Diterjemahkan dan diceritakan ulang dengan sedikit perubahan dari Creepypasta.com
Credit To – DifferentWind
-Slamet-
Credit To – DifferentWind
-Slamet-
Pada kehidupan sebelumnya, aku adalah psikiater. Ijinkan aku menjelaskannya sedikit. Sebelum hidupku berantakan, dulunya aku seorang psikiater, salah satu yang terbaik. Memang janggal rasanya untuk menyebut “bagus” bagi seorang psikiater atas pekerjaan yang dilakukannya, namun, aku mengawali bidang ini sudah cukup lama dan mendapatkan banyak pengalaman di tahun pertama, tidak lama kemudian klien yang datang nyaris dalam jumlah yang tidak mampu kutangani. Aku tak bisa mengatakan bahwa ada seseorang dengan kecenderungan bunuh diri datang ke kantorku dan melakukan hal yang sepenuhnya berkebalikan dalam satu hari, namun klien-klienku memercayaiku dan dengan tulus merasa bahwa diriku benar-benar membantu mereka. Hal ini menjadikan aku sangat direkomendasikan, dan menganai tarif, memang banyak yang mengakui mahal. Banyak yang menyebut diriku adalah psikiater bagi orang-orang yang kelebihan uang.
Aku tidak begitu mengerti bagaimana keluarga Jenning menemukanku, namun kukira, alamatku diberikan oleh psikiater mereka sebelumnya, terkadang hal semacam itu memang kerap terjadi. Seseorang datang mengetuk pintu depan dan tidak mampu memberi pertolongan karena beberapa alasan, maka orang tersebut akan memberi rekomendasi. Suatu hari Nyonya Gloria Jenning meneleponku, dia merupakan pemilik real estate yang sangat kaya, dan dia ingin aku bekerja dengan putranya, Andrew. Nampaknya Andrew sudah menjajal semua psikiater yang ada, semuanya angkat tangan, dan diriku merupakan pilihan sekaligus harapan terakhir mereka. Andrew merupakan seorang pecandu obat dengan segala kekhasannya, racun pilihannya adalah heroin. Bagi orang-orang yang berkecimpung dalam bidangku, berhadapan dengan sosok sepertinya sungguh kerap membuat pusing. Jika mereka tidak bersih dan punya otak yang rusak berantakan, maka pecandu semacam ini dalam keadaan teler dan suka mengocehkan hal-hal yang sungguh ajaib ngawurnya. Awalnya aku menolak untuk menjadikan dia sebagai pasien, namun Nyonya Jenning menawarkan bayaran dobel dari tarif rata-rata sehingga sungguh tidak memungkinkan untuk mengucap tidak. Ngomong-ngomong masalah keputusan, nampaknya hal ini merupakan keputusan terburuk yang aku buat.
Aku bertemu Andrew pada pagi yang masih sangat awal di sebuah Senin. Berdasar pengalaman, jauh lebih mudah untuk menghadapi golongan orang-orang semacam ini saat mereka belum punya kesempatan untuk memakai obat. Skenario terbagus adalah mereka tidak hadir dan aku mendapatkan gaji buta, namun Andrew datang lima belas menit lebih awal. Dia benar-benar terlihat layaknya pecandu heroin tulen. Kantung mata menghitam di bawah mata, rambut kusut acak-acakan, dan jenggot tak rapi yang tumbuh menghiasi wajahnya. Usianya kutaksir baru memasuki duapuluh tahun. Tubuhnya tinggi dan sangat kurus. Sosok tubuhnya menjadi semakin menyolok berkat pilihan baju yang ia pilih: celana baggy dan baju kumal yang terkesan membosankan. Aku mempersilahkan dia masuk dan menawarkan kursi. Dia duduk dan mulai menggosok-gosokan telapak tangannya dan menjelajahi tiap sudut ruanganku dengan kedua bola matanya yang bergerak-gerak cepat.
Demi privasiku sendiri, aku akan menyebut diriku sebagai “Dokter A”
“Jadi, Andrew, boleh kau ceritakan padaku sedikit mengeni dirimu?”
Untuk pertama kalinya dia membuat kontak mata. Sejenak dia merasa ragu dan kemudian bicara.
“Asal kau tahu, ini sudah sekitar delapan atau sembilan kalinya aku memulai dari awal, jadi aku akan langsung ke pokok masalah. Ibuku mungkin mengatakan aku seorang pemakai, kuakui hal itu. Aku memakai heroin dan kokain kapan pun aku bisa mendapatkannya.”
Kubuka mulut untuk menanyakan apakah dia memakai keduanya dalam waktu bersamaan, untuk menjelaskan betapa bahayanya hal itu, namun kemudian, dia memotong.
“Tidak, aku selalu memakainya dalam waktu berbeda. Aku bukan orang tolol,” katanya.
“Aku tidak mengatakan kau orang tolol,” kataku berbohong. “Aku sudah sering melihat pemakai selama hidupku. Percayalah.” Andrew masih belum berhenti menatapku. Aku menggeser posisi duduk dengan tidak nyaman dan menanyakan pertanyaan wajib selanjutnya. “Kenapa kau memakai semua itu?”
“Jadi … saat malam di mana aku tak ingin tidur, aku memakai kokain. Pada malam lainnya, saat aku tak ingin bermimpi, aku memakai heroin.” Saat dia mengatakan semua itu, pandangannya ia jatuhkan pada lantai dengan telapak tangan yang masih saling menggosok.
“Maaf, saat kau tak ingin tidur, kau memakai kokain?” tanyaku berusaha meyakinkan apa yang kudengar.
“Benar sekali, Dok,” ujarnya sambil tetap menatap lantai.
“Dan kenapa kau tidak ingin tidur, Andrew?”
“Karena aku tidak mau bertemu Ubloo,” jawabnya. Tatapannya ia alihkan kembali padaku seperti berusaha menyaksikan reaksiku.
“Maaf, tapi siapakah Ubloo ini?” (Diucapkan sebagai “Oo-blue”) tanyaku penasaran.
Andrew mendesah. “Ubloo adalah monster yang kadang kulihat dalam mimpi, monster yang mengontrol mimpi-mimpi.”
“Bagaimana Ubloo ini mengontrol mimpimu, Andrew?”
“Aku tak tahu apakah namanya memang Ubloo atau seperti itu sebutannya, tapi hanya itu yang pernah ia katakan. Aku tahu bangsat itulah yang mengontrol mimpi, sebab hal-hal yang terjadi di mimpiku hanya terjadi saat dia ada,” katanya. Tangannya berhenti menggosok-gosok dan terkepal di sampingnya.
Hal ini mulai menarik, kuputuskan untuk masuk lebih dalam pada lorong mentalnya dan mengajukan pertanyaan; “dan hal-hal semacam apa yang terjadi dalam mimpimu?”
“Dengar, aku tidaklah sinting. Semua ini tidak seperti bahwa aku tengah ada di persimpangan jalan dan memimpikan hal-hal yang kacau ini. Dulu aku merupakan atlet yang bersinar dan berupaya untuk merealisasikan mimpiku sebelum hal ini mengacaukan semuanya.” Dia mulai jelas kelihatan marah.
“Aku pikir kau tidak gila.” Aku kembali berbohong. “Jika iya, aku akan menyerah dan menyuruhmu pergi, aku seorang psikiater, Andrew. Hanya dengan melihat saja, aku bisa menyimpulkan mana yang gila atau sebaliknya.” Hal ini nampaknya cukup membuatnya tenang sedikit. “Namun kau harus paham bahwa aku harus tahu semuanya sebelum bisa membuat diagnose dan memutuskan cara untuk membantumu, jadi akan kutanyakan lagi; hal-hal semacam apa yang terjadi dalam mimpimu?”
Aku melihat dia mulai membuka diri, dan aku tahu telah membuat retakan dalam pertahanan jiwanya. “Hal-hal mengerikan,” katanya. “Orang-orang dan berbagai hal yang aku sayangi, dan hal paling buruk yang bisa menimpa mereka semua.” Tatapannya jatuh pada lantai kembali.
“Hal semacam apa, Andrew?”
“Suatu saat …” Dia menelan ludah dengan susah payah. “Suatu saat aku bermimpi terkurung dalam sebuah kandang, di ruang bawah tanah yang belum pernah kulihat sebelumnya. Di sana, tiga pria bertopeng memerkosa dan memukuli ibuku.”
Apa yang kudengar membuatku terkejut; sentakan kecil tubuhku nampaknya disadarinya. Saat itu, aku kehilangan dirinya. “Lanjutkan, Andrew,” kataku berusaha membuatnya nyaman, menutupi kekagetanku dengan rasa ingin tahu yang setengah tulus, dan setengahnya lagi pura-pura.
“Ibu berteriak memanggilku, dan aku hanya bisa menangis, tiap kali dia meneriakkan namaku atau melolong minta tolong, salah seorang dari pria-pria itu akan memukulinya. Tak perduli berapa banyak darah yang keluar dari tubuhnya, ibu terus berteriak, dan mereka terus memukuli dan melecehkannya.”
Aku akan menyisipkan jeda di sini dan mengatakan bahwa orang normal tidak memimpikan hal-hal semacam ini. Mimpi-mimpi semacam ini sangat langka terjadi bahkan pada psikopat paling parah sekalipun. Pada titik ini aku mulai mengerti bagaimana Andrew telah begitu sering bergonta-ganti psikiater hanya dalam beberapa tahun. Dia bisa jadi merupakan bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan menjadikannya psikopat paling berbahaya dalam sejarah, atau dia menderita masalah gangguan tidur yang belum pernah kulihat sepanjang karierku. Diagnosa professional dari kelainan baru ini sangat tersamarkan oleh perkembangan mental pada anak-anak, yang mungkin akan membuat Ted Bundy hanya terlihat sebagai pencopet kelas teri.
Aku sungguh terguncang namun berhasil menenangkan diri. Dalam situasi seperti ini, sangat penting untuk tidak larut dalam detail dan akan lebih penting untuk mengumpulkan fakta-fakta yang ada. “Bagaimana kau tahu bahwa Ubloolah dalang dari mimpi-mimpi ini? tanyaku.
“Karena di akhir mimpi, aku selalu mendengar dia mengeluarkan bunyi menyeramkan itu; ‘oo-blue!’” Dia menirukan suara melengking itu yang seperti dihasilkan dari hewan yang kecil.
“Dan kau selalu mendengar suara itu? dari situkah kau menyimpulkan bahwa dia yang mengontrol mimpimu?”
“Aku selalu mendengarnya, namun terkadang, aku melihatnya juga. Hanya beberapa detik, kemudian aku terbangun.”
“Baiklah. Bisakah kau gambarkan Ubloo ini, Andrew?” Kusodorkan sebuah buku catatan dan sebuah pena. Awalnya, dia terlihat bingung, mungkin karena aku (baginya) memercayai tiap kata yang keluar dari mulutnya, namun kemudian dia meraih kertas dan mulai sibuk membuat corat-coret. Kulirik arloji, dua puluh menit berlalu, lumayan, kemudian kuarahkan pandanganku pada langit biru cerah di luar jendela. Kudengar suara pena yang beradu dengan meja dan buku catatan yang menggesek meja saat Andrew menyorongkannya kembali padaku. Apa yang Andrew gambar, membuat jantungku seperti naik ke tenggorokan.
Sosok itu memiliki moncong panjang yang menjuntai, nyaris seperti belalai dengan lidah terjulur. Tak ada fitur lain dalam wajahnya kecuali dua mata berbentuk oval berwarna hitam sepenuhnya. Sosok ini punya enam kaki (Andrew menggambarnya dalam posisi merangkak) dan batang tubuhnya berbentuk panjang dan ramping. Bagian belakang dan pertengahan lututnya sedikit berada di atas tubuhnya, jelas sekali sosok ini akan sangat tinggi jika memilih untuk berdiri. Kakinya berbentuk gilig dengan enam telapak yang mencuat, semuanya menghadap arah yang berkebalikan dengan yang lain. Dua kaki paling depan lebih panjang dari yang lain, darinya hanya terdapat dua buah jari yang begitu panjang hingga menambah kesan ganjil. Seram sekali bagiku hanya dengan melihatnya saja. sosok ini tidak punya bagian yang nampak membahayakan; tidak ada cakar atau gigi nan runcing. Namun, saat melihatnya, aku tak bisa mencegah tubuhku untuk berhenti merinding.
Aku seperti terhenyak kembali pada alam sadar dan menatap Andrew -- yang tengah menatapku dan menunggu penuh harap. Sepertinya, diagnosis sudah bisa ditegakkan. “Baiklah, Andrew, sepertinya aku tahu apa yang terjadi di sini.”
Dia sama sekali tidak terlihat lega. “Oh?” ujarnya datar.
“Ya. Sepertinya, kau mengalami lu-“
“Lucid dream, yah, aku memikirkan itu juga,” potongnya. Aku hanya bisa duduk dan terkaget-kaget. “Kau berpikir bahwa aku mengalami mimpi buruk traumatis mengenai mahluk ini dan saat aku mengalami mimpi yang seolah nyata ini, secara tak sadar aku memasukannya dalam pikiranku dan memicu skenario traumatis yang diputar di depanku.”
Selama sepuluh tahun praktek, aku jarang kehilangan kata-kata, namun saat itu aku duduk seperti orang dungu dengan mulut menganga. Andrew terus menatapku dan kulihat dia meringis mengejek.
“Sudah kubilang, Dokter A, aku bukan orang goblok. Aku melakukan riset tentang itu semua begitu hal ini muncul. Itu sebabnya aku mulai jadi pemadat. Aku tahu bahwa golongan opioid dapat menekan terjadinya lucid dream dan awalnya memang begitu, tapi dia selalu mencari jalan untuk terus muncul. Semakin banyak aku memakai barang haram itu, semakin keras dia berusaha untuk kembali. Jadi kuputuskan untuk memakai kokain untuk tetap membuatku terjaga. Namun kemudian, kusadari hal itu justru membuat segalanya menjadi bertambah buruk …. Aku terlalu lama terjaga sehingga mengalami tidur mikro. Aku tak tahu apakah saat itu aku sedang bermimpi atau sadar sepenuhnya, dia nampaknya menyadari hal ini. Pertama kali mengalaminya, secara samar, aku bisa menyimpulkan sedang bermimpi. Sejauh yang kusadari, efek tak jelas dan kaburnya bisa kurasakan, tapi, saat aku sedang mengalami tidur mikro, mimpi yang datang terasa begitu jelas dan nyata. Dia belajar dan menyadari hal ini, Dokter A, dia tahu bahwa aku jauh lebih takut terhadap tidur mikro dan entah kenapa hal ini membuat semua mimpi jadi nampak begitu nyata setelahnya.”
Sejujurnya aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Ada dua kemungkinan yang kupikirkan saat itu; baik Andrew benar-benar sinting, atau benar-benar cerdas dan mampu menyembunyikan kegilaannya. Kutanyakan pertanyaan terakhir yang kupunya.
“Kapan pertama kali kau memimpikan Ubloo?”
“Tepat setelah ayah meninggal,” katanya. Tatapannya kembali menyapu lantai. “Beliau bunuh diri, melesakkan peluru ke dalam kepalanya saat umurku tujuhbelas. Malam setelah pemakaman, aku bermimpi sedang berdiri di pinggir makamnya, menatap rerumputan. Sejenak, semua terasa normal namun kemudian aku mendengar suaranya. Aku mendengar ayahku menjerit dari dalam tanah, menjerit minta tolong, memintaku untuk menggali dan mengeluarkannya … tapi, aku tak bisa bergerak. Aku tertegun, beku seperti ikan mati di dalam kotak pendingin. Aku hanya berdiri dan mendengar ayah menghantam atap peti matinya dengan keras, begitu keras sehingga tanah sampai berguncang sementara beliau terus menjerit ketakutan. Tapi aku tetap tak bisa bergerak. Kemudian aku mendengarnya: ‘Ubloo,’ kemudian aku terbangun.”
Aku duduk dan menatapnya cukup lama. Walau penolakannya atas kemungkinan lucid dream mengesankan, namun tidak biasa bagi anak-anak untuk menghubungkan peristiwa traumatis dengan sebuah gambaran yang memaparkannya dengan cara yang lebih baik. Aku kembali merasa tertarik.
“Kapan pertama kali kau melihat Ubloo?” Dia nampak bimbang selama beberapa detik, namun kemudian, dia mulai bicara.
“Satu malam, aku bermimpi tentang anjingku, Buster. Saat itu, aku berdiri di balik pagar tinggi, dan saat itu aku masih kecil sehingga tak bisa memanjatnya. Buster ada di seberang jalan, dia duduk dan menatapku. Aku tahu kemudian –entah kenapa- dia akan menyeberang untuk menemuiku, dan saat itu, aku tahu dia takkan selamat. Dia berlari dan langsung tertabrak mobil. Aku menjerit dan berteriak namun mobil itu tak mau berhenti, dia terus melaju. Buster terkapar, terluka dan berdarah-darah. Aku melihatnya mencoba bangkit, dia mencoba merangkak maju, kemudian mobil lain yang mengebut melindasnya lagi. Hal itu terjadi berulang-ulang, aku terus melihatnya ditabrak, dilindas, dan tercabik oleh mobil-mobil itu. mereka tak pernah mau berhenti. Saat itulah pertama kalinya aku melihat sosok itu. Suara itu terdengar tepat seperti dari samping telingaku, ‘Ubloo!’ dan kemudian aku menoleh. Wajahnya hanya berjarak beberapa senti dariku. Mata hitamnya yang besar menatap tepat padaku, kemudian aku terbangun.”
Andrew terlihat gemetar sekarang, aku tahu bahwa sebentar lagi dia akan sampai pada puncaknya. Aku harus berhenti menekan.
“Baiklah, Andrew, kupikir hari ini cukup sampai di sini dulu.” Aku bangkit dari duduk, berjalan menuju meja dan mengambil buku resep.
Andrew masih duduk dan matanya mengerjap. “Kau akan … kau akan memberi sesuatu untuk menghentikan semua itu?”
“Sementara ini, aku akan memberimu sesuatu untuk menekan mimpimu. Sampai aku dapat menegakan diagnosa dan memastikan darimana asal mimpi-mimpi itu. Penting bagimu untuk beristirahat saat malam, agar pikiranmu jernih. Aku membantumu untuk membantuku membantumu, paham?”
Dia mengerjapkan mata lagi. “Ya, aku paham. Apakah ada obat yang bisa menekan mimpi?”
“Teknisnya tidak ada, tapi ada obat baru bernama cyproheptadine yang digunakan untuk alergi musim semi, salah satu efek sampingnya adalah menghambat mimpi –khususnya mimpi buruk. Secara spesifik lagi, ini ditujukan untuk stress pasca trauma.”
Aku tetap menulis resep tanpa berkata-kata, masih bisa kurasakan tatapan Andrew tertuju padaku. “Tapi aku tidak mengalami PTSD. Semua ini karena Ubloo.”
“Aku tahu itu, Andrew,” aku kembali berbohong untuk yang terakhir kalinya. “Namun, ini akan mengusir Ubloo dari mimpi-mimpimu juga.”
Apa yang kukatakan berhasil. Dia nampak girang dan melompat bangkit dari sofa. Dia terus berterima kasih padaku dan mengatakan bahwa aku adalah dokter terbaik yang pernah ia jumpai. Bahwa akhirnya dia merasa punya kesempatan untuk melawan balik. Aku tak bisa menahan senyum, kurasa inilah alasan kenapa aku tetap bergelut dengan bidang yang satu ini. aku mengantarkannya sampai pintu dan menjabat tangannya. Dia menatap dalam-dalam mataku, tersenyum untuk pertama kalinya sejak kami bertemu, dan kemudian meninggalkan kantor.
Itulah terakhir kalinya aku melihat Andrew Jenning dalam keadaan hidup.
Seminggu berlalu dan pada Senin berikutnya, Andrew tak datang. Biasanya aku akan lega dan mengatakan pada sekertaris bahwa aku akan keluar dan minum kopi, namun pikiranku tak bisa lepas dari pemuda malang itu. aku terus memikirkan mimpi-mimpi itu sejak Andrew pergi, boleh dikatakan, aku sebenarnya menunggu kesempatan untuk melihat perkembangannya. Kuputuskan untuk pergi. Aku berpesan pada sekertarisku untuk membatalkan semua janji. Di tangan, kugenggam tagihan Andrew dari sesi terakhir di mana tertera alamatnya di atasnya.
Dia tinggal di sebuah apartemen di pinggiran kota yang dimiliki ibunya. Jaraknya sekitar limabelas menit dari kantorku. Aku berhasil menyelinap masuk lewat pintu depan saat seseorang keluar, dan kutemukan namanya di daftar. Namanya berada di bagian bawah, jadi bisa kusimpulkan dia belum lama tinggal di tempat ini. Mungkin ibunya mengatur tempat tinggalnya agar bisa lebih dekat dengan kantorku, untuk memudahkan segalanya.
Tempatnya berada di unit terakhir dari lantai pertama. Lorong yang kususuri untuk bisa sampai di pintu apartemennya cukup panjang, setelahnya, selama beberapa detik, aku berhenti untuk memikirkan apa yang tengah kuperbuat. Rasa penasaran menguasaiku, dan akhirnya aku mengetuk tiga kali pintunya dengan keras.
Tak ada jawaban. Tidak ada suara pergerakan dari dalam. Setelah mendengarkan dengan seksama, aku mengetuk lagi. Kali ini lebih keras.
“Andrew, ini Dokter A. bisa tolong buka pintunya?”
Masih tak ada apapun. Kuraih kenop pintu dan secara mengejutkan, benda itu bisa kuputar. Kurasakan berat pintu bergeser dan jelas pintunya tak dikunci.
Aku tak bisa mengatakan berapa lama aku berdiri dengan tangan menggenggam kenop, aku terus berpikir. Berpikir bagaimana semua itu akan terlihat seperti apa; dokter yang datang ke apartemen pasiennya. Dokter yang kemungkinan besar menjumpai pasiennya dalam pengaruh heroin, atau overdosis. Overdosis akan heroin, atau kemungkinan obat baru yang ia resepkan seminggu yang lalu. Namun yang lebih buruk adalah mengenai mimpi-mimpi yang ia ceritakan sebelumnya; kini hanya berjarak selembar kayu yang memisahkan aku dengan dirinya.
Setelah menghela nafas panjang, pintu kubuka.
Hal pertama yang kulihat adalah jendela yang ditutup, lampu berdaya kecil di pojokan tidak dinyalakan. Udara di dalamnya berbau apak dan pengap, di atas meja berserak jarum-jarum suntik, beberapa sendok, dan kantung plastik kosong.
Aku berjalan melewati ruang tamu dan tidak menemukan tanda keberadaan Andrew. Ada lorong tepat di sebelah sofa yang berdempet dengan dinding. Kukeluarkan ponsel dan menyalakan lampunya. Dengan perlahan, kususuri lorong dengan nafas pendek dan tangan yang gemetar. Kudapati sebuah pintu di sebelah kiriku dalam keadaan terbuka sedikit. Dengan hati-hati, aku mengintip dan meneranginya dengan lampu dari ponsel. Ruangan itu adalah kamar mandi. Cukup kotor tapi bukan bagian terburuk dari yang kulihat. Tak ada tanda pergumulan, tak ada bekas muntahan di toilet, tak ada tanda-tanda yang mengindikasikan overdosis.
Merasa sedikit lega, aku kembali ke ruangan sebelumnya. masih ada satu pintu tersisa, tepat lurus di depan. Pintu itu tertutup sepenuhnya, warnanya yang putih dengan kenop keperakan terlihat kontras dengan keadaan gelap di sekitar. Aku berdiri dalam kegelapan dengan lampu senter dari ponsel dan mencari sakelar. Apartemen itu sudah tua, saklarnya pasti ada di kamar Andrew, di balik pintu itu.
Menyadari bahwa semuanya takkan jadi lebih mudah, setelah mengumpulkan nyali, aku mulai bergerak maju perlahan. Setiap langkah yang kuambil seperti menempuh jarak bermil-mil. Kakiku terasa berat dan kaku. Saat akhirnya sampai di depan pintu, rasanya satu jam telah berlalu. Aku berhenti dan tertegun menatap pintu putih itu. Aku mengangkat tangan dan dengan pelan mengetukkan punggung jariku pada pintu kayu itu.
“Andrew?” panggilku sambil mengetuk. Pintu berkeriut dan perlahan mengayun ke dalam. Dari celah yang muncul, aku melihat sosok seseorang. Kemudian kubuka pintu itu sepenuhnya.
Andrew ada di atas lantai, bersandar dan duduk di pojokan. Wajahnya pucat dan terlihat sangat putih, sepasang matanya yang hijau membelalak ke arah pintu yang baru saja kulewati.
Aku berdiri, tertegun menatap sosoknya dan merasa sangat terguncang. Itu merupakan pertama kalinya aku melihat mayat di luar peti mati. Sosoknya terlihat begitu kosong, hampa, tak berjiwa. Aku melihat darah di atas karpet, kemudian kulihat kukunya yang sobek dan berdarah, mencuat lepas di beberapa bagian. Akhirnya aku berhasil menemukan sakelar dan menyalakan lampu. Saat itulah aku melihatnya.
“AKHIR ADALAH AWAL”
Tulisan itu digoreskan dalam-dalam pada kayu di sebelahnya. Aku menatap tulisan itu cukup lama untuk bisa mengetahui bunyinya saat kemudian bau busuk memenuhi rongga hidung. Sungguh bau terbusuk yang pernah kucium, pada titik itu segalanya nampak jelas, dan aku merasakan mual hebat yang belum pernah kurasa sebelumnya.
Aku terbirit menuju lorong utama dan muntah seketika. Aku sedang berdiri membungkuk saat seorang wanita tua dari kamar sebelah membuka pintu dan terhenyak saat melihatku.
“Telepon 911!” bentakku dan muntah kembali. Kudengar suara pintu dibanting keras-keras dan kemudian, aku berusaha menyusuri lorong untuk bisa sampai lobi. Dalam usaha itu aku berhenti setiap duapuluh kaki untuk menahan muntah.
Saat petugas datang mereka mengatakan Andrew meninggal tepat di tempat itu. mereka pasti telah terbiasa dengan hal semacam ini, sebab, mereka sama sekali tak terlihat terganggu sedikit pun.
Aku memberi pernyataan kepada polisi dan mengatakan bahwa Andrew merupakan salah seorang pasienku, dan bahwa aku sedang menengoknya. Mereka tidak terlihat terlalu curiga, dan kemudian mengatakan bahwa akan menghubungiku jika ada hal lain yang mereka butuhkan. Kuberikan kartu namaku dan berjalan menuju mobil. Saat hendak membuka pintu mobil, kudengar decit ban di parkiran dan kulihat seorang wanita keluar. Wanita itu adalah Nyonya Jenning. Dia menangis dan menjerit histeris sehingga beberapa petugas harus menahannya.
“Putraku! Jangan, Tuhan! Tidak!”
Dia terus menjerit saat mencoba berontak dari para petugas itu. Aku sungguh tak tega melihat semuanya, hingga kemudian, kuputuskan pergi meninggalkan tempat itu. kutelepon sekertarisku dan mengatakan padanya untuk membatalkan semua janji pada hari itu. Selanjutnya aku berhenti ke toko minuman, membeli sebotol whiski dan berkendara pulang. Di rumah, aku duduk dan menenggak minuman dalam diam untuk waktu yang lama. Akhirnya kunyalakan TV untuk menonton pertandingan bola dan memesan makanan. Namun saat makanan itu datang, tak sesuap makanan pun yang bisa kumasukkan ke mulut.
Saat akhirnya botol whiski kosong, hari sudah larut. Aku berdiri dan berjalan menuju kamar dengan sempoyongan. Sepatu kulempar begitu saja, dan selanjutnya menghempaskan tubuh ke atas kasur dengan wajah mendarat lebih dulu. Aku berbaring, sementara pikiranku tak pernah bisa lepas dari Andrew, tentang tubuh pucat tanpa jiwanya yang bersandar di pojokan, menatapku dengan dua mata hijaunya yang membelalak itu, mengenai pesan terakhirnya “akhir adalah awal” yang terus bergema dalam rongga kepala mencari arti atau alasan di baliknya. Otakku bekerja semakin lambat dan kelopak mataku terasa semakin berat kemudian. “Akhir adalah awal” seperti sebuah rekaman suara yang terus diputar dalam kepalaku. Aku merasa seperti hendak jatuh tertidur saat kemudian mendengarnya. Entah bersumber dari mana asalnya, suara itu muncul tiba-tiba.
“Ubloo.”
“Putraku! Jangan, Tuhan! Tidak!”
“Kubilang, MUNDUR! Jalang goblok!” Petugas itu menghajar mulut Nyonya Jenning dengan tongkat pemukul diikuti dengan suara gemertak mengerikan.
Aku mendengar pekiknya saat terkena pukulan itu, kulihat beberapa giginya terlempar dan seperti berdenting, saat beradu dengan paving di sebelah petugas polisi yang menghajarnya. Kemudian, mereka semua, mulai memukuli wanita malang itu. mereka menghajar sampai pada tangan dan kakinya, kemudian, dengan tanpa ampun, menghujani punggung wanita itu dengan pukulan-pukulan brutal dengan pentungan. Pada titik itu, Nyonya Jenning tetap memohon agar mereka tidak membawa pergi putranya. Namun pria-pria itu tak perduli, mereka hanya tertawa, dan terus tertawa seperti menikmati apa yang tengah mereka lakukan.
Beberapa saat kemudian, petugas medis darurat muncul dari bangunan apartemen. Mereka mendorong tubuh Andrew di atas meja dengan kaki yang berroda. Mereka mendorong meja dengan mayat Andrew di atasnya dengan kikuk saat menuruni tangga. Lengan Andrew keluar dari selimut putih yang menutupinya saat anak tangga pertama menghasilkan guncangan. Aku menatap tubuh tak bernyawanya seperti memantul dan berguncang di atas meja dorong itu, sampai kemudian, mayatnya jatuh menggelinding. Selimut putih yang menutupi terlempar, melayang tertiup embusan angin sehingga mayatnya terlihat sepenuhnya.
“Oh, dasar kau pemadat tolol keparat, kenapa kau tidak tidur saja saat kami melakukan tugas sialan ini?!” Selesai mengucap kata terakhir, petugas itu menendang mayat Andrew tepat di perutnya.
Aku melihat tubuhnya mengejang dan tersentak akibat tendangan itu. Petugas yang lain bergabung dalam pesta memuakkan itu, keduanya menendang dan menginjak-injak mayat Andrew. Aku mencoba berteriak untuk menghentikan kegilaan itu, namun saat pita suaraku terrasa bergetar tak ada suara yang keluar dari mulut. Aku hanya bisa menyaksikan saat salah satu petugas mengambil sebongkah batu besar dari taman dan membawanya ke tempat di mana mayat Andrew berada. Petugas satunya membalikkan tubuh Andrew hingga terlentang. Teriakan ngeri yang sangat keras dariku nampaknya sampai pada telinga tuli belaka; mereka menghantamkan batu besar itu ke wajah Andrew. Suara berderak tengkorak yang remuk seperti terus bergema dalam kepalaku. Kepala Andrew terpelintir dan menghadap tepat ke arahku berada. Aku tak dapat menahan mual saat melihat kepala yang hancur dan darah yang muncrat.
Kemudian kulihat matanya membuka, mata hijau membelalak itu yang berada di tengah-tengah warna putih bersemu merah.
“Akhir adalah awal, Dokter,” katanya padaku dengan rahang yang setengah menempel. “AKHIR ADALAH AWAL!”
Kemudian kudengar dia mengatakannya. Halus namun nyaring, kecil tapi tegas, tajam seperti pisau sekaligus lembut laksana air.
“Ubloo!”
Aku melonjak bangun dari ranjang dengan nafas memburu dan tubuh basah oleh peluh. Dengan panik, tanganku menggapai-gapai meja di sebelah ranjang sampai kemudian menemukan senter. Aku menyalakannya dan mengarahkan sinarnya pada seisi kamar, dengan gugup seperti kesetanan kuarahkan pada tiap-tiap sudut, mencari sesuatu, apapun, namun tidak ada apapun yang kutemukan di sana. Tidak ada apapun, hanya kotak-kotak yang berceceran di kamar hotel.
Kunyalakan lampu tidur dan mengecek jam. Pukul 4:12 pagi. Tiga jam tidur nampaknya cukup.
Kubuka laci meja kamar dan meraih botol pil. Sudah tersisa setengah sekarang, akan kutulis resep baru secepatnya. Sungguh saat yang sangat tak tepat mengingat rasanya, sudah waktunya bagiku untuk pindah tempat lagi. Kubuka tutup botol dan memasukan dua butir pil ke dalam mulut. Kuraih gleas air yang telah kusiapkan dan meneguk setengah isinya.
Aku harus berberes dengan segera, memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar bisa menemukan hotel lain secepatnya. Aku bangkit berdiri dan meregangkan kaki serta punggung. Sejak kehabisan obat dan tidur, bisa kurasakan tubuhku seperti remuk. Kuhampiri meja rias di mana botol gin terletak di atasnya sejak semalam. Satu sloki gin kutuang, dan aku bergidik sedikit saat menenggaknya. Aku bukan penggemar gin, namun minuman satu ini, di antara yang lain, tidak meninggalkan aroma alkohol yang kuat pada nafasku. Saat berbalik hendak mengepak barang-barang, kulihat sosok bayanganku pada cermin dan tertegun.
Dua kantung hitam bergelayut di bawah mataku yang merah. Rambutku begitu acak-acakan sehingga nampak seperti rumput liar. Rambut-rambut kaku pendek nampak mulai mencuat pada tulang pipi dan leherku, sehingga wajahku yang sebelumnya bersih dan kelimis, sekarang nampak seperti gelandangan tak terawat.
“Tuhan …,” desisku tercekat. “Bagaimana aku bisa sampai begini?”
***
Enam minggu sebelumnya.
Pemakaman Andrew Jenning berlangsung tanpa kehadiranku. Sebagian diriku mengatakan bahwa hal ini disebabkan karena aku tak mampu untuk bertatap muka dengan Nyonya Jenning, sebagian yang lain mengatakan bahwa aku merasa takut kepada Andrew. Seminggu sebelum upacara pemakaman dilaksanakan, aku nyaris tak bisa fokus pada pekerjaan. Suara yang kudengar pada malam itu terus menghantuiku sebelum tidur.
Minggu selanjutnya, aku menyimpulkan bahwa minumanlah penyebabnya, sementara kemudian, imajinasi telah mengecohku. Kupikir hal tersebut beralasan, lagipula, saat hal itu terjadi, aku tidak sedang tidur. Jadi, tidak mungkin aku tengah bermimpi.
Saat itu, kuputuskan untuk menemui Nyonya Jenning untuk merampungkan administrasi sekaligus mengucap sepatah-dua patah kata turut berbela sungkawa. Kantornya tidak jauh dari kantorku mengingat dia merupakan pemilik nyaris separuh kompleks apartemen di negara bagian Middlesex. Kuputuskan untuk lbur bekerja sehari, rasanya hal tersebut cukup sepadan atas segala peristiwa yang kulalui sebelumnya.
Aku mengunjunginya di satu hari yang dingin di musim semi. Aku merasa gugup, sangat gugup. Saat masih kuliah di fakultas kedokteran, sebelum tampil dalam sebuah presentasi penting, aku minum satu atau dua sloki demi meredakan ketegangan. Aku melakukan hal yang sama pagi itu, seharusnya, aku menambah porsi sarapanku sebelumnya, sebab saat turun dari mobil di depan gedung kantornya, kepalaku berdenyut dan pusing bukan main.
Di lobi, seorang resepsionis manis menyambutku. Kutanyakan padanya d mana aku bisa bertemu dengan Nyonya Jenning. Dia mengatakan dengan sangat sopan bahwa Nyonya Jenning ada di lantai tiga, kamar suite nomor satu. Aku naik lift bersama seorang pria. Saat di dalam lift, dia mengendus-endus, dan kemudian melirik ke arahku. Sial, dia pasti mengendus bau alkohol yang muncul dariku.
Saat sampai di lantai tiga, aku minum beberapa teguk air dari pancuran. Kuambil sebuah permen karet dan mengunyahnya beberapa menit sebelum mengetuk pintu.
Pintu terbuka kemudian dan kami saling bersitatap, nyaris sekilas, aku melihat dirinya seperti hendak menangis.
“Oh, Dokter A,” sapanya dengan nada datar. “Silahkan masuk.”
Dia melangkah ke samping dan aku berjalan memasuki kantornya. Melihat keadaannya, aku tahu jika dia sedang beres-beres dan mengepak barang-barang. Kantornya praktis bersih, kecuali beberapa lembar kertas dan komputer.
“Pindah? Tanyaku dengan senyum canggung, mencoba mencairkan suasana.
“Ya,” jawabnya sambil mengalihkan pandangan dariku menuju pada ruangan. “Ada orang yang hendak membeli semua propertiku. Normalnya akan mahal sekali, tapi kuberi mereka tawaran bagus. Aku hendak bepergian dan berkunjung ke Eropa, seperti yang Robert dan aku selalu inginkan.”
“Kedengarannya menarik!” ucapku dengan nada antusias yang terlalu berlebihan. Kesedihan bisa kulihat mulai menguasai Nyonya Jenning, aku melanjutkan, mengubah topik pembicaraan. “Nyonya Jenning, aku benar-benar turut berduka atas kepergian Andrew. Dia sungguh pemuda yang luar biasa.”
Hal ini membuatnya jebol, air mata tumpah dengan deras.
“Seperti itulah dirinya,” ujarnya sambil terisak. “Aku ingin berterima kasih, dokter, hari itu saat dia pulang dari kantormu, dia menelepon dan mengatakan padaku bahwa keadaannya jauh lebih baik. Terima kasih sudah memberiku momen itu, terima kasih telah mengembalikan putraku sebelum aku kehilangan dia selamanya.”
Tangisnya tak tertahankan lagi. Aku hanya bisa mengalihkan pandangan pada seisi ruang dengan gugup, tatapanku jatuh pada foto Nyonya Jenning saat masih muda. Dalam foto itu, dia berdiri di sebelah pria tinggi dengan bahu lebar, serta Andrew muda yang sangat tampan. Semua dalam foto itu tersenyum lebar, yang mana, membuat hatiku terasa perih. Di sebelah Andrew, kulihat seekor anjing berwarna keemasan yang langsung kusimpulkan itu adalah Buster. Sekonyong-konyong, aku teringat mimpi yang diceritakan Andrew dan merasa merinding. Aku melangkah menuju foto itu dan meraihnya dari kotak.
“Ini pasti Robert, kurasa?” tanyaku. Dia mendongka dengan sisa tangisnya dan menatap foto di tanganku.
“Oh … benar sekali,” jawabnya sambil berjalan mendekat. “Robert … Oh, dia benar-benar tampan. Dan tentu saja, itu adalah Andrew dan anjingnya, Buster.”
Aku merinding saat Nyonya Jenning menyebutkan namanya. Ada sesuatu dalam diriku yang mengatakan bahwa Nyonya Jenning hanya tahu begitu sedikit mengenai mimpi-mimpi yang dialami putranya. Aku menunduk, melihat kotak di mana foto itu kuambil sebelumnya dan melihat sebuah proposal untuk pembelian properti. Aku nyaris mengalihkan pandangan saat kemudian, sesuatu menarik perhatianku.
“Nyonya Jenning?” ujarku tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen-dokumen itu.
“Tolong, panggil Gloria saja. Aku tidak nyaman dengan sebutany Nyonya lagi, kurasa.”
“Gloria, kupikir semua property yang kaumiliki ada di Messachusetts?” Dia mengerjapkan mata karena aku menanyakan pertanyaan yang begitu tiba-tiba.
“Ya … Iya, benar,” jawabnya sambil mengamati wajahku.
“Maaf, tapi … proposal di sini benar-benar mencuri perhatianku, di sini tertera untuk property di Louisiana?” Selama beberapa detik, dia nampak kebingungan dan kemudian kulihat ingatan kembali padanya.
“Oh iya … itu property yang dicari Robert. Dia benar-benar mengidamkan rumah Louisisana itu. Sejujurnya, aku tak tahu bagaimana cara dia menemukan tempat itu. Bahkan saat kemudiani dia kerap terbang ke sana, kupikir dia selingkuh dariku. Namun, saat kuminta untuk pergi bersama, dia nampak sama sekali tak keberatan.” Dia mengambil proposal dan membuka halaman-halamannya sampai menemukan sebuah foto yang ia ulurkan padaku kemudian.
Rumah itu sangat besar dan tua, tiang-tiang besar nampak seolah membingkai bagian depan dari bangunan tersebut, pagar hitam bergerbang mengitari halaman. Jendela-jendelanya tidak bisa kusimpulkan dengan pasti, namun nampaknya, bangunan ini terdiri atas dua tingkat, foto tersebut hanya bisa menampung keseluruhan lebar rumah. Bangunan itu nampak tak terurus, tapi aku bisa tahu kenapa Robert menginginkannya; bangunan tersebut punya potensi untuk bisa jadi menakjubkan.
Setelah mengamati foto itu selama beberapa saat, aku akhirnya bicara.
“Dan rumah ini …” ujarku. “Apakah kau juga menjualnya?”
“Wah, tidak. Bukan kami pemiliknya, Dokter,” katanya dengan nada seperti terluka oleh kata-kata itu. “Robert pergi sebelum kami merampungkan transaksi. Sayang sekali, rumah itu begitu menawan.”
Tak tahu kenapa, namun jantungku seperti mencelos sedikit dengan kenyataan itu.
“Tapi Robert sering ke sana, sebelum kepergiannya?” tanyaku.
“Iya, benar sekali.” Jawab Gloria. “Lucunya, Robert terkenal sebagai orang yang kerap menyelesaikan proses transaksi dengan cepat, kadang malah terlalu cepat,” katanya sambil tertawa kecil. “Seperti seolah dia takut untuk kehilangan kesempatan-kesempatan semacam itu.”
Dia mengamatiku yang sedang mengamati detail rumah dalam foto. “Kau sepertinya tertarik, Dok?” tanyanya, tawa kecil itu juga kembali. “Kau mau pindah juga? Atau hendak terjun ke bisnis real estate?”
“Mungkin …” jawabku sekenanya.
“Hmm, baiklah. Isi kotak itu penuh dengan informasi yang Robert kumpulkan mengenai rumah itu, ditambah dengan beberapa naskah kerja lainnya. Jika kau tak tertarik, sebenarnya aku hendak membuang semua itu.”
Butuh beberapa saat untuk mencerna perkataannya barusan.
“Tentu saja, yah …” Akhirnya aku berhasil menimpali. “Ide yang sangat bagus, Gloria. Terima kasih.”
Aku mengambil kotak itu dan mulai berjalan pelan menuju pintu.
“Aku penasaran …” kataku kemudian. “Siapa pemilik sebelumnya rumah ini?”
“Oh, rumah itu tak dimiliki siapa pun. Saat kami melihatnya, rumah itu tidak berpenghuni,” katanya. “Secara teknis, rumah itu dimiliki oleh Bank of Louisiana. Sebelumnya, gedung itu merupakan sekolahan.”
“Sekolah?” tanyaku.
“Yep. Jika wanita yang menunjukan kami property itu jujur, gedung itu merupakan sekolah bagi kaum kulit hitam pertama di seluruh negara ini.”
Aku berhenti, berdiri di sana selang beberapa menit. Memikirkan betapa ganjil semua hal ini. Kenapa Robert mencari sebuah gedung sekolah reyot di Louisiana? Kenapa harus yang satu ini? Dan kenapa juga dia tidak menyelesaikan transaksinya?
Saat aku berbalik hendak pergi, kudengar Nyonya Jenning memanggilku.
“Oh, Dok,” ujarnya. “Satu hal lagi.”
“Ya?”
“Aku tak akan bertanya –biar kurasa, aku tahu sebabnya—tapi, jika kau hendak minum-minum, pilih gin.”
Aku sungguh kaget.
“Maaf?”
“Gin, Dok,” katanya. “Baunya tidak terlalu menyengat. Robert biasa melakukannya.”
Aku meninggalkan tempat itu dengan perasaan seperti tersesat. Seolah bahwa segala yang telah terjadi hanya mimpi belaka. Aku langsung berkendara pulang, dan langsung memelajari naskah kerja Robert. Awalnya, hal itu terasa seperti pekerjaaan yang sulit. Aku tidak terlalu akrab dengan dokumen-dokumen dalam bisnis real estate, jadi, awalnya aku benar-benar buta, namun setelah satu jam, aku berhasil melihat titik terang.
Kupisahkan lembar-lembar itu di meja ruang makan. Dalam satu tumpukan, aku mendapat semua informasi mengenai rumah iu. Nampaknya, rumah itu sebelumnya dimiliki oleh keluarga kaya saat di awal 1800an. Faktanya, keluarga itu merupakan keluarga pertama yang pindah ke Louisiana setelah Amerka Serikat mendapatkannya dari Prancis. Aku tak menemukan informasi mengenai tanggal saat bangunan tersebut dijadikan gedung sekolah, namun nampaknya, kepemilikiannya oleh bank tidak terjadi sampai tahun 1960.
Aku duduk bersandar semabil menggaruk kepala. Kuperiksa dua tumpukan berkas lainnya. Satu di antaranya merupakan semua tulisan Robert yang sama sekali tidak menyinggung rumah itu, satunya lagi hanya sampah. Aku mulai memasukan berkas-berkas itu ke dalam kotak lagi, satu demi satu. Di tengah aktifitas itu, aku menemukan sebundel berkas yang dikumpulkan dalam map manila. Kubuka jepitannya dan mengeluarkan kertas-kertas di dalamnya.
Saat melihat halaman pertama, auk sedikit kecewa; perjanjian sewa lain mengenai property di Messachussets. Aku hendak membuangnya saat kemudian melihat barisan angka-angka di pojok halaman.
“12-4-21”
Kukeluarkan kertas itu dan mengamatinya. Kertas itu merupakan berkas perjanjian untuk sebuah apartemen studia di Cambridge. Saat memerikas berkas tersebut, kusadari ada selembar cek sebagai bukti pembayaran. Di sana tertera angka $180.000,00, untuk pembayaran kepada Cambridge Realty Trust Company. Robert telah membayar property ini untuk jangka waktu sepuluh tahun. Hal ini terasa aneh bagiku. Kenapa juga seorang pemilik kompleks apartemen terbesar di Amerika menyewa apartemen dari orang lain? Kujatuhkan map itu ke atas meja dan mendengar sesuatu berdenting. Kuambil map itu lagi dan membaliknya. Aku merasa ada sesuatu yang meluncur dari dalam amplop itu dan jatuh ke tanganku. Saat melihatnya, kutemukan sebuah kunci, dengan “Unit E335” tertera di atasnya. Kuperiksa lagi perjanjian sewa itu dan alamat property tertera jelas:
375 Broadway St. Unit E335 Cambridge MA
Selama beberapa detik, aku tertegun, dan kemudian bergegas mengambil mantel. Aku tak bisa menjelaskan kenapa sat itu aku meraasa bahwa mendatangi tempat tersebut menjadi sesuatu yang genting, namun hal tersebut terasa terlalu tak mungkin untuk diabaikan. Instingku mengatakan agar aku harus ke sana, dan aku menurutinya.
Cukup cepat aku sampai di apartemen, tangga depan seolah menungguku. Pintu depan terkunci dan kucoba menggunakan kunci sebelumnya. Kunci itu pas dengan lubang dan memutar dengan mudah. Aku merasa syarafku menegang. Kumasuki lobi dan menemukan tangga. Kunaiki tangga dengan setengah berlar hingga akhirnya sampai pada lantai ketiga. Kubuka pintunya dan benar saja, tepat di depanku adalah Unit E355. Waktu seolah berhenti dan aku tertegun menatap pintu di depanku itu. Paginya aku minum-minum dan mabuk, mencoba mencari pembayaran, dan sekarang, dengan lancang, aku mengendap-endap hendak memasuki property orang dan berjalan di atas jejak langkahnya. Untuk siapa aku melakukan semua ini? Diri sendiri? Robert? Andrew? Kusinkirkan pikiran-pikiran itu dari kepala. Ini hari libur –kucoba untuk melakukan pembenaran—aku hanya meluangkan waktu bermain ditektif-ditektifan.
Aku mendekati pintu dan memasukan kunci, dan memutarnya. Kemudian, kuputar kenopnya.
Daun pintu terayun ke dalam, di hadapanku, sebuah ruangan luas terhampar. Kutemukan saklar dan menyalakan lampu. Ruang itu khas seperti apartemen studio pada umumnya. Kamar mandi dan dapur jadi satu dalam bagian yang luas.
Namun tak ada furnitur satu pun di dalamnya.
Keseluruhan ruangan kosong, dengan dinding yang telanjang, kecuali satu tepat di tengah ruangan. Di sana, terletak di atas lantai menghadapku, adalah sebuah brankas.
Perlahan, aku mendekati barankas itu dan menyentuhnya. Logam kerangkanya terasa dingin menyengat. Aku berusaha mendorongnya dan kusadari betapa beratnya benda itu. Brankas satu ini pastilah tebal.
Sejenak, aku hanya berdiri dan terus menatapnya, merasakan atmosfer ganjil dari segala yang ada. Kemudian aku berjongkok. Menyangka tak akan berhasil, kumasukkan angka-angka.
“12-4-21”
Kudengar suara “klik” dari mekanisme di dalamnya dan jantungku berdegup mengencang.
Perlahan, kubuka pintunya dan melihat isinya. Tergeletak di dasar brankas, kutemukan dua buah buku. Kuambil yang paling atas dan membaca judulnya.
“Jurnal Pribadi Robert A. Jennings”
Tanganku gemetar. Kuambil buku satunya dan mengamatinya. Tulisan di dalamnya dalam bahasa asing yang belum pernah kulihat sebelumnya. kubuka halaman sampul dan menemukan selembar kertas yang terlipat. Kuambil kertas itu, membuka lipatannya dan perutku menjadi kaku seketika.
Apa yang kulihat seperti sebuah kopian dari apa yang pernah kuliht sebelumnya. Dalam warna hitam dan putih, duduk di sana menatap tepat pada keberadaanku, adalah monster mengerikan itu: Ubloo.
Aku tak tahu apa yang pertama kali harus kulakukan, menutup buku atau bengkit untuk segera pergi. aku tak tahu apa alasannya, namun aku merasa harus meninggalkan tempat itu secepatnya. Benda itu seharusnya tak aku temukan. Dengan dua buku di tangan, aku berlari meninggalkan apartemen tanpa menutup pintunya. Aku berlari langsung menuju mobil, melemparkan buku ke atas bangku penumpang dan mengemudi lurus langsung ke rumah. Saat sampai, aku meraih dua buku itu kembali dan berlari masuk, sementara mataku, berulangkali melirik belakang pundak. Aku sampai di dalam rumah dan membanting pintu, berlari menuju ruang makan dan melempar buku-buku itu ke atas meja.
Aku langsung membuka halaman pertama dari buku yang ditulis seperti menggunakan bahasa alien itu. Benar-benar janggal dan penuh dengan gambar. Aku nyaris sampai setengah saat kemudian terhenti pada satu halaman yang memuat gambaran kasar dari sosok Ubloo. Dengan panik, kobolak-balik isi buku yang tersisa, namun karena tak ada sedikit pun tulisan yang kupahami, aku menyingkirkannya. Kemudian kuraih jurnal milik Robert dan membuka halaman pertamanya.
“Namaku Robert A Jenning, dan sejak setahun terakhir aku berhadapan dengan hal-hal paranormal dalam mimpiku, mengenai sesosok monster yang kusebut sebagai Ubloo. Aku tahu seperti apa kelihatannya semua ini, namun semua yang kutulis di sini harus benar-benar diperhatikan, dihadapi dengan sangat serius, sebab, aku khawatir hidupku tak akan lama lagi.”
Aku sungguh tak percaya atas apa yang kulihat. Ini pastilah mimpi. Mimpi yang amat, sangat, kacau. Kubuka lembar berikitnya, dari sana, aku membaca tulisan Robert mengenai mimpi-mimpinya yang benar-benar mengerikan. Mimpi saat dirinya berdiri, sementara dia harus menyaksikan putranya terjun dari gedung bertingkat enam . Dia harus melihat tubuh putranya yang remuk dan hal itu terjadi terus secara berulang-ulang. Mimpi saat dia memergoki istrinya berselingkuh dengan tetangga, sementara putranya merekam adegan mesum yang tengah mereka perbuat, kemudian tetangga dan putranya menghajar Robert dengan brutal, tanpa belas kasihan, sementara istrinya menyaksikan semua itu sambil tertawa. Mimpi mengenai orangtuanya yang dibakar hidup-hidup, sementara petugas pemadam kebakaran melecehkan istrinya. Semuanya mengenai hal mnegrikan, sangat mengerikan. Bagaimana cara pria ini hidup dengan memikul semua beban itu, aku tak bisa membayangkannya.
Aku membuka halaman demi halaman dengan cepat sampai tak ada apa pun kecuali halaman kosong nan putih. Aku berhenti saat sampai pada akhir, dan tahu bahwa Robert lebih dulu tewas sebelum berhasil melengkapi jurnalnya. Perlahan, aku membalik buku itu sampai kutemukan halaman terakhir yang berisi tulisan tangannya. Saat membaca kata-kata itu, kujatuhkan buku seolah buku itu terbakar dan panasnya membakar tanganku. Aku terhuyung mundur dan menatapnya di atas lantai.
Apa yang kulihat begitu mengguncangku. Kata-kata mengerikan itu melekat dalam mata dan jiwaku.
“Akhir adalah awal.”
Beberapa saat setelahnya, aku hanya mondar-mandir dengan gusar, cemas, bercampur ngeri. Kupikirkan betapa beratnya segala yang telah terjadi. Hingga kemudian, kudengar suara gaduh dari dapur. Saat hendak memeriksanya, kurasakan rasa sakit menyengat di belakang tengkorakku. Aku jatuh dengan wajah menghantam lantai, kepalaku seperti terbelah.
“Lihat, say, dia sudah pulang!” Kudengar suara asing. Aku melihat sepasang kaki bersepatu boot hitam melintas di depan wajahku. Dengan entengnya, kaki itu menendang keningku. “Saatnya bangun, Dok!”
Dari tempatku tersungkur, aku melihat sepasang kaki bersepatu bot. pada ujung dapur, aku melihat pria lainnya, berpakaian serba hitam dan topeng ski menutup wajahnya. Dia menodongkan senjata kea rah kepala seorang gadis.
“Tolong, Dokter A! Tolong aku! Kumohon!”
Aku mengenal suara itu, tapi siapa?
“Diam, setan cilik! Dia tak bisa menolongmu!” Kudengar pria lainnya membentak sambil mengayunkan pistolnya, menghantam samping kepala gadis itu. Dia mulai menangis.
Penglihatanku kembali pada fokus dan kemudian, kusadari siapa gadis iu. Dia Andrea, resepsionisku.
“ANDREA!” pekikku, namun kemudian sebuah tendangan keras mendarat di perut.
“Kau tak dengar kata temanku, yah?” katanya dengan nada datar dan suara lirih mengancam sementara aku menggeliat kesakitan. “Kau tak bisa menolongnya.”
Dia mengambil ancang-ancang dan menghentakkan kakinya untuk menginjakku, kurasakan sepatunya yang berat mendarat di tempurung lututku diikuti perasaan sakit yang seperti meledak di kaki. Aku menjerit keras dan meringkuk memegangi kaki, namun saat melakukannya pria itu menghujaniku lagi dengan tendangan, yang sakitnya jauh lebih buruk dari kali yang kedua.
“Tolong, Dokter A! Tolong! Mereka bilang hendak membunuhku!” Andrea meratap dari dapur.
“Kubilang DIAM! Bajingan!” Kudengar suara gemertak saat pistol beradu dengan kepala Andrea, selanjutnya suara tangis terisak.
“Nah, seperti itu, dong,” ujar pria pertama. “Kami memang akan membunuhmu. Tapi sebelumnya, asyik juga sepertinya untuk menyiksamu. Setelahnya, kita bakal … yah … sedikit bersenang-senanglaaah.”
“Tidak! Hentikan! Aku mendongak tepat untuk melihat moncong pistol yang meledak, mendengar jeritan Andrea, dan kemudian, nyaris seperti muncul dari gabungan antara teriakan dan ledakan pistol, aku mendengarnya di balik kepalaku.
“Ubloo!”
Aku terbangun dalam keadaan ruangan gelap gulita dan menyadari telah menjerit sebelumnya. Tenggorokanku terasa kering dan bajuku basah oleh keringat. Aku mulai panik. Kusadari aku sedang duduk di meja ruang makan dan segera berlari untuk menyalakan lampu kemudian. Saat lampu menyala, tidak ada apa pun di sana. Tak ada kegaduhan, tak ada siapa pun di dapur, tak ada apapun. Seketika aku menyadari semuanya. Bagaimana aku bisa tertidur?
Setelah membaca tulisan Robert di jurnalnya, aku duduk dan memutuskan untuk memeriksa surat perjanjian sewa lagi, yang semua itu tergeletak tepat di depanku. Aku pasti jatuh tertidur saat melakukannya, namun kenapa aku tak bisa ingat sedang duduk melakukan itu semua?
Kemudian, aku teringat percakapan dengan Andrew. Bagaimana Ubloo tahu bahwa dia bisa membuat Andrew jauh lebih ketakutan dengan mimpi di sebuah tidur kecil daripada mimpi yang dialami dalam tidur normal. Seseorang merasa begitu mengantuk, namun dalam sisi yang lain, dia merasa harus terbangun karena tahu konsekuensi mengerikan yang akan terjadi saat dia tidur, dalam satu titik, dia akan jatuh tertidur kapan saja; seseorang bisa saja punya tekad begitu kuat untuk tetap terjaga, tapi pada akhirnya, tubuhnya sampai pada titik puncak. Kemudian, dia akan jatuh tertidur tanpa ia sadari; kepalanya akan terkulai, dan kemudian tersentak bangun saat kepalanya berada pada titik tak seimbang. Segalanya akan berlangsung dalam hitungan detik, bahkan mungkin tak sampai satu detik. Itulah tidur mikro, dan yang dalam beberapa detik saja itu, mimpi tetap terjadi. Dan beberapa detik dalam kenyataan, bisa begitu lama dalam mimpi. Ubloo nampaknya memang tahu hal ini, dia mampu untuk menyergap korban-korbannya saat lengah dengan sangat efektif.
Aku begitu terpaku pada teori satu ini sehingga tak menyadari apa yang tengah terjadi di sekelilingku, nyata dan mimpi menjadi sangat samar, namun saat menyadari hal itu telah terjadi, aku merasa sangat mual.
Semua ini tak mungkin terjadi! tak boleh terjadi!
Semua ini tidaklah nyata!
Aku berusaha mengenyahkan semua pikiran itu, namun aku tak mampu. Benar-benar tak mampu.
Sekarang, Ubloo berhasil mengontrol mimpiku.
Aku muntah di lantai ruang makan. Segalanya berlangsung begitu cepat.
Aku mengamati setiap sudut kamar dengan panik. Aku harus mengepak barang-barang. Aku harus pergi dari tempat ini. Mungkin jika kabur, dia akan butuh waktu mengejarku. Sungguh layak untuk dicoba.
Aku kembali menuju kamar dan mengumpulkan barang-barangku. Aku membongkar tas penyimpan berkas dan mengambil buku resep. Benda itu benar-benar akan sangat kubutuhkan. Aku mulai menyiapkan semuanya dengan tergopoh saat kemudian sadar bahwa aku tak tahu kenama akan pergi. Namun kemudian, pikiran itu melintas.
Louisiana.
Aku akan terbang ke sana. Kusiapkan segalanya yang kuanggap perlu dengan ide ini, namun kemudian aku mulai merasa tak yakin. Aku merasa yakin bahwa datang ke tempat itu, berarti akan melanjutkan pekerjaan Robert. Belum saatnya.
Aku akan menggunakan mobil.
Aku bergonta-ganti hotel dan melakukan riset. Membaca jurnal Robert, mencari cara untuk mengetahui apa isi dalam buku satunya, melakukan riset mengenai rumah yang hendak dibeli Robert. Banyak hal yang harus aku lakukan alih-alih langsung terbang ke Louisiana. Aku harus menyiapkan secara matang. Aku harus mempelajari mengenai segala yang telah Robert tulis dan tahu jika melakukan semua itu, aku akan punya kesempatan untuk mengenyahkan Ubloo.
***
Enam minggu setelahnya.
Aku menarik koper saat mendekati meja penerima tamu untuk ‘checkout.’
“Cepat sekali tinggalnya, Tuan Abian?” kata gadis di belakang konter.
“Iya. Maaf, tapi aku harus bepergian lagi secepatnya,” kataku sembil tersenyum.
“Sungguh menyenangkan menerima tamu sepertimu. Aku selalu merasa jauh lebih aman saat ada dokter di dekat kami.” Dia balik tersenyum
Aku berpamitan dan berjalan menuju pintu keluar. kulirik arloji. 7:01 pagi. Bagus. Aku akan sampai Mississippi saat malam nanti. Aka nada banyak waktu untuk mencari tempat menginap, dan semoga, aku bisa bertemu dengan Eli, jika dia bersedia menemuiku selarut itu, tentunya.
Aku hendak mengalihkan tatapan dari arloji.
Sungguh kemajuan besar untuk akhirnya tahu isi dari buk-
Dalam sekejap, sosok itu menghilang, namun aku tahu telah melihatnya. Aku melihatnya tepat sebelum dia menghilang di pojok belakang gedung.
Dari pojokan samping gedung, sebuah kepala kelabu dan kulit mengilap menatapku dengan dua matanya yang hitam kosong sepenuhnya. Pada bagian bawah kepala, moncong panjang itu menggantung dan seperti terlecut saat dia mundur.
Aku berdiri tertegun, beku di tempat dengan koper di tanganku. Aku terus berdiri dan menunggu. Aku menunggu untuk bangun.
Namun aku tak bisa terbangun.
Garis-garis putih di tengah jalan raya menghilang satu persatu di bawah kap mobil saat aku mengebut menuju tujuanku. Jika menatapnya terlalu lama, garis-garis marka jalan itu akan berubah menjadi satu garis putih panjang dalam hamparan aspal. Kemudian aku akan tersentak, dan garis-garis itu akan terputus-putus kembali.
Aku meraba-raba bangku penumpang dan meraih botol gin. Menyedihkan betapa aku menjadi sangat mahir untuk membuka tutupnya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain berada di kemudi. Kutenggak cukup banyak sehingga menghabiskan isinya yang tersisa. Kemudian, lewat jendela di sampingku yang terbuka, kulempar botol dan mendengar kaca hancur dengan nada remuk yang menyenangkan.
“Sebelumnya pastilah sebuah tidur mikro.” Aku terus meyakinkan hal ini pada diri sendiri. Aku tak tahu apakah pada akhirnya aku sudah kalah atau terlalu mabuk sore itu dan berkhayal. Namun, demi alasan tertentu, aku menggabungkan fakta telah melihat Ubloo, dan tak mendengar suara itu setelahnya.
Akhirnya, kusimpulkan bahwa semua itu merupakan halusinasi akibat kurang tidur, dan kukatakan pada diriku untuk menyempatkan tidur setidaknya lima jam malam ini. Selama beberapa minggu terakhir, aku tidur tidak lebih dari empat jam sehari, atau selama aku kuat untuk menghadapi mimpi buruk mengerikan itu.
Di kaca spion tengah, aku melirik kotak yang berisi barang-barang milik Robert Jenning. Hari ini, merupakan hari di mana pada akhirnya, aku akan tahu isi di dalam buku itu. Aku tak bisa ingat lagi berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk mencocokan sampel tulisan ini di laptop, dan lewat murni kebetulan belaka aku mengetahui tulisan apa itu.
Saat itu aku sedang duduk di sebuah bar hotel di Pennsylvania saat seorang pria duduk di sebelahku. Awalnya kami berbincang sedikit, namun, kurasa dia takut akan penampilanku yang awut-awutan. Kami minum tanpa sepatah kata pun selama beberapa menit, dan kemudian, dia tiba-tiba memecah keheningan.
“Kau bisa membaca sampah itu?” tanyanya. Walau terdengar kasar, namun dia menanyakannya dengan sopan.
“Sayangnya tidak,” desahku. “Sebenarnya, aku sedang mencari tahu bahasa apa yang ada dalam buku ini.”
“Oh.” Dia menatap gelas birnya dan mulai berusaha membaca judul di sampulnya. “Keberatan jika aku melihatnya?”
“Silahkan saja. Tapi kumohon berhati-hatilah.” Kusorongkan buku itu ke arahnya dengan hati-hati. Dia membuka halaman sampul dan membolak-balik beberapa halaman awal.
“Wah, jika bisa kukatakan padamu,” katanya memulai. “Ini semacam Bahasa Afrika.”
Telingaku seperti berdenyut saat mendengarnya.
“Bahasa Afrika?” ulangku penuh harap.
“Yeah. Dulu aku satpam di Museum Sejarah Nasional di New York. Aku yakin pernah melihat yang semacam ini di sana.”
Aku bahkan tak sempat berterima kasih pada pria itu. Aku raih buku itu darinya dan bergegas menuju kamar hotel untuk segera bekerja. Aku pastilah mengirim lebih dari limaratus buah email malam itu, dengan contoh kecil tulisan yang ikut kusertakan, kepada semua professor sejarah kebudayaan Afrika, curator museum, dan penerjemah Bahasa Afrika yang bisa kutemukan alamatnya.
Saat itulah aku menemukan Eli.
Eli merupakan seorang professor kebudayaan Afrika yang telah pension, dia tinggal di Natchez, Mississippi. Email balasan darinya bernada terkejut bercampur girang dalam waktu bersamaan. Dia mengatakan bahwa tulisan itu merupakan bahasa yang sudah sangat tua, yang pernah ia terjemahkan sebelumnya untuk seorang professor saat dia dalam masa studi untuk program docktorat. Kukatakan padanya akan kubayar sebanyak apa pun jika dia sudi membantuku menerjemahkan buku itu, sepanjang aku mengantar sendiri buku itu dan dia membacakannya langsung padaku. Aku tak mau ambil resiko kehilangan buku itu dalam paket, lagipula, Natchez tepat dalam rute perjalananku menuju rumah di Louisiana.
Sejak sekitar dua minggu lalu, aku sudah menyelesaikan jurnal Robert. Dia menuliskan tentang mimpi-mimpinya, betapa berat beban yang harus ia tanggung dan betapa itu semua sangat memengaruhi keharmonisan kehidupan keluarganya. Robert saat itu mendatangi salah satu penyewa propertiya, setelah tidak mendengar kabarnya (atau mendapatkan uang sewa) selama berminggu-minggu. Setelah tidak ada jawaban saat dia mengetuk, Robert memutuskan masuk dan menemukan penyewanya tergeletak di bathtub dengan lengan teriris. Nampaknya, celana jeans pria itu tergeletak di lantai kamar mandi. Di saku celana itu, Robert menemukan foto rumah di Louisiana, dengan alamat yang tertera dalam coretan cakar ayam di baliknya. Mencurigakan bagiku karena Robert tidak menyebutkan darimana dia menemukan buku yang satunya.
Robert juga berteori mengenai apa yang Ubloo coba untuk lakukan. Dia meyakini bahwa Ubloo ini merupakan arwah penuh dendam, di mana sumber keberadaannya berasal dari mimpi buruk atau ketakutan yang ia makan. Bisa dikatakan bahwa Jurnalnya tidak terlalu membantu, isi di dalamnya hanya berupa catatan atas segala hal yang ia alami selama tiga tahun, di mana dia harus berhadapan dengan kutukan itu.
Aku terus larut dalam ingatanku ketika kemudian kudengar suara teriakan.
BRAK!
Kemudian benturan keras dan kaca depan mobil membentuk pola seperti jarring laba-laba dan melesak ke dalam. Secara naluriah, kubanting setir dan lepas kontrol atas mobil. Mobil berdecit keluar dari bahu jalan dan menghantam tanggul. Wanita yang kutabrak terlempar dan bergulung-gulung sampai sebuah pohon menghentikannya. Kudengar tulang belakangnya berderak karena benturan itu diikuti suara letupan nyaring yang tajam.
Mobil akhirnya berhenti dan kudengar suara seorang pria.
“OH TUHAN! MARY!”
Seorang pria tua berlari menuju tempat wanita itu berada.
“MARY! Oh, jangan Tuhan!”
Dia membungkuk dan mengguncang kepala wanita itu dalam dekapannya, kaki wanita itu terpelintir, bengkok dalam posisi mengerikan. Pria itu berbalik dan menatap ke arahku. Aku masih begitu shock saat melihat semuanya, tanganku memucat akibat menyengkeram setir dengan erat. Sampai akhirnya, aku berhasil menguasai diriku -- walau belum sepenuhnya-- dan menyadari kegentingan apa yang ada.
“Mundur! Aku dokter!” Aku berteriak sambil membuka pintu dan berlari menyusul pria itu.
“Dia mati! K-kau! Kau membunuhnya, setan!” Pria itu terisak sambil membenamkan muka di atas kepala istrinya.
Aku terhenti setengah jalan antara mobil dan pohon. Mereka berdua tidak lebih muda dari umur tujuhpuluh tahun. Tidak terlalu jauh dari tepi jalan, aku melihat ada sebuah mobil yang diparkir. Mobil mereka pastilah mogok atau bocor, wanita itu mungkin berusaha untuk meminta pertolonganku sebelumnya, atau mungkin, hanya berdiri terlalu ke tengah.
“M-maaf, a-aku …” kataku tercekat. “Aku tak m-memper-hatikan.”
“Kau benar-benar pemabuk sialan!” Dia merangsek maju. “Pemabuk sama seperti orangtuanmu! Itulah yang menyebabkan ayahmu mati dan juga membunuh ibumu!”
Apa yang kudengar membuatku bingung sekaligus geram.
“Tidak! Tidak benar!”
“Tentu saja benar!” Pria tua itu meraih sesuatu dari punggungnya dan mengeluarkan sepucuk revolver. “Lihat akibat perbuatanmu, nak! Semua ini salahmu!”
Bersama dengan itu, dia mengokang revolver, memasukan moncongnya ke dalam mulut, dan selanjutnya, aku melihat otaknya berhamburan dari balik batok kepalanya setalah suara ledakan kudengar.
Aku tertegun, shock, hanya hening yang berdenging setelahnya. Kugaruk belakang kepalaku dan menatap mayat mereka. Bagaimana aku bisa lepas dari semua ini? Kugaruk bagian belakang kepalaku lagi, sungguh saat yang aneh untuk merasa gatal dalam situasi seperti ini.
Kemudian kurasakan rambutku berkibar. Dengan bertumpu pada tumit, aku memutar tubuh. Gelombang rasa takut seperti menggulungku; di sanalah dia berada. Belalai panjangnya melambai-lambai dan pada ujungnya adalah lidah hitam yang menggantung. Dia menatapku dengan tajam dengan mata hitamnya. Begitu hitam sehingga aku bisa melihat bayangan diriku di dalamnya, bayangan diriku yang sedang berdiri tertegun ngeri. Tubuhnya naik-turun dengan pelan di atas kaki-kakinya, kemudian dia mundur dengan gerakan –yang anehnya- terasa bagiku seperti semacam keanggunan yang ganjil. Kepalanya mendongak sedikit dan tanp gerakan lain lagi, aku mendengar suara itu.
“Ubloo!”
Aku terbangun dan menghirup udara pengap dan gersang. Kenyataan perlahan kembali saat kuamati sekitar, kemudian aku teringat segalanya. Sebelumnya aku menepi untuk beristirahat di pemberhentian di perbatasan Natchez untuk buang air kecil dan minum kopi. Aku pastilah tertidur di dalam mobil.
“Sial!” Kupukul setir dengan kedua tanganku.
Setidaknya, aku telh memimpikan dirinya lebih dari limapuluh kali, namun tetap saja dia berhasil menyerang saat aku lengah. Kubuka dashboard dan mengambil botol adderall. Kuambil dua butir dan menelannya dengan bantuan gin.
Aku duduk sebentar dengan kepala bersandar pada setir berusaha menernihkan pikiran yang sungguh kacau balau. Kemudian kuputar kunci untuk menyalakan mesin dan meninggalkan parkiran.
Butuh setengah jam untuk sampai di kediaman Eli. Rumahnya besar dan dari penampakannya, umurnya pasti sudah tua. Jalan menuju rumahnya jauh lebih panjang dari yang kubayangkan. Hamparan pertanian yang mengelilingi rumahnya terbentang begitu luas, seolah tanpa tepi. Bagi orang yang hidup di kota, pemandangan semacam ini nampak seperti sebuah lukisan surrealis.
Kuhentikan mobilku di halaman rumahnya dan dia keluar dan melambaikan tangan. Dia telah menungguku, aku meneleponnya sekitar duapuluh menit lalu. Tingginya nyaris sepertiku namun dia lebih tua, umurnya menjelang akhir enampuluh tahun. Rambutnya putih seluruhnya dengan jenggot yang juga putih menghias wajah. Kulitnya berkeriput, sepasang kacamata setengah frame bertengger di atas hidungnya.
Dia menyalakan rokok saat aku turun dari mobil dan meregangkan kaki.
“Sore, Dok,” sapanya dari depan tangga. “Harus kukatakan, aku sangat tertarik dengan buku yang kau punya. Jarang sekali buku semacam itu yang masih bisa ditemukan, jika aku bisa mendapat penemuan baru saat menerjemahkannya, anggap saja kita impas.”
Dia bicara dengan logat Mississippi yang kental, namun aku bisa memahami setiap katanya. Dia menatapku sebentar dan bicara lagi.
“Wah, kacau sekali dikau, Dok. Perjalanan panjangkah?” tanyanya dengan nada tulus.
“Hanya malam yang berat.”
Aku tak bisa menhana senyum. Kubuka pintu belakang mobil dan mengambil buku itu dari dalam kotak. Kututup pintu dan mengamati sampulnya dengan bertanya-tanya untuk terakhir kali saat melangkah menuju Eli.
“Silahkan,” ujarku sambil mengulurkan buku.
Eli menerimanya dan membenarkan letak kacamata. Dia mengerjapkan matanya sebanyak tiga kali saat melihat sampul buku itu di bawah sinar matahari sore. Kemudian dia membelalak dan mulutnya jadi sedikit menganga.
“Dokter,” ujarnya muram. “Di mana kau temukan buku ini?”
“Pemberian seorang teman.” Aku berbohong namun hanya separuhnya. “Kenapa? Ada masalah apa?”
Eli berbalik dan menatapku lama, kemudian kurasa dia mengamati penampilanku yang begitu dekil dan paham kenapa.
“Teks di sini, adalah teks relijius,” katanya dengan suara bergetar. “Ditulis oleh dukun penyihir dari Suku Binuma.”
“Dukun?” tanyaku penasaran. “Seperti semacam voodoo?”
“Betul sekali.” Eli terus menatapku saat dia bicara. “Tapi bukan sekedar voodoo. Suku Binuma, dan khususnya dukun ini, dalam cerita rakyat Afrika disebut-sebut sebagai yang terkejam dalam sejarah.”
Kami seolah tertegun berdua di tangga depan setelah kalimat itu, hanya suara angin yang menjadi latar di antaranya.
“Jadi, Dok,” ujar Eli. “Ayo masuk untuk meyakinkan bahwa yang satu ini bukanlah yang palsu sebelum kita terlalu gegabah menyimpulkan.”
Kami masuk bersama dan Eli mengajakku ke ruang kerjanya. Dia mulai memeriksa buku itu, tulisan, kertas, semuanya. Sementara melakukan hal tersebut, dia memintaku untuk melakukan tugas lain. Mengambil contoh dari lemarinya, mencari teks yang tidak ia miliki di internet, mengambil the manis dari dalam kulkas. Setelah sekitar dua jam, dia akhirnya duduk bersandar di kursi dan menatapku.
“Demi Tuhan, Dok! Ini benar-benar asli.”
Aku gembira mendengarnya. Sebenarnya, pikiran bahwa teks itu palsu, sama sekali tak terlinta dalam kepala. Sekarang, saat jawaban mengenai Ubloo hanya dengan menunggu beberapa menit saja, tentang bagaimana cara menghentikan atau bahkan membunuhnya, akhirnya sedikit beban di pundakku serasa berkurang.
“Jadi,” kata Eli kemudian. “Aku punya kamar khusus tamu di atas. Jika kau tak ada tujuan lain, mungkin kau bisa menginap dan kita bisa menerjemahkan buku ini bersama. Mungkin hanya butuh waktu sekitar … tiga hari, mungkin?
Perutku terasa mulas seketika.
“Maaf, Eli. Tapi itu terlalu lama.” Dia memandangku lagi. “Aku harus pergi sebelum matahari terbenam.”
Dia terlihat kaget, tapi juga penuh pengertian.
“Wah, Nak, kau seperti belum tidur berhari-hari! Kau yakin mau pergi lagi dan tak menginap?”
“Maaf, tapi aku benar-benar kehabisan waktu.” Aku bangkit dan berjalan mendekati Eli untuk mengambil buku. “Bolehkah?”
“Tentu, Dok, buku itu milkmu, bukan?”
Aku membuka halaman demi halaman sampai menemukan bagian yang kubutuhkan.
“Tidak lagi, Eli,” kataku , sementara halaman yang kubutuhkan semakin dekat. “Begitu aku pergi, buku ini jadi milikmu. Lakukan apapun yang kau mau dengannya.”
Akhirnya, aku sampai pada halaman yang kumaksudkan: gambaran kasar Ubloo yang dikelilingi oleh tulisan.
“Ini teks yang kubutuhkan,” kataku sebelum dia menanyakan apa pun.
Eli mengalihkan pandangan pada halaman itu dan membacanya tanpa suara selama beberapa menit. Saat melakukannya, aku tahu dia memahami apa yang ia baca. Saat akhirnya selesai, dia menoleh dan menatapku dengan sorot mata sedih.
“Sudah berapa lama?” tanyanya.
“Sekitar dua bulan,” jawabku. Aku merasa lega sekaligus perih saat akhirnya bisa berbagi cerita pada orang yang bisa mengerti.
“Oh Tuhan …” katanya gundah, kemudian; “sebentar, Dok.”
Dia bangkit dan berjalan menuju dapur dan kembali dengan sebuah baki. Di atasnya terletak dua gelas berisi es, dan sebuah botol yang nampak seperti whiski. Aku tertawa, dan selama beberapa saat, seperti menjadi manusia lagi. Eli menuang untukku satu gelas, dan kami minum bersama tanpa berkata-kata.
“Jadi sekarang kau paham kenapa aku tak bisa menginap,” kataku akhirnya.
“Aku paham, Dok. Sekarang, mungkin kau harus duduk, sebab ini bakal jadi cerita yang panjang.”
Aku duduk di sebelah Eli dan menguatkan diri, jantungku berdegup kencang menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Makhluk ini, sosok … ini, disebut sebagai ‘Daiala Bu Umba.’”
“Daiala Bu Umba?” tanyaku penuh rasa ingin tahu. Semua terasa aneh sebab mereka menyebutnya dengan sebutan yang berbeda dengan Robert dan Andrew.
“Ya, Daiala Bu Umba. Diartikan sebagai ‘Dia Yang Menampakkan Diri.’”
Aku merinding, sementara Eli melanjutkan.
“Dikatakan di sini bahwa dukun ini sangat kuat. Disebutkan pula bahwa orang-orangnya –Orang-orang Suku Binuma—diburu di sebuah gururn oleh klan musuh. Alih-alih memburu dan bertarung di medan perang, klan musuh ini mengirimkan petarung-petarung terbaik mereka ke perkemahan Suku Binuma saat malam, kemudian mereka dibantai saat tengah tidur.
Saat itu si dukun tengah pergi, berdoa pada dewa-dewa agar rakyatnya selamat, namun para dewa nampaknya telah berpaling darinya karena dukun ini menggunakan tenung untuk mengalahkan musuh. Maka dari itu, doanya tak dijawab. Saat dia kembali ke perkemahan, dia mendapati semua anggota sukunya tewas di atas tempat mereka tidur, termasuk istri dan anaknya. Dukun ini dirundung duka sekaligus murka. Dia melancarkan tenung terkuatnya untuk membalas dendam kepada klan musuh. Dia berpaling dari dewa-dewa yang telah berpaling darinya.
Dia mengumpulkan segala yang tersisa dari serangan itu; taring gajah, kulit ular, kerangka hewan lain, dan semua benda yang bisa ia gunakan. Dia menumpuknya bersama dengan tubuh-tubuh anggota sukunya yang telah binasa dan membakarnya. Dia merapalkan mantra tenung, sebuah kutukan yang ia tujukan pada klan musuh, memanggil arwah yang akan menghantui tidur mereka sama seperti horror yang telah mereka lakukan kepada seluruh anggota sukunya.”
Eli berhenti dan menatapku.
“Mau diteruskan, Dok?”
Aku menyesap whiski dan mengangguk dengan murung.
“Hanya dalam hitungan hari, klan musuh mengalami mimpi buruk mengerikan sehingga tidak bisa tidur. Mereka bermimpi diserang oleh klan lain, menyaksikan wanita dan anak-anak diperkosa dan dicincang. Mimpi it uterus berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Tidak lama kemudian, klan tersebut saling bunuh, atau memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri, sampai tak ada satu pun yang tersisa.
Namun ada sesuatu yang tidak beres. Saat dukun itu mendengar klan musuh telah musnah, tentu saja dia merayakannya. Namun dia terus mendengar orang-orang didatangi oleh Dia Yang Menampakan Diri. Dia sadar bahwa iblis yang ia ciptakan tak bisa dihentikan, sebab dia begitu rakus akan penderitaan yang tak akan pernah terpuaskan. Satu demi satu, orang-orang mulai dirasuki arwah tersebut. saat mereka mati, iblis itu akan berpindah ke yang lain, terus dan terus.”
Eli berhenti di situ, dia menatapku dengan prihatin.
“Jadi, bisakah mereka menghentikannya?” tanyaku.
“Tak dikatakan di sini,” kata Eli tanpa bisa menyembunyikan kesedihan dalam nada suaranya. “Dikatakan bahwa suku tersebut mengucilkan siapa pun yang terhubung dengan arwah mematikan itu, sebab merupakan hal mustahil untuk melawannya. Mereka membiarkan agar iblis itu memangsa suku malang lainnya.”
Seluruh tubuhku melemas seketika. Tak ada jalan untuk kabur bagiku. Aku harus berhadapan dengan Ubloo seumur hidup … atau setidaknya, dalam sisa hidupku yang pendek. Aku paham sekarang kenapa Andrew dan Robert mengakhiri hidup mereka sendiri.
Mataku terasa berkaca-kaca, dan Eli mengisi gelasku lagi.
“Aku paham kenapa kau hendak pergi lagi, Dokter. Aku akan tersu menerjemahkan buku ini dan akan meneleponmu saat kutemukan sesuatu yang bisa menolongmu.”
Kutenggak whiski digelas dalam satu tegukan dan menyeka mataku dengan lengan baju.
“Terima kasih, Eli,” aku memaksa pergi. “Telepon aku kalau begitu. Tak perlu kau mengantarku.”
Aku bangkit sebelum dia bisa menghentikanku dan segera menuju pintu depan. Sebelum sampai di mobil, Eli memanggilku dari ambang pintu.
“Dokter! Jika kau tak keberatan aku bertanya, kemana kau akan pergi?” tanyanya. Nada sedih dalam suaranya membuat tanyanya seperti menggantung di awang-awang.
“Untuk mengikuti jejak mereka yang sudah mati,” jawabku. “Jejak itu menuju ke suatu tempat di Louisiana.”
Eli terus memandang keberadaanku matanya mulai tergenang air.
“Kudoakan yang terbaik untukmu, Dok. Aku tak bisa membayangkan hal-hal yang sudah kau saksikan, dan aku tak akan berlagak layaknya tahu semua hal itu. Namun, semoga tuhan memberkatimu karena terus berjuang.”
Aku mengangguk dan membuka pintu mobil, namun kemudian aku berhenti dan menatap Eli.
“Daiala Bu Umba,” kataku dengan tawa getir. “Jauh lebih bagus kedengarannya daripada julukan yang kusematkan.”
“Kau menyebutnya apa, Dok?”
Aku terdiam beberapa saat dan menyadari betapa konyolnya nama yang kuberikan pada makhluk itu.
“Ubloo,” kataku dengan senyum perih.
“Ubloo?” Eli menatapku dengan bingung.
“Yah, itu yang terus ia katakana tepat di ujung mimpi.” Aku bimbang sejenak. “Apakah kata itu berarti sesuatu?”
Eli memandangku dengan tatapan yang tak akan pernah kulupa, sorot dalam matanya yang aku tahu takkan pernah ia berikan pada orang lain dalam hidupnya. Kemudian dia berkata:
“Ya, Dokter. Ubloo adalah versi pendek dari ‘Ubua Loo.’”
Angin berembus lembut di antara kami dan rerumputan bergoyang di bawah cahaya matahari yang meredup saat aku menanti hal terakhir yang kudengar darinya.
“Artinya bangunlah.”
Aku terus mondar-madir di kamar hotel dengan gelas gin ditangan, sementara pikiranku semakin kalut. Besok, aku akan bertemu dengan seseorang dari Bank Louisiana untuk melihat gedung sekolah yang diminati Robert. Saat mengatakan pada mereka bahwa aku tertarik, mereka nampak sedikit terkejut, dan saat kudengar bahwa tak ada yang menarik dari tempat itu, giliran aku yang terkejut. Kecuali memang reyot dan perlu perbaikan di sana-sini, rumah itu sungguh menawan. Wanita yang bicara lewat telepon denganku mengatakan bahwa sekolah tersebut sekarang telah menjadi bahan cerita-cerita seram bagi penduduk sekitar. Bangunan itu ditutup saat aliran dana terhenti, banyak pelajar dan keluarga yang marah pada pemerintah kota karena mereka lebih memilih untuk memindahkan mereka, alih-alih mencari cara agar aliran dana kembali mengucur. Setelahnya, gedung tersebut ditawarkan di pasar properti, namun kurasa, semua orang akan merasa bersalah untuk membeli sebuah property yang sangat berharga bagi anak kecil, hanya demi kepentingannya sendiri. Tidak perlu waktu lama bagi cuaca untuk menjadikan kesan angker melekat padanya, belum lagi ditambah dengan tidak adanya perawatan memadai pada gedung itu. Gedung sekolah ini hanya menarik bagi para penggemar cerita hantu, walau tidak ada kejadian paranormal yang tercatat dari sana.
Kusesap gin dan menelannya banyak-banyak. Aku sungguh tak percaya betapa telah begitu terbiasa dengan minuman satu ini. Saat masih belum jadi tukang minum sebelum ini, aku selalu lebih suka pada whiski. Sekarang, hanya gin yang bisa kuminum.
Kamar yang kutempati gelap dan pengap. Jumlah rekening semakin berkurang karena memang tak ada pemasukan selama lebih dari dua bulan lamanya, dan aku tak bisa boros mulai sekarang. Pikiran untuk menjual resep sempat melintas, namun aku tak bisa melakukannya. Mungkin banyak uang yang bisa kudapatkan, aku tak ingin berpaling diri diriku yang sebelumnya. Siapa tahu, mungkin dari gedung sekolah ini, aku bisa mendapatkan informasi yang bisa kugunakan untuk membunuh Ubloo. Membunuh? Kugelengkan kepala. Dia adalah kutukan tenung, bagaimana bisa seseorang membunuh hal semacam itu?
Kuletakan tanganku di atas meja rias dan menyondongkan tubuh memandangi gelas gin di mana beberapa es batu berbentuk kotak mengapung, dan berdenting saat membentur tepian gelas.
“Dokter.”
Suara itu muncul dari belakangku. Kubalikan tubuh dengan cepat sehingga nyaris jatuh. Di depanku, seseorang mulai menampakkan diri: Andrew.
Kami saling menatap. Tubuhnya terbungkus dalam kaus hitam dan ecelana jeans. Rambutnya berantakan dan kusut, sepasang matanya yang hijau, kini berganti dengan bola mata yang putih seluruhnya.
“Kenapa kau di sini, Dok? Dia kembali bicara.
Kata-kata tercekat di tenggorokan, namun akhirnya aku bisa memuntahkannya.
“Aku mencaoba mencari jalan keluar, Andrew. Aku mencoba mengalahkannya.”
Andrew menggeleng lemah.
“Kau tak bisa mengalahkan Ubloo, Dok,” katanya. “Dia selalu ada di sana, selalu menunggu, selalu mengawasi.”
Kami berdiri tanpa kata, perutku kaku akibat perasaan tertekan dan gugup.
“Aku harus mencoba, Andrew.” Akhirnya aku angkat bicara. “Aku harus mencoba. Aku tak mau semua mimpi buruk ini terjadi pada orang lain. Aku benar-benar tak bisa.”
Kemudian, aku melihatnya. Dia muncul dari bayangan di belakang Andrew, dengan pelan dan gerakan ganjil. Kulitnya terlihat kencang licin dan keabuan, kulihat tiap tulang dan dagingnya mengejang saat dia merangkak. Tingginya setidaknya enam kaki, mungkin lebih, namun dia tak berdiri. Dari kepalanya yang besar dan bundar, sepasang mata sehitam tinta menatap tajam padaku. Walau tak ada pupil di dalamnya, aku bisa mengatakan bahwa dia mengawasi setiap gerakanku, dia mengamatiku. Belalai panjang yang menjulur dari kepalanya melambai-lambai saat dia berjalan. Dia berhenti tepat di belakang Andrew saat pemuda itu kembali bicara.
“Semua ini akan terjadi pada orang lain, Dok.” Matanya yang putih seperti mengulitiku. “Hanya itu jalan keluarnya.”
Belalai Ubloo kemudian terangkat dan menempel pada telinga Andrew. Kemudian kulihat lidahnya yang hitam muncul dari hidung Andrew diikuti teriakan pilu darinya.
Kututup kedua telingaku dan jatuh terhuyung menabrak meja rias.
“Jangan! Hentikan!” jeritku tiada guna.
Daging Andrew mulai lumer, terlepas dari tulangnya, mnetes layaknya lumeran lilin sehingga menampilkan tulangnya yang putih. Dia terus menjerit, sementara lumeran tubuhnya jatuh menumpuk di kakinya. Aku menyaksikan wajahnya ikut lumer sehingga menampilkan tulang rahangnya, kemudian kudengar suara robekan dari otot rahangnya. Sendi rahangnya putus sehingga rahang bagian bawahnya menggantung sedemikian rupa. Saat semua adegan itu berlangsung, jeritan kesakitan terdengar sebagai latar.
“Tolong hentikan! Aku tak mampu lagi! Hentikan semua ini, kumohon!”
Dengan itu, kengerian di depanku berhenti dan rahang bawah Andrew masih bergelantungan. Tubuhnya tidak lebih dari setengah kerangka, dengan daging dan isi dalam tubuhnya yang belum sampai ke tanah, bergelantungan. Dia diam seperti patung, hingga kemudian, kepalanya tersentak dan menghadap tepat ke arahku. Bola matanya yang seluruhnya putih kemudian berputar dan sepasang mata hijau membelalak yang mengerikan muncul kembali. Di belakangnya, Ubloo nampak menikmati dan memperhatikan semua ini.
“Akhir adalah awal, Dokter.”
Kemudian tulang rangkanya jatuh beserta sisa-sisa tubuh yang lain, bergabung dengan tumpukan tubuhnya yang melumer sebelumnya. Belalai Ubloo jatuh bergelantungan di belakang tumpukan itu, kemudian aku mendengar suara itu.
“Ubloo.”
Lenganku menyengkeram selimut begitu erat. Tubuhku bermandi keringat, terengah, mata menatap langit-langit kamar di tengah kegelapan hingga fokusku perlahan kembali.
Aku terbaring tanpa daya di atas ranjang selama beberapa saat. Hingga akhirnya bisa kuatur nafas, aku bangkit dan berjalan menuju meja rias dan membuka lacinya. Di dalamnya terdapat sebuah botol pil dan di sampingnya adalah sepucuk revolver.
Walau harapan untuk bisa menyingkirkan kutukan ini masih kupegang teguh, ada sebagian kecil dalam diriku yang mengatakan bahwa kemungkinan memang hanya ada satu jalan keluar.
Kubuka tutup botol pil dan mengeluarkan tiga butir adderall. Kuraih botol gin yang nyaris kosong dan menghabiskan isinya. Tak ada apapun saat kuperiksa seisi ruang. Kunyalakan lampu dan mengecek jam: 4:37 pagi.
Saatnya berberes.
Aku sampai di bank sekitar pukul 7 pagi lebih sedikit. Tempat itu akan buka beberapa jam lagi, maka aku minum kopi dengan sedikit campuran gin yang kini selalu kubawa serta di mobil. Sesapan pertama seperti membakar lidah, namun aku tak perduli lagi dengan semua itu. Ada hal yang amat lebih buruk dari sekedar lidah terbakar.
Aku terus terpikir akan perkataan Andrew, jika itu memang benar dirinya. Apakah mungkin saat itu Ubloo yang bicara padaku? Tidak masuk akal. Jika dia bisa mengatakan untuk bangun tiap kali dia muncul, kenapa harus menyaru sebagai Andrew untuk bicara denganku? Mendengar makhluk itu bicara denganku akan terasa lebih menyeramkan, kupikir.
Wanita yang menunjukkan gedung padaku bernama Linda. Umurnya sekitar limapuluh dengan rambut cokelat dan wajah berbintik. Saat tersenyum, dia akan memamerkan deretan gigi yang putih bersih. Aku benar-benar memperbaiki penampilanku untuk pertemian ini. Jika hendak bertemu seseorang untuk membeli sebuah rumah sekaligus memeras informasi darinya, aku harus tampil meyakinkan. Rambutku kusisir dan tampak kelimis kini, cambangku yang seperti hutan belantara bagi para kutu, kucukur habis hingga bersih. Kukenakan baju kerja lama yang kusetrika malam sebelumnya, bahkan kusempatkan pula untuk menggunakan cologne. Sejujurnya, menyenangkan sekali rasanya untuk bisa berdadndan kembali.
Untuk menuju tempat itu, kami naik mobilnya yang hanya berjarak beberapa blok dari bank. Saat sampai, perasaan tegang seperti meremas perutku dengan kuat; perasaan sama yang kau rasakan saat bertemu dengan seseorang yang hanya kau liht di oto sebelumnya. Aku merasa seperti sangat akrab dengan tempat ini mengingt betapa lamanya riset yang kulakukan terhadapnya.
“Memang tak banyak yang tersisa, namun dulunya, tempat ini sangat menawan,” katanya sambil berjalan menuju gerbang besi yang besar.
Dia mengeluarkan bundelan berisi tiga kunci dari dalam tasnya. Aku mengamatinya dengan cermat. Ada du kunci keemasan dan satu yang keperakan. Dia memilih yang perak dan memasukannya pada lubang kunci gerbang. Kuamati gerbang dan ujung-ujung tajamnya yang mencuat. Bukan pilihan bagus untuk memanjat, namun jika melakukannya dengan hati-hati, tak akan ada masalah.
“Halamannya sedikit tak terurus, biasanya kami mengirim orang untuk memotong rumput sekali dalam sebulan, sekalian untuk mengecek dalamnya. Yah, untuk memastikan tak ada orang iseng yang mengacau.”
Kami berjalan menyusuri jalan setapak hingga sampai pada tangga. Saat melangkah diatasnya kudengar deritan khas, hingga kami sampai pada pintu depan. Dari bundelan kunci yang sama, dia meraih kunci emas dan memasukannya ke lubang kunci. Pintu terbuka dan Linda melenggang masuk.
“Jadi, ini serambinya. Seperti yang kau lihat, ada ruangan terbuka dengan atap yang tinggi dan sekarang memang dalam keadaan yang tidak terlalu bagus,” ujarnya sambil menutup pintu.
Rumah ini memang indah dan aku bisa paham kenapa Robert begitu mudahnya berakting sebagai seorang peminat, karena memang dalam dunia yang sempurna, orang sepertinya memang akan sangat berminat untuk property yang satu ini, tanpa tambahan alasan yang macam-macam. Linda menunjukan sisa bagian dari rumah, yang keseluruhannya lapuk dan berdebu. Lantai berderit tiap kali kami melangkah di atasnya, dan ada jejak-jeka kerusakan oleh air pada dinding dan langit-langit. Kebanyakan pada bagian bawah adalah ruang kelas, kecuali sebuah dapur kecil yang kurasa digunakan para guru sebagai tempat istirahat dulunya. Lantai atas merupakan kantor kepala sekolah dan beberapa ruang kelas lainnya.
Aku terus berjalan mengamati isi rumah, apa yang Linda katakan, hanya separuhnya yang masuk ke telinga. Apa yang kukhawatirkan adalah jika tiba-tiba saja ada sesuatu yang melompat keluar, namun kecemasanku tak terbukti. Sepertinya, aku sampai pada jalan buntu. Aku telah mengikuti petunjuk sampai pada titik ini, namun sekarang, aku merasa tersesat dan sendirian.
Saat selesai memeriksa keseluruhan rumah, aku kembali ke bank untuk membicarakan masalah harga. Aku duduk di kantornya dan duduk berhadapan dengannya. Dia meletakkan tas kerjanya dan mengambil kopi untuk kami berdua. Saat kembali, dia duduk dan mengeluarkan berkas-berkas.
“Harga minimum yang kami inginkan sebesar $ 685.000, semuanya sudah termasuk biaya akta notaris. Ada biaya makelar sebesar $10.000 namun sejujurnya, aku bisa melihat bahwa pihak bank akan melepasnya untukmu, mereka nampaknya sudah putus asa untuk menyingkirkan property satu ini.” Saat selesai bicara, dia menyorongkan berkas itu ke arahku.
Aku berpura-pura membacanya dengan cermat dan setelahnya, kuletakkan beban tubuhku pada sandaran kuris.
“$685.000 sepertinya angka yang cukup ,” kataku. “Walau untuk rumah-rumah lain sepertinya berharga dua kali lipat sekarang, apalagi dengan segala keantikan dan betapa indah arsitekturnya.”
Linda memahami apa maksudku tanpa aku menjelaskannya lebih jauh.
“Hanya saja,” lanjutku “aku mendengar banyak rumor mengenai tempat ini, walau aku orang yang skeptis, kau tentunya bisa mengerti tentang rasa penasaranku.”
Linda mendengus walau aku menanyakan hal itu sesopan mungkin.
“Bisa kupastikan bahwa tidak ada satu hal pun yang bisa dikhawatirkan. Saat sekolah ditutup, para murid harus bersekolah di sekolah umum, dan banyak orangtua yang marah akan hal ini, sebab masalah rasial masih begitu santer di zaman itu. Mereka memohon pada kami untuk membantu pendanaan, namun kenyataannya, segalanya terlalu banyak makan biaya. Mereka mengusir pembeli potensial pertama, gedung itu kemudian kosong dalam jangka waktu yang lama dan kemudian isu-isu mulai muncul. Setelahnya, sangat sulit untuk menjual properti ini, khusunya lagi properti yang sudah sangat rusak dan punya sejarah kelam di baliknya.”
Aku mengangguk. Cukup masuk akal. Sebagian dariku berharap untuk mendengar kisah yang bisa kujadikan petunjuk, namun yang kudapat hanya cerita basi yang sudah terlalu umum; sosok yang muncul di jendela, orang masuk ke tempat itu dan tak pernah keluar, dan sebagainya.
“Aku harus mendiskusikan hal ini dengan istriku dan minta pendapatnya.” Mengucap kalimat itu terasa konyol. Kusesap kopi yang sudah tidak terlalu panas. Hal itu membuatku merasa lebih baik mengingat apa yang akan kulakukan selanjutnya.
“Tentu saja. Aku paham,” jawab Linda sembari tersenyum.
“Jika kau tak keberatan, bolehkah nanti aku minta kopian dari-“ Kuulurkan tangan untuk mengambil berkas dan menumpahkan kopi yang menyiram Linda. “Aduh! Maaf, maaf sekali!”
“Oh!” Dia segera berdiri dan mencari sesuatu untuk mengelap noda kopi. “Aku, ummm, mohon tunggu sebentar.”
Dia bergegas pergi meninggalkan ruang dan aku dengar langkahnya yang tergopoh menyusuri lorong.
“Maaf!” kataku dengan keras, sementara tanganku mencari-cari isi dalam tasnya dan kutemukan bundelan kunci sebelumnya. “Aku ceroboh sekali, seharusnya kukatakan hal itu sebelumnya!” Kumasukkan kunci ke dalam saku, kemudian kuletakkan kotak tisu pada mejanya yang telah kusembunyikan di bawah kursi sebelumnya.
“Tidak masalah, kok” katanya saat datang kembali dengan sehelai handuk kecil di tangannya. “Sudah sering terjadi. Nanti biar kuminta salah satu karyawan untuk membuat salinan berkasnya.”
Linda mengantarku keluar setelah itu, dan aku terus meminta maaf mengenai insiden kopi. Dia mengharap untuk bisa mendengar kabar dariku secepatnya. Aku melambaikan tangan dari dalam mobil dan tak bisa menahan tawa, saat melihat sosoknya yang berdiri dengan noda tumpahan kopi pada blusnya.
Begitu sampai di kamar hotel, kutuang segelas gin dan duduk di tepian ranjang. Kutelan dua butir adderall.
Aku akan pergi ke tempat itu pukul dua pagi. Senter merupakan hal utama yang kubawa, dan berjaga-jaga jika ternyata kunci yang kuambil salah, aku akan membawa beberapa perkakas lain. Aku mulai mengisi tas untuk malam nanti. Senter, palu, kunci inggris, obeng, linggis. Dari dalam lemari, kuambil sebuah topeng ski. Kurasakan ada sesuatu yang bergerak di dalamnya dan dengan segera kulirik revolver. Aku tertegun saat melihat benda itu bergerak-gerak, dan kemudian ... aku tersentak kea lam nyata lagi saat telepon berdering nyaring.
Aku meraihnya dan melihat nomor yang tertera.
Elilah yang menelepon. Aku bimbang sejenak dan kemudian kuputuskan untuk menjawab panggilan itu.
“Eli, bagaimana kabarmu?”
“Baik, Dok. Kau sendiri?” sapanya dengan logat selatan yang menyenangkan.
“Tidak lebih baik,” kataku. “Ada apa?”
“Jadi Dok, aku sudah banyak melakukan riset mengenai … kau tahulah.”
“Lantas?” tanyaku lagi. Ubloo bukan hal baru bagiku, jadi tak perlu lagi basa-basi dan kecanggungan.
“Aku memang tak menemukan hal lain lagi mengenai Daiala Bu Umba, tapi kutemukan hal lain yang sepertinya mirip. Hal ini ada di dalam sejarah suku lain.”
Telingaku menegang begitu juga dengan perutku.
“Lanjutkan.”
“Dikatakan di sini bahwa ada anggota suku lain yang mengalami mimpi buruk itu. Mereka menemukan pria ini mati di tendanya pada suatu hari, dan orang yang menemukannya mulai mengalami mimpi buruk.”
“Kedengarannya menjanjikan,” kataku sambil berusaha menyembunyikan nada girang.
“Hal ini terjadi beberapa kali, namun tidak seperti suku lainnya, mereka tidak mengasingkan orang itu. Namun mereka menugaskan seorang Ubuala.”
“Ubuala?”
“Tepat, Dokter. Itu adalah bahasa Khoe kuno yang berarti “Yang Membangunkan.’ Ubuala akan akan selalu menemani orang yang mengalami mimpi buruk. Saat seseorang mulai mengalami mimpi buruk saat tidur, Ubuala ini akan mengguncang tubuh orang tersebut untuk membangunkannya, dan meneriakan ‘Ubloo!’”
Jantungku mencelos. Semua ini mulai terasa menyeramkan.
“Apa hal ini membantu?”
“Bisa dibilang seperti itu, sedikit setidaknya, kemudian orang malang ini mengatakan bahwa dirinya mulai melihat seekor monster saat dirinya dalam keadaan terbangun. Tak seorang pun yang percaya, kemudian pada suatu hari, saat ditugaskan untuk mengambil air dia ditemukan tewas dengan pergelangan tangan tersayat.”
Entah kenapa hal ini tidak mengejutkan bagiku.
“Lalu, selanjutnya bagaimana?”
“Tetua suku memutuskan dirinya untuk menjadi Ubuala bagi orang yang menemukan mayat pria terakhir –yang mana kemudian, dia menjadi orang yang harus hidup dengan kutukan-, tetua itu tak pernah pergi dari sisinya. Hingga suatu malam, saat pria itu bangun dari mimpi buruknya, dia merebut pisau dari sang tetua suku dan bunuh diri seketika.”
“Sial!”
“Kau masih di sana, Dok?”
“Yah. Kenapa?”
“Karena kau takkan menyukai bagian selanjutnya. Dikatakan di isni bahwa tetua ini ingin menyelamatkan anggota sukunya dari kutukan. Karena orang terakhir yang menemukan mayatnya akan melanjutkan nkutukan yang ada, jadi …”
Jantungku berdegup dengan sangat kencang.
“Jadi?”
“Jadi dia meminta anggota sukunya untuk membawanya ke sebuah tempat di mana tak seorangpun yang akan bisa menemukan mayatnya.”
Keheningan menggantung di antara kami.
“Di mana?”
“Mereka menguburnya, Dok … hidup-hidup.”
Perutku langsung merasa sangat mual mendengar itu.
“Demi Tuhan, Eli…”
“Aku tahu, Dok. Setelah itu, seperti ada jeda yang panjang. Aku menemukan laporan-laporan kecil di tempat lain di teks kuno itu namun tidak setelah yang satu ini. Kemudian aku membaca buku mengenai voodoo, tenung dan semacamnya. Aku tahu dari sana bahwa begitu kutukan dikeluarkan, arwah yang muncul akan terus menghantui sampai dia mendapatkan semua yang telah dijanjikan padanya. Ini adalah satu-satunya cara untuk mengentikan kutukan itu, jadi aku juga tak paham kenapa bahkan dengan mengubur tetua itu belum bisa menghentikannya.”
Aku tercekat oleh rasa mual dan tangis.
“Adakah cara lain untuk memanggilnya setelah dia berakhir pada jalan buntu semacam itu? Maksudku, pastilah ada alasan kenapa dia kembal, bukan?”
“Ya. Sebuah kutukan bisa diperbaharui lagi saat sebuah ritual baru untuk mengundangnya dilakukan lagi. Namun tetap, dia hanya akan memburu apa yang telah dijanjikan padanya sebelum itu, dan siapa pun yang memanggilnya harus benar-benar paham apa-apa saja mengenai ritual itu. Seperti yang kau tahu, beberapa komponen diperlukan dalam sebuah voodoo semacam ini. Dukun yang memanggil Daiala Bu Umba memakai taring gajah, ular dan beberapa macam hal lainnya, begitu juga dengan mayat-mayat seluruh anggota sukunya. Dan buku yang kau beri padaku hanya bisa kutemui di Suku Binuma. Sebelumnya, orang-orang mengasumsikan bahwa suku ini tak pernah ada.”
Kepalaku seperti berputar mendengar informasi ini.
“Baiklah, aku tak punya rencana untuk kalah dulu, Eli. Jika bahkan dengan menguburku hidup-hidup tak cukup untuk menyingkirkan makhluk ini, aku akan berusaha dulu sebelumnya, dengan semua cara. Pilihan itu adalah pilhan terakhir.”
“Aku paham, Dok. Maaf harus mengatakan hal semacam ini.”
“Tak mengapa, Eli. Semua informasi, merupakan informasi bagus buatku,” ucapku bimbang. Kemudian kuucapkan tanya yang seperti menggangtung di antara kami. “Akankah kau menguburku, jika memang diperlukan, Eli?”
Muncul jeda yang lama, namun akhirnya, kudengar aksen selatan itu kembali, lembut seperti air.”
“Jika memang kita harus melakukannya, Dokter … aku bersedia.”
***
Aku sampai di sekolah tepat pukul dua malam.
Kuambil tas dari bangku belakang dan memangkunya. Setelah menghirup nafas dalam-dalam, kubuka pintu mobil.
Udara malam terasa lembap, angin seperti berhenti berembus dalam keheningan yang pekat. Mobil kuparkir cukup jauh dari gedung, agar tidak menimbulkan kecurigaan sehingga aku harus berjalan cukup jauh untuk sampai tujuanku.
Saat berjalan, pikiranku tak bisa lepas dari semua perkataan Eli. Mengenai sang tetua, Sang Ubuala, mengenai semuanya. Mengapa Daiala Bu Umba mterus mengucap ‘Ubloo?’ kenapa dia terus mengatakanku untuk bangun, tanpa keberadaan orang lainnya? Aku terus berjalan dan pikiran itu sampai padaku. Aku berhenti berjalan seketika.
Bagaimana jika bukanlah dia yang mengatakan Ubloo? Bagaimana jika itu adalah sesuatu yang lain? Arwah lain yang berusaha membantuku? Mencoba untuk menghentikan kemungkinan terburuk? Masuk akal. Sungguh masuk akal. Itulah kenapa akhirnya aku bangun dari mimpiku, kenapa aku selalu mendengarnya sebelumnya.
Perutku seperti diaduk-aduk saat berjalan kembali. Jika iblis itu hidup dengan memakan keputusasaan,atau ketakutan, masuk akal sekali bagi suatu arwah pelindung untuk membangunkanku sebelum iblis itu kenyang. Berbagai macam pikiran saling berkelebat dalam kepala setelah informasi terakhir ini muncul. Dan sejak pertama kalinya setalah waktu yang sangat lama, kulihat seberkas cahaya harapan.
Saat sampai di gerbang, pundakku sudah terasa nyeri karena menggendong ta. Kuraba sakuku untuk mengambil botol adderall, kuambil satu untuk berjaga-jaga saja. kumasukan kembali botol ke dalam saku dan mengeluarkan kunci. Dengan menahan nafas, kumasukan kunci keperkan itu pada lubangnya.
Berhasil.
Akhirnya, segalanya kembali berjalan seperti rencana. Kubuka gerbang dengan perlahan dan menyelinap masuk. Dengan mengendap-endap, aku berlari menuju pintu depan. Kumasukkan kunci keemasan kali ini dan menyelinap masuk tanpa membuat suara.
Setelah pintu kututup, kegelapan nan pekat seperti mengepung. Kubuka tas dan meraba-raba layaknya orang buta hingga akhirnya menemukan senter. Kuambil benda itu dan menyalakannya. Kuarahkan sinarnya hingga menerangi ruangan pertama dengan setengah berharap akan melihat sesuatu. Kurasa aku terlalu banyak nonton film horror anak-anak. Aku terkekeh kecil dan mulai melangkah memeriksa tiap sudut.
Sekali lagi, aku tak tahu apa yang sebenarnya kucari, namun entah kenapa, aku merasa akan paham setelah melihatnya. aku mulai naik dan memeriksa kantor dan kelas-kelas. Dinding-dinding kuperiksa dengan cara mengetuk, mencari celah, pintu rahasia atau ruangan tersembunyi, atau bahkan ada sesuatu yang terkubur di dalamnya. Kuperiksa ruangan-ruangan itu dengan cermat dan kemudian turun kembali. aku muali dari kelas kemudian menuju dapur dan kelas-kelas lainnya. Setelah sekitar satu jam memeriksa gedung, aku membungku dan mendesah.
Nampaknya, aku harus datang lagi malam-malam berikutnya. Sial!
Lucunya, gedung ini nampak tidak terlalu berbeda dengan salah satu rumah yang kutinggali saat di Stoneham, Messachusets. Aku berdiri kembali dan berjalan memeriksa dinding, mencari sesuatu yang tidak pada tempatnya. Warna cat, atau setidaknya seperti itu yang nampak. Beberapa hal lain yang rusak. Lantai dari kayu. Ada sesuatu mengenai karpet yang kurasakan tidak beres. Mungkin karena aku tak begitu suka bersih-ber-
Saat itulah aku melihatnya.
Salah satu papan lantai tampak terlihat sedikit mencuat dan lebih ringan dari yang lain.
Kuhampiri dan kuarahkan senter di atasnya. Walau memang nampak seperti papan kayu lainnya, yang satu ini terlihat lebih ringan, finishingnya jauh lebih sempurna dan rapi. Lembaran papan kayu itu nampak … masih lebih baru.
Kujatuhkan tas dan meraih palu beserta linggis. Kucongkel pakunya dan kemudian kucongkel papan itu hingga meninggalkan patahan dan lubang; lubang selebar tiga inchi untuk mengintip. Kucoba menyinari baliknya dengan senter namun aku tak bisa melihat cukup banyak. Seperti bocah yang menemukan harta karun, kucongkel papan kayu seluruhnya. Hal yang sama kulakukan pada dua lembaran yang lain dan kuterangi dengan senter kembali. Apa yang kulihat nyaris membuatku pingsan.
Di bawah lantai kayu kulihat kerangka. Bukan hal umum bagi rumah-rumah di Louisisana untuk membangun beberapa kaki di atas permukaan tanah, seperti semacam ruang untuk menghindari banjir. Yang satu ini seperti dibangun jauh demi maksud tersebut. Ada ruangan setinggi satu atau dua kaki, yang berisi dengan abu dan tulang belulang. Aku memeriksa bagian itu kembali seperti kesetanan, hingga aku melihatnya.
Aus, namun masih ada di sana. Mengitari tumpukan abu dan belulang adalah sebuah lingkaran dengan simbol-simbol yang langsung kukenali: simbol dalam bahasa Khoe kuno.
Aku duduk tertegun seperti seonggok mayat terbungkus es, mata menatap inskripsi mengerikan itu saat kulihat selembar kertas di sampingnya. Kuraih benda itu susah payah dengan ujung jemari.
Kubuka catatan itu dan membaca isinya:
“Aku terus bertanya bagaimana kau tidur saat malam, sekarang aku tahu jawabannya.”
Tertanda di bawahnya:
“Monaya Guthrie”
Aku seperti hilang keseimbangan dan tubuhku terasa limbung.
“Monaya Guthrie,” gumamku sementara kemarahan seperti membakar tubuhku. Dia pastilah orang yang memanggil Ubloo kembali dengan semua ritual ini dan mengirimkannya pada pihak yang bertanggung jawab atas ditutupnya seklohana. Mataku basah dengan air mata marah dan frustasi. Tapi kenapa? Kenapa monster itu masih terus berkeliaran? Jika dia telah membinasakan seluruh anggota suku musuh, kenapa dia masih ada di luar sana?
Kemudian aku teringat akan satu hal.
Dukun sebelumnya menuliskan bahwa saat itu istrinya bersama anak, anak yang masih dalam kandungan saat dia dibunuh. Dan dengan itu, Sang Dukun membakar seluruh anggota sukunya untuk memanggil monster itu. namun bagaimana jika ternyata itu semua bukanlah “keseluruhan” dari anggota sukunya? Bagaimana jika monster itu masih terus mencari anaknya sebagai tumbal? Bagaimana jika dukun itu –entah bagaimana caranya- berhasil menyelamatkan anaknya?
Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepala. Walau masa itu masih merupakan masa primitive, bukan hal tak umum bagi pengobatan kuno untuk melakukan prosedur tertentu. Maksudku, hal itu hanya sebuah prosedur pembedahan caesar sederhana untuk bayi prematur.
Kumasukan peralatan dan catatan itu ke dalam tas dan berdiri.
Monaya Guthrie, aku harus menemukannya. Setidaknya, orang-orang yang mengenalnya. Dia pasti tahu langkah selanjutnya. Bahkan ada kemungkinan dirinya adalah penerus keturunan dari-
Papan lantai di belakangku berderit dan aku tertegun ngeri saat mendengarnya.
Aku berbalik dan mengarahkan senter, selanjutnya, teriakanku membelah malam.
Dalam kegelapan yang menyesakkan, diterangi oleh cahay senter dariku, berdiri iblis itu: Ubloo.
Dia menatapku dengan matanya yang hitam, dia terus menatapku saat aku terguncang ketakutan.
Aku harus bangun secepatnya. Sial! Sial! SIALAN! Aku harus bangun!
Dia mulai merangkak perlahan ke arahku, tulang tubuhnya nampak menonjol seiring tiap gerakan yang ia buat di bawah balutan kulit yang licin dan keabuan.
Hingga kemudian aku sadar. Tak pernah dalam mimpi-mimpi yang kualami, aku tahu jika diriku sebenarnya sedang tertidur.
Panik dengan cepat menguasaiku. Anggota suku yang melihat Ubloo saat terbangun, posisi tewasnya Andrew, semua itu muncul dari dalam dinding seperti hantu-hantu penasaran yang menuntut pembebasan. Jantungku seperti hendak menjebol rongga dada.
Dia bukanlah arwah baik hati yang hendak membangunkanku. Kenapa aku begitu tolol?
Semua itu adalah Ubloo. Selama ini, dia adalah Ubloo! Dia terus mengatakanku untuk bangun. Membuatku merasa aman hingga sampai pada saat ini. Saat ini kusadari tak ada lagi kata bangun. Tak ada lagi tempat untuk kabur.
Ubloo berhenti, menelengkan kepalanya sedikit, dan kemudian menghambur ke arahku. Aku menjerit, berbalik dan segera berlari terbirit menuju lorong. Dia memburuku, dan aku sadar dia bergerak cepat dengan enam kakinya itu. Kudobarak pintu selanjutnya dan mendapati diri berada di kelas lain. Aku terus berlari dan dengan panik mencari pintu lain. Setelah bberapa kaki, aku berputar dan meraih revolver yang baru kuingat kubawa. Kuarahkan senter pada tempatku masuk sebelumnya dan melihat daun pintu hancur saat diterjang olehnya. Kutembakkan revolver sebanyak tiga kali dan melihat tubuhnya mengejang. Tembakanku membekaskan tiga lubang hitam di tubuhnya. Dia tak berdarah sama sekali, dan aku hanya bisa melihat ngeri saat lubang-lubang itu menutup kembali.
Aku berlari kembali, membuka pintu lain hingga sampai pada tengah-tengah ruangan dan mencari-cari jalan keluar dengan senter. Tak ada jalan keluar. Kurasakan jantungku berdegup begitu kencangnya saat kusadari kenyataan ini. Kuarahkan senter pada bagian lain dari ruangan, kengerian semakin menjadi-jadi saat kusadari tak ada jendela satu pun.
“Tidak! TIDAK! SIAL!”
Kudengar Ubloo kembali mendekat dari ruangan sebelah. Aku berlari menuju pojokan dan berbalik menghadapinya.
Perlahan kulihat belalainya muncul dari balik daun pintu, diikuti kepalanya, dua mata hitam mengerikan itu yang terus menatapku yang terpojok seperti seekor tikus.
Revolver kugenggam erat-erat dan kusandarkan tubuhku yang merosot pada dinding. Inilah akhirnya. Inilah akhir riwayat dari Thomas Abian. Dokter jenius Thomas Abian yang dipercayai untuk menyelamatkan Andrew Jenning beberapa saat lalu.
Aku mulai menangis.
“Akhir adalah awal,” gumamku di tengah isak tangis.
Ubloo masuk dan dengan perlahan merangkak menuju ke arahku, seperti seekor binatang buas yang menghadapi mangsa buruannya.
Akhir adalah awal. Sungguh cara yang amat bodoh mengatakannya. Kugelengkan kepala dan air mata jatuh berderai.
Kudengar Ubloo semakin dekat sekarang.
Aku akan menjadi petunjuk menyedihkan lainnya. Pikiran itu menggema saat aku duduk tak berdaya di pojokan itu, menangis layaknya bocah. Dan berharap agar-
Kemudian segalanya menjadi begitu jelas.
Untuk hidup, monster ini tidak memangsa keputusasaan, kesedihan, atau ketakutan. Apa yang ia makan, sumber kehidupannya adalah harapan.
Dia terus membiarkan kami tetap hidup, meyakinkan kami untuk bisa selamat. Hingga kemudian dia mengakhiri semuanya.
Papan lantai di sekelilingku berderak saat Ubloo merangkak di atasnya.
Harapan saat Robert menemukan buku itu, harapa Andrew saat aku memberinya cyproheptadine, harapanku ketika menemukan tempat ritual di bawah lantai gedung ini, dan pikiran akan keberadaan arwah penyelamat.
Namun dari keseluruhan itu, harapan saat akhirnya dia datang, kami akan dibangunkan.
Tangisku semakin keras saat kusadari betapa hal ini menjadi begitu masuk akal.
Apa yang ada di hadapanku, semua ini, adalah kutukan yang sempurna. Seseorang akan menjadi semakin kuat saat mereka pikir bisa mengalahkannya. Akhir adalah awal, bagaimana juga. Akhir hidupku merupakan awal mimpi buruk bagi orang lain, awal bagi kerakusannya untuk memberi kutukan pada orang lain.
Kubuka mata dan menatap Ubloo. Kepalanya hanya berjarak satu kaki dari tempatku berada. Dia tahu, entah bagaimana caranya dia tahu, dia akan mengambil apa yang ia buru.
“Seharusnya, kubiarkan dia menguburku!” jeritku sambil mengangkat revolver.
Kuletakan moncong logam itu ke dalam mulut dan merasakan gigiku menggigitnya.
Kubuka mataku, cukup lama untuk melihat belalainya menyambar ke depan, cukup lama untuk melihat bayangan menyedihkan diriku di matanya yang hitam, cukup lama untuk merasakan jariku menarik pelatuk, dan kilatan cahaya yang menerangi ruang gelap dan terpencil itu. Gema terakhir dari isi kepalaku, bahwa seorang dengan takdir malang akan menemukanku di sini.
No comments:
Post a Comment