BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Mengingat bahwa pembuatan makalah ini
merupakan salah satu penunjang dalam rangka pemenuhan salah satu tugas mata
kuliah Perkembangan Masyarakat Indonesia,
maka dipandang perlu dalam penyelesaian
makalah ini. Makalah ini juga dirancang
dengan tujuan sebagai bahan presentasi.
Sejarah Indonesia dipenuhi intrik-intrik
politik yang sangat kental dan mewarnai hampir seluruh roda kepemimpinan. Dan
sepertinya hal ini mendapat perhatian yang kurang dari pemerintah Indonesia
saat ini. Padahal dengan menganalisis segala kesalahan-kesalahan para penguasa
negeri ini di masa lampau, maka kita bisa memperbaiki sistem pemerintahan kita
sekarang dan yang akan datang.
Membicarakan masa lalu tentu saja membicarakan
sejarah. Dengan sejarah kita bisa bercermin daripadanya. Dari sejarah kita
mampu mengubah arah haluan kemana negeri ini akan berlayar. Oleh karena itu,
benarlah kata yang diucapkan oleh Presiden Soekarno. “JAS MERAH” yang berarti
bahwa janganlah sekalipun kita sebagai bangsa Indonesia melupakan sejarah
bangsa ini.
Salah satu sejarah yang mewarnai bangsa ini
adalah masa orde baru. Pada masa ini merupakan masa-masa yang disebut sebagai
masa kontroversial. Ada yang mengatakan bahwa pada masa ini bangsa Indonesia
mengalami kemajuan yang sangat pesat jika dinilai dari segi kemakmuran
bangsanya. Dan juga sering disebut sebagai masa yang sangat kelam bagi bangsa
Indonesia jika dilihat dari segi korupsinya, karena pada masa inilah budaya
penggunaan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri mulai berbudaya di kalangan
politik kita.
Adapun sejarah yang dituliskan dalam makalah
ini adalah sejarah politik dan militer yang berkembang pada masa orde baru.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan para pembaca bisa mengambil segala ilmu
dan juga hikmah yang tertulis di dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari politik dan militer ?
2. Apa saja peristiwa penting yang terjadi pada
rezim orde baru yang berhubungan dengan politik dan militer ?
3. Bagaimanakah peran ABRI pada masa orde baru ?
4. Apakah penyebab pembubaran politik dan militer
pada masa orde baru ?
5. Apa pengaruh
akar budaya politik pada dinamika politik ekonomi di indonesia ?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
1. Untuk mengetahui definisi dari politik dan
militer
2. Untuk mengetahui berbagai peristiwa penting
mengenai politik dan militer yang terjadi pada rezim orde baru.
3. Untuk mengetahiu peran ABRI pada rezim orde
baru.
4. Untuk mengetahui sebab-sebab pembubaran
politik dan militer pada masa orde baru.
5. Untuk mengetahui pengaruh akar budaya politik pada dinamika politik ekonomi di indonesia
D.
Sistematika Penulisan Makalah
Bab 1 pendahuluan,
bab ini berisi latar belakang penulisan makalah, rumusan masalah penulisan
makalah, tujuan penulisan makalah, juga berisi mengenai sistematika penulisan
makalah.
Bab 2 pembahasan,
bab ini membahas mengenai definisi dari politik dan militer, berbagai bentuk
peristiwa penting mengenai politik dan militer yang terjadi pada rezim orde
baru, mengetahui peran ABRI pada rezim orde baru, mengetahui sebab-sebab
pembubaran politik dan militer pada masa orde baru, pengaruh akar budaya politik pada dinamika politik ekonomi di indonesia
Bab 3 penutup, bab
ini membahas mengenai kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan-rumusan
masalah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN POLITIK DAN MILITER
Politik merupakan proses pembentukan dan
pembagian kekuasaan baik berupa pembuatan keputusan, pembuatan organisasi,
maupun pemindahan kekuasaan dalam suatu Negara. Disamping
itu, politik juga mempunyai definisi lain jika kita lihat dari sudut pandang
yang berbeda, yaitu antara lain :
1. Aristoteles, politik adalah usaha yang
ditempuh oleh warga Negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
2. Politik adalah hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan dan Negara
3. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan
untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
4. Politik adalah segala sesuatu tentang proses
perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Kata militer berarti segala sesuatu yang bersangkutan dengan hal
keprajuritan dan persenjataan. Oleh karena itu dapat disimpulkan, pengertian
militer di Indonesia dapat diartikan sebagai TNI (Tentara Nasional
Indonesia), ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia) dan juga POLRI (Polisi Republik Indonesia). Karena tiga
lembaga itulah yang mempunyai kriteria yang sama dengan definisi militer.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan politik dan militer pada masa orde baru adalah interaksi dan
keikutsertaan para satuan pengaman Negara dalam proses penyelenggaraan,
pemerintahan dan Negara dalam masa orde baru.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………….…………………………………………….. i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. ii
BAB I
PENDAHULUAN ……………………...………………………………………… 1
A. LATAR
BELAKANG MASALAH …………….………………………………………… 1
B. RUMUSAN
MASALAH ………………….……………………………………………….. 1
C. TUJUAN
PENULISAN MAKALAH ……………………………………………………...
1
D. SISTEMATIKA
…………………………………………………………………………….. 1
BAB II
PEMBAHASAN ………………………………………………………………….
2
A. DEFINISI POLITIK DAN MILITER …………………………………………………….. 2
B. PERISTIWA PENTING MENGENAI POLITIK DAN MILITER
YANG TERJADI PADA REZIM ORDE BARU ……………………………………………………………………… 3
C. PERANAN MILITER (ABRI) PADA REZIM ORDE BARU……………………………..
4
D. SEBAB-SEBAB PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DAN
MILITER PADA MASA ORDE BARU…………………………………………………………………………………………. 6
E. PENGARUH
AKAR BUDAYA POLITIK PADA DINAMIKA POLITIK EKONOMI DI INDONESIA
…………………………………………………………………………………. 7
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN......................................................................................................................... 21
B. DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................................ 22
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga
kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang alhamdulillah tepat pada
waktunya, mengenai berbagai peristiwa politik dan militer pada masa orde baru.
Makalah ini berisikan tentang politik dan militer, berbagai bentuk peristiwa penting mengenai politik dan militer yang terjadi pada rezim orde baru, mengetahui peran ABRI pada rezim orde baru, mengetahui sebab-sebab pembubaran politik dan militer pada masa orde baru. Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Makalah ini berisikan tentang politik dan militer, berbagai bentuk peristiwa penting mengenai politik dan militer yang terjadi pada rezim orde baru, mengetahui peran ABRI pada rezim orde baru, mengetahui sebab-sebab pembubaran politik dan militer pada masa orde baru. Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Bandung, November 2011
Penyusun
Penyusun
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Bangsa ini mempunyai banyak sejarah,
baik yang bernilai positif maupun negatif. Pada masa orde barupun berlaku hal
yang sama, pada masa ini Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam
bidang pembangunan, hal ini dapat kita nilai dengan adanya program PELITA.
Namun orde ini uga memiliki sisi negatif yaitu budaya otoriterisme dan korupsi
yang merajalela.
Budaya para petinggi Negara yang
dominannya menggunakan jabatan dan kedudukan mereka untuk memperkaya diri
sendiri pada masa ini dimulai dari masa orde baru.
Oleh karena itu sepatutnyalah kita
berkaca diri pada sejarah kelam Negara ini untuk menjadi bangsa yang lebih baik
saat ini dan yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
13. Ahmad Adaby
Darban (adaby_kauman@yahoo.com
B.
Peristiwa Politik dan Militer Pada Masa Orde Baru
Sebagai
konsekuensi dari isi Supersemar yang diantaranya berbunyi “…mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya
keamanan dan ketenangan”. Langkah-langkah yang dilakukan adalah :
1.
Membubarkan dan
pelarangan PKI, termasuk ormas-ormasnya dari tingkat pusat sampai daerah.
2.
Terjadi pengamanan
dan penangkapan terhadap lima belas menteri Kabinet Dwikora yang terlibat dalam
perstiwa di tahun 1965. Kelima belas mentri tersebut adalah Dr. Soebandrio, Dr.
Chairul Saleh, Ir. Setiadi Reksoprodjo, Sumardjo, Oei Tju Tat, SH., Ir.
Surachman, Yusuf Muda Dalam, Armunanto, Sutomo Martopradoto, A. Astrawinata. SH,
Mayor Jenderal Achmadi, Drs. Moh. Achadi, Letnan Kolonel Sjafei, J.K. Tumakaka,
dan Mayor Jendral Dr. Soemarno.
3.
Langkah
berikutnya adalah pada tanggal 25 Juli 1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera
sebagai pengganti Kabinet Dwikora. Adapun tugas pokok dari Kabinet Ampera
dikenal dengan nama Dwidharma yaitu dalam rangka mewujudkan stabilitas politik
dan ekonomi. Dalam melaksanakan tugas ini maka penjabarannya tertuang dalam
program Kabinet Ampera yang dikenal dengan nama Catur Karya, meliputi:
a.
Memperbaiki perikehidupan rakyat,
terutama dalam bidang sandang dan pangan;
b.
Melaksanakan pemilihan umum dalam batas
waktu seperti tercantum dalam Ketatapan MPRS No.XI/MPRS/1966;
c.
Melaksanakan politik luar negeri yang
bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketatapan MPRS
No.XI/MPRS/1966, dan;
d.
Melanjutkan perjuangan anti imperialisme
dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Dan pada
tanggal 11 Agustus 1966 melaksanakan persetujuan normalisasi hubungan dengan
Malaysia, yang pernah putus sejak 17 September 1963. Persetujuan normalisasi
hubungan tersebut merupakan hasil perundingan Bangkok (29 Mei – 1 Juni 1966). Dan
dalam sidang umum MPRS tanggal 20 Juni 1966 Soekarno diminta menyampaikan
pidato pertanggungjawabannya terkait dengan peristiwa yang terjadi pada tanggal
1 Oktober 1965. Dalam pertanggungjawaban ini Soekarno berpidato dengan nama
NAWAKSARA yang artinya sembilan pasal. Pidato Presiden Soekarno tersebut tidak
dapat diterima oleh MPRS, sehingga MPRS memberikan waktu kepada Presiden
Soekarno untuk menyempurnakan lagi pada tanggal 10 januari 1967 yang disebut
PELENGKAP NAWAKSARA yang dituangkan dalam Surat Presiden Republik Indonesia No.
01/Pres/1967. Disini nampak terjadi pergeseran peranan MPRS di hadapan pemegang
Supersemar yang tidak sesuai dengan UUD tahun 1945. Dalam Sidang Istimewa ini MPRS menghasilkan 4 ketetapan,
diantaranya Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan
Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto
pemegang Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya
Presiden oleh MPR hasil Pemilu. Dan pada tanggal 27 Maret 1968 dilakukan
pelantikan Jendral Soeharto pengemban Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai
Presiden Republik Indonesia yang kedua.
C.
Peran Militer Sebagai Kekuatan Sosial Politik Pada
Masa Orde Baru
Bangsa Indonesia menyadari bahwa TNI
yang terbentuk dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat mempunyai arti penting
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. ABRI lahir dan dibentuk oleh rakyat
Indonesia ditengah-tengah perjuangan nasional dalam merebut kemerdekaan dari
penjajahan bangsa asing. ABRI lahir sebagai pejuang dan kemudian sebagai
prajurit, bertekad untuk hidup dan mati dengan negara proklamasi 17 Agustus
1945 yang berdasarkan Pancasila sehingga keselamatan bangsa dan negara
merupakan tugas dan tanggung jawab ABRI. Sesuai dengan latar belakang yaitu
Peran ABRI Sebagai Kekuatan Sosial Politik pada Masa Orde Baru (1966-1997). Istilah
ABRI lahir ketika penyatuan angkatanangkatan dan kepolisian kedalam satu wadah
melalui sebuah Surat Keputusan Presiden No. 225/Plt Tahun 1962. Perkembangan
Dwifungsi ABRI diawali dengan banyaknya kekosongan dalam pemerintahan sipil
pasca proklamasi kemerdekaan, sehingga dari inisiatif para pemimpin militer
pada saat itu diusulkan untuk diisi oleh golongan militer. Kemudian rapuhnya
pemerintahan sipil dibawah Presiden Soekarno dalam menyikapi perubahan cara
pandang golongan militer sehingga terjadi ketidaksesuaian pendapat antara
golongan pemerintah dengan golongan militer. Puncaknya
pada masa Orde Baru, peran tersebut mendapat legitimasi dan legalisasi menjadi
pedoman dan langkah bagi militer untuk terjun dalam bidang diluar militer
seperti ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya. Peran sosial politik
ABRI salah satunya dalam bidang ideologi adalah dengan memasyarakatkan. Pedoman
penghayatan dan pengamalan Pancasila (P-4). Namun peranan tersebut tidak
seluruhnya diamalkan dan dijalankan oleh semua prajurit ABRI. Namun sebagian
tidak mendapatkan kesempatan yang lebih maupun hanya menjalankan tugas sehari-hari
sebagai seorang prajurit yang patuh pada atasan. Sejarah kekuasaan orde baru,
adalah sejarah militer, yaitu suatu pemerintahan yang berdiri dan berkembang
atas dasar elitism, irasionalisme, nasionalisme, dan komporatisme. Ciri dari
bentuk kekuasaan ini adalah mengandalkan kekuatan militer untuk menghancurkan
organisasi masa dan menghilangkan semua gerakan militan. Pada zaman orde baru
TNI atau ABRI memiliki dua fungsi atau yang lebih dikenal sebagai dwi fungsi
ABRI hal ini merupakan refleksi dari pengalaman masa lalu. Pada masa orde lama
hamper semua keputusan politik ditentukan oleh politisi sipil. Akibatnya
keberadaan militer menjadi bergantung kepada kemauan politisi sipil. Istilah
DWIFUNGSI ABRIpertama kali diperkenalkan oleh abdul Haris Nasution pada tanggal
12 November 1958. Pada pertama kalinya DWIFUNGSI ABRI merupakan istalah untuk
menyebut dua peran militer, yaitu fungsi tempur dan fungsi bimbingan
masyarakat. Posisi Militer Pada Masa Orde Baru Akibat
dari pemerintahan orde lama, yang hampir sama sekali tidak menggunakan
kekuatana militer, maka pada masa orde baru pemerintah menggunakan kekuatan
militer hamper di semua aspek. Agar keberadaan militer dibidang sosial politik
di akui, maka pemerintah orde baru melakukun langkah- langkah yuridis yaitu :
1. Memasukkan dwi fungsi ABRI dalam
GBHN sebagai modal dasar pembangunan.
2. Membuat UU no. 1/ 1982 tentang
pokok- pokok pertahanan dan keamanan Negara
3. Membuat UU no.2/1988 dan
4. Membuat UU no. 1/1989. Pada Masa Orde Baru Ada Tiga Peran
Militer Yaitu:
1. Menempati jabatan- jabatan politis
seperti mentri, gubernur, bupati, dan anggota DPR. Misalnya pada tahun 1966 ada
12 orang anggota militer yang menjadi mentri, 27 anggota cabinet dan 11 militer
yang menempati jabatan strategis di dep[artemen urusan sipil. Di DPR 75 snggota
militer menduduki kursi militer. Sementara pada tahun 1970 terdapat 92 % anggota
militer. Hingga pada tahun 1982 sebanyak 89% jabatan stategis di isi oleh
militer.
2. Menempati jabatan di perlemen,
sehingga mempengaruhi hamper semua keputusan yang di buat oleh DPR.
3. Meghegemoni kekuatan sipil.
D. PEMBUBARAN
PARTAI POLITIK PADA MASA ORDE BARU
Pembubaran
partai politik pada setiap periode diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
tetapi, pada masa orde baru tidak mengenal pembubaran partai politik. Pada masa
orde baru hanya dikenal pembekuan pengurus pusat partai politik. Pada masa
orde lama pembubaran partai politik menjadi wewenang presiden. Pengadilan,
yaitu MA, hanya memberikan pertimbangan yang sifatnya tidak mengikat. Hal ini
hampir sama dengan prosedur pembekuan pengurus pusat partai politik pada masa
orde baru. Mekanisme pembekuan pengurus pusat partai politik pada masa orde
baru yang menjadi wewenang presiden dengan pertimbangan MA.
Pada
awal masa orde baru terdapat satu partai politik yang dibubarkan namun tidak
menggunakan aturan hukum yang berlaku pada saat itu, pembubaran dan pelarangan
itu terjadi dengan alas an ancaman keamanan Negara serta ideologi partai yang
dibubarkan dinilai bertentangan dengan pancasila dan para penganutnya telah
beberapa kali berupaya merobohkan kekuasaan yang sah. Selain itu pada awal orde
baru yang terjadi pembekuan satu partai politik dengan alasan memiliki
keterkaitan dengan partai yang telah dibubarkan. Tindakan pembekuan ini tidak
dikenal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu. Selain
itu terdapat juga kebijakan penyederhanaan melalui fusi partai politik yang
mengakibatkan pembubaran partai-partai politik yang melakukan fusi menjadi dua
partai politik dan satu golongan karya. Kebijakan
tersebut dilanjutkan dengan pembatasan dan pengekangan kebebasan partai
politik. Pada saat orde baru ada satu partai politik yang dibubarkan tidak
sesuai dengan peraturan yang berlaku saaat itu.
E.
Pengaruh Akar Budaya Politik
Pada Dinamika Politik Ekonomi Di Indonesia Pengamatan
terhadap dinamika perkembangan politik ekonomi di Indonesia, dapat ditinjau
dari akar budayanya. Pertama dapat dijelaskan melalui akar budaya politik, yang
dipengaruhi oleh idiologi dan struktur perpolitikan Istana. Kedua dapat
dijelaskan melalui transformasi perekonomian Indonesia kedalam sistem
kapitalis, yang keduanya mempengaruhi perkembangan politik ekonomi di
Indoenesia.
Dinamika
perkembangan politik di Indonesia bila dipandang dalam perspektif Sejarah,
merupakan suatu mata-rantai proses yang berkesinambungan, dan ada
hubung-kaitnya. Oleh karena itu, dalam melihat situasi terbentuknya suatu
birokrasi dalam kurun waktu tertentu, tidaklah dapat dipisahkan dengan akar
budaya politik yang mendahuluinya. Hukum sejarah menjelaskan, bahwa masa kini
adalah produk dari masa lampau. Namun, dalam perkembangan selanjutnya terdapat
pengaruh zaman dalam proses Sejarah, munculnya bentuk birokrasi baru. Bentuk
birokrasi baru meskipun berbeda dengan birokrasi masa lampau, namun masih
sering tampak sisa-sisa lama tercermin dalam birokrasi baru. Dalam tulisan ini,
pertama mencoba untuk melacak akar budaya politik di Indonesia masa lampau, dan
pengaruhnya terhadap birokrasi militer dan politik ekonomi. Kedua mencoba
melihat dari transformasi perekonomian di Indonesia ke dalam sistem kapitalis,
yang mempengaruhi dinamika perkembangan politik hingga terbentuknya birokrasi
militer. Berangkat dari pertanyaan tentang akar kapitalisme di Indonesia, dan
bagaimanakah pengaruhnya terhadap proses terbentuknya birokrasi militer di
Indonesia. Akar budaya politik di Indonesia dipengaruhi oleh idiologi dan
struktur perpolitikan penguasa, termasuk di dalamnya kerajaan-kerajaan,
penguasa kolonial, dan penguasa pendudukan Jepang di Indonesia. Ketiganya
memberikan andil sebagai akar budaya politik, sehingga pada perkembangan
selanjutnya sering muncul dalam dinamika perkembangan politik di Indonesia dan
juga perkembangan perekonomiannya. Kerajaan-kerajaan
di Indonesia pada umumnya memiliki sistem feodal yang sama. Khususnya di Jawa,
antara pemegang kekuasaan dan gejala kekuasaan dipandang sebagai suatu kesatuan
yang nyata. Oleh karena itu kegiatan politik dianggap berpusat pada si pemegang
kekuasaan, dan struktur politik menggantung dalam bentuk jaringan-jaringan
vertikal yang saling bersaingan untuk memperoleh perlindungan pribadi dari
pemegang kekuasaan. 1.
Hal itu mempunyai kaitan erat dengan munculnya patrimonial, yaitu adanya ikatan
pada sistem kesetiaan hubungan pribadi yang hirarchis dan otoriter. R.W.
liddle berpendapat, bahwa karakter Jawa mempengaruhi politik Indonesia pada era
Orde baru, rezim yang berkuasa sekarang ini bersandar pada jaringan-jaringan
pribadi antara patronklien serta penyukongnya. 2.
Oleh karena itu birokrasi yang berjalan merupakan bentuk patrimonial, seperti
halnya pada kerajaan Jawa, raja memberikan appanage kepada para pendukungnya,
para klient dan keluarganya. Bentuk appanage baru yang kini dibagi-bagikan itu
berwujud, antara lain : jabatan dalam pemerintahan, jabatan-jabatan dengan
kekuasaan mengalokasikan lisensi import dan eksport. Disamping sistem patrimonial,
dalam masyarakat Jawa juga terdapat pembagian cultural antara abangan dan
santri. Antara abangan dan santri sering terjadi persaingan kekuatan dalam
kekuasaan. Pada mulanya kaum santri mempunyai kekuasaan tertinggi diatas
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Seperti kerajaan Giri, sebuah kerajaan yang
dipimpin oleh ulama, mempunyai wewenang untuk melantik dan memberi gelar
raja-raja Jawa, sehingga disebut dengan Paus Van Java. 3.
Namun setelah Mataram berdiri, tidak lagi mengakui kekuasaan Giri, bahkan raja
Mataram langsung bergelar sebagai “Sayidin panatagama kalifatullah ing Tana
Jawa”, yaitu raja merangkap penata agama dan wakil Tuhan di Jawa. Para santri/ulama
hanya diangkat sebagai aparatur birokrasi dibawah raja. Situasi yang demikian
itu sering menimbulkan konflik cultural antara raja dan perangkat birokratnya
dengan santri yang ingin mengembalikan kekuatannya. Dalam hal ini raja
(birokrasi/priyayi) didukung oleh kaum abangan dalam menentang kaum santri. Konflik
kekuatan cultural antara santri di satu pihak berhadapan dengan birokrasi dan
kaum abangan dipihak lain selalu muncul dalam percaturan politik. Pada zaman
Orde Baru konflik itu muncul kembali, yaitu kaum santri berhadapan dengan kaum
abangan dan priyayi (yang diwakili oleh penguasa militer). Dalam hal ini
menunjukkan bahwa Orde baru tidak mampu merujukan kekuatan cultural, santri dan
abangan.
4. Penguasa
militer dalam Orde baru berdiri mewakili tradisi cultural abangan dan priyayi,
dan tidak berusaha mengintegrasikan kaum santri, namun justru membendung
oposisi santri dengan depoltisasi. 5.
Di Indonesia pemerintahan birokratis sangat berhasil dalam meniadakan peran
serta sementara kekuatan dalam masyarkat, dan mengkooptasi pemimpin-pemimpin
lainnya dalam kerangka jaringan patron-kilen, yang kadangkala diperlukan untuk
menghadapi tuntutan golongan Islam. 6.
Dalam mekanisme politik zaman Orde Baru partai Islam sedikit demi sedikit
mengalami pasifikasi, sehingga aspirasi politik Islam makin lama makin surut.
Diluar partai Islam, terdapat pula aspirasi politik yang cukup kuat, namun
selalu mendapat perhatian khusus dan pengawasan yang ketat. Sering munculnya
letupan konflik antara birokrasi dengan kelompok Islam, seperti kasus Komando
Jihad, Peristiwa Tanjung Priok dan sebagainya, sebagai bukti yang masih harus
dipelajari. Apakah peristiwa tersebut murni dari kelompok Islam, oleh karena
ketidakpuasan dengan birokrasi, atau merupakan sebuah scenario untuk memancing
kelompok Islam berbuat distruktif, kemudian lebih mudah mengontrol dan
menekannya.
Pada abad ke
16, tepatnya tahun 1511 Portugis masuk ke Indonesia, kemudian disusul oleh VOC
Belanda pada tahun 1596 di Banten. Hubungan kerajaan-kerajaan di Indonesia
dengan Belanda pada mulanya mempunyai status yang sederajat, Namun pada abad ke
18 terjadi pergeseran, kedudukan kerajaan-kerajaan berada di bawah penguasa
Kolonial Belanda. Akibat dari pergeseran kekuasaan itu, terjadilah posisi
aparatur birokrasi tradisional menjadi agen kolonial Belanda, yang bekerja
untuk mengeksploitasi rakyat. Di satu pihak kelihatannya Belanda masih
menghormati para bangsawan (birokrasi tradisional), namun di pihak lain
birokrat tradisional hanyalah sebagai pelaksana di bawah pemerintah kolonial
Belanda.7
Hubungan
birokrasi tadisional dengan pemerintah kolonial Belanda itu membawa akibat :
pertama, adanya perlawanan rakyat yang tertindas terhadap birokrasi tradisional
(sebagai agen kolonial). Perlawanan itu dipimpin oleh para ulama pedesaan,
sebagai elite religius dan informasi leaders yang sangat berpengaruh. Kedua,
dikenalnya sistem kolonial yang berupa monopoli dan sistem ekonomi kapitalisme.
Dari akibat
yang kedua, yaitu dikenalnya sistem monopoli dan sistem kapitalisme modern
itulah yang menjadi akar dari kapitalisme birokrasi di Indonesia. Munculnya
pengusaha-penguasa, atau penguasa-pengusaha, adalah merupakan kelanjutan dari
pengaruh kolonial.
Pada bulan
maret 1942, wilayah Indonesia diduduki oleh penguasa bala tentara Jepang.
Walaupun penguasa Bala Tentara Jepang itu hanya tiga setengah tahun, namun
terdapat pengaruh yang besar terhadap kehidupan di Indonesia. Pendidikan
kemiliteran yang keras dalam struktur kekuasaan fasisme, telah ditanamkan
kepada generasi muda Indonesia, melalui Peta dan Heiho. Dengan demikian
memungkinkan masuknya pengaruh fasisme di Indonesia. Memang akar budaya politik
fasisme dan pengaruhnya pada birokrasi militer zaman Orde Baru ini belum
diteliti secara mendalam. Namun perlu dipertanyakan, apakah tidak mungkin
budaya politik fasisme itu juga terdapat dalam birokrasi militer dewasa ini.
Pertanyaan itu muncul, sebab para birokrat militer dewasa ini mempunyai
indikator pernah mengalami pendidikan Jepang.
Bila pada
Bagian II dibicarakan tentang akar budaya politik di Indonesia, maka pada
bagian ini dibicarakan proses transformasi perekonomian, diharapkan akan dapat
melihat lebih mendasar terbentuknya birokrasi dan pengusaha militer di
Indonesia. Dalam transformasi perekonomian di Indonesia, tampak kapitalisme
mempunyai peranan yang sangat penting didalam menciptakan kelas borjusi di
kalangan masyarakat Indonesia. Richard Robison berpendapat, bahwa kapitalisme
telah menciptakan empat golongan borjuis di dalam masyarakat Indonesia, dan
bahwa pertarungan kekuasaan dalam Orde Baru merupakan pencerminan
kepentingan-kepentingan bersaing di antara kelompok-kelompok tersebut.8
Keempat
kelompok borjuis yang berkembang di dalam masyarkat Indonesia itu, ialah:
Pertama, golongan borjuis pedagang asli, dalam hal ini terdiri dari pedagang Islam, berpusat di sekitar perdagangan kecil dan produksi komoditi. Golongan ini merupakan produk kapitalisme dagang yang lebih awal. Dalam peta kekuatan politik golongan asli, golongan pertama ini selalu menempati posisi pinggir, sejak tahun 1920-an. Dasar ekonominya semakin lama merosot, sebagai akibat dari struktural yang langsung dipegang oleh kapitalisme kolonial, yaitu pemberian tempat bagi pedagang Cina sebagai perantara perdagangan dalam negeri.
Pertama, golongan borjuis pedagang asli, dalam hal ini terdiri dari pedagang Islam, berpusat di sekitar perdagangan kecil dan produksi komoditi. Golongan ini merupakan produk kapitalisme dagang yang lebih awal. Dalam peta kekuatan politik golongan asli, golongan pertama ini selalu menempati posisi pinggir, sejak tahun 1920-an. Dasar ekonominya semakin lama merosot, sebagai akibat dari struktural yang langsung dipegang oleh kapitalisme kolonial, yaitu pemberian tempat bagi pedagang Cina sebagai perantara perdagangan dalam negeri.
Struktur ini
tidak melibatkan pedagang asli, oleh karena itu ruang geraknya terbatas dalam
lingkungan perdagangan kecil dan produksi komoditi, dipedesaan dan kota-kota
kecil tanpa mendapatkan perlindungan pemerintah Hindia Belanda. Mereka
berhadapan dengan masuknya modal Cina yang mendapat perlindungan dari
pemerintah Kolonial, terutama bersaing dalam produksi tekstil, batik dan rokok
kretek.9
Selain
kemerosotan dalam bidang ekonomi, golongan Islam juga mengalami kemunduran di
bidang politik, Sarekat Islam yang semula mewakili sentimen nasionalis dan Cina
di kalangan pedagang asli, sejak pertengahan 1920-an bergeser di bawah dominasi
kaum politasi sekuler yang berasal dari golongan pejabat priyayi. Golongan pedagang
Islam ini selanjutnya tidak pernah lagi mendapatkan kembali basis kekuatan
politiknya.
Setelah
Republik Indonesia Merdeka, nasib golongan pedagang asli tetap tidak
mendapatkan perlindungan dari Negara. Kebijakan pemerintah untuk mempribumikan
beberapa sektor ekonomi, dengan Program Benteng (1950 – 1955), ternyata tidak
sungguh-sungguh menunjang kaum pengusaha asli. Namun justeru yang dikembangkan
adalah Kapitalisme Negara.
Pada zaman
Orde Baru terjadilah perubahan strategi ekonomi Indonesia. Strategi ekonomi
yang disusun oleh kaum tehnokrat Orde Baru mengarah pada pertumbuhan ekonomi
yang maksimal, melalui pemasukan modal dan teknologi asing secara
besar-besaran.10 Adanya Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing (PMA) tahun
1967, Indonesia membuka pintu lebar-lebar terhadap masuknya modal asing. Akibat
dari politik pintu terbuka lebar untuk modal asing itu, ialah terjadinya
monopoli modal asing dalam bidang : pertambangan, kehutanan, produksi
barang-barang substitusi import.
Dengan
masuknya modal asing itu ternyata mendesak bidang gerak dari pengusaha asli.
Suatu gerakan modal asing dan Cina dalam skala besar mengalir dalam
sektor-sektor bidang gerak pengusaha asli, seperti pada batik, tekstil dan
minuman, serta rokok kretek. Kerjasama modal asing dengan Cina semakin kuat,
sehingga menimbulkan kecemburuan sosial, yang meledak pada peristiwa 15 Januari
1974.
Kecemburuan
sosial itu tidak hanya mengarah kepada antara modal asing dan Cina, namun juga
mengarah kepada birokrasi yang sedang berkuasa. Hal ini dikarenakan, bahwa kaum
elite politik birokrasi ikut mengambil keuntungan bagian dari permodalan itu,
dengan pembagian lisensi, kontrak, kredit dan konsesi-konsesi lainnya. Pada
zaman Orde Baru, antara kelompok pengusaha asli dan birokrasi terjadinya
benturan kembali dalam masalah modal asing. Di satu pihak pengusaha asli
mengalami kemerosotan oleh masuknya investasi asing dan modal Cina yang kuat,
dipihak lain kelompok elite politik birokrasi dan keluarganya, mendapatkan
manfaat dari masuknya modal asing dan Cina sebagai bagian dari joint venture
yang menguasai masalah import.11
Peristiwa 15
Januari 1974 atau disebut dengan Malari, ternyata untuk sementara waktu
menyedarkan kaum elite politik birokrasi, bahwa kebijakannya dalam bidang
ekonomi berakibat buruk. Maka pemerintah mengeluarkan kebijakan baru dalam hal
penanaman modal asing, diarahkan untuk hanya menerima partner joint venture
dengan pribumi, dan menyediakan kredit bank negara bagi penguasa asli.12 Namun
kejadian berikutnya ternyata yang banyak menggunakan kesempatan dan manfaat
dari monopoli atas kredit bank Negara dan joint venture hanyalah para pejabat
dan klien-klien mereka.
Golongan
pedagang asli yang pada umumnya kelompok Islam, telah menjadi korban penetrasi
kapitalis asing dan Cina, yang memiliki sumber-sumber modal dan teknologi
berlimpah. Selain itu juga menjadi korban dari tradisi kekuasaan politik
birokrasi. Kedua, Kapitalisme Negara yang didukung oleh suatu aliansi antara
birokrat sipil, kaum intelektual dan mahasiswa. Kekuatan dari kapitalisme
Negara terletak pada peluasan sektor Negara, yang memberikan kesempatan khusus
pada pendukungnya, yaitu kaum teknokrat, intelektual, perencana dan pengelola.
Perkembangan kapitalisme negara tidak mengalami nasib yang baik, sebab
terhambat oleh adanya sifat patrimonial Negara birokrasi dan aliansinya dengan
modal asing serta modal Cina.
Kapitalisme
Negara terbentuk setelah kemerdekaan Indonesia, dengan usaha awalnya sebagai
mengatasi kesulitan warisan Jepang dan membongkar belenggu perekonomian
Belanda, golongan ini tidak bekerjasama dengan kaum pengusaha asli, dengan
lebih mengandalkan kepada negara kebangsaan sendiri untuk membangun otonomi
perekonomiannya. Sebagai penyangga kapitalisme negara, dengan mendirikan Bank
Sentral, dan beberapa perusahaan negara yang beroperasi di bidang perdagangan
dan industri. Dalam hal ini Menteri Keuangan seperti Soemitro Djojohadikoesoemo
dan Iskaq menggunakan wewenang negara untuk meningkatkan penguasaan nasional
atas sektor ekonomi yang strategis.13
Kapitalisme
Negara diperkuat dengan adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik
Belanda di Indonesia, tahun 1957 – 1958. Dari perusahaan-perusahaan itu
mendapat modal dari bidang perkapalan, perkebunan dan perdagangan. Kapitalisme
Negara ini meningkat dengan fokus utama Ekonomi Terpimpin dalam Deklarasi
Ekonomi (Dekon).14 Kapitalisme Negara berakhir setelah tahun 1965, yaitu
setelah adanya pergantian pemerintahan Soekarno ke pemerintahan Soeharto. Pra
penyusun strategi ekonomi Orde Baru lebih cenderung untuk menempatkan kembali
modal swasta dan invetasi modal asing pada posisi yang utama. Sejak adanya
pintu terbuka terhadap modal asing itu, maka terjadilah penguasaan modal asing
itu, maka terjadilah penguasaan modal asing terhadap bidang : pertambangan,
kehutanan, dan sangat berperan dalam sektor substitusi import.
Namun masih
terdapat sisa-sisa Kapitalisme Negara yang dipertahankan, seperti beberapa
perusahaan yang masih dianggap mempunyai arti penting dalam sektor-sektor
ekonomi yang strategis. Perusahaan-perusahaan Negara itu antara lain :
Perkebunan, Aneka Tambang dan Timah, Semen Gresik, dan Pertamina. Banyak diantara
perusahaan Negara itu telah menjadi dinasti ekonomi bagi klik-klik birokrat
militer tertentu, dan para jendral ekonomi bagi klik-klik birokrat militer
tertentu, dan para jendral dengan sendirinya menolak untuk melepaskan
sumber-sumber keuangan ini.15
Ketiga
adalah golongan birokrasi militer, yang telah mendapat basis ekonomi bukan dari
pemilikan modal swasta, tetapi dengan menggunakan kekuasaan dan jabatan
birokrasi. Dengan kekuasaan dan jabatan birokratis ini memungkinkan
komando-komando tertentu mempunyai acces (terobosan masuk) dalam pasaran
ekonomi, sampai ke daerah-daerah. Dengan cara menduduki pusat-pusat kekuasaan
dalam birokrasi Negara dagang yang patrimonial, mereka mendapat bagian dari
keuntungan yang dihasilkan oleh modal asing dan modal Cina.
Kapitalisme
yang berkembang dalam lingkungan birokrasi merupakan hasil dari penggunaan
wewenang birokrasi yang patrimonial, di mana garis pemisah antara pelayanan
umum dan kepentingan pribadi menjadi kabur. Dalam hal ini jabatan birokrasi itu
sendiri dapat menjadi sebuah appanage, yang memberikan hak kepada pemegangnya
untuk memanfaatkan jabatan tersebut, guna mencapai tujuan-tujuan politik dan
keuntungan material pribadi.16 Bentuk appanage baru yang muncul pada masa kini
ialah berbentuk jabatan-jabatan birokratis yang dibagi-bagikan diantara
kelompok-kelompok pejabat. Appanage bentuk baru yang menguntungkan, adalah
jabatan-jabatan dengan kekuasaan mengalokasikan beberapa lisensi, seperti :
lisensi import dan eksport, lisensi pengeboran minyak dan pertambangan, dan
konsesi hutan. Perusahaan-perusahaan Negara yang dikuasai kaum militer ini
akhirnya dapat dikatakan sebagai makelar (badan perantara) untuk membagikan
lisensi import dan distribusi kepada para importer Cina dan importer asing,
yang dapat peluang terus menguasai sektor import.17
Sebagai
contoh, perusahaan minyak milik Negara Ptma., pada zaman Orde Baru merupakan
sumber utama pemasukan keuangan Negara, namun kenyataannya menjadi semacam
barang yang dibagikan dan dikuasai perwira tinggi militer. Pertanggung-jawabannya
langsung kepada presiden, dalam mengejar berbagai kepentingan yang bukan hanya
untuk pemerintah. Dalam mengejar keuntungan jangka pendek, Ptma. yang dikenal
sebagai perusahaan minyak ternyata tidak terlibat dalam pengeboran yang sebenarnya.
Bagaikan seorang patron, Ptma. bertindak sebagai penguasa yang membagikan
lisensi pengeboran minyak kepada perusahaan asing. Adanya kombinasi antara
monopoli dan ketiadaan tanggung jawab kepada umum, maka membuka peluang besar
yang memungkinkan dapat mengalihkan sejumlah besar pendapatan Negara kepada
berbagai kelompok militer. Dengan cara yang demikian itu merupakan bagian yang
sangat penting dalam membangun struktur kekuasaan Orde Baru.18
Munculnya
orde baru membuka cakrawala bagi perusahaan swasta sebagai titik pusat
investasi dan produksi. Dalam hal ini oleh kelompok-kelompok politik birokrasi
yang dominan, ramai-ramai mendirikan perusahaan swasta, sebagai sarana untuk
memperkaya diri. Perusahaan-perusahaan itu juga berfungsi sebagai pengumpul dana
untuk menopang struktur kekuasaan politik birokratis. Kelompok usahawan
birokrat ternyata tidak berkepentingan untuk mengumpulkan modal yang produktif,
usaha mereka terbatas pada pemilikan saham minoritas dalam usaha-usaha joint
venture. Dalam hal ini peranannya sangat politis, sehingga tidak dapat bertahan
setelah hilangnya jabatan resmi mereka. Mereka tidak mempunyai harga lagi bagi
partner joint venture, pada saat tidak sanggup lagi memperoleh lisensi, kontrak
dan konsesi klainnya. Oleh karenanya mereka hanya dapat menikmati masa yang
singkat sebagai partner joint-venture. Sebagai pegangan, mereka mencoba
membangun basis kekuasaan jangka panjang, melalui pemilikan tanah,
gedung-gedung dan benda yang tidak bergerak lainnya. Namun dengan perbuatannya
itu, mereka sesungguhnya tidak membentuk kelas borjusi baru, melainkan
membentuk kelas tuan tanah baru.
Keempat,
adalah kelompok pengusaha asli yang menjadi klient dari birokrasi. Kelompok ini
tergantung oleh pengayoman Patronnya (birokrasi) dan tergantung pula oleh modal
asing. Hidupnya tergantung oleh konsesi dan monopoli administrative. Kelompok
pengusaha asli yang demikian dikenal kapitalisme klient. Bagi kapitalisme
klient yang terdiri dari pengusaha asli pribumi, kalah bersaing dengan
pengusaha Cina, dalam memperoleh kedudukan sosial ekonominya. Hal ini
disebabkan pertama, sebagaian besar konsesi yang diperoleh secara politis telah
diserahkan kepada kelompok usaha asing dan Cina. Kedua, klient lebih suka
menjadi broker konsesi dari pada menggunakan konsesi itu sebagai modal usaha
yang produktif. Ketiga, apabila sang patron (pengayom) jatuh, maka akan
menghancurkan klient asli, seorang klient Cina mempunyai modal yang kuat,
sehingga masih dapat bertahan. Oleh karena itu kedudukan kapitalisme klien yang
asli sangatlah labil, sebab sangat tergantung kepada pejabat birokrasi yang
mengayomi.
Penjelasan
mengenai proses terbentuknya birokrasi militer melalui transformasi
perekonomian, khususnya bentuk-bentuk kapitalisme, ternyata dapat melihat
permasalahannya dengan lebih mendasar. Dominasi asing dalam bidang permodalan
dan investasi, mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap jendral yang duduk
dalam birokrasi, sehingga dapat dikatakan merupakan bagian integral dari
kapitalisme. Selain para birokrat militer itu terikat pada joint venture dengan
usaha asing dan Cina, namun juga meindungi partner usaha itu dengan membuat
kebijakan-kebijakan yang menjamin kepentingannya.
Mengalirnya
pabrik-pabrik asing dan Cina yang mempunyai modal kuat, telah mendesak kedalam
sektor-sektor produksi tradisional yang menjadi usaha dari pengusaha asli
Indonesia. Hal itu menimbulkan kecemburuan sosial, yang meletupkan protes
sosial melalui demonstrasi-semonstrasi dan gerakan anti Cina. Selain itu muncul
gerakan politik yang beroposisi kepada birokrasi militer, dalam hal ini
pengusaha asli bekerjasama dengan politisi Islam menghadapi penguasa birokrasi
militer yang dikuasai oleh kebanyakan Jawa-abangan. Di samping itu, kecemburuan
sosial juga membangkitkan kalangan intelektual dan mahasiswa untuk menempatkan
dirinya pada barisan oposisi, dalam menghadapi birokrat militer. Hal ini
mempunyai latar belakang, diantaranya, pertama ketika kekuasaan politik jatuh
ketangan militer, maka kaum intelektual yang dulunya berperan sebagai politisi,
kemudian hanya dijadikan sebagai teknokrat dan penasehat. Peran tersebut
merupakan pengabdian pada aliansi birokrat militer dan kepentingan asing serta
Cina.
Akar budaya
politik di Indonesia antara lain : Feodalisme, Kapitalisme, dan Fasisme,
ternyata ikut mewarnai dinamika perkembangan politik di kemudian hari. Dari
akar politik Feodal, memunculkan sistem patrimonial baru dalam pembagian
kekuasaan, maupun pembagian perusahaan. Penguasa orde baru bersandar pada
jaringan-jaringan pribadi, antara patron-klien serta penyukongnya. Masuknya
kolonialisme Belanda dan Inggris di Indonesia, membawa pengaruh baru, yaitu
kapitalisme birokrasi, yang mempunyai hubungan dengan modal asing. Di zaman
orde baru timbul adanya penguasa-pengusaha, yang dapat mempengaruhi dinamika
politik negara.
Walaupun
masih perlu diadakan penelitian terhadap akar budaya politik fasisme, namun
indikator adanya sikap-fasis itu, antara lain : Alergi terhadap kritik dan
oposisi; bersikap keras tanpa kompromi terhadap lawan politik penguasa dan sebagainya.
Bila dilihat dari pendekatan transformasi ekonomi, akan tampak peranan
kapitalisme dalam proses pembentukan struktur birokrasi militer di Indonesia.
Awal dari rintisan pembentukan birokrasi militer, ialah diawali dari peristiwa
17 Oktober 1952. Dalam peristiwa ini militer menuntut hak tidak hanya sebagai
alat negara, namun juga sebagai anggota birokrasi yang ikut menentukan
kehidupan negara. Adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan dan perkebunan
Belanda, tahun 1957-1958, militer mengambil peranan untuk ikut menguasai
perusahaan dan perkebunan. Mulai dari itu militer mengembangkan tugasnya di
bidang usaha, dan lebih jauh mendirikan perusahaan-perusahaan sendiri yang
dilakukan oleh setiap angkatan, maupun pribadi. Setelah tahun 1965, memasuki era
orde baru, militer mulai menguasai birokrasi pemerintahan di Indonesia.
Birokrasi militer itu tidak hanya ditingkat pusat, namun sampai juga di
daerah-daerah. Muncul pameo dalam masyarakat, bahwa republik sedang mengadakan
“penghijauan” yang artinya aparatur birokrasi diusahakan dipegang oleh militer.
Strategi
ekonomi Orde Baru ialah mengarahkan pertumbuhan ekonomi yang maksimal dengan
menggunakan modal asing dan teknologi asing secara besar-besaran. Dalam masalah
pengelolaan modal asing dan modal Cina, kaum birokrat militer menggunakan
kesempatan mengambil keuntungan, yaitu dengan memberikan konsesi, lisensi dan
kontrak. Dengan menggunakan kekuasaan dan jabatan, birokrat militer menguasai
pusat-pusat perdagangan, mereka mendapatkan bagian keuntungan dari modal asing
dan Cina.
Keuntungan
dari modal asing dan modal Cina itu juga dipergunakan untuk memperkuat struktur
kekuasaan birokrasi militer. Oleh karena itu ada simbiose mutualisme antara
modal asing dan modal Cina dengan birokrasi militer. Penguasa birokrasi militer
selalu berusaha menciptakan stabilitas nasional, untul menjamin keselamatan
modal asing dan modal Cina. Sebaliknya pengusaha pemilik modal asing dan Cina
memberikan keuntungan kepada para birokrat militer.
Kelompok
usahawan birokrat ternyata tidak berkepentingan dan tidak mampu mengumpulkan
modal produktif, sehingga hanya berfungsi sebagai makelar modal asing dan Cina.
Hal ini sangat disayangkan, sebab ketidakkuatannya mengumpulkan modal produktif
untuk dipegang oleh pemerintah, ini menandakan kekuatan permodalan negara masih
dalam kondisi lemah. Akibat dari kondisi permodalan negara atau yang dipegang
oleh birokrasi secara resmi itu lemah, maka akan melemahkan kedudukan birokrasi
itu sendiri dan perekonomian negara. Apabila pihak penanam modal asing dan Cina
itu memutuskan tidak menanamkan modalnya lagi di Indonesia atau membawa lari
modalnya keluar negeri, maka posisi birokrasi akan goyah, dan negara juga dapat
mengalami krisis moneter. Agar perekonomian negara dan perekonomian rakyat
kuat, maka diperlukan pendekatan terhadap pengusaha asli. Pengusaha asli dapat
diharapkan mengumpulkan modal produktif, yang dapat menyangga (sebagai pelopor)
perekonomian negara dan perekonomian rakyat. Seharusnya para birokrat dan
pengusaha militer mulai menyadari, perlunya ada pendekatan dengan pengusaha
asli. Disertai pengembangan modal pengusaha asli, sehingga sewaktu-waktu modal
asing dan Cina lari, dalam negeri masih mempunyai modal yang produktif.
No comments:
Post a Comment