10/05/2015

MAKALAH KOMPETENSI DAN DAMPAK LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Globalisasi yang sedang melanda kehidupan pada abad ini menjadikan berbagai pengaruh dalam perubahan kehidupan. Perubahan yang terjadi merupakan pengaruh dari berbagai elemen dalam era globalisasi tersebut. Tak dipungkiri setiap manusia tidak bisa menghindari pengaruh globalisasi, mengingat pengaruh globalisasi terjadi hampir pada seluruh aspek kehidupan yang menyentuh pada seluruh lapisan masyarakat.
Adanya pengaruh globalisasi ini sedikit banyak berpengaruh pada pola hidup masyarakat. Aspek psikologis merupakan salah satu hal yang secara langsung maupun tidak langsung cukup dipengaruhhi oleh globalisasi. Mobilitas yang semakin dinamin menghasilkan suatu etos kerja yang kompetitif, persaingan yang tak selalu sehat, tuntutan hidup yang menuntut, serta masalah psikologis lainnya yang berdampak bagi kehidupan seseorang.
Kaitan kehidupan sehari-hari dan psikologis dapatlah kita mengambil contoh dalam dunia pendidikan. Globalisasi pun begitu erat kaitannya dengan pendidikan. Dalam pendidikan sendiri terdapat profei sendiri dalam menangani psikologis klien atau peserta didik, yaitu seorang konselor.
Dalam kajian makalah ini kami memaparkan mengenai profesi konselor. Bagaimana standar kompetensi seorang konselor dalam beberapa kriteria kelayakan seorang konselor. Serta, kekuatan dalam pengorganisasian manajemen sekolah dalam membingkai layanan bimbingan dan konseling yang harus pula dilakukan oleh seluruh warga sekolah.
Layanan bimbingan dan konseling di sekolah sangatlah penting dalam proses perkembangan peserta didik. Sehingga, diharapkan peserta didik dapat sehat secara fisik maupun psikologisnya yang akan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari yang lebih baik dan seimbang dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana kompetensi pengetahuan seorang konselor dalam layanan bimbingan dan konseling?
2.      Bagaimana kompetensi pribadi seorang konselor dalam layanan bimbingan dan konseling?
3.      Bagaimana kompetensi profesional seorang konselor dalam layanan bimbingan dan konseling?
4.      Apa saja kode etik profesi konselor?
5.      Apa dampak layanan bimbingan dan konseling terhadap stakeholder pendidikan?

C.     TUJUAN
1.      Menjadikan pembahasan ini sebagai salah satu kriteria dalam menentukan standar dalam keprofesional seorang konselor.
2.       Pemahaman ranah kerja bagi seorang konselor dan peran serta seluruh warga sekolah dalam memberikan layanan da konsleing.
3.      Diharapkan pengorganisasian dan manajemen sekolah semakin profesional.
4.      Pemahaman mengenai kode etik dalam dunia konselor.
5.      Memiliki pengetahuan mengenai standar kompetensi konselor.






BAB II
KOMPETENSI DAN DAMPAK LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING
A.       Pengertian Kompetensi
Kompetensi mengandung pengertian pemilikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan tertentu (Rustyah, 1982). Kompetensi dimaknai pula sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir, dan bertindak. Kompetensi dapat pula dimaksudkan sebagai kemampuan melaksanakan tugas yang diperoleh melalui pendidikan dan atau latihan (Herry, 1998 dalam http://wawan-junaidi.blogspot.com/2011/07/pengertian-kompetensi.html (17 Maret]).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal.
Menurut Finch dan Crunkilton dalam Mulyasa (2004: 38) bahwa yang dimaksud dengan kompetensi adalah penguasaan terhadap suatu tugas, ketrampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Hal itu menunjukkan bahwa kompetensi mencakup tugas, ketrampilan sikap dan apresiasi yang harus dimiliki peserta didik untuk dapat melaksanakan tugas - tugas pembelajaran sesuai dengan jenis pekerjaan tertentu. Sedangkan menurut Broke dan Stone (Uzer Usman, 2007:14) kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak sangat berarti.
Kompetensi menurut UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan: pasal 1 (10), “Kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan”.
B.       Kompetensi Konselor
Rumusan Standar Kompetensi Konselor telah dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor. Namun bila ditata ke dalam empat kompetensi pendidik sebagaimana tertuang dalam PP 19/2005, maka rumusan kompetensi akademik dan profesional konselor dapat dipetakan dan dirumuskan ke dalam kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional sebagai berikut.
KOMPETENSI INTI
KOMPETENSI
A.     KOMPETENSI PEDAGOGIK
1. Menguasai teori dan praksis pendidikan

1.1 Menguasai ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya
1.2 Mengimplementasikan prinsip-prinsip pendidikan dan proses pembelajaran
1.3 Menguasai landasan budaya dalam praksis pendidikan

2. Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologis serta perilaku konseli

2.1 Mengaplikasikan kaidah-kaidah perilaku manusia, perkembangan fisik dan psikologis individu terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan
2.2 Mengaplikasikan kaidah-kaidah kepribadian, individualitas dan perbedaan konseli terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan
2.3 Mengaplikasikan kaidah-kaidah belajar terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan
2.4 Mengaplikasikan kaidah-kaidah keberbakatan terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan
2.5. Mengaplikasikan kaidah-kaidah kesehatan mental terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan

3. Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenis, dan jenjang satuan pendidikan

3.1 Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jalur pendidikan formal, nonformal dan informal
3.2 Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenis pendidikan umum, kejuruan, keagamaan, dan khusus



3.3 Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah, serta tinggi.


B. KOMPETENSI KEPRIBADIAN

4. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

4.1 Menampilkan kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
4.2 Konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan toleran terhadap pemeluk agama lain
4.3 Berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur

5. Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas dan kebebasan memilih

5.1 Mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi
5.2 Menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya
5.3 Peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya
5.4 Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya.
5.5 Toleran terhadap permasalahan konseling
5.6 Bersikap demokratis.

6. Menunjukkan integritasdan stabilitas kepribadian yang kuat

6.1 Menampilkan kepribadian dan perilaku yang terpuji (seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan konsisten )
6.2 Menampilkan emosi yang stabil.
6.3 Peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan 6.4 Menampilkan toleransi tinggi terhadap konseli yang menghadapi stres dan frustasi

7. Menampilkan kinerja berkualitas tinggi

7.1 Menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif
7.2 Bersemangat, berdisiplin, dan mandiri 7.3 Berpenampilan menarik dan menyenangkan
7.4 Berkomunikasi secara efektif


C. KOMPETENSI SOSIAL

8. Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja

8.1 Memahami dasar, tujuan, organisasi, dan peran pihak-pihak lain (guru, wali kelas, pimpinan sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah) di tempat bekerja
8.2 Mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak-pihak lain di tempat bekerja
8.3 Bekerja sama dengan pihak-pihak terkait di dalam tempat bekerja (seperti guru, orang tua, tenaga administrasi)

9. Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling

9.1 Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi
9.2 Menaati Kode Etik profesi bimbingan dan konseling
9.3 Aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan profesi

10. Mengimplementasikan kolaborasi antarprofesi

10.1 Mengkomunikasikan aspek-aspek profesional bimbingan dan konseling kepada organisasi profesi lain
10.2 Memahami peran organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling
10.3 Bekerja dalam tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain.
10.4 Melaksanakan referal kepada ahli profesi lain sesuai dengan keperluan


D. KOMPETENSI PROFESIONAL

11. Menguasai konsep dan praksis asesmen untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah konseli

11.1 Menguasai hakikat asesmen
11.2 Memilih teknik asesmen, sesuai dengan kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling
11.3 Menyusun dan mengembangkan instrumen asesmen untuk keperluan bimbingan dan konseling
11.4 Mengadministrasikan asesmen untuk mengungkapkan masalah-masalah konseli. 11.5 Memilih dan mengadministrasikan teknik asesmen pengungkapan kemampuan dasar dan kecenderungan pribadi konseli.
11.6 Memilih dan mengadministrasikan instrumen untuk mengungkapkan kondisi aktual konseli berkaitan dengan lingkungan
11.7 Mengakses data dokumentasi tentang konseli dalam pelayanan bimbingan dan konseling
11.8 Menggunakan hasil asesmen dalam pelayanan bimbingan dan konseling dengan tepat
11.9 Menampilkan tanggung jawab profesional dalam praktik asesmen

12. Menguasai kerangka teoretik dan praksis bimbingan dan konseling

12.1 Mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbingan dan konseling.
12.2 Mengaplikasikan arah profesi bimbingan dan konseling.
12.3 Mengaplikasikan dasar-dasar pelayanan bimbingan dan konseling.
12.4 Mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja.
12.5 Mengaplikasikan pendekatan /model/jenis pelayanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling.
12.6 Mengaplikasikan dalam praktik format pelayanan bimbingan dan konseling.

13. Merancang program Bimbingan dan Konseling

13.1 Menganalisis kebutuhan konseli
13.2 Menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan berdasar kebutuhan peserta didik secara komprehensif dengan pendekatan perkembangan
13.3 Menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan konseling
13.4 Merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program bimbingan dan konseling

14. Mengimplementasikan program Bimbingan dan Konseling yang komprehensif

14.1 Melaksanakan program bimbingan dan konseling.
14.2 Melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam pelayanan bimbingan dan konseling.
14.3 Memfasilitasi perkembangan akademik, karier, personal, dan sosial konseli
14.4 Mengelola sarana dan biaya program bimbingan dan konseling

15. Menilai proses dan hasil kegiatan Bimbingan dan Konseling.

15.1 Melakukan evaluasi hasil, proses, dan program bimbingan dan konseling 15.2 Melakukan penyesuaian proses pelayanan bimbingan dan konseling. 15.3 Menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait
15.4 Menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling

16. Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional

16.1 Memahami dan mengelola kekuatan dan keterbatasan pribadi dan profesional.
16.2 Menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan kewenangan dan kode etik profesional konselor
16.3 Mempertahankan objektivitas dan menjaga agar tidak larut dengan masalah konseli.
16.4 Melaksanakan referal sesuai dengan keperluan
16.5 Peduli terhadap identitas profesional dan pengembangan profesi
16.6 Mendahulukan kepentingan konseli daripada kepentingan pribadi konselor
16.7 Menjaga kerahasiaan konseli

17. Menguasai konsep dan praksis penelitian dalam bimbingan dan konseling

17.1 Memahami berbagai jenis dan metode penelitian 17.2 Mampu merancang penelitian bimbingan dan konseling 17.3 Melaksaanakan penelitian bimbingan dan konseling 17.4 Memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan konseling dengan mengakses jurnal pendidikan dan bimbingan dan konseling



C.       Kompetensi Pengetahuan Konselor Dalam Layanan Bimbingan dan Konseling
Pada masa ini, kemajuan zaman semakin berkembang. Kecanggihan teknologi pun semakin meningkat. Tantangan kehidupanpun akan semakin besar, karena daya saing dari setiap individu yang akan semakin tinggi. Kemampuan individu ini, tidak terlepas dari latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Pendidikan adalah satu langkah yang cukup menentukan keberhasilan individu. Maka dari itu pemerintah menyusun langkah-langkah guna pendidikan dapat mencetak generasi-generasi penerus bangsa yang siap dengan tantangan-tantangan dunia global.
Untuk memajukan dunia pendidikan ini, tentunya pemerintah membuat serangkaian pedoman dalam pelaksanaan pendidikan. Pedoman ini berkaitan dengan hal ihwal yang berkaitan dalam pendidikan, seperti salah satunya tenaga kependidikan. Segala peraturan, persyaratan tentaang tenaga pendidikan, disusun sedemikian rupa agar siswa-siswa di negara ini benar-benar mendapatkan pendidikan yang baik. Agar berjalannya pendidikan yang diharapkan, pemerintah melakukan pengawasan dalam proses-prosesnya. Dengan terpantaunya setiap kegiatan yang ada di dalam pendidikan, pemerintah mengharapkan kegiatan pendidikan dilakukan sesuai dengan pedoman yang telah dikeluarkan. Maka dari itu, disusunlah makalah yang berjudul “Peranan Pengawas dalam Organisasi Bimbingan”. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai persyaratan dan fungsi pengawas dalam organisasi bimbingan/pendidikan.
Untuk menjadi seorang konselor kita harus mengetahui pengetahuan mengenai Apa yang dimaksud dengan pengawas konselor,  apa saja persyaratan bagi seorang pengawas konselor, apa saja yang menjadi tugas pokok bagi seorang pengawas konselor, apa saja fungsi pengawas konselor, apa saja hak dan kewenangan seorang pengawas konselor ?
1.   Persaratan bagi Konselor
            Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi pengawas. Setiap pengawas dituntut memiliki kemampuan dasar atau pengetahuan tertentu yang berbeda dengan tenaga kependidikan lainnya. Kemampuan dasar tersebut dinamakan kompetensi. Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, kecakapan atau kapabilitas yang dicapai seseorang, yang menjadi bagian dari keberadaaanya sampai ia mampu menginerjakan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor tertentu secara optimal, (Sudjana dalam Anas, 200).
            Dapat juga dikatakan bahwa kompetensi merupakan perpaduan dari kemampuan, pengetahuan, kecakapan, sikap, sifat, pemahaman, apresiasi, dan harapan yang mendasari karakteristik seseorang untuk berunjuk kerja dalam menjalankan tugas atau pekerjaannya guna mencapai standar kualitas dalam pekerjaan nyata. Kompetensi juga merujuk pada kecakapan seseorang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diamanatkan kepadanya dengan hasil baik dan piawai.
Kompetensi dapat dikategorikan menjadi tiga aspek, yaitu :
a.       Kemampuan, pengetahuan, kecakapan, sikap, sifat, pemahaman, apresisi dan harapan yang menjadi ciri dan karateristik seseorang dalam menjalankan tugas.
b.      Ciri dan karateristik kompetensi yang digambarkan dalam aspek pertama itu tampil nyata (manifest) dalam tindakan, tingkah laku, dan unjuk kerjanya.
c.       Hasil unjuk kerjanya itu memenuhi suatu criteria standar kualitas tertentu.
            Secara umum, kompetensi pengawas  merupakan seperangkat kemampuan, baik berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dituntut untuk jabatan professional sebagai pengawas. Seperangkat kemampuan yang hasrus dimiliki pengawas tersebut searah dengan kebutuhan manajemen pendidikan di sekolah, kurikulum, tuntunan masyarakat, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kompetensi pengawas berarti kesesuaian antara kemampuan, kecakapan, dan kepribadian pengawas dengan perilaku dan tindakan atau kemampuan yang mumpuni dalam melaksanakan tugas berkaitan dengan kativitas-aktivitas yang menjadi tanggung jawabnya sebaga pengawas. Dengan demikian, kompetensi pengawas merupakan himpunan pengetahuan, kemampuan, dan keyakinan yang dimilki pengawas dan ditampilkan dalam tindakannya untuk peningkatan mutu pendidikan/sekolah.
            Kompetensi pengawas satuan pendidikan mengacu pada standar kompetensi tenaga kependiikan, sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005, yang mencakup kompetensi pedagogic, kepribadian, kompetensi professional, dan kompetensi sosial. Selain standar kompetensi, diberlakukan pula sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon pengawas. Ada dua kategori persyarana calon pengawas sekolah, yakni persyaratan administrasi dan persyaratan akademik.

2.      Tugas Pokok Pengawas Bimbingan dan Konseling
a.       Penyusunan Program Pengawasan Bimbingan dan Konseling
Setiap pengawas baik secara berkelompok maupun secara perorangan wajib menyusun rencana program pengawasan. Program pengawasan terdiri atas (1) program pengawasan tahunan, (2) program pengawasan semester, dan (3) rencana kepengawasan akademik (RKA).
b.       Melksanakan Pembinaan, Pemantauan dan Penilaian
Kegiatan supervisi bimbingan dan konseling meliputi pembinaan dan pemantauan pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan kegiatan dimana terjadi interaksi langsung antara pengawas dengan guru biasanya, melaksanakan penilaian adalah menilai kinerja guru dalam merencanakan, melaksanakan dan menilai proses pembimbingan, kegiatan ini dilakukan di sekolah binaan, sesuai dengan uraian kegiatan dan jadwal yang tercantum dalam RKBK yang telah disusun
c.        Menyusun Laporan Pelaksanaan Program Pengawasan
Setiap pengawas membuat laporan dalam bentuk laporan per sekolah dari seluruh sekolah binaan. Laporan ini lebih ditekankan kepada pencapaian tujuan dari setiap butir kegiatan pengawasan sekolah yang telah dilaksanakan pada setiap sekolah binaan, penyusunan laporan oleh pengawas merupakan upaya untuk mengkomunikasikan hasil kegiatan atau keterlaksanaan program yang telah direncanakan, menyusun laporan pelaksanaan program pengawasan dilakukan oleh setiap pengawas sekolah dengan segera setelah melaksanakan pembinaan, pemantauan atau penilaian.
d.       Melaksanakan pembimbingan dan pelatihan profesionalitas guru BK.
Kegiatan pembimbingan dan pelatihan profesionalitas guru BK dilaksanakan paling sedikit 3 (tiga) kali dalam satu semester secara berkelompok di Musyawarah Guru Pembimbing (MGP). Kegiatan dilaksanakan terjadwal baik waktu maupun jumlah jam yang diperlukan untuk setiap kegiatan sesuai dengan tema atau jenis keterampilan dan kompetensi yang akan ditingkatkan. Dalam pelatihan diperkenalkan kepada guru cara­-cara baru yang lebih sesuai dalam melaksanakan suatu proses pembimbingan. Kegiatan pembimbingan dan pelatihan profesionalitas guru BK ini dapat dilakukan melalui workshop, seminar, observasi, individual dan group conference.

3.      Fungsi Pengawas Konselor
Dalam buku, “Bimbingan dan Konseling di sekolah,” terbitan direktor tenaga kependidikan dirjen peningkatan mutu pendidik dan tenaga keppendidikan, Depdiknas, (2008:33), dijelaskan bahwa pengawas (TK/SD) hendaknya memahami struktur program bimbingan dan konseling dan dapat memberikan pembinaan dan pengawasan agar sekolah memiliki program bimbingan dan konseling yang dapat dilaksanakan dengan baik.
            Pengawas melakukan pembinaan dan pengawasan dengan melakukan diskusi terfokus berkenaan dengan ketersediaan personal konselor sesuai dengan kebutuhan (berdasarkan jumlah siswa) serta upaya-upaya untuk memenuhi ketersediaan konselor, optimalisasi peran, dan fungsi personal sekolah dalam layanan bimbingan dan konseling, serta mekanisme layanan sesuai dengan peran dan fungsi.
Pengawasan bimbingan dan konseling di sekolah diselenggarakan oleh pengawas sekolah sesuai SK menpan No. 118/1996 dan petunjuk pelaksanaannya. Kegiatan pengawasan bimbingan dan konseling disekolah melibatkan guru pembimbing dan pengawas sekolah dibawah koordinasi kepala sekolah. Guru pembimbing menyiapkan pala sekolah. Guru pembimbing menyiapkan diri dan bahan-bahan secukupnya untuk kegiatan pengawasan, sedangkan koordinator BK mengoordinasikan guru-guru pembimbing dalam menyiapkan diri untuk kegiatan pengawasan.
Guru pembimbing mengikuti dengan cermat penilaian dan pembinaan dalam kegiatan pengawasan. Adapun kepala sekolah mendorong dan memberikan fasilitas untuk terlaksananya kegiatan pengawasan secara obyektif dan dinamis demi meningkatnya mutu bimbingan dan konseling.
Mengacu pada buku pedoman kepengawasan oleh prof. Nana Sujana, dkk., untuk melaksanakan tugas kepengawasan, dbidang bimbingan dan konseling atau secara umum sebagai pengawas sekolah, pengawas harus melaksanakan fungsi supervisi, baik supervisi akademik maupun supervisi manajerial. Supervisi akademik adalah fungsi supervisi yang berkenaan dengan aspek pembinaan dan pengembangan kemampuan profesional guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran dan bimbingan di sekolah.
4.      Hak dan Kewenangan Pengawas Konselor
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pengawas sekolah/satuan pendidikan, setiap pengawas memiliki kewenangan dan hak-hak yang melekat pada jabatannya. Beberapa kewenangan yang ada pada pengawas adalah kewenangan untuk:
a.       Bersama pihak sekolah yang dibinanya, menentukan program peningkatan mutu pendidikan di sekolah binaannya.
b.      Menyusun program kerja/agenda kerja kepengawasan pada sekolah binaannya dan membicarakannya dengan kepala sekolah yang bersangkutan,
Menentukan metode kerja untuk pencapaian hasil optimal berdasarkan program kerja yang telah disusun.
c.       Menetapkan kinerja sekolah, kepala sekolah dan guru serta tenaga kependidikan guna peningkatan kualitas diri dan layanan pengawas.
 Hak yang seharusnya diperoleh pengawas sekolah yang profesional adalah :
a.       Menerima gaji sebagai pegawai negeri sipil sesuai dengan pangkat dan golongannya,
b.      Memperoleh tunjangan fungsional sesuai dengan jabatan pengawas yang dimilikinya,
c.       Memperoleh biaya operasional/rutin untuk melaksanakan tugas-tugas kepengawasan seperti; transportasi, akomodasi dan biaya untuk kegiatan            tttt kepengawasan.
d.      Memperoleh tunjangan profesi pengawas setelah memiliki sertifikasi pengawas.
e.       Menerima subsidi dan insentif untuk menunjang pelaksanaan tugas dan pengembangan profesi pengawas.
f.        Memperoleh tunjangan khusus bagi pengawas yang bertugas di daerah terpencil, rawan kerusuhan dan atau daerah bencana alam.
Semua biaya hak di atas dibebankan pada Pemerintah Pusat dan Daerah.    Sedangkan tunjangan kesejahteraan diharapkan diberikan oleh pemerintah daerah. Besarnya tunjangan-tunjangan di atas disesuaikan dengan kemampuan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

D.   Kompetensi Pribadi Konselor Dalam Layanan Bimbingan dan Konseling
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan, kecakapan dan keterampilan yang ditampilkan seseorang. Menurut Mungin Eddy Wibowo kompetensi kepribadian adalah “kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan, dan berakhlak mulia”.  Dari pendapat di atas menyatakan bahwa kompetensi kepribadian adalah suatu kemampuan pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, bisa menjadi teladan dan berakhlak mulia yang harus dimiliki oleh konselor, sebagai pembimbing atau pendidik di sekolah.
Foker (dalam kepribadiankonselor.blogspot.com/2012/11/kompetensi-kepribadian-konselor [14 Maret 2013])  menyatakan bahwa ”kompetensi kepribadian yang dimiliki oleh konselor adalah berjiwa pendidik, terbuka, mampu mengembangkan diri dan memiliki integritas kepribadian”. Kompetensi kepribadian yang harus dimiliki konselor adalah jiwa pendidik yang terbuka, mampu mengembangkan diri dan memiliki integritas kepribadian.
Konselor mesti memiliki jiwa terbuka dan mampu mengendalikan diri. Kepribadian konselor tersebut melibatkan hal seperti nilai, semangat bekerja, sifat atau karakteristik, dan tingkah laku. Sanusi menyatakan bahwa “kemampuan kepribadian guru  meliputi beberapa hal sebagai berikut:
1)    Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru
2)    Pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang guru
3)    Penampilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya.
  Pernyataan di atas menjelaskan bahwa, seorang guru harus menerapkan kemampuan kepribadian di mana saja berada seperti, selalu berpandangan positif terhadap semua orang, berlaku adil, dan dapat berpenampilan yang menarik peserta didik menjadi aman dan nyaman dengan pendidik, karena guru di sekolah merupakan panutan dan teladan bagi peserta didik. Hal itu sama dengan konselor, konselor dituntut untuk selalu perpandangan positif terhadap orang lain khususnya siswa, memiliki pemahaman yang baik serta berpenampilan yang sopan dan rapi kerena konselor akan menjadi contoh, panutan dan teladan bagi peserta didik di sekolah dan masyarakat pada umumnya.
Secara rinci Dede Sugita menyatakan bahwa “setiap elemen kepribadian tersebut dapat dijabarkan menjadi subkompetensi dan indikator esensial sebagai berikut:
1) Memiliki kepribadian yang mantap dan stabil
2) Memiliki kepribadian yang dewasa.
3) Memiliki kepribadian yang arif
4) Memiliki kepribadian yang berwibawa.
5) Memiliki akhlak mulia dan menjadi teladan”.
Senada dengan pendapat di atas, Mungin Eddy Wibowo menyatakan bahwa “kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi orang lain dan berakhlak mulia”. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi kepribadian konselor adalah kemampuan, keterampilan yang harus dimiliki oleh konselor di sekolah  dalam bersikap, bertindak dengan pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, berakhlak mulia dan menjadi teladan bagi orang lain.
            Berdasarka kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sebagai mahkluk tuhan. Ia wajib menguaai pengetahuan yang akan diajarkanmya kepada peserta didik secara benar dan bertanggung jawab. Ia harus memiliki pengetahuan penunjang tentang kondisi fisiologis, psikologis, dan pedagogic dari peserta didik yang dihadapinya. Beberapa kopetensi pribadi yang semestinya ada pada seorang guru , yaitu memiliki pengetahuan tentang materi pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, mempunyai pengetahuan tentang perkembangan peserta didik serta kemampuan untuk memperlakukan mereka secra individual. 
            Berlawanan dengan sedikitnya riset terhadap kompetensi kognitif atau konseptual, terhadap sejumlah besar riset substansi yang menjadi dasar pembahasan nilai penting factor kepribadian dan kesehatan mental umum sebagai variable yang dikaitkan dengan efektifitas konseling. Studi ini berkontribusi pada dua isu utama : mengidentifikasikan karakteristik kepribadian terafis yang efektif , dan memberikan penilaian terhadap nilai terapi personal bagi praktisi. Sebagia besar pekerjaan dalam bidang ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan dukungan terhadap kritik keterampilan atau pedekatan berorientasi teknik. Semngat tang mendasari studi ini digambarkan oleh McConnaughy (1987 : 304) dalam pernyataannya bahwa :
“Teknik actual yang digunakan oleh terapis kurang penting dibandingkan dengan karakter dan kepribadian unik terapis itu sendiri. Terapis memilih teknik dan teori berdasarkan “siapa mereka” sebagai seoranng individu. Dengan kata lain, strategi terapi tersebut merupakan manifestasi kepribadian terapis. Dengan demikian, sebagai individu, terapis merupakan instrument pengaruh utama dalam bidang terapi. Konsekuensi dari prinsip ini adalah semakin terapis menerima dan menilai dirina sendiri, semakin efektif ia dalam membantu klien untuk mengetahui dan mengharga dirinya sendiri.”
Sejumlah study telah mengeksplorasi pengaruh kepribadian konselor  terhadap hasil konselor. Dapat dikatakan bahwa seluruh bidang riset kepribadian merupakan hal yang problematic, karena ciri kepribadian yang diukur oleh kuesioner cenderung menunjukan korelasi yang rendah dengan prilaku actual  pada semua astudi. Selain itu terdapat bukti yang cukup bahwa konselor yang baik adalah orang-orang yang menunjukan tingkat penyesuaian emosional umum yang lebih tinggi dan kemampuan membuka diri yang besar. Harus dicatat bahwa variable kepribadian yang tampaknya tidak disosialisasikan dengan kesuksesan konseling  adalah variable tertutup-terbuka dan submisiviytas-dominan. Studi lain telah mengekplorasikan kemungkinan diasosiasikan hasil dengan kemiripan atau perbedaan ciri kepribadian antara konseling dan klien. Pekerjaan dalam hal ini telah diulas oleh Beuler, et al. (1986) yang menmukan tidak adanya hubungan yang konsisten antara kemiripan klien-kinselor dengan hasil. Banyak pelatihan konselor yang menganjurkan terapi personal pagi para peserta pendidikan sebagai cara menyakinkan pertumbuhan kepribadian dalam bidang penyesuaian diri dan keterbukaan. Terdapat pula bukti bahwa terapi personal bermuara pada meningkatan efektivitas profesioanal konselor dan psikoterapis dengan memberikan basis yang kuat bagi kepercayaan diri dan penggunaan “diri” (Balwid,1987) yang tepat dalam hubungan klien.
            Terapis personal mempresentasikan cara unik untuk mempelajari  proses terapeutik, dalam hal terapi tersebut memberikan wawasan tentang peran klien, dan akhirnya terapi tersebut memberikan konstribusi terhadap peningkatan umum kesdaran diri dalam diri peserta pendidikaan. Walaupun demikian, terdapat beberapa kesulitan mendasar yang ditimbulakan oleh praktik terapi personal untuk para peserta pendidikan.
1.      Klien dituntut untuk hadir, bukan digantungkan pada kesediaan berpartisiapsi
2.      Apabila peserta terlalu jauh terbenam dalam kerja terapeutik, maka hal tersebut akan menghancurkan kemampuan emosionalnya terhadap kliennya endiri.
3.      Dalam sebagian institute penyelenggaraan pendidikan, terapis personal merupakan anggota staff pelatihan, dank arena itu bukan hanya melaporkan perkembangan para peserta dalam terapi personal tersebut, tapi juga bila peserta merampungkan program tersebut  pada gilirannya menjadi kolega dari seseorang yang merupakan mantan kliennya.
Walaupun sekarang praktik ini tidak perpengaruh dimasa lalu, namum ia menghadirkan tekanan eksternal tidak biasa yang dapat menyembunyikan manfaat yang didapat pada terapi tersebut. Karena itu, ada alasan untuk bersumsi bahwa terapi personal terdapat asumsi sebaliknya. Studi berkaitan dengan terapi personal dapat dikaitkan dengan kompetensi konselor yang lebih besar, sebagai mana juga  terdapat asumsi sebaliknya.  Study berkaitan dengan terapi personal mencerminksn pandangan yang seimbang ini. Misalnya, walaupun Buckley et al. (1981) menemukan bahwa 90 persen terapis yang menjadi semple mereka melaporkan bahwa terapi professional memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan kepribadian dan profesioanal mereka. Peebles (1980) melaporkan bahwa terapi personal dikaitkan dengan tingkat empati, kongruen, dan pemerintahan yang lebih tinggi dalam terapis, sedangkan Garfield dan Bergin (1971) menarik kesimpulan dari sebuah studi berskala kecil bahwa terapis yang tidak menerima terapi personal lebih efektif dibandingkan yang menerimanya. Dalam sebuah studi penting psikoanalitik psikoterapis baru di Swedia, sandell. Et al. (2000) mampu membandingkan karakteristik personal pendidikan, supervise, dan terapi perseorangan yang membentuk seorang terapis, yang ditemukan kurang efektif atau sebaliknya, lebih efektif, secara klonis dalam menghadapi klien. Studi ini mengungkapkan terapi yang kurang efektif dilaporkan menjadi terapi personal lebih banyak ketimbang kolega mereka yang fektif. Sandell, et al.(2000) menginterpretasikan hasil ini dengan adanya kemungkinan terapis yang merasa tidak terlalu baik dalam menaganin klien untuk memasuki terapi personal sebagai cara untuk meningkatkan sensitivitas dan performa mereka.
            Survey di AS telah menyatakan bahwa tiga perempat terapis telah menerima paling tidak satu kali trapi personal (Narcross,et al. 1998). Karena itu, ada komitmen profesioanal yang tinggi dalam praktik ini. Tidak menemukan adanya bukti berkenaan dengan kecelakaan  yang terjadi dalam terapi personal terhadap para terapi konselor. Secara khusus, biaya keuangan dan emosioanal bagi konselor profesioanal sulit untuk di justifikasi dikarenakan rendahnya jumlah kasus dan terbatasnya pendidikan secara umum. Tidak ada bukti riset saat ini yang mengarah pada isu berkaitan dengan seberapa banyak sesi terapi personal yang direkomendasikan atau dipersyaratkan bagi peserta pelatihan atau praktisi. Terdapat pula kekurangan bukti tentang konsekuensi dari kapan terapi semacam itu dilaksanakan (sebelum, ketika dan sesudah pelatihan). Saat ini, terapi personal yang dituntut oleh asosiasi profesioanal dn badan lesensi didasarkan pada kebiasaan, praktik, dan pemahaman klinis, ketimbang bukti riset. Memeberikan terapi personal merupakan elemen pendidikan yang memiliki potensi penting serta melanjutkan perkembangan profesioanal dalam diri konselor, dank arena terapi tersebut amat mahal, maka tidak adanya pembuatan kebijakan riset terinformasi menjadi yang patut disayangkan.  
E.       Kompetensi Profesional Konselor Dalam Layanan Bimbingan dan Konseling
Profesionalisme seorang guru merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar. Pada umumnya di sekolah-sekolah yang memiliki guru dengan kompetensi profesional akan menerapkan “pembelajaran dengan melakukan” untuk menggantikan cara mengajar guru di mana guru hanya berbicara dan peserta didik hanya mendengarkan. Dalam suasana seperti ini peserta didik dituntut untuk aktif dan dilibatkan dalam pemecaha masalah, mencari sumber informasi, data efaluasi, serta menyajikan dan mempertahankan pandangan dan hasil kerja mereka kepada teman mereka.
Kompetensi profesional yaitu kemampuan yang harus dimiliki oleh guru dalam perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran. Guru mempunyai tugas untuk mengarahkan kegiatan belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, untuk itu guru dituntut mampu menyampaikan bahan pelajaran. Guru harus selalu memperbaharui dan menguasai materi pelajaran yang disajikan. Persiapan diri tentang materi diusahakan dengan jalan mencari informasi dari berbagai sumber seperti membaca buku-buku terbaru, mengakses dari internet, selalu mengikuti perkembangan dan kemajuan tentang materi yang akan disajikan.
Adapun peran guru sebagai proses pembelajarn harus memiliki kemampuan:
1.      Merencanakan sistem pembelajaran
-         Merumuskan tujuan
-         Memilih prioritas materi yang akan diajarkan
-         Memilih dan menggunakan metode
-         Memilih dan menggunakan sumber belajar yang ada
-         Memilih dan menggunakan media pembelajaran
2.      Melaksanakan sistem pembelajaran
-         Memilih bentuk kegiatan pembelajaran yang tepat
-         Menyajikan urutan pembelajaran scara tepat
3.      Mengevaluasi sitem pembelajaran
-         Memilih dan menyusun jenis evaluasi
-         Melaksanakan kegiatan evaluasi sepanjang proses
-         Mengadministrasikan hasil evaluasi
4.      Mengembangkan sistem pembejaran
-         Mengoptimalisasi potensi peserta didik
-         Meningkatkan wawasan kemampuan diri sendiri
-         Mengembangkan program pembelajaran lebih lanjut
Adapun kemampuan yang harus dimiliki guru dalam proses pembelajaran dapat diamati dari aspek profesional, yaitu:
1.      Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang dikuasai.
2.      Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran atau bidang pengembangan yang dikuasai.
3.      Mengembangkan materi yang dikuasai secara kreatif.
4.      Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.
5.      Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
Kompetensi profesional dideskripsikan menjadi beberapa indikator yaitu:
1.      Menyelenggarakan administrasi sekolah
2.      Menyelenggrakan administrasi sekolah
3.      Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran
4.      Merencanakan sistem pembelajaran
5.      Mengevaluasi sistem pembelajaran
6.      Mengembangkan sistem pembelajaran
Konselor mesti memiliki jiwa terbuka dan mampu mengendalikan diri. Profesional dari konselor yang dibutuhkan disini dari seorang guru yaitu:
-         Sukarela untuk melakukan pekerjaan ekstra
-         Telah menunjukkn dapat menyesuaikan diri dan sabar
-         Memiliki sikap yang yang konstruktif
-         Berkemauan untuk melatih pekerjaan
-         Memiliki semangat untuk memberikan layanan kepada siswa, sekolah, dan masyarakat.
Dari hal yang telah disebutkan diatas dapat dipahami oleh guru bahwa mengajar harus lebih dari dari sekedar bekerja. Ini adalah profesi dan karier. Mengajar adalah kompetensi jangka panjang, untuk melakukanyang terbaik dalam membantu generasi muda mengembangkan intelektualitas, emosional, dan perilakunya. Ini adalah posisi yang luar biasa penting: guru yang antusiasme  dan empatinya akan sangat berpengaruh dalam kehidupan siswanya. Pada sisi terburuk, guru juga memiliki kekuatan untuk menekan, mempermalukan, dan merusak semangat siswa. Dengan kedua sisi tersebut, kehadiran guru telah menjadi bagian dari budaya kita dan bersifat abadi.
Di sini konselor profesional memberikan layanan berupa pendapingan (advokasi) pengkoordinasian, mengkolaborasi dan memberikan layanan konsultasi yang dapat menciptakan peluang yang setara dalam meraih kesempatan dan kesuksesan bagi konseli berdasarkan prinsip-prinsip profesionaitas:
1.        Setiap individu memiliki hak untuk dihargai dan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh layanan bimbingan dan konseling. Konselor memeberikan pendampingan bagi individu dari berbagai latar belakang kehidupan yang beragam dalam budaya, etnis, agama dan keyakinan, usia, status sosial, dan ekonomi, individu dengan kebutuhan khusus, individu yang mengalami kendala bahasa, dan identitas gender.
2.        Setiap individu berhak memperoleh informasi yang mendukung kebutuhannya untuk mengembangkan dirinya.
3.        Setiap individu mempunyai hak untuk memahami arti penting dari pilihan hidup dan bagaimana pilihan tersebut akan mempengaruhi masa depannya
4.        Setiap individu memiliki hak untuk dijaga kerahasiaan pribadinya sesuai dengan aturan hukum, kebijakan, dan standar etika layanan.

F.   Kode Etik Konselor
Pengertian kode etik adalah merupakan Kode Etik Dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai professional suatu profesi yang diterjemahkan kedalam standaart perilaku anggotanya. Nilai professional paling utama adalah keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat.
Nilai professional dapat disebut juga dengan istilah asas etis.(Chung, 1981 mengemukakan empat asas etis, yaitu : (1). Menghargai harkat dan martabat (2). Peduli dan bertanggung jawab (3). Integritas dalam hubungan (4).Tanggung jawab terhadap masyarakat.
Kode etik dijadikan standart aktvitas anggota profesi, kode etik tersebut sekaligus sebagai pedoman (guidelines). Masyarakat pun menjadikan sebagai perdoman dengan tujuan mengantisipasi terjadinya bias interaksi antara anggota profesi. Bias interaksi merupakan monopoli profesi., yaitu memanfaatkan kekuasan dan hak-hak istimewa yang melindungi kepentingan pribadi yang betentangan dengan masyarakat. Oteng/ Sutisna (1986: 364) mendefisikan bahwa kode etik sebagai pedoman yang memaksa perilaku etis anggota profesi.
Sedangkan, Kode Etik Guru Pembimbing/ Konselor Sekolah “ Konselor harus menghormati harkat pribadi, integritas dan keyakinan kliennya”. Apabila kode etik itu telah diterapkan maka konselor ketika berhadapan dalam bidang apapun demi lancarnya pendidikan diharapkan memiliki kepercayaan dengan clientnya, sehingga tidak membuat clientnya merasa terseinggung.
Untuk menjadi seorang konselor profesional tidak cukup hanya memiliki ilmu, keterampilan, dan kepribadian belaka, akan tetapi harus pula memahami dan mengaplikasikan kode etik konseling (KEK). Pada saat ini konselor sedunia menggunakan KEK dari lembaga yang bernama American Counselor Association (ACA).
            Berikut ini kutipan beberapa aspek penting KEK dari ACA terutama untuk memantapkan hubungan konseling.
1.      Menghormati Hubungan Konseling
Hubungan konseling amat menetukan terhadap keberhasilan proses konseling. Hubungan konseling ditentukan oleh kepribadian, pengetahuan, dan skill konselor. Ketigas aspek ini menyatu dalam diri konselor. Sehingga dia mampu mengelola proses konseling dengan menciptakan hubungan konseling yang dapat melibatkan klien untuk selalu mengeluarkan isi hati, cita-cita, kebutuhan, tekanan-tekanan psikis, serta rencana hidup yang ingin dibangun. Maka tujuan konseling mudah-mudahan tercapai, yaitu kesejahteraan klien (client welfare).
Dengan kata lain tanggung jawab utama konselor adalah kesejahteraan klien. Tanggung jawab utama lainnya adalah menghormati martabat klien (client dignity). Martabat klien adalah suatu yang bernilai yang harus dihormati
Konselor harus membantu meningkatkan kesejahteraan klien artinya kesejahteraan jasmani dan rohani. Aspek jasmani misalnya kesehatan badan, peningkatan penghasilan, menaikkan kemampuan intelektual, dll. Dengan kata lain hubungan konseling harus mencapai hasil berupa kemajuan diri klien di bidang martabat dan kesejahteraan, sehingga jati diri klien mencapai puncak.
Disamping dua hal tersebut, hubungan konseling harus pula dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan klien. Yaitu klien meningkatkan minatnya dalam kehidupan untuk mencapai kesejahteraan.
Hubungan konseling bukan semata-mata membantu memecahkan masalah masalah klien, akan tetapi lebih merupakan aspek pendidikan akhlak dan kepribadian. Karena itu peran pendidikan agama dapat difungsikan bagi konselor yang paham.
2.      Menghormati Perbedaan (Respecting Diversity)
(1)Nondiskriminasi
            Konselor tidak boleh membeda-bedakan klien tentang agama, ras, warna kulit, usia, jabatan, derajat, jenis kelamin, status perkawinan dan sebagainya. Adalah merupakan tindakan negatif dan amat sangat tercela jika konselor melakukan halseperti ini. Sebab perbuatan diskriminasi akan menuai celaan dan menjauhi profesi ini oleh klien-klien lainnya. Sebagai contoh, jika konselor hanya akan melayani orang kaya, maka dia akan dianggap sebagai konselor materialistis.
            Manfaat tindakan nondiskriminasi akan meningkatkan popularitas profesi dan penghargaan masyarakat terhadap profesi konselingakan naik. Dengan kata lain akuntabilitas konselor menjadi menanjak.
(2) Menghormati Perbedaan
            Disamping nondiskriinasi, konselor harus pula menghormati perbedaannyadengan klien dalam hal beda budaya, ras, agama, status sosial ekonomi, dan politik. Dan yang penting dalam hal kepercayaan dan atau agama.
3.      Menghormati Hak-Hak Klien
Ada dua hak kien yang penting dalam hubungan konseling, pertama, keterbukaan konselor terhadap klin; kedua, kebebasan klien untuk memilih.
Keterbukaan konselor amat penting. Magsudnya seorang konselor tidak dibenarkan tertutup terhadap klien yang disebabkan aroganisinya. Misalnya merasa diri tinggi, sehingga begitu kaku, tertutup, dan jarang mengenalkan identitasnya.
Sikap seperti ini akan berdampak terhadap klien sehingga klien itupun tertutup, kurang mau berkomunikasi. Padahal didalam proses konseling, keterbukaan klien adalah amat penting. Sebab dengan cara demikian dia akan mudah mengungkapkan rahasia batin yang selama ini disimpannya.
Mengenai kebebasan klien untuk memilih (freedom of choice), adalah hal konselor kurang demokratis maka kebanyakan klien diatur untuk mencapai tujuan yang memuaskan konselor. Biasanya melalui mekanisme nasehat
adapun penerapan prinsip dalam kode etik yang dikembangkan oleh organisasi profesi adalah sebagai berikut :
British Association for Counselling, 1984 (dalam McLeod, John. 2003 : 435) :
1.      Konselor akan memperlakukan informasi pribadi klien dengan penuh kerahasiaan, baik itu yang didapat secara langsung maupun tidak langsung melalui penyimpulan. Termasuk dalam informasi tersebut adalah nama, alamat, detail riwayat hidup dan deskripsi lain kehidupan dan kondisi peserta didik yang dapat menghasilkan identifikasi klien.
2.      Maksud kalimat “Memperlakukan dengan penuh kerahasiaan” adalah tidak mengungkapkam informasi yang disebutkan di atas kepada orang lain atau melalui medium publik apapun, kecuali kepada pihak yang mewajibkan konselor memberikan laporan pertanggung jawaban atas kerjanya (dalam kasus mereka yang bekerja dalam setting agensi atau organisasi) atau kepada mereka yang menjadi tempat konselor menyandarkan dukungan dan pengawasan.
3.      Terlepas dari poin di atas, apabila konselor yakin bahwa peserta didik dapat membahayakan orang lain, mereka akan memberitahukan kepada klien bahwa mereka dapat membatalkan kerahasiaan tersebut dan mengambil tindakan yang sesuai untuk memperingatkan seseorang atau pihak yang berwenang.
4.      Informasi tentang peserta didik tentunya hanya dapat digunakan untuk dipublikasikan dalam jurnal yang tepat atau sesuai dengan izin peserta didik dan dengan tidak menyebutkan nama tertentu.
5.      Diskusi konselor berkenaan dengan peserta didik tertentu dengan kolega profesionalnya harus memiliki tujuan dan tidak sekedar berbincang-bincang.
G.      Peranan stakeholder pendidikan dalam layanan Bimbingan dan Konseling
1.        Pengertian stakeholder pendidikan
            Stakeholder awalnya digunakan dalam dunia kerja dan usaha, terdiri dari dua kata stake dan holder. Stake berarti to give support to, holder berarti pemegang. Sehingga, Pengertian stakeholder dalam pendidikan dapat diartikan sebagai orang yang menjadi pemegang dan sekaligus pemberi support terhadap pendidikan atau lembaga pendidikan. Kalau lembaga pendidikan itu berupa sekolah, maka stakeholdernya adalah birokrasi pendidikan (dinas pendidikan), pengawas, kepala sekolah, guru, komite sekolah, dewan sekolah, masyarakat, dunia usaha dan dunia industri. Dengan kata lain, stakeholder adalah orang-orang yang berkepentingan langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan pendidikan di sekolah. Definisi lain mengatakan bahwa stakeholder merupakan adalah pemegang atau pemangku kepentingan. Orang per orang atau kelompok tertentu yang memiliki kepentingan apapun terhadap sebuah obyek yang disebut stakeholder. 
Stakeholder pendidikan dibagi dalam tiga kategori utama, yaitu :
a.       Sekolah, terdiri dari para guru, kepala sekolah, murid dan tata usaha sekolah.
b.      Pemerintah diwakili oleh para pengawas, pemilik, dinas pendidikan, walikota sampai menteri pendidikan nasional.
c.       Masyarakat, terdiri dari orangtua murid, pengamat dan ahli pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan atau badan yang membutuhkan tenaga terdidik (DUDI), toko buku, kontraktor pembangunan sekolah, penerbit buku, penyedia alat pendidikan, dan lain-lain.

2.        Peran stakeholder dalam pendidikan
  Peran serta stakeholder pendidikan dalam suatu perencanaan adalah hal yang sangat penting, sehingga akan nampak pada peningkatan profesionalitas guru. Hal ini sesuai dengan keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 bahwa stakeholder  pendidikan yaitu, dewan pendidikan dan komite sekolah dalam kaitannya dengan hal di  atas mereka memiliki 4 peran, yaitu :
a.       Peran sebagai pemberi pertimbangan atau nasihat (Advisory Agency)
        Peran ini menunjukkan respon dan keikutsertaan dewan pendidikan dan komite sekolah dalam memajukkan dan kualitas penyelenggaraan pendidikan di daerah dan di sekolah. Adapun bentuk aktivitas dewan pendidikan dan komite sekolah, yaitu :
1) Pemberi pertimbangan mengenai program dan kegiatan yang disusun dalam rencana pembangunan pendidikan tingkat kabupaten atau kota dan RKS serta RKT tingkat satuan pendidikan.
2) Memberikan pertimbangan untuk guru dalam pelaksanaan tugas supaya tidak sewenang-wenagn dalam menangani siswa. Contohnya pemberian hukuman.
3) memberi pertimbangan dalam pengingkatan disiplin guru gan memberi solusibagi kesulitan yang dihadapi guru.
4) memberi pertimbagnan dalam mengembangkan bakat dan minat siswa.
b.    Peran sebagai badan pendukung (Supporting Agency)
               Peran pendukung dewan pendidikan dan komite sekolah berkaitan dengan internal manajemen sekolah :
1)      Mendata jumlah guru yang memerlukan pendidikan, latihan dan kualifikasi pendidikan.
2)      Mendata jumlah siswa dan nilai prestasi, guru dan komite sekolah.
3)      Pelatihan mengenai mata pelajaran dan layanan belajar bagi guru yang membutuhkan.
4)      Mendukung program pengayaan bagi siswa yang lebih pintar dan remedial bagi siswa yang belum mencapai hasil sesuai syarat.
5)      Menyediakan tropi dan hadian atas keberhasilan siswadalam perlombaan.
6)      Dalam meningkatkan kualitas n sarana dan prasarana dalam memberikan layanan belajar.
7)      Membuat media belajar sesuai dengan kebutuhan belajar.
8)      Kebun percontohan sekolah.
9)      Memaksimalkan anggaran operasional dari APBD, bantuan masyarakat dan mendorong penggunaan anggaran yang bersumber dari dana BOS dengan mengimplementasikan program dan kegiatan yang tepat sasaran.
Pertanggung jawaban pelaksanaan kegiatan harus disampaikan pada publik atau stakeholder pendidikan. Dewan komite dapat memberikan rekomendasi yang objektif dalam peningkatan kualitas layanan bimbingan dan konseling.
c. Peran sebagai pengontrol (Controlling Agency)
          Aktivitas dewan pendidikan dan komite sekolah adalah sebagai berikut:
1)        Menanyakan proses belajar mengajar (guru dan kepala sekolah) apakah sudah mengarah pada standar yang sesuai syarat.
2)        Menanyakan kondisi kesehatan, gizi dan bakat peserta didik.
3)        Memantau pelaksanaan rencana kegiatan sekolah (RKS) dan rencana kegiatan tahunan (RKT).
4)        Ikut serta dalam penyusunan RKS dan RKT.
5)        Memantau penggunaan anggaran yang bersumber dari dana BOS.
6)        Ikut dalam rapat pembagian raport.
7)        Mengontrol kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya.
8)        Mengontrol pelaksanaan PBM dengan memakai kartu data sesuai perlindungan anak.
d.      Peran sebagai penghubung (Mediating Agency)
            Pusat pendidikan adalah keluarga, sekolah da masyarakat harus saling bekerja sama secara sinergis untuk meningkatkan mutu pendidikan. Untuk dapat bekerja secara sinergis harus ada yang menghubungkan antara keluarga, sekolah dan masyarakat disinilah peran dari mediating agency. Peran penghubung menunjukkan bahwa dewan pendidikan dan komite sekolah, ialah :
1)      Menghubungkan dengan instansi pemerintah.
2)      Menghubungi orang tua siswa yang mampu untuk memina kesediaannya menjadi donatur atau bantuan lainnya yang disetujuinya untuk keperluan sekolah atau dengan menjelaskan program kerja yang akan dilakukan oleh sekolah.
3)      Mencari informasi yang bisa dipakai oleh sekolah untuk mengembangkan sekolah.
4)      Memberi laporan kepada masyarakat tentang keuangan dan pelaksanaan program.







BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kompetensi pengetahuan seorang konselor meliputi pengetahuan mengenai Apa yang dimaksud dengan pengawas konselor, persyaratan bagi seorang pengawas konselor, tugas pokok seorang pengawas konselor, fungsi pengawas konselor, serta hak dan kewenangan seorang pengawas konselor.
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan, kecakapan dan keterampilan yang ditampilkan seseorang. Foker menyatakan bahwa ”kompetensi kepribadian yang dimiliki oleh konselor adalah berjiwa pendidik, terbuka, mampu mengembangkan diri dan memiliki integritas kepribadian”. Kompetensi kepribadian yang harus dimiliki konselor adalah jiwa pendidik yang terbuka, mampu mengembangkan diri dan memiliki integritas kepribadian. Konselor mesti memiliki jiwa terbuka dan mampu mengendalikan diri. Kepribadian konselor tersebut melibatkan hal seperti nilai, semangat bekerja, sifat atau karakteristik, dan tingkah laku.
Profesionalisme seorang guru merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar. konselor profesional memberikan layanan berupa pendapingan (advokasi) pengkoordinasian, mengkolaborasi dan memberikan layanan konsultasi yang dapat menciptakan peluang yang setara dalam meraih kesempatan dan kesuksesan bagi konseli berdasarkan prinsip-prinsip profesionaitas.
Untuk menjadi seorang konselor profesional tidak cukup hanya memiliki ilmu, keterampilan, dan kepribadian belaka, akan tetapi harus pula memahami dan mengaplikasikan kode etik konseling (KEK). Pada saat ini konselor sedunia menggunakan KEK dari lembaga yang bernama American Counselor Association (ACA).
Stakeholder awalnya digunakan dalam dunia kerja dan usaha, terdiri dari dua kata stake dan holder. Stake berarti to give support to, holder berarti pemegang. Sehingga, Pengertian stakeholder dalam pendidikan dapat diartikan sebagai orang yang menjadi pemegang dan sekaligus pemberi support terhadap pendidikan atau lembaga pendidikan. Kalau lembaga pendidikan itu berupa sekolah, maka stakeholdernya adalah birokrasi pendidikan (dinas pendidikan), pengawas, kepala sekolah, guru, komite sekolah, dewan sekolah, masyarakat, dunia usaha dan dunia industri. Dengan kata lain, stakeholder adalah orang-orang yang berkepentingan langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan pendidikan di sekolah.













DAFTAR PUSTAKA
Willis, Sofyan.  (2009). Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung : CV. Alfabeta.
McLeod, John. (2003). Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Partin, Ronald. (2012). Kiat Nyaman Mengajar di Dalam Kelas. Jakarta : PT. Indeks.
Sukardi, D. Ketut. (2008). Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Winkel, S. W. Bimbingan dan Konseling Di Sekolah Menengah. Jakarta : PT. Gramedia.
Wordpress. (2012). Stakeholder dan produk jasa organisasi pendidikan. [Online]
Mardhatillah, Fitrah. (2012). Kepribadian Konselor. [Online]
       Tersedia : kepribadiankonselor.blogspot.com/2012/11/kompetensi-kepribadian-konselor/
       [14 Maret 2013].
Guru. (2012). Kompetensi Profesional Guru. [Online]
Guru. Definisi Konseptual, Operasional, Dimensi dan Indikator Kompetensi Guru [Online]
Depdiknas. (2009). Pedoman Pelaksanaan Tugas Guru dan Pengawas. [Online]


      


























No comments:

Post a Comment