10/04/2015

Makalah Masa Orde Baru di Indonesia :Politik dan Militer Orba

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Mengingat bahwa pembuatan makalah ini merupakan salah satu penunjang dalam rangka pemenuhan salah satu tugas mata kuliah Perkembangan Masyarakat Indonesia,  maka dipandang perlu dalam penyelesaian makalah ini. Makalah ini juga  dirancang dengan tujuan sebagai bahan presentasi.
Sejarah Indonesia dipenuhi intrik-intrik politik yang sangat kental dan mewarnai hampir seluruh roda kepemimpinan. Dan sepertinya hal ini mendapat perhatian yang kurang dari pemerintah Indonesia saat ini. Padahal dengan menganalisis segala kesalahan-kesalahan para penguasa negeri ini di masa lampau, maka kita bisa memperbaiki sistem pemerintahan kita sekarang dan yang akan datang.
Membicarakan masa lalu tentu saja membicarakan sejarah. Dengan sejarah kita bisa bercermin daripadanya. Dari sejarah kita mampu mengubah arah haluan kemana negeri ini akan berlayar. Oleh karena itu, benarlah kata yang diucapkan oleh Presiden Soekarno. “JAS MERAH” yang berarti bahwa janganlah sekalipun kita sebagai bangsa Indonesia melupakan sejarah bangsa ini.
Salah satu sejarah yang mewarnai bangsa ini adalah masa orde baru. Pada masa ini merupakan masa-masa yang disebut sebagai masa kontroversial. Ada yang mengatakan bahwa pada masa ini bangsa Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat jika dinilai dari segi kemakmuran bangsanya. Dan juga sering disebut sebagai masa yang sangat kelam bagi bangsa Indonesia jika dilihat dari segi korupsinya, karena pada masa inilah budaya penggunaan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri mulai berbudaya di kalangan politik kita.
Adapun sejarah yang dituliskan dalam makalah ini adalah sejarah politik dan militer yang berkembang pada masa orde baru. Oleh karena itu, penulis mengharapkan para pembaca bisa mengambil segala ilmu dan juga hikmah yang tertulis di dalam makalah ini.




B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari  politik dan militer ?
2.      Apa saja peristiwa penting yang terjadi pada rezim orde baru yang berhubungan dengan politik dan militer ?
3.      Bagaimanakah peran ABRI pada masa orde baru ?
4.      Apakah penyebab pembubaran politik dan militer pada masa orde baru ?
5.      Apa pengaruh akar budaya politik pada dinamika politik ekonomi di indonesia ?
C.      Tujuan Penulisan Makalah
1.      Untuk mengetahui definisi dari politik dan militer
2.      Untuk mengetahui berbagai peristiwa penting mengenai politik dan militer yang terjadi pada rezim orde baru.
3.      Untuk mengetahiu peran ABRI pada rezim orde baru.
4.      Untuk mengetahui sebab-sebab pembubaran politik dan militer pada masa orde baru.
5.      Untuk mengetahui pengaruh akar budaya politik pada dinamika politik ekonomi di indonesia
D.    Sistematika Penulisan Makalah
Bab 1 pendahuluan, bab ini berisi latar belakang penulisan makalah, rumusan masalah penulisan makalah, tujuan penulisan makalah, juga berisi mengenai sistematika penulisan makalah.
Bab 2 pembahasan, bab ini membahas mengenai definisi dari politik dan militer, berbagai bentuk peristiwa penting mengenai politik dan militer yang terjadi pada rezim orde baru, mengetahui peran ABRI pada rezim orde baru, mengetahui sebab-sebab pembubaran politik dan militer pada masa orde baru, pengaruh akar budaya politik pada dinamika politik ekonomi di indonesia
Bab 3 penutup, bab ini membahas mengenai kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan-rumusan masalah. 






BAB II
PEMBAHASAN

A.     PENGERTIAN POLITIK DAN MILITER
Politik merupakan proses pembentukan dan pembagian kekuasaan baik berupa pembuatan keputusan, pembuatan organisasi, maupun pemindahan kekuasaan dalam suatu Negara.                                                                                                                                    Disamping itu, politik juga mempunyai definisi lain jika kita lihat dari sudut pandang yang berbeda, yaitu antara lain :
1.      Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh oleh warga Negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
2.      Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan Negara
3.      Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
4.      Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Kata militer berarti segala sesuatu yang bersangkutan dengan hal keprajuritan dan persenjataan. Oleh karena itu dapat disimpulkan, pengertian militer di Indonesia dapat diartikan sebagai TNI (Tentara Nasional Indonesia),  ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan juga POLRI (Polisi Republik Indonesia). Karena tiga lembaga itulah yang mempunyai kriteria yang sama dengan definisi militer.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan politik dan militer pada masa orde baru adalah interaksi dan keikutsertaan para satuan pengaman Negara dalam proses penyelenggaraan, pemerintahan dan Negara dalam masa orde baru.






DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………….……………………………………………..  i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….  ii
BAB  I  PENDAHULUAN ……………………...…………………………………………  1
A.     LATAR BELAKANG MASALAH …………….…………………………………………   1
B.     RUMUSAN MASALAH ………………….………………………………………………..  1
C.     TUJUAN PENULISAN MAKALAH ……………………………………………………...  1
D.     SISTEMATIKA ……………………………………………………………………………..  1
BAB  II  PEMBAHASAN ………………………………………………………………….  2
A.     DEFINISI POLITIK DAN MILITER ……………………………………………………..  2
B.      PERISTIWA PENTING MENGENAI POLITIK DAN MILITER YANG TERJADI PADA REZIM ORDE BARU ……………………………………………………………………… 3
C.     PERANAN MILITER (ABRI) PADA REZIM ORDE BARU…………………………….. 4
D.     SEBAB-SEBAB PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DAN MILITER PADA MASA ORDE BARU…………………………………………………………………………………………. 6
E.      PENGARUH AKAR BUDAYA POLITIK PADA DINAMIKA POLITIK EKONOMI DI INDONESIA …………………………………………………………………………………. 7

BAB  III PENUTUP
A.     KESIMPULAN.........................................................................................................................  21
B.     DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................  22







KATA PENGANTAR

          Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya, mengenai berbagai peristiwa politik dan militer pada masa orde baru.
Makalah ini berisikan tentang
politik dan militer, berbagai bentuk peristiwa penting mengenai politik dan militer yang terjadi pada rezim orde baru, mengetahui peran ABRI pada rezim orde baru, mengetahui sebab-sebab pembubaran politik dan militer pada masa orde baru.                                         Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.



Bandung,   November 2011

                               
               Penyusun











BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
            Bangsa ini mempunyai banyak sejarah, baik yang bernilai positif maupun negatif. Pada masa orde barupun berlaku hal yang sama, pada masa ini Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam bidang pembangunan, hal ini dapat kita nilai dengan adanya program PELITA. Namun orde ini uga memiliki sisi negatif yaitu budaya otoriterisme dan korupsi yang merajalela.
            Budaya para petinggi Negara yang dominannya menggunakan jabatan dan kedudukan mereka untuk memperkaya diri sendiri pada masa ini dimulai dari masa orde baru.
            Oleh karena itu sepatutnyalah kita berkaca diri pada sejarah kelam Negara ini untuk menjadi bangsa yang lebih baik saat ini dan yang akan datang. 

















DAFTAR PUSTAKA

5.      http://www.google.com
13.  Ahmad Adaby Darban (adaby_kauman@yahoo.com















B.    Peristiwa  Politik dan  Militer Pada Masa Orde Baru

Sebagai konsekuensi dari isi Supersemar yang diantaranya berbunyi “…mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan”.               Langkah-langkah yang dilakukan adalah :                                                                                                
1.       Membubarkan dan pelarangan PKI, termasuk ormas-ormasnya dari tingkat pusat sampai daerah.        
2.       Terjadi pengamanan dan penangkapan terhadap lima belas menteri Kabinet Dwikora yang terlibat dalam perstiwa di tahun 1965. Kelima belas mentri tersebut adalah Dr. Soebandrio, Dr. Chairul Saleh, Ir. Setiadi Reksoprodjo, Sumardjo, Oei Tju Tat, SH., Ir. Surachman, Yusuf Muda Dalam, Armunanto, Sutomo Martopradoto, A. Astrawinata. SH, Mayor Jenderal Achmadi, Drs. Moh. Achadi, Letnan Kolonel Sjafei, J.K. Tumakaka, dan Mayor Jendral Dr. Soemarno.
3.       Langkah berikutnya adalah pada tanggal 25 Juli 1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera sebagai pengganti Kabinet Dwikora. Adapun tugas pokok dari Kabinet Ampera dikenal dengan nama Dwidharma yaitu dalam rangka mewujudkan stabilitas politik dan ekonomi. Dalam melaksanakan tugas ini maka penjabarannya tertuang dalam program Kabinet Ampera yang dikenal dengan nama Catur Karya, meliputi:
a.             Memperbaiki perikehidupan rakyat, terutama dalam bidang sandang dan pangan;
b.            Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketatapan MPRS No.XI/MPRS/1966;
c.             Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketatapan MPRS No.XI/MPRS/1966, dan;
d.            Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 melaksanakan persetujuan normalisasi hubungan dengan Malaysia, yang pernah putus sejak 17 September 1963. Persetujuan normalisasi hubungan tersebut merupakan hasil perundingan Bangkok (29 Mei – 1 Juni 1966).                                                 Dan dalam sidang umum MPRS tanggal 20 Juni 1966 Soekarno diminta menyampaikan pidato pertanggungjawabannya terkait dengan peristiwa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965. Dalam pertanggungjawaban ini Soekarno berpidato dengan nama NAWAKSARA yang artinya sembilan pasal. Pidato Presiden Soekarno tersebut tidak dapat diterima oleh MPRS, sehingga MPRS memberikan waktu kepada Presiden Soekarno untuk menyempurnakan lagi pada tanggal 10 januari 1967 yang disebut PELENGKAP NAWAKSARA yang dituangkan dalam Surat Presiden Republik Indonesia No. 01/Pres/1967. Disini nampak terjadi pergeseran peranan MPRS di hadapan pemegang Supersemar yang tidak sesuai dengan UUD tahun 1945.       Dalam Sidang Istimewa ini MPRS menghasilkan 4 ketetapan, diantaranya Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto pemegang Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilu. Dan pada tanggal 27 Maret 1968 dilakukan pelantikan Jendral Soeharto pengemban Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua.
C.   Peran Militer Sebagai Kekuatan Sosial Politik Pada Masa Orde Baru
Bangsa Indonesia menyadari bahwa TNI yang terbentuk dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat mempunyai arti penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. ABRI lahir dan dibentuk oleh rakyat Indonesia ditengah-tengah perjuangan nasional dalam merebut kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing. ABRI lahir sebagai pejuang dan kemudian sebagai prajurit, bertekad untuk hidup dan mati dengan negara proklamasi 17 Agustus 1945 yang berdasarkan Pancasila sehingga keselamatan bangsa dan negara merupakan tugas dan tanggung jawab ABRI. Sesuai dengan latar belakang yaitu Peran ABRI Sebagai Kekuatan Sosial Politik pada Masa Orde Baru (1966-1997).                                                                                                                   Istilah ABRI lahir ketika penyatuan angkatanangkatan dan kepolisian kedalam satu wadah melalui sebuah Surat Keputusan Presiden No. 225/Plt Tahun 1962. Perkembangan Dwifungsi ABRI diawali dengan banyaknya kekosongan dalam pemerintahan sipil pasca proklamasi kemerdekaan, sehingga dari inisiatif para pemimpin militer pada saat itu diusulkan untuk diisi oleh golongan militer. Kemudian rapuhnya pemerintahan sipil dibawah Presiden Soekarno dalam menyikapi perubahan cara pandang golongan militer sehingga terjadi ketidaksesuaian pendapat antara golongan pemerintah dengan golongan militer.                            Puncaknya pada masa Orde Baru, peran tersebut mendapat legitimasi dan legalisasi menjadi pedoman dan langkah bagi militer untuk terjun dalam bidang diluar militer seperti ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya. Peran sosial politik ABRI salah satunya dalam bidang ideologi adalah dengan memasyarakatkan. Pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P-4). Namun peranan tersebut tidak seluruhnya diamalkan dan dijalankan oleh semua prajurit ABRI. Namun sebagian tidak mendapatkan kesempatan yang lebih maupun hanya menjalankan tugas sehari-hari sebagai seorang prajurit yang patuh pada atasan.                                        Sejarah kekuasaan orde baru, adalah sejarah militer, yaitu suatu pemerintahan yang berdiri dan berkembang atas dasar elitism, irasionalisme, nasionalisme, dan komporatisme. Ciri dari bentuk kekuasaan ini adalah mengandalkan kekuatan militer untuk menghancurkan organisasi masa dan menghilangkan semua gerakan militan. Pada zaman orde baru TNI atau ABRI memiliki dua fungsi atau yang lebih dikenal sebagai dwi fungsi ABRI hal ini merupakan refleksi dari pengalaman masa lalu. Pada masa orde lama hamper semua keputusan politik ditentukan oleh politisi sipil. Akibatnya keberadaan militer menjadi bergantung kepada kemauan politisi sipil. Istilah DWIFUNGSI ABRIpertama kali diperkenalkan oleh abdul Haris Nasution pada tanggal 12 November 1958. Pada pertama kalinya DWIFUNGSI ABRI merupakan istalah untuk menyebut dua peran militer, yaitu fungsi tempur dan fungsi bimbingan masyarakat.      Posisi Militer Pada Masa Orde Baru                                                                          Akibat dari pemerintahan orde lama, yang hampir sama sekali tidak menggunakan kekuatana militer, maka pada masa orde baru pemerintah menggunakan kekuatan militer hamper di semua aspek. Agar keberadaan militer dibidang sosial politik di akui, maka pemerintah orde baru melakukun langkah- langkah yuridis yaitu :
1.      Memasukkan dwi fungsi ABRI dalam GBHN sebagai modal dasar pembangunan.
2.      Membuat UU no. 1/ 1982 tentang pokok- pokok pertahanan dan keamanan Negara
3.      Membuat UU no.2/1988 dan
4.     Membuat UU no. 1/1989.                                                                                                                    Pada Masa Orde Baru Ada Tiga Peran Militer Yaitu:
1.      Menempati jabatan- jabatan politis seperti mentri, gubernur, bupati, dan anggota DPR. Misalnya pada tahun 1966 ada 12 orang anggota militer yang menjadi mentri, 27 anggota cabinet dan 11 militer yang menempati jabatan strategis di dep[artemen urusan sipil. Di DPR 75 snggota militer menduduki kursi militer. Sementara pada tahun 1970 terdapat 92 % anggota militer. Hingga pada tahun 1982 sebanyak 89% jabatan stategis di isi oleh militer.
2.      Menempati jabatan di perlemen, sehingga mempengaruhi hamper semua keputusan yang di buat oleh DPR.
3.      Meghegemoni kekuatan sipil.

D.   PEMBUBARAN PARTAI POLITIK PADA MASA ORDE BARU
Pembubaran partai politik pada setiap periode diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tetapi, pada masa orde baru tidak mengenal pembubaran partai politik. Pada masa orde baru hanya dikenal pembekuan pengurus pusat partai politik.                                        Pada masa orde lama pembubaran partai politik menjadi wewenang presiden. Pengadilan, yaitu MA, hanya memberikan pertimbangan yang sifatnya tidak mengikat. Hal ini hampir sama dengan prosedur pembekuan pengurus pusat partai politik pada masa orde baru. Mekanisme pembekuan pengurus pusat partai politik pada masa orde baru yang menjadi wewenang presiden dengan pertimbangan MA.               
Pada awal masa orde baru terdapat satu partai politik yang dibubarkan namun tidak menggunakan aturan hukum yang berlaku pada saat itu, pembubaran dan pelarangan itu terjadi dengan alas an ancaman keamanan Negara serta ideologi partai yang dibubarkan dinilai bertentangan dengan pancasila dan para penganutnya telah beberapa kali berupaya merobohkan kekuasaan yang sah. Selain itu pada awal orde baru yang terjadi pembekuan satu partai politik dengan alasan memiliki keterkaitan dengan partai yang telah dibubarkan. Tindakan pembekuan ini tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu. Selain itu terdapat juga kebijakan penyederhanaan melalui fusi partai politik yang mengakibatkan pembubaran partai-partai politik yang melakukan fusi menjadi dua partai politik dan satu golongan karya.                                                                                                                                       Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan pembatasan dan pengekangan kebebasan partai politik. Pada saat orde baru ada satu partai politik yang dibubarkan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku saaat itu.  
E.                Pengaruh Akar Budaya Politik Pada Dinamika Politik Ekonomi Di Indonesia   Pengamatan terhadap dinamika perkembangan politik ekonomi di Indonesia, dapat ditinjau dari akar budayanya. Pertama dapat dijelaskan melalui akar budaya politik, yang dipengaruhi oleh idiologi dan struktur perpolitikan Istana. Kedua dapat dijelaskan melalui transformasi perekonomian Indonesia kedalam sistem kapitalis, yang keduanya mempengaruhi perkembangan politik ekonomi di Indoenesia.
Dinamika perkembangan politik di Indonesia bila dipandang dalam perspektif Sejarah, merupakan suatu mata-rantai proses yang berkesinambungan, dan ada hubung-kaitnya. Oleh karena itu, dalam melihat situasi terbentuknya suatu birokrasi dalam kurun waktu tertentu, tidaklah dapat dipisahkan dengan akar budaya politik yang mendahuluinya. Hukum sejarah menjelaskan, bahwa masa kini adalah produk dari masa lampau. Namun, dalam perkembangan selanjutnya terdapat pengaruh zaman dalam proses Sejarah, munculnya bentuk birokrasi baru. Bentuk birokrasi baru meskipun berbeda dengan birokrasi masa lampau, namun masih sering tampak sisa-sisa lama tercermin dalam birokrasi baru. Dalam tulisan ini, pertama mencoba untuk melacak akar budaya politik di Indonesia masa lampau, dan pengaruhnya terhadap birokrasi militer dan politik ekonomi. Kedua mencoba melihat dari transformasi perekonomian di Indonesia ke dalam sistem kapitalis, yang mempengaruhi dinamika perkembangan politik hingga terbentuknya birokrasi militer. Berangkat dari pertanyaan tentang akar kapitalisme di Indonesia, dan bagaimanakah pengaruhnya terhadap proses terbentuknya birokrasi militer di Indonesia. Akar budaya politik di Indonesia dipengaruhi oleh idiologi dan struktur perpolitikan penguasa, termasuk di dalamnya kerajaan-kerajaan, penguasa kolonial, dan penguasa pendudukan Jepang di Indonesia. Ketiganya memberikan andil sebagai akar budaya politik, sehingga pada perkembangan selanjutnya sering muncul dalam dinamika perkembangan politik di Indonesia dan juga perkembangan perekonomiannya.                                                                               Kerajaan-kerajaan di Indonesia pada umumnya memiliki sistem feodal yang sama. Khususnya di Jawa, antara pemegang kekuasaan dan gejala kekuasaan dipandang sebagai suatu kesatuan yang nyata. Oleh karena itu kegiatan politik dianggap berpusat pada si pemegang kekuasaan, dan struktur politik menggantung dalam bentuk jaringan-jaringan vertikal yang saling bersaingan untuk memperoleh perlindungan pribadi dari pemegang kekuasaan.                             1. Hal itu mempunyai kaitan erat dengan munculnya patrimonial, yaitu adanya ikatan pada sistem kesetiaan hubungan pribadi yang hirarchis dan otoriter.                                                               R.W. liddle berpendapat, bahwa karakter Jawa mempengaruhi politik Indonesia pada era Orde baru, rezim yang berkuasa sekarang ini bersandar pada jaringan-jaringan pribadi antara patronklien serta penyukongnya.                                                                                                 2. Oleh karena itu birokrasi yang berjalan merupakan bentuk patrimonial, seperti halnya pada kerajaan Jawa, raja memberikan appanage kepada para pendukungnya, para klient dan keluarganya. Bentuk appanage baru yang kini dibagi-bagikan itu berwujud, antara lain : jabatan dalam pemerintahan, jabatan-jabatan dengan kekuasaan mengalokasikan lisensi import dan eksport.                                                                            Disamping sistem patrimonial, dalam masyarakat Jawa juga terdapat pembagian cultural antara abangan dan santri. Antara abangan dan santri sering terjadi persaingan kekuatan dalam kekuasaan. Pada mulanya kaum santri mempunyai kekuasaan tertinggi diatas kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Seperti kerajaan Giri, sebuah kerajaan yang dipimpin oleh ulama, mempunyai wewenang untuk melantik dan memberi gelar raja-raja Jawa, sehingga disebut dengan Paus Van Java.                                                                                                                                                         3. Namun setelah Mataram berdiri, tidak lagi mengakui kekuasaan Giri, bahkan raja Mataram langsung bergelar sebagai “Sayidin panatagama kalifatullah ing Tana Jawa”, yaitu raja merangkap penata agama dan wakil Tuhan di Jawa. Para santri/ulama hanya diangkat sebagai aparatur birokrasi dibawah raja. Situasi yang demikian itu sering menimbulkan konflik cultural antara raja dan perangkat birokratnya dengan santri yang ingin mengembalikan kekuatannya. Dalam hal ini raja (birokrasi/priyayi) didukung oleh kaum abangan dalam menentang kaum santri.                                                                                                                                          Konflik kekuatan cultural antara santri di satu pihak berhadapan dengan birokrasi dan kaum abangan dipihak lain selalu muncul dalam percaturan politik. Pada zaman Orde Baru konflik itu muncul kembali, yaitu kaum santri berhadapan dengan kaum abangan dan priyayi (yang diwakili oleh penguasa militer). Dalam hal ini menunjukkan bahwa Orde baru tidak mampu merujukan kekuatan cultural, santri dan abangan.
4. Penguasa militer dalam Orde baru berdiri mewakili tradisi cultural abangan dan priyayi, dan tidak berusaha mengintegrasikan kaum santri, namun justru membendung oposisi santri dengan depoltisasi.                                                                                                                    5. Di Indonesia pemerintahan birokratis sangat berhasil dalam meniadakan peran serta sementara kekuatan dalam masyarkat, dan mengkooptasi pemimpin-pemimpin lainnya dalam kerangka jaringan patron-kilen, yang kadangkala diperlukan untuk menghadapi tuntutan golongan Islam.                                                                                                                            6. Dalam mekanisme politik zaman Orde Baru partai Islam sedikit demi sedikit mengalami pasifikasi, sehingga aspirasi politik Islam makin lama makin surut. Diluar partai Islam, terdapat pula aspirasi politik yang cukup kuat, namun selalu mendapat perhatian khusus dan pengawasan yang ketat. Sering munculnya letupan konflik antara birokrasi dengan kelompok Islam, seperti kasus Komando Jihad, Peristiwa Tanjung Priok dan sebagainya, sebagai bukti yang masih harus dipelajari. Apakah peristiwa tersebut murni dari kelompok Islam, oleh karena ketidakpuasan dengan birokrasi, atau merupakan sebuah scenario untuk memancing kelompok Islam berbuat distruktif, kemudian lebih mudah mengontrol dan menekannya.
Pada abad ke 16, tepatnya tahun 1511 Portugis masuk ke Indonesia, kemudian disusul oleh VOC Belanda pada tahun 1596 di Banten. Hubungan kerajaan-kerajaan di Indonesia dengan Belanda pada mulanya mempunyai status yang sederajat, Namun pada abad ke 18 terjadi pergeseran, kedudukan kerajaan-kerajaan berada di bawah penguasa Kolonial Belanda. Akibat dari pergeseran kekuasaan itu, terjadilah posisi aparatur birokrasi tradisional menjadi agen kolonial Belanda, yang bekerja untuk mengeksploitasi rakyat. Di satu pihak kelihatannya Belanda masih menghormati para bangsawan (birokrasi tradisional), namun di pihak lain birokrat tradisional hanyalah sebagai pelaksana di bawah pemerintah kolonial Belanda.7
Hubungan birokrasi tadisional dengan pemerintah kolonial Belanda itu membawa akibat : pertama, adanya perlawanan rakyat yang tertindas terhadap birokrasi tradisional (sebagai agen kolonial). Perlawanan itu dipimpin oleh para ulama pedesaan, sebagai elite religius dan informasi leaders yang sangat berpengaruh. Kedua, dikenalnya sistem kolonial yang berupa monopoli dan sistem ekonomi kapitalisme.
Dari akibat yang kedua, yaitu dikenalnya sistem monopoli dan sistem kapitalisme modern itulah yang menjadi akar dari kapitalisme birokrasi di Indonesia. Munculnya pengusaha-penguasa, atau penguasa-pengusaha, adalah merupakan kelanjutan dari pengaruh kolonial.
Pada bulan maret 1942, wilayah Indonesia diduduki oleh penguasa bala tentara Jepang. Walaupun penguasa Bala Tentara Jepang itu hanya tiga setengah tahun, namun terdapat pengaruh yang besar terhadap kehidupan di Indonesia. Pendidikan kemiliteran yang keras dalam struktur kekuasaan fasisme, telah ditanamkan kepada generasi muda Indonesia, melalui Peta dan Heiho. Dengan demikian memungkinkan masuknya pengaruh fasisme di Indonesia. Memang akar budaya politik fasisme dan pengaruhnya pada birokrasi militer zaman Orde Baru ini belum diteliti secara mendalam. Namun perlu dipertanyakan, apakah tidak mungkin budaya politik fasisme itu juga terdapat dalam birokrasi militer dewasa ini. Pertanyaan itu muncul, sebab para birokrat militer dewasa ini mempunyai indikator pernah mengalami pendidikan Jepang.
Bila pada Bagian II dibicarakan tentang akar budaya politik di Indonesia, maka pada bagian ini dibicarakan proses transformasi perekonomian, diharapkan akan dapat melihat lebih mendasar terbentuknya birokrasi dan pengusaha militer di Indonesia. Dalam transformasi perekonomian di Indonesia, tampak kapitalisme mempunyai peranan yang sangat penting didalam menciptakan kelas borjusi di kalangan masyarakat Indonesia. Richard Robison berpendapat, bahwa kapitalisme telah menciptakan empat golongan borjuis di dalam masyarakat Indonesia, dan bahwa pertarungan kekuasaan dalam Orde Baru merupakan pencerminan kepentingan-kepentingan bersaing di antara kelompok-kelompok tersebut.8
Keempat kelompok borjuis yang berkembang di dalam masyarkat Indonesia itu, ialah:
Pertama, golongan borjuis pedagang asli, dalam hal ini terdiri dari pedagang Islam, berpusat di sekitar perdagangan kecil dan produksi komoditi. Golongan ini merupakan produk kapitalisme dagang yang lebih awal. Dalam peta kekuatan politik golongan asli, golongan pertama ini selalu menempati posisi pinggir, sejak tahun 1920-an. Dasar ekonominya semakin lama merosot, sebagai akibat dari struktural yang langsung dipegang oleh kapitalisme kolonial, yaitu pemberian tempat bagi pedagang Cina sebagai perantara perdagangan dalam negeri.
Struktur ini tidak melibatkan pedagang asli, oleh karena itu ruang geraknya terbatas dalam lingkungan perdagangan kecil dan produksi komoditi, dipedesaan dan kota-kota kecil tanpa mendapatkan perlindungan pemerintah Hindia Belanda. Mereka berhadapan dengan masuknya modal Cina yang mendapat perlindungan dari pemerintah Kolonial, terutama bersaing dalam produksi tekstil, batik dan rokok kretek.9
Selain kemerosotan dalam bidang ekonomi, golongan Islam juga mengalami kemunduran di bidang politik, Sarekat Islam yang semula mewakili sentimen nasionalis dan Cina di kalangan pedagang asli, sejak pertengahan 1920-an bergeser di bawah dominasi kaum politasi sekuler yang berasal dari golongan pejabat priyayi. Golongan pedagang Islam ini selanjutnya tidak pernah lagi mendapatkan kembali basis kekuatan politiknya.
Setelah Republik Indonesia Merdeka, nasib golongan pedagang asli tetap tidak mendapatkan perlindungan dari Negara. Kebijakan pemerintah untuk mempribumikan beberapa sektor ekonomi, dengan Program Benteng (1950 – 1955), ternyata tidak sungguh-sungguh menunjang kaum pengusaha asli. Namun justeru yang dikembangkan adalah Kapitalisme Negara.

Pada zaman Orde Baru terjadilah perubahan strategi ekonomi Indonesia. Strategi ekonomi yang disusun oleh kaum tehnokrat Orde Baru mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang maksimal, melalui pemasukan modal dan teknologi asing secara besar-besaran.10 Adanya Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967, Indonesia membuka pintu lebar-lebar terhadap masuknya modal asing. Akibat dari politik pintu terbuka lebar untuk modal asing itu, ialah terjadinya monopoli modal asing dalam bidang : pertambangan, kehutanan, produksi barang-barang substitusi import.
Dengan masuknya modal asing itu ternyata mendesak bidang gerak dari pengusaha asli. Suatu gerakan modal asing dan Cina dalam skala besar mengalir dalam sektor-sektor bidang gerak pengusaha asli, seperti pada batik, tekstil dan minuman, serta rokok kretek. Kerjasama modal asing dengan Cina semakin kuat, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial, yang meledak pada peristiwa 15 Januari 1974.
Kecemburuan sosial itu tidak hanya mengarah kepada antara modal asing dan Cina, namun juga mengarah kepada birokrasi yang sedang berkuasa. Hal ini dikarenakan, bahwa kaum elite politik birokrasi ikut mengambil keuntungan bagian dari permodalan itu, dengan pembagian lisensi, kontrak, kredit dan konsesi-konsesi lainnya. Pada zaman Orde Baru, antara kelompok pengusaha asli dan birokrasi terjadinya benturan kembali dalam masalah modal asing. Di satu pihak pengusaha asli mengalami kemerosotan oleh masuknya investasi asing dan modal Cina yang kuat, dipihak lain kelompok elite politik birokrasi dan keluarganya, mendapatkan manfaat dari masuknya modal asing dan Cina sebagai bagian dari joint venture yang menguasai masalah import.11
Peristiwa 15 Januari 1974 atau disebut dengan Malari, ternyata untuk sementara waktu menyedarkan kaum elite politik birokrasi, bahwa kebijakannya dalam bidang ekonomi berakibat buruk. Maka pemerintah mengeluarkan kebijakan baru dalam hal penanaman modal asing, diarahkan untuk hanya menerima partner joint venture dengan pribumi, dan menyediakan kredit bank negara bagi penguasa asli.12 Namun kejadian berikutnya ternyata yang banyak menggunakan kesempatan dan manfaat dari monopoli atas kredit bank Negara dan joint venture hanyalah para pejabat dan klien-klien mereka.
Golongan pedagang asli yang pada umumnya kelompok Islam, telah menjadi korban penetrasi kapitalis asing dan Cina, yang memiliki sumber-sumber modal dan teknologi berlimpah. Selain itu juga menjadi korban dari tradisi kekuasaan politik birokrasi. Kedua, Kapitalisme Negara yang didukung oleh suatu aliansi antara birokrat sipil, kaum intelektual dan mahasiswa. Kekuatan dari kapitalisme Negara terletak pada peluasan sektor Negara, yang memberikan kesempatan khusus pada pendukungnya, yaitu kaum teknokrat, intelektual, perencana dan pengelola. Perkembangan kapitalisme negara tidak mengalami nasib yang baik, sebab terhambat oleh adanya sifat patrimonial Negara birokrasi dan aliansinya dengan modal asing serta modal Cina.
Kapitalisme Negara terbentuk setelah kemerdekaan Indonesia, dengan usaha awalnya sebagai mengatasi kesulitan warisan Jepang dan membongkar belenggu perekonomian Belanda, golongan ini tidak bekerjasama dengan kaum pengusaha asli, dengan lebih mengandalkan kepada negara kebangsaan sendiri untuk membangun otonomi perekonomiannya. Sebagai penyangga kapitalisme negara, dengan mendirikan Bank Sentral, dan beberapa perusahaan negara yang beroperasi di bidang perdagangan dan industri. Dalam hal ini Menteri Keuangan seperti Soemitro Djojohadikoesoemo dan Iskaq menggunakan wewenang negara untuk meningkatkan penguasaan nasional atas sektor ekonomi yang strategis.13
Kapitalisme Negara diperkuat dengan adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia, tahun 1957 – 1958. Dari perusahaan-perusahaan itu mendapat modal dari bidang perkapalan, perkebunan dan perdagangan. Kapitalisme Negara ini meningkat dengan fokus utama Ekonomi Terpimpin dalam Deklarasi Ekonomi (Dekon).14 Kapitalisme Negara berakhir setelah tahun 1965, yaitu setelah adanya pergantian pemerintahan Soekarno ke pemerintahan Soeharto. Pra penyusun strategi ekonomi Orde Baru lebih cenderung untuk menempatkan kembali modal swasta dan invetasi modal asing pada posisi yang utama. Sejak adanya pintu terbuka terhadap modal asing itu, maka terjadilah penguasaan modal asing itu, maka terjadilah penguasaan modal asing terhadap bidang : pertambangan, kehutanan, dan sangat berperan dalam sektor substitusi import.
Namun masih terdapat sisa-sisa Kapitalisme Negara yang dipertahankan, seperti beberapa perusahaan yang masih dianggap mempunyai arti penting dalam sektor-sektor ekonomi yang strategis. Perusahaan-perusahaan Negara itu antara lain : Perkebunan, Aneka Tambang dan Timah, Semen Gresik, dan Pertamina. Banyak diantara perusahaan Negara itu telah menjadi dinasti ekonomi bagi klik-klik birokrat militer tertentu, dan para jendral ekonomi bagi klik-klik birokrat militer tertentu, dan para jendral dengan sendirinya menolak untuk melepaskan sumber-sumber keuangan ini.15
Ketiga adalah golongan birokrasi militer, yang telah mendapat basis ekonomi bukan dari pemilikan modal swasta, tetapi dengan menggunakan kekuasaan dan jabatan birokrasi. Dengan kekuasaan dan jabatan birokratis ini memungkinkan komando-komando tertentu mempunyai acces (terobosan masuk) dalam pasaran ekonomi, sampai ke daerah-daerah. Dengan cara menduduki pusat-pusat kekuasaan dalam birokrasi Negara dagang yang patrimonial, mereka mendapat bagian dari keuntungan yang dihasilkan oleh modal asing dan modal Cina.
Kapitalisme yang berkembang dalam lingkungan birokrasi merupakan hasil dari penggunaan wewenang birokrasi yang patrimonial, di mana garis pemisah antara pelayanan umum dan kepentingan pribadi menjadi kabur. Dalam hal ini jabatan birokrasi itu sendiri dapat menjadi sebuah appanage, yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk memanfaatkan jabatan tersebut, guna mencapai tujuan-tujuan politik dan keuntungan material pribadi.16 Bentuk appanage baru yang muncul pada masa kini ialah berbentuk jabatan-jabatan birokratis yang dibagi-bagikan diantara kelompok-kelompok pejabat. Appanage bentuk baru yang menguntungkan, adalah jabatan-jabatan dengan kekuasaan mengalokasikan beberapa lisensi, seperti : lisensi import dan eksport, lisensi pengeboran minyak dan pertambangan, dan konsesi hutan. Perusahaan-perusahaan Negara yang dikuasai kaum militer ini akhirnya dapat dikatakan sebagai makelar (badan perantara) untuk membagikan lisensi import dan distribusi kepada para importer Cina dan importer asing, yang dapat peluang terus menguasai sektor import.17
Sebagai contoh, perusahaan minyak milik Negara Ptma., pada zaman Orde Baru merupakan sumber utama pemasukan keuangan Negara, namun kenyataannya menjadi semacam barang yang dibagikan dan dikuasai perwira tinggi militer. Pertanggung-jawabannya langsung kepada presiden, dalam mengejar berbagai kepentingan yang bukan hanya untuk pemerintah. Dalam mengejar keuntungan jangka pendek, Ptma. yang dikenal sebagai perusahaan minyak ternyata tidak terlibat dalam pengeboran yang sebenarnya. Bagaikan seorang patron, Ptma. bertindak sebagai penguasa yang membagikan lisensi pengeboran minyak kepada perusahaan asing. Adanya kombinasi antara monopoli dan ketiadaan tanggung jawab kepada umum, maka membuka peluang besar yang memungkinkan dapat mengalihkan sejumlah besar pendapatan Negara kepada berbagai kelompok militer. Dengan cara yang demikian itu merupakan bagian yang sangat penting dalam membangun struktur kekuasaan Orde Baru.18
Munculnya orde baru membuka cakrawala bagi perusahaan swasta sebagai titik pusat investasi dan produksi. Dalam hal ini oleh kelompok-kelompok politik birokrasi yang dominan, ramai-ramai mendirikan perusahaan swasta, sebagai sarana untuk memperkaya diri. Perusahaan-perusahaan itu juga berfungsi sebagai pengumpul dana untuk menopang struktur kekuasaan politik birokratis. Kelompok usahawan birokrat ternyata tidak berkepentingan untuk mengumpulkan modal yang produktif, usaha mereka terbatas pada pemilikan saham minoritas dalam usaha-usaha joint venture. Dalam hal ini peranannya sangat politis, sehingga tidak dapat bertahan setelah hilangnya jabatan resmi mereka. Mereka tidak mempunyai harga lagi bagi partner joint venture, pada saat tidak sanggup lagi memperoleh lisensi, kontrak dan konsesi klainnya. Oleh karenanya mereka hanya dapat menikmati masa yang singkat sebagai partner joint-venture. Sebagai pegangan, mereka mencoba membangun basis kekuasaan jangka panjang, melalui pemilikan tanah, gedung-gedung dan benda yang tidak bergerak lainnya. Namun dengan perbuatannya itu, mereka sesungguhnya tidak membentuk kelas borjusi baru, melainkan membentuk kelas tuan tanah baru.
Keempat, adalah kelompok pengusaha asli yang menjadi klient dari birokrasi. Kelompok ini tergantung oleh pengayoman Patronnya (birokrasi) dan tergantung pula oleh modal asing. Hidupnya tergantung oleh konsesi dan monopoli administrative. Kelompok pengusaha asli yang demikian dikenal kapitalisme klient. Bagi kapitalisme klient yang terdiri dari pengusaha asli pribumi, kalah bersaing dengan pengusaha Cina, dalam memperoleh kedudukan sosial ekonominya. Hal ini disebabkan pertama, sebagaian besar konsesi yang diperoleh secara politis telah diserahkan kepada kelompok usaha asing dan Cina. Kedua, klient lebih suka menjadi broker konsesi dari pada menggunakan konsesi itu sebagai modal usaha yang produktif. Ketiga, apabila sang patron (pengayom) jatuh, maka akan menghancurkan klient asli, seorang klient Cina mempunyai modal yang kuat, sehingga masih dapat bertahan. Oleh karena itu kedudukan kapitalisme klien yang asli sangatlah labil, sebab sangat tergantung kepada pejabat birokrasi yang mengayomi.
Penjelasan mengenai proses terbentuknya birokrasi militer melalui transformasi perekonomian, khususnya bentuk-bentuk kapitalisme, ternyata dapat melihat permasalahannya dengan lebih mendasar. Dominasi asing dalam bidang permodalan dan investasi, mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap jendral yang duduk dalam birokrasi, sehingga dapat dikatakan merupakan bagian integral dari kapitalisme. Selain para birokrat militer itu terikat pada joint venture dengan usaha asing dan Cina, namun juga meindungi partner usaha itu dengan membuat kebijakan-kebijakan yang menjamin kepentingannya.
Mengalirnya pabrik-pabrik asing dan Cina yang mempunyai modal kuat, telah mendesak kedalam sektor-sektor produksi tradisional yang menjadi usaha dari pengusaha asli Indonesia. Hal itu menimbulkan kecemburuan sosial, yang meletupkan protes sosial melalui demonstrasi-semonstrasi dan gerakan anti Cina. Selain itu muncul gerakan politik yang beroposisi kepada birokrasi militer, dalam hal ini pengusaha asli bekerjasama dengan politisi Islam menghadapi penguasa birokrasi militer yang dikuasai oleh kebanyakan Jawa-abangan. Di samping itu, kecemburuan sosial juga membangkitkan kalangan intelektual dan mahasiswa untuk menempatkan dirinya pada barisan oposisi, dalam menghadapi birokrat militer. Hal ini mempunyai latar belakang, diantaranya, pertama ketika kekuasaan politik jatuh ketangan militer, maka kaum intelektual yang dulunya berperan sebagai politisi, kemudian hanya dijadikan sebagai teknokrat dan penasehat. Peran tersebut merupakan pengabdian pada aliansi birokrat militer dan kepentingan asing serta Cina.
Akar budaya politik di Indonesia antara lain : Feodalisme, Kapitalisme, dan Fasisme, ternyata ikut mewarnai dinamika perkembangan politik di kemudian hari. Dari akar politik Feodal, memunculkan sistem patrimonial baru dalam pembagian kekuasaan, maupun pembagian perusahaan. Penguasa orde baru bersandar pada jaringan-jaringan pribadi, antara patron-klien serta penyukongnya. Masuknya kolonialisme Belanda dan Inggris di Indonesia, membawa pengaruh baru, yaitu kapitalisme birokrasi, yang mempunyai hubungan dengan modal asing. Di zaman orde baru timbul adanya penguasa-pengusaha, yang dapat mempengaruhi dinamika politik negara.
Walaupun masih perlu diadakan penelitian terhadap akar budaya politik fasisme, namun indikator adanya sikap-fasis itu, antara lain : Alergi terhadap kritik dan oposisi; bersikap keras tanpa kompromi terhadap lawan politik penguasa dan sebagainya. Bila dilihat dari pendekatan transformasi ekonomi, akan tampak peranan kapitalisme dalam proses pembentukan struktur birokrasi militer di Indonesia. Awal dari rintisan pembentukan birokrasi militer, ialah diawali dari peristiwa 17 Oktober 1952. Dalam peristiwa ini militer menuntut hak tidak hanya sebagai alat negara, namun juga sebagai anggota birokrasi yang ikut menentukan kehidupan negara. Adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan dan perkebunan Belanda, tahun 1957-1958, militer mengambil peranan untuk ikut menguasai perusahaan dan perkebunan. Mulai dari itu militer mengembangkan tugasnya di bidang usaha, dan lebih jauh mendirikan perusahaan-perusahaan sendiri yang dilakukan oleh setiap angkatan, maupun pribadi. Setelah tahun 1965, memasuki era orde baru, militer mulai menguasai birokrasi pemerintahan di Indonesia. Birokrasi militer itu tidak hanya ditingkat pusat, namun sampai juga di daerah-daerah. Muncul pameo dalam masyarakat, bahwa republik sedang mengadakan “penghijauan” yang artinya aparatur birokrasi diusahakan dipegang oleh militer.
Strategi ekonomi Orde Baru ialah mengarahkan pertumbuhan ekonomi yang maksimal dengan menggunakan modal asing dan teknologi asing secara besar-besaran. Dalam masalah pengelolaan modal asing dan modal Cina, kaum birokrat militer menggunakan kesempatan mengambil keuntungan, yaitu dengan memberikan konsesi, lisensi dan kontrak. Dengan menggunakan kekuasaan dan jabatan, birokrat militer menguasai pusat-pusat perdagangan, mereka mendapatkan bagian keuntungan dari modal asing dan Cina.
Keuntungan dari modal asing dan modal Cina itu juga dipergunakan untuk memperkuat struktur kekuasaan birokrasi militer. Oleh karena itu ada simbiose mutualisme antara modal asing dan modal Cina dengan birokrasi militer. Penguasa birokrasi militer selalu berusaha menciptakan stabilitas nasional, untul menjamin keselamatan modal asing dan modal Cina. Sebaliknya pengusaha pemilik modal asing dan Cina memberikan keuntungan kepada para birokrat militer.
Kelompok usahawan birokrat ternyata tidak berkepentingan dan tidak mampu mengumpulkan modal produktif, sehingga hanya berfungsi sebagai makelar modal asing dan Cina. Hal ini sangat disayangkan, sebab ketidakkuatannya mengumpulkan modal produktif untuk dipegang oleh pemerintah, ini menandakan kekuatan permodalan negara masih dalam kondisi lemah. Akibat dari kondisi permodalan negara atau yang dipegang oleh birokrasi secara resmi itu lemah, maka akan melemahkan kedudukan birokrasi itu sendiri dan perekonomian negara. Apabila pihak penanam modal asing dan Cina itu memutuskan tidak menanamkan modalnya lagi di Indonesia atau membawa lari modalnya keluar negeri, maka posisi birokrasi akan goyah, dan negara juga dapat mengalami krisis moneter. Agar perekonomian negara dan perekonomian rakyat kuat, maka diperlukan pendekatan terhadap pengusaha asli. Pengusaha asli dapat diharapkan mengumpulkan modal produktif, yang dapat menyangga (sebagai pelopor) perekonomian negara dan perekonomian rakyat. Seharusnya para birokrat dan pengusaha militer mulai menyadari, perlunya ada pendekatan dengan pengusaha asli. Disertai pengembangan modal pengusaha asli, sehingga sewaktu-waktu modal asing dan Cina lari, dalam negeri masih mempunyai modal yang produktif.


No comments:

Post a Comment