8/03/2015

Creepypasta bahasa "I Can't Say That I'm Proud" (Slenderman)

credit : Asleigh Margaret, Creepypasta.com

translated & retold by - Kevin




Terkadang setiap keputusan dalam hidup tidaklah mudah untuk dibuat, emosi dan keterpaksaan belaka sering mengesampingkan alasan moral dan logika demi bertahan hidup. dari waktu ke waktu, orang-orang diharuskan membuat keputusan seperti ini, pun begitu denganku. meskipun bukan berarti aku bangga dengan apa yang kulakukan, faktanya, aku sungguh-sungguh merasa sedih, tapi tak ada yang dapat kulakukan untuk merubah keadaan, tidak sekarang. semua sudah terlambat dan aku telah terlibat terlalu jauh.

Aku baru saja lulus kuliah dengan gelar bisnis, saat ini aku benar-benar bokek, kugunakan seluruh uangku dari hasil kerja keras membanting tulang untuk biaya kuliah. jadi ketika aku lulus, aku telah terbebas dari tunggakan. sekarang aku hanya bekerja di sebuah restoran sebagai pegawai dengan gelar sarjana, tak tahu harus kemana. saudara perempuanku Calliope mengajakku untuk tinggal bersamanya, bagi sebagian besar orang, mungkin itu adalah keputusan yang sangat mudah, mengapa tidak kau lakukan sejak awal ? mungkin itu yang mereka tanyakan. jawabannya : sudah. aku tinggal di Texas sementara dia di Vermont, aku tidak begitu yakin apa aku siap pergi jauh meninggalkan tempatku tumbuh besar, tapi Calliope tetap memaksa, maka pada akhirnya kuputuskan untuk mencobanya. kuminta Calliope untuk menjemputku, dan dia setuju, kupikir akan menyenangkan jika kami memiliki "waktu bersama" saat di perjalanan. yah, walaupun pada dasarnya kami adalah saudara kembar, dan kebersamaan tidak terlalu dibutuhkan. tapi kukira akan sangat menyenangkan meluangkan waktu bersamanya lagi.

Hari itu mungkin sudah setahun yang lalu, atau mungkin lebih. aku telah menyiapkan semua barang-barangku, naik ke mobil Calliope, dan meninggalkan Texas dibelakang. aku belum tahu apa yang akan terjadi kedepannya, atau jika sudah, aku tidak bisa bilang akan tetap melakukannya atau tidak... mungkin hanya Tuhan yang tahu.

Pada awal perjalanan, dia sangat pendiam, aku merasa seperti hanya aku yang bicara, walaupun tidak ada hal yang terlalu penting yang aku bicarakan ketika aku berhenti bicara, saat itulah kesunyian terasa sangat mendalam.
"apa yang sedang kau pikirkan?" tanyaku padanya.
untuk beberapa saat, dia hanya diam. terpaku melihat jalanan di depannya. matanya memberitahuku bahwa saat itu fikirannya sedang melayang jauh. akhirnya dia menjawabku,
"mereka tak pernah menemukannya, kurasa mereka telah berhenti mencari, mereka kehilangan jejak"
suaranya tetap terdengar tegar meskipun cobaan berat menimpanya.

Calliope adalah seorang ibu muda, pada usia 16 tahun ia melahirkan seorang anak, Calvin. dan aku selalu mengagumi ketangguhannya. dia tetap bersekolah, meskipun bukan hal yang mudah untuk mengurus anak pada usia seperti itu. aku menghormatinya atas keputusannya pada anak itu, dua tahun sebelumnya, tepat sebulan setelah ulang tahun ke-empat, Calvin diculik. beritanya ada di seluruh media selama dua bulan, tapi setelah tidak ada cukup petunjuk, kehebohan mulai hilang dan masyarakat perlahan melupakannya. tapi tidak dengan keluargaku, terutama Calliope, kami tidak bisa melupakannya.

Keadaan saat itu cukup ramai dikarenakan seluruh situasi dilingkupi misteri, Calvin sedang bermain diluar, di halaman belakang rumahnya sendiri, dikelilingi pagar, dan seperti yang terlihat dia hanya....lenyap begitu saja. tidak ada tanda-tanda masuk paksa, tidak ada yang terlihat ganjil, Calvin hanya menghilang tanpa jejak.

aku mencoba menghiburnya
"dengar Cal, mereka akan tetap mencari Calvin, jangan sampai kehilangan harapan, mereka akan
men-"
"tidak Astra, mereka tidak akan menemukannya, tidak akan ada yang pernah bisa menemukannya!"
dia memotongku.
aku menatapnya, sedikit kaget dengan gejolak emosinya. 
"aku tahu, mungkin butuh sedikit wakt-"

"tidak, kau tidak mengerti, tidak pernah ada petunjuk untuk mereka ikuti, benar-benar tidak ada, aku tahu sesuatu yang mereka tidak tahu, tapi mereka tak akan percaya apa yang akan
keluar dari mulutku, aku baru mengetahuinya sejak beberapa bulan yang lalu"

aku menatap saudara perempuanku, tidak yakin bagaimana harus bereaksi, dia menunjuk ke kursi belakang, 

"baca itu, aku membawanya agar kau juga tahu"
aku terdiam beberapa saat sebelum mengambil sebuah paket tebal yang dia bawa untukku. beberapa halaman seperti diambil dari buku, yang lain dicetak dari internet. kubolak-balik beberapa halaman, dan setelah membaca beberapa lembar, sudah cukup rasanya untuk menangkap apa yang ia coba jelaskan padaku.

"Jadi kau pikir..... Slenderman yang menculik Calvin?"

dia mengambil paketnya, membuka halaman paling belakang, dan menyerahkannya kembali padaku. menatapnya bingung, aku mengambilnya kembali dan melihat yang kupegang, beberapa seri lukisan, dan sepertinya digambar oleh Calvin karena ada catatan kecil dibawah gambar yang ditulis dengan tulisan khas anak-anak.
"Calvin, 4"
kemampuannya melukis terlihat tidak terlalu berbeda dengan anak-anak seusianya, tetapi kesemua lukisan ini memiliki satu kesamaan : sesosok makhluk jangkung. dan dalam beberapa lukisan sosok tinggi ini memiliki seperti lengan-lengan tambahan yang mencuat dari punggungnya; selalu berpakaian jas hitam. tak memiliki wajah diseluruh lukisan, serta selalu dikelilingi pepohonan....
kecuali di lukisan terakhir, terlihat seperti sketsa kasar halaman belakang rumah Calliope.

aku masih menunggu penjelasan lebih untuk ini dari Calliope.

"dia membuatnya seminggu sebelum... sebelum dia pergi"

aku menggeleng lemah, tidak tahu apa yang harus dikatakan. aku ingin mengerti lebih dari segalanya, aku belum pernah merasa sebingung ini sebelumnya.

"aku harus melakukan sesuatu, harus" gumam Calliope.
tepat setelah dia mengatakannya, kami berbelok menuju jalur sepi di daerah Virginia barat.
sekilas aku membaca papanbertuliskan "Welcome To Grassy Meadows". kami tidak bicara satu sama lain saat itu. tidak sampai 5 menit, mobil yang kutumpangi tiba -tiba berhenti mendadak.

"Astaga Cal, ada apa ?" seruku masih dalam keadaan syok.
"Itu" jawabnya singkat, menatap keluar lewat jendela mobil disisiku. 
aku berpaling dan mendapatisebuah bangunan cukup besar, dengan kondisi yang masih cukup terawat berdiri disana, dengan tulisan
"Dijual, Grassy Meadows Motel"
terpampang di bagian depan dan belakang bangunan tersebut. sebelum aku sempat bertanya apa yang sungguh istimewa dari bangunan itu, Cal mengambil ponsel dan menelepon nomor yang tertera di sana.  aku menunggunya mengakhiri panggilan untuk menjelaskan padaku apa yang sedang terjadi.

"kita akan membelinya"

"apa?" aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada
dikepalanya.
"kubilang kita akan membelinya, kau punya gelar, kita akan memanfaatkannya"

"apa yang sedang kau bicarakan hah ? akan sangat sulit untuk hidup di tempat seperti ini jika tidak ada apa-apa selain kantor pos yang bahkan tidak beroperasi lagi dan beberapa rumah, kota ini juga sepertinya hanya sekitar tujuh mil luasnya. selain itu aku juga tidak punya cukup uang, terutama untuk membeli sebuah motel" jawabku dengan nada suara semakin meninggi.

"aku punya uang, aku telah menjual rumahku"

"kau apa ? tapi, tapi kau telah menabung seumur hidupmu untuk rumah itu, dan kau menjualnya begitu saja ?" kataku sedikit berteriak.
Calliope memarkirkan mobil dan beranjak keluar.

"Kita harus menunggu Gary"

"Gary ? siapa itu Gary ? " tanyaku, jengkel, tapi mulai mengkhawatirkan keadaan saudaraku. akupun keluar dari mobil dan berjalan kearah Calliope, sebelum dia menjawabku, sebuah mobil berhenti tepat di belakang kami.

Seorang pria pendek, gemuk, dan beralis coklat tebal berjalan terseok-seok menghampiri kami, menjabat tanganku kemudian Calliope.

"Hai aku Gary, siapa tadi yang bicara denganku di telepon?" dia terlihat terlalu bersemangat.
"aku, namaku Calliope, dan ini saudaraku Astra"
"Cantik! sungguh nama yang indah sekali, boleh kutawarkan sedikit tour di tempat tua ini?"

"tidak, tidak perlu, kami hanya ingin membeli motel ini" jawab saudaraku.

Aku berdiri terdiam tidak percaya apa yang Calliope lakukan, Gary menutup kesepakatan dan pergi dengan Audi biru-nya, menghilang di kejauhan. apa yang Calliope katakan padaku hanyalah
"kau pun bisa memperoleh hasil dari motel ini"

Sudah setahun lamanya sejak hari itu. malam ini aku duduk di bangku depan motel, memandang keluar lewat jendela. radio kecil di ujung ruangan memutar lagu-lagu pop yang sepertinya belum pernah kudengar, sementara Calliope sedang menyiapkan makan malam di dapur. papan penanda didepan yang dulunya bertuliskan "Grassy Meadows Motel" kini menjadi "Just Like Family Motel". dengan kata-kata yang lebih "ramah anak-anak didalamnya"

Tak lama kemudian, aku melihat sebuah truk kecil berhenti di lahan kosong depan motel, deru mesin tuanya terdengar seperti sudah sangat layak untuk diperbarui. aku mematikan radio dan melihat seorang pria turun dari mobil dan mengetuk jendela dibagian kursi penumpang.
"hei Cal, kita kedatangan tamu" aku memanggil saudaraku.
beberapa saat kemudian ia keluar dari dapur dan berdiri disisiku,
"apa kau lihat mereka ?" tanya Calliope sembari melongok ke jendela untuk mendapatkan pandangan yang lebih baik.
"seorang pria, sepertinya bersama seorang lain, entahlah"
aku mendengar pintu depan terbuka dan segera menoleh kearahnya, pria yang tadi kulihat datang menghampiriku, menggendong seorang gadis kecil dilengannya. gadis itu masih sadar, tapi terlihat sangat mengantuk, jelas saja, waktu itu mungkin sudah jam 10 malam, jika aku tak salah ingat.

"ini sudah terlalu larut malam, aku ingin menginap disini" pinta pria tersebut dengan suara beratnya.
"tentu saja!" jawab Cal, menjelaskan segala tentang pembayaran dan biaya menginap, 35 dollar per hari.
aku tidak terlalu memperhatikannya, gadis kecil itu lebih menarik perhatianku, mungkin dia sekitar lima atau enam tahun, dengan rambut cokelat dan mata birunya yang besar. Calliope memberikan kunci kamar kepada ayah gadis tersebut, mereka pun berlalu mencari ruangan mereka.

aku melirik sekilas ke arah Calliope, membayangkan ekspresiku saat ini sama sepertinya-muram.
"makan malamnya sudah siap?" tanyaku sembari menengok ke arah dapur
"sudah, tolong rapikan mejanya" kesedihan tersirat di wajah Calliope saat ini. 
aku mengangguk dan menyiapkan piring untuk kami berdua, menuangkan susu kedalam gelas dan menyajikannya di atas meja makan, bersama dengan sendok garpu serta tisu. tak lama, aku mendengar ketukan pelan dari arah pintu dapur, darilubang intip kulihat pria yang Calliope berikan kunci kamar nomor 3 tadi berdiri di seberang sana.
kubuka pintu dan bertanya
padanya
"ada yang bisa kubantu?"
"oh maaf nona, aku tahu ini
sudah larut, tapi bolehkah aku bergabung dengan kalian ? aku benci mengatakannya, tapi aku sangat lapar, sandwich terakhirku sudah kuberikan pada putriku"
aku mendongak ke belakang pria tersebut, gadis kecil itu tidak sedang bersamanya, dan itu
berarti dia sendirian di
kamarnya.
aku mengangguk dan memberinya jalan
"tentu saja, kami punya cukup banyak bahan makanan"
aku segera kembali ke dapur dan melihat saudaraku, hal ini tak
selalu berjalan mulus, aku tak berkata sepatah kata pun, hanya mengambil sebuah piring lainnya dan gelas, lalu meletakkannya dimeja. 
"kuharap kau suka Lasagna, karena kami punya banyak
persediaan!"
kata Calliope dengan suara
seramah mungkin.
rasanya ingin sekali menangis saat itu, hal ini telah berlangsung selama setahun penuh, tapi aku
tetap tidak menyukainya, aku tahu kami punya alasan untuk ini, tapi tetap saja aku merasa ini gila.
kami semua telah duduk di meja makan dan mulai menyantap hidangan kami,
pria itu terlihat hanya sedikit lebih tua beberapa tahun dariku,
dia menceritakan tentang
bagaimana ibu si gadis
meninggalkan mereka, dan semua kisah sedih yang mereka alami pada kami, pria itu menyebut dirinya Seth. 
setelah sekitar 10 menit, Calliope memberiku isyarat dari seberang meja.
"permisi, aku harus kebelakang sebentar"
aku bangkit dan bergegas keluar menuju lorong yang menghubungkan ke pintu belakang motel. 
aku merogoh sakuku dan mencari kunci kamar nomor tiga.
pelan-pelan, aku membuka pintunya dan melangkah masuk, gadis itu sedang berbaring diatas kasur, terlelap dalam mimpinya.
aku mengambil nafas dan mengumpulkan tekad, berjalan mendekati sisi ranjangnya. 
"sayang, ayahmu diluar dan ia memintaku untuk menjemputmu"
aku mengguncang bahunya pelan, gadis itu menatapku beberapa saat sebelum mengangguk lemah.
aku melihatnya turun dari ranjang sembari menggosok kedua matanya,
lalu merasakan tangan mungilnya menggenggam jari-jemariku, sungguh, detak jantungku terasa begitu sakit saat itu.
"baiklah gadis kecil, ayo kita temui ayahmu"
"Stacie" katanya pelan saat kami mulai berjalan.
"apa?"
"namaku Stacie, siapa namamu?" tanyanya polos.
"Astra" jawabku singkat,
"nama yang cantik"

kami berjalan menuruni jalur setapak dan aku mendengarkan ocehannya sepanjang jalan, semakin aku mendengarnya, semakin besar penyesalan yang kurasakan,
kami sudah dekat dengan tujuan kami, aku berjuang melawan air mataku.

"apa kita sudah sampai Astra ?" tanyanya dengan suara manis seorang anak kecil. "aku meninggalkan bonekaku tadi, aku tidak ingin ada yang mengambilnya" 

"aku yakin tidak akan ada yang mengambil bonekamu Stacie" jawabku, masih berusaha menahan air mata.

"baguslah, karena boneka itu adalah pemberian ibuku, namanya Lucy, apa kau juga punya boneka sepertiku?"
"ya... dulu aku punya" jawabku, mencoba mengingat-ingat bagaimana rasanya menjadi seorang gadis kecil, dimana mainan adalah sesuatu yang paling berharga dan tak ada masalah yang terlalu rumit didunia ini.
"siapa nama mereka ?"
tanyanya sambil mengayunkan tangan kami saat berjalan.
"aku cuma punya satu, namanya Angel, dialah favoritku, aku selalu membawanya kemanapun aku pergi"
aku menghentikan langkahku didepan sebuah pohon besar.

"Astra, dimana ayahku ?"
tanya Stacie, mengedarkan pandangannya kesekitar.
"aku.. aku akan memeriksanya.. tetap lah disini.. di depan pohon ini.. ya seperti itu !.. aku akan segera kembali"
aku berjalan menaiki jalur yang tadi kulewati, aku tahu ayahnya tak akan datang kemari, tidak seperti yang ia harapkan. 
aku menoleh kebelakang dan menyaksikan pantulan cahaya bulan meredup di genangan air dekat Stacie.
juga sesosok jangkung berdiri di belakangnya, 
dengan lengan-lengan panjangnya yang menjulur dalam kegelapan.
aku memalingkan wajahku dan berlari menuju motel, tak lagi mampu menahan tangisku saat Stacie mulai berteriak.
aku menjatuhkan diri dan membiarkan air mataku mengalir deras. aku sungguh-sungguh merasa sakit !
aku tak ingin melakukannya lagi, aku tidak benar-benar berfikir bahwa menumbalkan anak-anak padaNya akan membawa Calvin kembali.
tapi tidak dengan Calliope, ia pikir jika jumlahnya sudah mencukupi, makhluk itu akan mengembalikan Calvin padanya, tapi aku tidak begitu yakin.

aku mendengar derakan truk kecil yang biasa Seth dan Stacie gunakan, dengan Calliope yang mengendarainya. seperti biasa, menuju danau besar diujung jalan, aku melihat Seth pingsan di kursi belakang, dengan sebuah batu beton besar terikat di pangkuannya.
air mata membasahi wajahku saat menyaksikan Calliope melompat keluar sebelum truk itu menuruni bukit dan bertambah kecepatan. aku berpaling dan berjalan kembali ke kamar nomor tiga, sudah cukup menyaksikan semua kegilaan ini. hal terakhir yang dapat kudengar adalah suara ceburan besar.

aku masih dapat mendengar suara Stacie di dalam kepalaku, aku harus melakukan sesuatu untuknya, walaupun terkesan bodoh, tapi aku yakin ini akan membuatku merasa lebih baik.

saat ini aku berdiri ditempat dimana makhluk itu membawa Stacie pergi, dengan Lucy ditanganku. Calliope telah kembali ke motel, mungkin sedang duduk di beranda, menunggu sesuatu yang tidak akan pernah terjadi.

aku menatap boneka kecil dari kain perca ditanganku, lalu meletakkannya dibawah.
"jangan khawatir Stacie, aku yakin tidak akan ada yang mengambil bonekamu"
aku berlari menyusuri jalan dan tak pernah menoleh kebelakang. 





terkadang setiap keputusan
dalam hidup tidaklah mudah untuk dibuat, emosi dan keterpaksaan belaka sering mengesampingkan alasan moral dan logika demi
bertahan hidup. dari waktu ke waktu, orang-orang diharuskan membuat keputusan seperti ini,
pun begitu denganku.
___________________________________________________________________________


-kevin

No comments:

Post a Comment