasional.
c. Masyarakat,
terdiri dari orangtua murid, pengamat dan ahli pendidikan, lembaga swadaya
masyarakat, perusahaan atau badan yang membutuhkan tenaga terdidik (DUDI), toko
buku, kontraktor pembangunan sekolah, penerbit buku, penyedia alat pendidikan,
dan lain-lain.
2.
Peran stakeholder dalam
pendidikan
Peran
serta stakeholder pendidikan dalam suatu perencanaan adalah hal yang sangat
penting, sehingga akan nampak pada peningkatan profesionalitas guru. Hal ini
sesuai dengan keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 bahwa
stakeholder pendidikan yaitu, dewan pendidikan dan komite sekolah dalam
kaitannya dengan hal di atas mereka memiliki 4 peran, yaitu :
a.
Peran sebagai pemberi pertimbangan atau nasihat (Advisory Agency)
Peran
ini menunjukkan respon dan keikutsertaan dewan pendidikan dan komite sekolah
dalam memajukkan dan kualitas penyelenggaraan pendidikan di daerah dan di
sekolah. Adapun bentuk aktivitas dewan pendidikan dan komite sekolah, yaitu :
1) Pemberi pertimbangan mengenai
program dan kegiatan yang disusun dalam rencana pembangunan pendidikan tingkat
kabupaten atau kota dan RKS serta RKT tingkat satuan pendidikan.
2) Memberikan pertimbangan untuk
guru dalam pelaksanaan tugas supaya tidak sewenang-wenagn dalam menangani
siswa. Contohnya pemberian hukuman.
3) memberi pertimbangan dalam
pengingkatan disiplin guru gan memberi solusibagi kesulitan yang dihadapi guru.
4) memberi pertimbagnan dalam
mengembangkan bakat dan minat siswa.
b. Peran
sebagai badan pendukung (Supporting
Agency)
Peran
pendukung dewan pendidikan dan komite sekolah berkaitan dengan internal
manajemen sekolah :
1)
Mendata jumlah guru yang memerlukan pendidikan, latihan dan
kualifikasi pendidikan.
2)
Mendata jumlah siswa dan nilai prestasi, guru dan komite
sekolah.
3)
Pelatihan mengenai mata pelajaran dan layanan belajar bagi
guru yang membutuhkan.
4)
Mendukung program pengayaan bagi siswa yang lebih pintar dan
remedial bagi siswa yang belum mencapai hasil sesuai syarat.
5)
Menyediakan tropi dan hadian atas keberhasilan siswadalam
perlombaan.
6)
Dalam meningkatkan kualitas n sarana dan prasarana dalam
memberikan layanan belajar.
7)
Membuat media belajar sesuai dengan kebutuhan belajar.
8)
Kebun percontohan sekolah.
9)
Memaksimalkan anggaran operasional dari APBD, bantuan
masyarakat dan mendorong penggunaan anggaran yang bersumber dari dana BOS
dengan mengimplementasikan program dan kegiatan yang tepat sasaran.
Pertanggung jawaban pelaksanaan kegiatan harus disampaikan
pada publik atau stakeholder pendidikan. Dewan komite dapat memberikan
rekomendasi yang objektif dalam peningkatan kualitas layanan bimbingan dan
konseling.
c. Peran sebagai pengontrol (Controlling Agency)
Aktivitas
dewan pendidikan dan komite sekolah adalah sebagai berikut:
1)
Menanyakan proses belajar mengajar (guru dan kepala sekolah)
apakah sudah mengarah pada standar yang sesuai syarat.
2)
Menanyakan kondisi kesehatan, gizi dan bakat peserta didik.
3)
Memantau pelaksanaan rencana kegiatan sekolah (RKS) dan
rencana kegiatan tahunan (RKT).
4)
Ikut serta dalam penyusunan RKS dan RKT.
5)
Memantau penggunaan anggaran yang bersumber dari dana BOS.
6)
Ikut dalam rapat pembagian raport.
7)
Mengontrol kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan
lainnya.
8)
Mengontrol pelaksanaan PBM dengan memakai kartu data sesuai
perlindungan anak.
d. Peran sebagai penghubung (Mediating Agency)
Pusat pendidikan adalah keluarga,
sekolah da masyarakat harus saling bekerja sama secara sinergis untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Untuk dapat bekerja secara sinergis harus ada
yang menghubungkan antara keluarga, sekolah dan masyarakat disinilah peran dari
mediating agency. Peran penghubung
menunjukkan bahwa dewan pendidikan dan komite sekolah, ialah :
1)
Menghubungkan dengan instansi pemerintah.
2)
Menghubungi orang tua siswa yang mampu untuk memina
kesediaannya menjadi donatur atau bantuan lainnya yang disetujuinya untuk
keperluan sekolah atau dengan menjelaskan program kerja yang akan dilakukan
oleh sekolah.
3)
Mencari informasi yang bisa dipakai oleh sekolah untuk
mengembangkan sekolah.
4)
Memberi laporan kepada masyarakat tentang keuangan dan pelaksanaan
program.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kompetensi
pengetahuan seorang konselor meliputi pengetahuan mengenai Apa yang dimaksud
dengan pengawas konselor, persyaratan bagi seorang pengawas konselor, tugas
pokok seorang pengawas konselor, fungsi pengawas konselor, serta hak dan
kewenangan seorang pengawas konselor.
Kompetensi kepribadian merupakan
kemampuan, kecakapan dan keterampilan yang ditampilkan seseorang. Foker
menyatakan bahwa ”kompetensi kepribadian yang dimiliki oleh konselor adalah
berjiwa pendidik, terbuka, mampu mengembangkan diri dan memiliki integritas
kepribadian”.
Kompetensi kepribadian yang harus dimiliki konselor adalah jiwa pendidik yang
terbuka, mampu mengembangkan diri dan memiliki integritas kepribadian. Konselor
mesti memiliki jiwa terbuka dan mampu mengendalikan diri. Kepribadian konselor
tersebut melibatkan hal seperti nilai, semangat bekerja, sifat atau
karakteristik, dan tingkah laku.
Profesionalisme
seorang guru merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis
pengetahuan, yaitu pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan
manusia termasuk gaya belajar. konselor profesional memberikan layanan berupa
pendapingan (advokasi) pengkoordinasian, mengkolaborasi dan memberikan layanan
konsultasi yang dapat menciptakan peluang yang setara dalam meraih kesempatan
dan kesuksesan bagi konseli berdasarkan prinsip-prinsip profesionaitas.
Untuk
menjadi seorang konselor profesional tidak cukup hanya memiliki ilmu,
keterampilan, dan kepribadian belaka, akan tetapi harus pula memahami dan
mengaplikasikan kode etik konseling (KEK). Pada saat ini konselor sedunia
menggunakan KEK dari lembaga yang bernama American Counselor Association (ACA).
Stakeholder
awalnya digunakan dalam dunia kerja dan usaha, terdiri dari dua kata stake dan holder. Stake berarti to give support to, holder berarti pemegang. Sehingga, Pengertian stakeholder dalam
pendidikan dapat diartikan sebagai orang yang menjadi pemegang dan sekaligus
pemberi support terhadap pendidikan
atau lembaga pendidikan. Kalau lembaga pendidikan itu berupa sekolah, maka
stakeholdernya adalah birokrasi pendidikan (dinas pendidikan), pengawas, kepala
sekolah, guru, komite sekolah, dewan sekolah, masyarakat, dunia usaha dan dunia
industri. Dengan kata lain, stakeholder adalah orang-orang yang berkepentingan
langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan pendidikan di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Willis,
Sofyan. (2009). Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung : CV. Alfabeta.
McLeod,
John. (2003). Pengantar Konseling Teori
dan Studi Kasus. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Partin,
Ronald. (2012). Kiat Nyaman Mengajar di
Dalam Kelas. Jakarta : PT. Indeks.
Sukardi,
D. Ketut. (2008). Proses Bimbingan dan
Konseling di Sekolah. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Winkel,
S. W. Bimbingan dan Konseling Di Sekolah
Menengah. Jakarta : PT. Gramedia.
Wordpress.
(2012). Stakeholder dan produk jasa
organisasi pendidikan. [Online]
Tersedia : http://aplia08.wordpress.com/2012/03/07/stakeholder-dan-produk-jasa-organisasi-pendidikan/.
[14 Maret 2013]
Mardhatillah,
Fitrah. (2012). Kepribadian Konselor.
[Online]
Tersedia :
kepribadiankonselor.blogspot.com/2012/11/kompetensi-kepribadian-konselor/
[14 Maret 2013].
Guru.
(2012). Kompetensi Profesional Guru.
[Online]
Guru. Definisi Konseptual, Operasional, Dimensi
dan Indikator Kompetensi Guru [Online]
Tersedia : http://tesisdisertasi.blogspot.com/2011/03/definisi-konseptual-operasional-dimensi_23.html?m=1.
[14 Maret 2013].
Depdiknas. (2009).
Pedoman Pelaksanaan Tugas Guru dan Pengawas. [Online]
Tersedia : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/11/15/tugas-guru-bk-dan-pengawas-bk/)
[14 Maret 2013].
No comments:
Post a Comment