TEORI
BELAJAR KONSTRUKTIVISME
A. Latarbelakang Masalah
Saat ini terdapat beragam inovasi
baru di dalam dunia pendidikan terutama pada proses pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme.
Pemilihan pendekatan ini lebih dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa
antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan
persoalannya. Pembelajaran di kelas masih dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sehingga kurang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berintekrasi langsung kepada benda-benda
konkret.
Seorang guru perlu memperhatikan
konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tidak demikian, maka seorang pendidik tidak akan
berhasilkan menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan sumber
kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan
gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah
konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana mungkin konsepsi itu salah,
dan jika ternyata benar maka pendidik harus membantu siswa dalam mengkonstruk
konsepsi tersebut biar lebih matang.
Maka dari permasalahan tersebut,
pemakalah tertarik melakukan penelitian konsep untuk mengetahui bagaimana
sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini bisa mengembangkan
keaktifan siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga dengan
pengetahuan yang dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran
karena dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang
siswa peroleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini, yaitu:
1. Apakah Pengertian teori belajar
kontruktivisme?
2. Bagaimana Konsep Teori Belajar
Konstruktivisme bisa diaplikasikan kedalam Pembelajaran PAI ?
3. Bagaimana Hakikat Pembelajaran
Teori Belajar Konstruktivisme terhadap pembelajaran PAI ( Pendidikan Agama
Islam ) di SMP Negeri 1 Angkolabarat Tapanuli Selatan ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui konsep teori
belajar kontruktivisme
2. Untuk mengetahui Bagaimana Konsep
Teori Belajar Konstruktivisme bisa diaplikasikan kedalam Pembelajaran PAI
3. Untuk mengetahui Bagaimana
Hakikat Pembelajaran Teori Belajar Konstruktivisme terhadap pembelajaran PAI (
Pendidikan Agama Islam ) di SMP Negeri 1 Angkolabarat Tapanuli Selatan
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang dapat diperoleh
dari pembahasan ini, adalah diharapkan dapat dijadikan kontribusi epistemologi
untuk para pendidik bahwa siswa itu sebenarnya bukanlah seperti kertas putih
yang kosong di mana guru bisa secara bebas membentuk pengetahuan siswa, tapi
siswa adalah merupakan manusia yang sudah mempunyai pengetahuan yang mereka
peroleh dari pengalaman lingkungan mereka sehari-hari. Kemudian dapat kita
ketahui bahwa teori konstruktivisme yang diprakarsai oleh Ivan Petrovich Pavlov
merupakan sebuah hasil karya nyata bahwa teori belajar beliau yang diterapkan
kedalam metodologi pembelajaran mendapatkan respons positif oleh para ahli
psikologi di bidang sains. Oleh karenanya penulis sengaja mengaplikasikannya
atau menerapkannya di dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam khususnya di
SMP Negeri 1 Angkolabarat Tapanuli Selatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Belajar
Konstruktivisme
Teori belajar konstruktivisme ini
bertitik tolak daripada teori pembelajaran Behaviorisme yang didukung oleh B.F
Skinner yang mementingkan perubahan tingkah laku pada pelajar. Pembelajaran
dianggap berlaku apabila terdapat perubahan tingkah laku kepada pelajar,
contohnya dari tidak tahu kepada tahu. Hal ini, kemudiannya beralih kepada
teori pembelajaran Kognitivisme yang diperkenalkan oleh Jean Piaget di mana ide
utama pandangan ini adalah mental. Semua dalam diri individu diwakili melalui
struktur mental dikenal sebagai skema yang akan menentukan bagaimana data dan
informasi yang diterima, difahami oleh manusia. Jika ide tersebut sesuai dengan
skema, ide ini akan diterima begitu juga sebaliknya dan seterusnya lahirlah
teori pembelajaran Konstruktivisme yang merupakan pandangan terbaru di mana
pengetahuan akan dibangun sendiri oleh pelajar berdasarkan pengetahuan yang ada
pada mereka. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang
menjadi tahu dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran
konstruktivisme. [1]
Pada dasarnya perspektif ini
mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut,
yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple perspektives) bukan hanya
satu perspektif saja. Hal ini berarti bahwa “pengetahuan dibentuk menjadi
pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain”.
Peranan kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman, dan proses belajar melalui
kegiatan individual dan sosial menjadi sangat penting. Perspektif
konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan
proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi
proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting.
Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar dan strategi belajar akan
mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. sebagai
upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan yang bersifat subyektif.
Jadi, Konstruktivisme didefinisikan
sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu
makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami
hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus
respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia
membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya
sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan
yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan
dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai
pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Von Glasersfeld mengatakan bahwa
konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan itu
dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi dengan
lingkungannya.[2]
Menurut para penganut konstruktif,
pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang yang berfikir. Seseorang tidak
akan menyerap pengetahuan dengan pasif. Untuk membangun suatu pengetahuan baru,
peserta didik akan menyesuaikan informasi baru atau pengalaman yang disampaikan
guru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimilikinya melalui
berintekrasi sosial dengan peserta didik lain atau dengan gurunya.[3] Konsep
teori belajar konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang beragam.
Belajar merupakan proses aktif untuk megkonstruksi pengetahuan dan bukan proses
menerima pengetahuan. Proses pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan untuk
membantu atau mendukung proses belajar, bukan sekedar untuk menyampaikan pengetahuan.
Dalam wawasan ini, sebenarnya
siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar, sedangkan guru secara
fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh siswa dalam proses
memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau model bagi
siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan
keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru
membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya,
guru cukup memberi semangat dan arahan saja.
Sebagai orang yang beragama, Islam
memiliki ajaran yang diakui -minimal oleh pemeluknya- lebih sempurna dan
kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan
Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna, ia dipersiapkan untuk
menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya
mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan
diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan
hidup di dunia. Untuk mewariskan nilai-nilai keagamaan ini, di antaranya adalah
melalui proses pendidikan.
Pendidikan (termasuk pendidikan
agama Islam) merupakan topik yang selalu aktual untuk dibicarakan dan
diperdebatkan dari zaman ke zaman. Namun demikian perbincangan dan perdebatan
tentang pendidikan tidak pernah selesai, dan tidak akan pernah selesai
dibicarakan. Minimal ada tiga alasan yang dapat dikemukakan untuk menjawab
pertanyaan mengapa hal ini terjadi.
Pertama, fitrah setiap orang menginginkan
yang lebih baik, termasuk dalam masalah pendidikan. Kedua, teori pendidikan
-dan teori pada umumnya-selalu ketinggalan oleh kebutuhan masyarakat. Sebab
pada umumnya, teori pendidikan dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat pada
tempat dan waktu tertentu. Karena waktu berubah dan tempat selalu berubah,
kebutuhan masyarakat juga berubah. Bahkan perubahan tempat dan waktu itu ikut
pula mengubah sifat manusia. Karena adanya perubahan itu, masyarakat merasa
tidak puas dengan teori pendidikan yang ada.
Ketiga, karena pengaruh pandangan
hidup. Pada suatu waktu mungkin seseorang telah puas dengan keadaan pendidikan
di tempatnya karena sudah sesuai dengan pandangan hidupnya.
Suatu ketika ia terpengaruh oleh
pandangan hidup yang lain. Akibatnya, berubah pula pendapatnya tentang
pendidikan yang tadinya sudah memuaskannya.
Sebagai agama yang paripurna, Islam
sangat memperhatikan masalah pendidikan. Para peneliti sudah membuktikan bahwa
al-Qur'an sebagai sumber utama agama Islam menaruh perhatian yang amat besar
terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Hal ini terbukti bahwa wahyu yang
pertama turun adalah perintah untuk membaca yang mana membaca merupakan salah
satu proses utama untuk mendapat ilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman:
Artinya:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang Menciptakan
2. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.
Demikian pula dengan al-Hadis, sumber kedua ajaran Islam, diakui memberikan perhatian
yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan
program wajib belajar kepada umatnya. Nabi SAW bersabda:
Artinya:
Dari Anas bin Malik berkata:
Rasulullah SA W bersabda: "mencari ilmu wajib bagi setiap muslim ".
(HR. Ibnu Majah).
Dari uraian di atas, terlihat bahwa
Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al-Qur'a’n dan
al-Hadi’th sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan
pengajaran. Langkah yang ditempuh al-Qur'a’n ini ternyata amat strategis dalam
upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini diakui dengan jelas bahwa
pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan
menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan
menjadi merdeka, dan seterusnya.
Arah pendidikan Islam adalah menuju terbentuknya peserta didik yang mempunyai
kemampuan kognitif intelektual dan cerdas. Dengan kecerdasannya ia dapat
melakukan sesuatu yang baik menurut Islam untuk kemaslahatan hidup bersama.
Hidup bersama dalam artian mengetahui dan menghargai adanya perbedaan serta
menghargainya sebagai milik seluruh umat manusia dan bukan dasar untuk memecah
belah kehidupan.3 Kemampuan lain yang dikembangkan dalam pendidikan Islam adalah
afeksi dan psikomotor.
Di antara ke tiga ranah tersebut,
yang mendapatkan prioritas utama adalah pengembangan aspek afeksi. Bahkan misi
utama beliau adalah menyempurnakan aspek afeksi (akhlak) umat manusia.
Rasulullah SAW bersabda:
Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: "Aku hanya diutus untuk menyempurnakan
akhlak-akhlak mulia".
Pendidikan Islam berfungsi
mengembangkan seluruh potensi peserta didik secara bertahap (sesuai tuntunan
ajaran Islam). Potensi yang dikembangkan meliputi potensi beragama, intelek,
sosial, ekonomi, seni, persamaan, keadilan, pengembangan, harga diri, cinta
tanah air dan sebagainya. Tujuan pengembangannya ada yang bersifat individual,
yaitu berkaitan dengan individu-individu yang menyangkut tingkah laku,
aktivitas dan kehidupannya di dunian dan akhirat.
Ada yang bersifat sosial yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, memperkaya pengalaman
dan kemajuan yang diinginkan, dan ada pula yang bersifat profesional untuk
memperoleh ilmu, seni, profesi, dan suatu aktivitas di antara
aktivitas-aktivitas masyarakat.
Ironisnya, di tengah gencarnya usaha
perbaikan di dunia pendidikan (termasuk pendidikan Islam), suatu realita yang
tidak dapat dipungkiri dalam dunia global ini adalah adanya
kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan manusia dalam hidup. Kerusakan
moral di kalangan remaja, angka krimilalitas yang tinggi,
peyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para elit politik dan tokoh-tokoh
agama.
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan
agama (Islam) yang selama ini diusahakan di berbagai lembaga pendidikan baik
formal maupun non-formal belum berhasil dengan baik. Masyarakat kemudian
bertanya, "mengapa pendidikan moral-keagamaan belum berhasil",
"apa yang salah di dunia pendidikan kita". Pertanyaan ini sangat
wajar sebab masyarakat sudah mempercayakan pendidikan anak-anaknya di lembaga
pendidikan yang ada. Tapi ironisnya dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut
banyak lahir para koruptor, manipulator dan manusia-manusia yang berperilaku
kotor. [4]
Hal ini merupakan bukti empiris
kegagalan pendidikan agama Islam di oleh lembaga-lembaga pendidikan baik formal
maupun non-formal. Salah satu penyebabnya adalah strategi dan pengelolaan
pembelajaran yang cenderung tradisional normatif dan dengan metode yang kurang
senada dengan keinginan peserta didik.
Pembelajaran pendidikan Agama Islam
pada umumnya lebih menekankan pengetahuan tentang sikap yang terkesan normatif,
kaku, dan kurang menarik. Pengajar sering menempatkan diri sebagai pendakwah
dengan memberi petunjuk, perintah, dan aturan yang membuat peserta didik jenuh
dan bosan. Pengajar juga jarang memberikan keteladanan dengan sikap dan
perilaku.
B. Aplikasi Konsep Teori Belajar
Konstruktivisme terhadap Pembelajaran PAI
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan
begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus
aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan
kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai
botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai
dengan kehendak guru. Akan tetapi siswa harus aktif mengembangkan pengetahuan
mereka, bukan pendidik atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab
terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu
dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk
berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Dalam hal ini, hakikat pembelajaran
menurut teori Konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang
mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru,
pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu, proses
pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu
mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya menjadi pengetahuan yang bermakna.
Jadi, dalam konstruktivisme ini sangat penting peran siswa untuk membangun
constructive habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir, maka
dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar. Teori belajar yang mencerminkan siswa
memiliki kebebasan artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apa pun asal
tujuan belajar dapat tercapai.[5]
Selain itu, Nickson mengatakan bahwa
pembelajaran dalam pandangan konstruktivime adalah membantu siswa untuk membangun
konsep-konsep dalam belajar dengan kemampuannya sendiri melalui proses
internalisasi sehingga konsep itu terbangun kemabli melalui transformasi
informasi untuk menjadi konsep baru. Konstruk sebagai salah satu paradigma
dalam teori belajar telah banyak mempengaruhi proses belajar. Peran guru bukan
pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk
membentuk pengetahuan.[6]
Sehubungan dengan hal di atas,
Tasker mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai
berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan
secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam
pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan
dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley mendukung pendapat di atas
dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar
konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif,
tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi
bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang
dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan
bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan
sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya.
Selain penekanan dan tahap-tahap
tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury
mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu:
1. Siswa mengkonstruksi pengetahuan
dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki,
2. Pembelajaran menjadi lebih
bermakna karena siswa mengerti,
3. Strategi siswa lebih bernilai,
4. Siswa mempunyai kesempatan untuk
berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Bila aplikasi teori konstruktivisme
masuk kedalam pembelajaran PAI khususnya di bidang Fiqh, maka para siswa akan
membentuk :
1) Peserta didik akan membangun atau
mengkonstruksi pengetahuan tentang fiqh khususnya masalah shalat, dari hasil
yang mereka dapatkan ketika mereka duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah
2) Pembelajaran tentang ibadah
shalat akan menjadi lebih bermakna karena peserta didik sudah mengerti walaupun
masih ada juga yang belum tahu, namun dalam hal ini teori konstruktivisme yang
diaplikasikan kedalam pembelajaran dapat menumbuhkan respons yang positif
karena stimulus yang diberikan juga pengaruhnya lebih besar
3) Strategi pembelajaran hukum fiqh
lebih sempurna
4) Peserta didik dapat berinteraksi
penuh dengan metode pembelajaran ibadah shalat, karena ibadah shalat tidak
cukup hanya teoritis, tapi juga harus di praktekkan
Dalam upaya mengimplementasikan
teori belajar konstruktivisme, Tytler mengajukan beberapa saran yang berkaitan
dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
1. Memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, bila terapannya atau
aplikasinya dapat membentuk bahasa peserta didik sendiri dalam hal ibadah
‘amaliyah, contohnya: peserta didik diajarkan untuk berwudhu terlebih dahulu
kemudian baru diajarkan tentang shalat, tentunya pelaksanaan yang demikian
membuat peserta didik dapat memberikan respons positif terhadap gaya bahasa
yang dia akan ungkapkan
2. Memberi kesempatan kepada siswa
untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan
imajinatif, contohnya dalam pembelajaran fiqh, peserta didik dapat diberikan
kesempatan atau rehat untuk berpikir karena dari segi pengalaman praktikum
mereka juga tahu, namun disini adalah bahwa selama apa yang peserta didik
yakini, dan lakukan adalah benar, tetapi pada kenyataannya masih banyak juga
peserta didik yang belum paham betul tentang rukun-rukun shalat, sunnat-sunnat
dalam shalat dan sebagainya.
3. Memberi kesempatan kepada siswa
untuk mencoba gagasan baru, dalam hal ini pendidik atau guru pada bidang studi
fiqh dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam mencoba terhadap
gagasan yang baru.
4. Memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,
5. Mendorong siswa untuk memikirkan
perubahan gagasan mereka,
6. Menciptakan lingkungan belajar
yang kondusif.[7]
Dari beberapa pandangan di atas,
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar
konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan
pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah
diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan
untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan
akomodasi. Oleh Brooks & Brooks mengatakan bahwa pengetahuan adalah
non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar
dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas
kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata
lingkungan agar si siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai
ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si siswa akan memiliki pemahaman yang
berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang
dipakai dalam menginterpretasikannya. Atas dasar ini, maka peran kunci pendidik
dalam interaksi pembelajaran konstruktivisme adalah pengendalian, yang
meliputi:
1. Menumbuhkan kemandirian dengan
menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak; menumbuhkan
kemandirian dalam melaksanakan praktek ibadah shalat. Karena selain merupakan
kewajiban shalat juga termasuk membangun kesehatan di dalam tubuh kita
2. Menumbuhkan kemampuan mengambil
keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
Dalam hal ini peningkatan pengetahuan tentang shalat-shalat sunnat, seperti
Tahajjud, Dhuha dan sebagainya
3. Menyediakan sistem dukungan yang
memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk
berlatih.[8]
Ada beberapa ciri-ciri dalam
pembelajaran model konstruktivisme, yaitu:
· Mencari tahu dan menghargai titik
pandang/pendapat siswa
· Pembelajaran dilakukan atas dasar
pengetahuan awal siswa
· Memunculkan masalah yang relevan
dengan siswa .
· Menyusun pembelajaran yang
menantang dugaan siswa
· Menilai hasil pembelajaran dalam
konteks pembelajaran sehari-hari
· Siswa lebih aktif dalam proses
belajar karena fokus belajar mereka pada proses pengintegrasian pengetahuan
baru yang diperoleh dengan pengalaman/pengetahuan lama yang mereka miliki
· Setiap pandangan sangat dihargai
dan diperlukan. Siswa didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan
mensintesiskan secara terintegrasi
· Proses belajar harus mendorong
adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing. Proses belajar melalui kerjasama
memungkinkan siswa untuk mengingat pelajaran lebih lama
· Kontrol kecepatan, dan fokus
pembelajaran ada pada siswa
· Pendekatan konstruktivis
memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas dengan apa yang dialami
langsung oleh siswa
Selanjutnya ada empat komponen dalam
pembelajaran konstruktivisme, yaitu:
1. Pengetahuan Awal (Prerequisite),
2. Fakta Dan Masalah,
3. Sistematika Berfikir,
4. Kemauan Dan Keberanian.
C. Hakikat Pembelajaran Teori
Belajar Konstruktivisme terhadap pembelajaran PAI ( Pendidikan Agama Islam ) di
SMP Negeri 1 Angkolabarat Tapanuli Selatan
Dalam belajar sesuatu peserta didik
telah mempunyai prakonsep berdasarkan pengalaman yang telah di perolehnya.
Untuk itu, guru perlu mencermati prakonsep ini dalam menanamkan konsep-konsep
baru. Apabila prakonsep ini tidak diperhatikan, kemungkinan akan terjadi
miskonsepsi atau konsep yang salah. Apabila peserta didik mempunyai miskonsepsi
yang tidak dikoreksi atau dibiarkan, maka akan menyulitkan peserta didik untuk
belajar sesuatu secara benar.
Misalnya peserta didik di SMP Negeri
1 Angkolabarat Tapanuli Selatan, dari 750 siswa dalam hal pendidikan
konsep-konsep tentang agama islam khususnya pada praktek shalat yang benar
68,90 % secara keseluruhan belum mampu benar untuk melaksanakan praktek ibadah
shalat. Oleh karenanya dalam konstruktivisme, pendidik harus lebih pro aktif
bukan hanya teoristis tapi juga praktikum yang terkontrol, kiranya dengan
demikian dapat mewujudkan konsep –konsep kepribadian yang shaleh dalam
menjalankan praktek ibadah shalat, sesuai dengan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an
dan hadis.
Dalam menerapkan teori
kontruktivisme dalam belajar dapat digunakan model pembelajaran yang melibatkan
beberapa tahap,[9] yaitu:
1. Pengenalan
2. Pembelajaran kompetensi
3. Pemulihan
4. Pendalaman
5. Pengayaan
Tahap pengenalan merupakan pemberian
hal-hal yang konkrit dan mudah dengan contoh-contoh sederhana yang terdapat
dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap ini, guru perlu mencermati melalui
penilaian prakonsep atau kompetensi awal yang dimiliki peserta didik untuk maju
ke tahap berikutnya. Tahap pembelajaran kompetensi merupakan tahap di mana
peserta didik mulai beranjak dari mengenali kompetensi baru ke menguasai
kompetensi dasar. Hasil penilaian akan menunjukkan apakah peserta didik perlu
diberi tahapan pemulihan, yaitu tahap di mana peserta didik memulihkan
prakonsep menjadi suatu konsep/kompetensi secara benar.
Bila peserta didik telah menguasai
kompetensi secara benar, guru dapat menilai sejauh mana minat, potensi, dan
kebutuhan dalam penguasaan kompetensi dasar. Apabila peserta didik cukup
berminat dan kompetensi dasar telah dikuasai secara tuntas, tahap pemulihan
dapat dilewati dan maju ke tahap berikutnya yaitu tahap pendalaman. Apabila
tahap pendalaman telah dilaksanakan, tedapat otomatisasi berpikir dan bertindak
sebagai perwujudan kompetensi. Selanjutnya, dapat diberikan tahap pengayaan
agar peserta didik memperoleh variasi pengalaman belajar. Berbagai latihan
dapat digunakan untuk mendalami atau memperkaya kompetensi.
Penilaian yang dilakukan menunjukkan
apakah suatu kompetensi telah tuntas dikuasai atau belum. Dari hasil penilaian
dapat diketahui jenis-jenis latihan yang perlu diberikan kepada peserta didik
sebagai pemulihan, pendalaman, dan pengayaan.
Perlu kami pertegas, bahwa strategi
pembelajaran perlu mengikuti kaedah pedagogik, yaitu pembelajaran diawali dari
konkret ke abstrak, dari yang sederhana ke yang kompleks, dan dari yang mudah
ke sulit. Peserta didik perlu belajar secara aktif dengan berbagai cara untuk
mengkontruksi atau membangun pengetahuannya. Suatu rumus, konsep, atau prinsip
dalam mata pelajarn sebaiknya dibangn siswa dalam bimbingan guru. Strategi
pembelajaran perlu mengkondisikan peserta didik untuk menemukan pengetahuan
sehingga mereka terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu.
Dalam hal pembelajaran fiqh
khususnya tentang praktek ibadah shalat, seluruh peserta didik dalam hal ini
adalah perlu rasanya untuk meningkatkan integrasi dan aktif dalam peribadatan.
Contoh penerapan teori belajar
konstruktivisme dalam RPP, sebagai berikut:
RENCANA
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Sekolah : SMP Negeri 1 Angkolabarat
Tapanuli Selatan
Kelas/Semester : VII/I
Mata Pelajaran : Fiq
Standar Kompetensi : 1. Menerapkan
bacaan-bacaan di dalam shalat fardhu ’ain
I. Kompetensi Dasar : 1.1
menjelaskan tentang bacaan-bacaan di dalam shalat fardhu ’ain beserta doa-doa
setelah selesai shalat
II. Indikator
1.1.1 Menjelaskan pengertian shalat
wajib
1.1.2 Mempraktekkan shalat-shalat
wajib maupun sunnat
1.1.3 Membaca bacaan-bacaan yang ada
dalam shalat
1.1.4 Menyebutkan satu persatu
ayat-ayat apa saja yang dibaca di dalam shalat
III. Alokasi Waktu : 2 jam pelajaran
(1x pertemuan)
IV. Tujuan Pembelajaran :
Setelah mengikuti kegiatan
pembelajaran ini siswa dapat :
1. Menjelaskan shalat wajib
2. Mempraktekkan shalat-shalat wajib
maupun sunnat
3. Membaca bacaan –bacaan yang ada
dalam shalat
4. Menyebutkan satu persatu ayat
–ayat apa saja yang dibaca di dalam shalat
V. Materi Ajar :
Shalat wajib dan shalat sunnat
VI. Metode pembelajaran :
demonstrasi, praktek
VII. Langkah-langkah Pembelajaran
a. Kegiatan awal
Appersepsi : Menggali kemampuan
peserta didik
b. Kegiatan inti
- Penjelasan tentang pengertian
shalat fardhu ‘ain
- Mempraktekkan shalat-shalat wajib
maupun sunnat
- Membaca bacaan –bacaan yang ada
dalam shalat
- Menyebutkan satu persatu ayat
–ayat apa saja yang dibaca di dalam shalat
C. Kegiatan akhir
Guru membimbing peserta didik
- Menyimpulkan pengertian shalat
fardhu dan dapat mempraktekkannya
II.Alat/Sumber belajar :
1. Buku FIQH Kelas VII Depag
2. Al-Qur’an
3. Buku Tajwid
4. Gambar-gambar tentang praktek
ibadah shalat
III.Jenis Penilaian
Jenis/Bentuk Penilaian : Tes Lisan :
Tanya jawab singkat
Unjuk Kerja : Diskusi
Tertulis : Essay
Teknik : Kuis
A. Kesimpulan
Studi ini memiliki implikasi
teoretis dan praktis tentang pengembangan model belajar konstruktivisme. Secara
teoretik, studi ini berimplikasi bahwa siswa seharusnya dipandang sebagai
individu yang memiliki potensi yang unik untuk berkembang, bukan sebagai tong
kosong yang hanya menunggu untuk diisi oleh orang dewasa (guru). Secara
praktis, studi ini berimplikasi bahwa model belajar konstruktivisme dibutuhkan
untuk mengembangkan kecakapan pribadi-sosial siswa dalam mengembangkan potensi
kreatifnya melalui pembelajaran di sekolah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang
telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya.
Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan
menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan
fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan
pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan
membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki
orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya.
Maka dalam wawasan ini, sebenarnya
siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar, sedangkan guru secara
fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh siswa dalam proses
memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau model bagi
siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan
keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru
membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya,
guru cukup memberi semangat dan arahan saja.
B. Implikasi
1. Setiap guru akan pernah mengalami
bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelas-jelasnya namun masih ada sebagian
siswa yang belum mengerti ataupun tidak mengerti materi yang diajarkan sama
sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi
kepada siswa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar
sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti dengan
hasil yang baik pada siswanya. Karena, hanya dengan usaha yang keras para siswa
sedirilah para siswa akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.
2. Tugas setiap guru dalam
memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang dibangun atau dikonstruksi
para siswa sendirian bukan ditanamkan oleh guru. Para siswa harus dapat secara
aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru kedalam kerangka
kognitifnya.
3. Untuk mengajar dengan baik, guru
harus memahami model-model mental yang digunakan para siswa untuk mengenal
dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan dan yang dibuat para sisiwa untuk
mendukung model-model itu.
4. Siswa perlu mengkonstruksi
pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga guru
dalam mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan atau upaya-upaya sejenis
untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa
yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang
diperlukan.
5. Kurikulum dirancang sedemikian
rupa sehingga terjadisituasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan
dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
6. Latihan memecahkan masalah
seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
7. Peserta didik diharapkan selalu
aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya
sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk
terjadinya konstruksi engetahuan pada diri peserta didik
No comments:
Post a Comment