BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
“Ilmu” berasal dari bahasa ‘Arab “alima”
sama dengan kata dalam bahasa Inggris “Science” yang berasal dari bahasa Latin
“Scio” atau “Scire” yang kemudian di Indonesiakan menjadi Sains (Sidi Gazalba,
Jakarta 1973. h. 54). A. Thomson dalam Sidi Gazalba menggambarkan “Ilmu adalah
pelukisan fakta-fakta pengalaman secara lengkap dan konsisten dalam
istilah-istilah yang sesederhana mungkin, . pelukisan secara lengkap dan
konsisten itu melalui tahap pembentukan definisi, melakukan analisa, melakukan
pengklassifikasian dan melakukan pengujian”(Sidi Gazalba, Jakarta 1973. h.
54-55). Jujun S. Suriasumantri menggambarkannya dengan sangat sederhana namun
penuh makna “Ilmu adalah seluruh pengetahuan yang kita miliki dari sejak bangku
SD hingga Perguruan Tinggi” (Jujun S Suriasumantri,1990, h. 19). Beerling,
Kwee, Mooij dan Van Peursen menggambarkannya lebih luas “Ilmu timbul
berdasarkan atas hasil penyaringan, pengaturan, kuantifikasi, obyektivasi,
singkatnya, berdasarkan atas hasil pengolahan secara metodologi terhadap arus
bahan-bahan pengalaman yang dapat dikumpulkan.”(Beerling, Kwee, Mooij, Van
Peursen, Yogyakarta, 1990, h. 14-15).
Peter R Senn dalam Ilmu Dalam Persektif
(Jujun Suriasumantri) meskipun tidak secara gamblang ia menyampaikan bahwa ilmu
memiliki bangun struktur (Jujun S Suriasumantri, Jakarta, 1981, h. 110-128).
Van Peursen menggambarkan lebih tegas bahwa “Ilmu itu bagaikan bangunan yang
tersusun dari batu bata. Batu atau unsur dasar tersebut tidak pernah langsung
di dapat di alam sekitar. Lewat observasi ilmiah batu-batu sudah dikerjakan
sehingga dapat dipakai kemudian digolongkan menurut kelompok tertentu sehingga
dapat dipergunakan. Upaya ini tidak dilakukan dengan sewenang-wenang, melainkan
merupakan hasil petunjuk yang menyertai susunan limas ilmu yang menyeluruh akan
makin jelas bahwa teori secara berbeda-beda meresap sampai dasar ilmu. Istilah
yang pada ilmu pasti lama masih merujuk pada sesuatu seperti “ruang” (ruang
fisis), “garis lurus (garis lurus lintasan sinar cahaya dalam hampa udara),
sekarang lebih baik diganti dengan lambang tanpa arti seperti X, Y. Pakatan
tertentu (disebut aksioma) yang sebetulnya merupakan semacam definisi mengenai
istilah-istilah itu, memberikan petunjuk bagaimana “pengertian dasar” ini dapat
dipergunakan”. (Van Peursen, Jakarta,
1989, h. 28.
Drs. Amir Daien yang mengartikan bahwa
ilmu pengetahuan adalah uraian yang sistematis dan metodis tentang suatu hal
atau masalah. Oleh karena itu ilmu pengetahuan itu menguraikan tentang sesuatu,
maka haruslah ilmu itu mempunyai persoalan, mampunyai masalah yang akan
dibicarakan. Persoalan atau masalah yang dibahas oleh suatu ilmu pengetahuan
itulah yang merupakan obyek atau sasaran dari ilmu pengetahuan tersebut. Dalam
dunia ilmu pengetahuan ada dua macam obyek yaitu obyek material dan obyek
formal. Obyek material adalah bahan atau masalah yang menjadi sasaran
pembicaraan atau penyelidikan dari suatu ilmu pengetahuan. Misalnya tentang
manusia, tentang ekonomi, tentang hukum, tentang alam dan sebagainya. Sedangkan
yang dimaksud dengan obyek foramal adalah sudut tinjauan dari penyelidikan atau
pembicaraan suatu ilmu pengetahuan. Misalnya tentang manusia. Deri segi manakah
kita mengadakan penelaahan tentang manusia itu? Dari segi tubuhnya atau dari
segi jiwanya? Jika mengenai tubuhnya, mengenai bagian-bagian tubuhnya atau
mengenai fungsi bagian-bagian tubuh itu. Dua macam ilmu pengetahuan dapat
mempunyai obyek material yang sama. Tetapi obyek formalnya tidak boleh sama,
atau harus berbeda. Contoh ilmu psikologi dengan ilmu biologi manusia. Kedua
macam ilmu pengetahuan ini mempunyai obyek material yang sama yaitu manusia,
tetapi, kedua ilmu itu mempunyai obyek formal yang berbeda. Obyek formal dari
ilmu psikologi adalah keadaan atau kehidupan dari jiwa manusia itu. Sedangkan,
obyek formal dari ilmu biologi manusia adalah keadaan atau kehidupan dari tubuh
manusia itu. Selanjutnya dari batasan ilmu pengetahuan di atas mengharuskan
bahwa uraian dari suatu ilmu pengetahuan harus metodis. Yang dimaksud dengan
metodis di sini adalah bahwa dalam mengadakan pembahasan serta penyelidikan
untuk suatu ilmu pengetahuan itu harus menggunakan cara-cara atau metode
ilmiah, yaitu metode-metode yang biasa dipergunakan untuk mengadakan
penyelidikan-penyelidikan ilmu pengetahuan secara modern.
1.2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam makalah ini diarahkan pada beberapa item penting,
yaitu :
1.2.1. Apa pengertian ilmu?
1.2.2. Apa pengeritian ilmu sosial?
1.2.3. Apa hakikat
ilmu pengetahuan bagi manusia?
1.3.
Tujuan Pengkajian
Makalah
ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas pengantar ilmu sosial yaitu
membuat makalah dan mengkaji definisi dan pengertian ilmu pengetahuan.
1.4. Pembatasan Masalah
Dalam makalah ini, kami membatasi permasalahan yang ada,
karena kami hanya menjelaskan pengertian ilmu pengetahuan yang
menurut kami penting secara garis besar, agar mudah dimengerti oleh pembaca.
1.5. Manfaat
Adapun manfaat makalah ini adalah :
1.5.1.
Menambah
pengetahuan tentang pengertian ilmu pengetahuan,
1.5.2.
Mempermudah
seseorang memahami hakikat ilmu,
1.5.3.
Dapat Mengaplikasikan pentingnya ilmu dalam kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Ilmu
Mungkin tidak berlebihan
jika seorang filsuf Oxsford University kontemporer Jerome R Revert dalam
karyanya The Philosophy of Science sampai
saat ini mengakui bahwa ilmu merupakan sebuah kisah sukses luar biasa. Ilmu telah
begitu berjasa dalam membentuk dunia yang kita huni sekarang dan sekaligus
menentukan cara pandang kita tentang dunia ini. Ironisnya, walaupun terminologi
ilmu di lingkungan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, hampir setiap waktu
istilah tersebut diucapkan dan banyak diajarkan, serta begitu familiar istilah
itu dikalangan mahasiswa sebagai calon ilmuan, mungkin saja hanya sebagian
kecil dari mereka yang sudah memahami itu.
Di Indonesia, istilah ilmu
pengetahan demikian terbiasa, padahal istilah tersebut dapat dikatakan sebagai
“pleonasme” (Thye Liang Gie, 1999: 85) suatu pemakaian kata yang lebih dari
yang diperlukan. Dalam bahasa inggris tidak ada istilah knowledge science. Cukup satu di antaranya, “ilmu” itu ilmu, dan iika
“pengetahuan” itu tetap pengetahuan, dan tidak pernah ada kata majemuk yang
dipadukan seperti itu. Selain itu, di Indonesia menurut The Liang Gie (1999:
85-86) istilah ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang bermakna jamak,
yaitu sebagai berikut:
1. Ilmu
merupakan sebuah istilah umum untuk menunjuk pada segenap pengetahuan ilmiah
yang mengacu pada ilmu umum ( science in general)
2. Pengertian
ilmu yang menunjuk pada satu bidang pengetahuan ilmiah tertentu, seperti ilmu
biologi, antropologi, sosiologi, geografi, sejarah, psikologi, geografi,
ekonomi dan sebagainya. Sebenarnya, ilmu yang pada pengertian kedua inilah yang
lebih tepat digunakan di lingkungan akademis.
Sebagaimana yang dikemukakan
The Liang Gie (1999: 88-130) ilmu dipandang sebagai kumpulan pengetahuan
sistematis, metode penelitian, dan aktivitas penelitian.
1. Ilmu
Sebagai Kumpulan Pengetahuan
Sistematis
Pengertian ini lebih menekankan
bahwa ilmu pengetahuan yang sistematis. Ilmu pengetahuan (science) adalah
pengetahuan (knowledge) yang tersusun sistematis dengan menggunakan kekuatan
pemikiran, pengetahuan selalu dapat diperiksa dan ditelaah dan kritis oleh
setiap orang lain yang ingin mengetahuinya. Menurut Johnstone, tidak semua
pengetahuan itu adalah ilmu sebab ilmu hanya terbata pada pengetahuan yang diperoleh secara
sistematis. Ika ditelaah lebih jauh, memang pernyataan tersebut memang benar
karena untuk menadi ilmu dari suatu pengetahuan itu tidaklah mudah harus
melalui penataan yang tersusun secara sistematis.
2. Ilmu
Sebagai metode penelitian
Pengeertian ini menekankan
penekanannya bahwa itu pada hakikatnya sebagai metode penelitian. Pendapat ini
dikemukakan oleh William J. Goode dan Paul K. Hatt. Pengertian ilmu sebagai
metode penelitian ilmiah tidak hanya dikemukakan oleh William J. Goode dan Paul
K. Hatt saja, tapi juga dikemukakan oleh Harrold H Titus yang mengemukakan
bahwa banyak orang telah menggunakan istilah ilmu untuk meyebut a method of obtaining knowledge that is
objective and verifiable. ‘suatu metode untuk memperoleh pengetahuan yang
objektif dan dapat diperiksa kebenarannya’.
3. Ilmu
Sebagai Aktivitas Penelitian
Pengertian yang ketiga menekankan
bahwa ilmu merupakan aktivitas penelitian.
Proses tersebut bertitik tolak kepada fakta-fakta keseharian dan
berakhir pada suatu teori yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal
ini merupakan ciri yang terkandung dalam penelitian ilmu pengetahuan sebagai
suatu bentuk aktivitas, yaitu sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara
sadar oleh manusia. Sebab ilmu tidak sekadar merupakan aktivitas tunggal saja,
melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan suatu proses.
2.2. Pengertian Sosial
Istilah
sosial (social dalam bahasa inggris) dalam ilmu sosial memiliki arti yang
berbeda-beda, misalnya istilah sosial dan sosialisme dengan istilah Departemen
Sosial, jelas kedua-duanya menunjukan makna yang sangat jauh berbeda. Secara
keilmuan, masyarakat yang menjadi objek kajian ilmu-ilmu sosial, dapat dilihat
sebagai sesuatu yang terdiri dari beberapa segi. Dilihat dari segi ekonomi,
akan bersangkut paut dengan faktor produksi, distribusi, penggunaaan
barang-barang, serta jasa-jasa. Disinilah ilmu ekonomi yang akan membahas
tentang usaha-usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan materialnya dari bahan-bahan
yang terbatas ketersediaannya. Sedangkan dari segi politik, antara lain
berhubungan dengan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat. Berbeda dengan
psikologi sosial, yang pada hakikatnya mempelajari perilaku manusia sebagai individu secara
sosial. Selain itu terdapat antropologi budaya yang lebih menekankan pada
masyarakat dan kebudayaannya, dan seterusnya untuk ilmu-ilmu sosial lainnya,
seperti geografi sosial, sejarah maupun sosiologi.
Dapat disimpulkan bahwa
pengertian masyarakat terdiri dari beberapa unsur.
a. Manusia
yang hidup bersama. Dalam ilmu sosial tidak ada angka mutlak ataupun pasti
untuk menentukan jumlah manusia yang harus dipersyaratkan.
b. Bercampur
untuk waktu yang cukup lama. Dalam hal waktu pun tidak ditentukan berapa lama
sebagai standar minimal mereka berkumpul.
c. Mereka
menyadari akan kesatuan atau perbedaan.
d. Mereka
merupakan suatu system hidup bersama.
Berlangsungnya suatu proses
interaksi sosial yang didasarkan pada berbagai faktor, dan menurut Soekanto
(1986: 52) disebabkan melalui imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.
Faktor-faktor tersebut dapat
bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan yang bergabung.
Apabila masing-masing ditinau secara lebih mendala, maka:
1. Imitasi
Mempunyai peranan yang sangat
penting dalam proses interaksi sosial tersebut. Sebab salah satu peran
positifnya adalah bahwa proses imitasi dapat mendorong seseorang untuk memenuhi
kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Akan tetapi, imitasi
pun dapat menimbulkan hal-hal yang negatif terutama jika meniru perilaku yang
buruk bahkan dapat menimbulkan miskinnya jiwa dan semangat yang kreatif.
2. Sugesti
Berlangsung apabila seseorang
memberi suatu pandangan atau sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian
diterima oleh pihak lain secara emosi. Bisa terjadi karena yang memengaruhinya
adalah orang yang berwibawa maupun otoriter.
3. Identifikasi
Merupakan
kecenderungan-kecenderungan ataupun keinginan-keinginan dalam diri seseorang
untuk menjadi identik atau sama dengan orang lain. Dalam hal ini, identifikasi
sifatnya lebih mendalam dari sekadar imitasi, mengingat kepribadian seseorang
dapat terbentuk atas dasaar proses ini. Proses ini dapat berlangsung secara
tidak disadari maupun disadari, oleh karena hampir pada diri setiap orang
memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses kehidupannya. Disinilah
peran idola akan sangat mempengaruhi dalam perilaku orang yang mengidolakan
seseorang.
4. Simpati
Sebenarnya merupakan suatu proses
yang disebabkan oleh ketertarikan seseorang pada pikah lain, baik itu hanya
sebatas kerja sama, merasa senang dan tertarik karena faktor-faktor tertentu
yang menyebabkan ia patut dikaguminya, maupun karena merasa adanya keterkaitan
dengan dirinya. Faktor simpati akan sangat berkembang dalam keadaan dimana
berbagai faktor saling mengerti benar-benar terjamin.
2.3. Pengertian, Ruang Lingkup, dan Perkembangan
Ilmu-Ilmu Sosial
2.3.1.
Pengertian Ilmu-Ilmu Sosial
Istilah ilmu sosial dapat dilihat menurut
pendapat para ahli ilmu sosial diantaranya dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf, seorang
ahli sosiologi Jerman dan penulis buku class
and class conflict in industrial society, menurutnya bentuk
tunggal ilmu sosial menunjukan sebuah komunitas dan pendekatan yang saat ini
hanya diklaim oleh beberapa orang saja, sedangkan bentuk jamaknya, ilmu-ilmu sosial, mungkin istilah
tersebut merupakan bentuk yang paling tepat. Ilmu-ilmu sosial mencakup
soiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, geografi sosial, politik, bahkan
sejarah walaupun di satu sisi ia termasuk ilmu humaniora (Dahrendorf,2000:999).
Istilah ilmu sosial tidak begitu saja dapat
diterima di tengah-tengah kalangan akademisi, terutama di inggris. Sciences Sosiale dan Sozialwissenschaften adalah istilah
istilah yang lebih mengena meski keduanya juga membuat “menderita” karena
diinterprestasikan terlalu luas atau terlalu sempit. Ironisnya ilmu sosial yang
dimaksud sering hanya untuk mendefinisikan sosiologi atau hanya teori sosial
sintetis (Daendrorf,2000:1000).
Pendapat tentang ilmu-ilmu sosial lainya yang
agak berbeda dikemukakan oleh Immanuel Wallerstein, profesor sosiologi yang terkemuka dan Direktur Fernand
Braudel Pusat Studi Ekonomi, Sistem-Sistem sejarah dan Peradaban State University of new york at Birmingham.
Pandangannya tentang ilmu-ilmu sosial, tidak sepesimis Ralf Dahrendorf, namun
ia pun tetap kritis terhadap padangan-pandangan yang menyeret ilmu sosial ke
nomotetis maupun ideografis.
Wallerstein
tidak memberikan usul tunggal untuk dianut sebagai pendekatan nomotetik atau
ideografik (ideosinkratik). Sebaliknya,ia menganjurkan untuk semakin
meningkatkan dialog antara kedua pendekatan tersebut. Untuk ilmu-ilmu kealaman
(sains) yang kemudian sering didefinisikan sebagai pencarian hukum-hukum
universal ataupun nomotetik mengenai alam yang tetap benar, mengatasi segala
ruang dan waktu (Wallerstein,1997:4).
Sedangkan untuk ilmu-ilmu sosial, Wallerstein
lebih menekankan pada suatu prilaku sosial yang menekankan jauh melebihi
kearifan secara turun temurun dan merupakan hasil dedukasi dari padatnya
pengalaman hidup manusia sepanjang jalan.
Ilmu sosial adalah usaha
penjelajahan dunia modern .Akarnya tertanam pada upaya yang mekar sejak zaman
abad keenambelasan ,serta merupakan bagian dan bidang konstruksi dunia
modern.Tujuanya untuk mengembangkan
pengetahuan sekular secara sistematis tentang realitas yang hendak dibuktikan
secara empiris (Wallerstein,1997: 2).
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Bung
Hatta sebagai salah seorang founding father (Abdullah, 2006: 6-26) bahwa ilmu
sosial sebagaimana hal nya dengan ilmu pengetahuan yang lain, adalah satu ragam
dimana memiliki peran tiga wajah ilmu sosial, sebagai critical discourse, sebagai academic
ebterprise, dan applied
science/knowledge.
Pertama, sebagai
critical discourse (wacana kritis)
artinya pada kajian ini membahas tentang apa adanya yang keabsahanya tergantung
pada kesetiaan pada prasyarat sistem rasionalitas yang kritis dan pada konvensi
akademis yang berlaku.
Kedua, sebagai academic enterprise , memiliki
pengertian “bagaimana mestinya”. Dalam bahasa Taufik Abdullah ilmu sosial
tampil sebagai tetangga dekat dengan
ideologi, sebagai sistematisasi strategis dari sistem nilai dan filsafat
sebagai pandangan hidup (Abdullah, 2006:10-11), yang kenyataan nya sarat pada nilai.
Ketiga, sebagai
applied science, artinya bahwa dalam
ilmu sosial itu diperlukan untuk mendapatkan atau mencapai hal-hal yang praktis
dan berguna entah untuk mewujukan atau mencapai hal-hal yang praktis dan
berguna entah untuk mewujudkan sesuatu yang dicita-citakan contohnya kemakmuran, maupun
mengurangi atau meniadakan sesuatu yang tidak diinginkan misalnya kemiskinan.
2.3.2.
Ruang Lingkup Ilmu-Ilmu Sosial
Mengenai ruang lingkup
ilmu sosial, sampai sekarang ini para ahli sebenarnya tidak ada kesepakatan
yang bulat. Wallerstein
(1997:22) mengelompokan beberapa disiplin ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu
sosial adalah sosiologi, antropologi, geografi, ekonomi, sejarah, psikologi,
hukum, dan ilmu politik. Sedangkan Brown dalam
karyanya yang berjudul Explanation in
social sciences (1972) bahwa yang termasuk dalam paket ilmu sosial meliputi
sosiologi, antropologi, ekonomi, sejarah, demografi, ilmu politik, dan
psikologi.
Meskipun terdapat berbagai perbedaan
pendapat tentang apa yang disebut ilmu-ilmu (ilmu sosial), namun semuanya
mengarah kepada pemahaman yang sama bahwa ilmu sosial adalah ilmu yang
mempelajari perilaku dan aktivitas sosial kehidupan bersama. Jelas tidak bisa
dihindari bahwa dalam perkembangannya kemudian berbagai spesialisasi disiplin ilmu-ilmu
sosial tumbuh meningkat seperti ilmu komunikasi, studi gender, ilmu
perbandingan agama, dan sebagainya (Sairin,2006: 33). Selanjutnya untuk
beberapa disiplin ilmu yang dikategorikan tumpang tindih (seperti sejarah dan
antropologi budaya sebagai imu humaniora dan ilmu sosial, akan dibahas pada
pembahasan masing-masing displin ilmu, dan begitu juga untuk ilmu-ilmu lainnya.
Hal selanjutnya yang perlu dicatat adalah
bahwa beragamnya nama-nama mengenai materi kajian atau disiplin-disiplin ilmu
sosial muncul sepanjang abad itu. Akan tetapi, menjelang pecahnya Perang Dunia
I, terjadilah konvergensi umum atau konsensus di sekitar sejumlah kecil nama
spesifik, sedangkan nama-nama lain cenderung digugurkan. Adapun nama-nama itu
sebagaimana kita akan diskusikan, terutama mulanya ada beberapa disiplin ilmu
sosial, yaitu ilmu sejarah, ilmu ekonomi,
sosiologi dan ilmu politik (Wallerstein, 1997:22). Sebaliknya tentang ilmu
geografi, psikologi dan antropologi akan dijelaskan dengan latar belakang yang
tidak dimasukan dalam pembahasan ini.
2.3.3.
Perkembangan Ilmu-Ilmu Sosial
Disiplin ilmu sosial
pertama yang mencapai eksistensi
institusional otonom adalah ilmu sejarah,walaupun banyak sejarawan secara
antusias menolak label ilmu sosial,dan beberapa di antaranya masih bersikukuh
seperti itu (Wallerstein,1997: 22 ). Namun, Ilmu sejarah memang suatu praktik
yang sudah berlangsung lama,dan terminologi sejarah itu sudah amat kuno. Pelaporan-pelaporan tentang
masa lalu masa lalu, khususnya
tentang bangsa dan negara sendiri,memang merupakan aktivitas yang sudah lazim
dalam dunia pengetahuan,dan histiriografi senantiasa didorong oleh mereka yang
berkuasa. Namun, yang
membuat disiplin baru ilmu sejarah ini berbeda, sebagaimana dikembangkan dalam
abad ke 19, dimana penekanannya pada penelusuran untuk menghasilkan ‘apa yang
nyata-nyata terjadi’, yang artinya bahwa sejarah baru mulai ada, apabila
terdapat dokumen yang dapat dipercaya.
Lepold von Ranke (1795-1886) merupakan pelopor aliran
kritis ini, beliau menuliskan sejarah tidak dengan penciptaan kisah-kisah yang
dibayangkan secara retorik, atau dilebih-lebihkan, seperti menyanjung-nyanjung
untuk melayani tujuan-tujuan yang mendesak bagi para penguasa atau kelompok
yang berkuasa lainya.
Selanjutnya,
antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainya berbeda dalam pendekatan ataupun
perspektifnya. Jika sejarah banyak menggunakan perspektif diakronik maka dalam
ilmu-ilmu sosial menggunakan perspektif sinkronik. Timbulnya perbedaan ekstrem antara
ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainya semula berpangkal pada
perbedaan-perbedaan antara sejarah dengan ilmu-ilmu kealaman (sains), yang
membagi para sejarawan ke dalam dua kubu yang berlawanan, khusunya pada abad ke
19. Dalam perdebatan ini, menurut sejarawan John Tosh, sebagian besar dari ahli
ilmu-ilmu sosial, cenderung memihak pada ilmu-ilmu kealaman karena ingin
mempertahankan kemurniannya dan menempatkan sejarah sebagai sains lunak (Tosh, 1984:109). Perbedaan itu terjadi
dikalangan ahli filsafat sejarah yang mempertanyakan apakah sejarah yang harus
mengkaji manusia, sama dengan kajian terhadap fenomena alam lainya? Dan apakah
sejarah itu science ?
Akan
tetapi, akhir-akhir ini khususnya dalam The New History, perkembangan
metodologi sejarah menjadi semakin mendekat antara sejarah dengan ilmu-ilmu
sosial lainya. sebab dalam sejarah tidak mentabukan penggunaan konsep-konsep
umum yang sering digunakan dalam beberapa ilmu-ilmu sosial jika memang relevan.
Dengan catatan, selama penggunaan itu untuk kepentingan analisis sehingga
menambah kejelasan dalam eksplanasi serta interprestasi sejarah (Sjamsuddin,
1996: 198).
Begitupun
untuk ilmu ekonomi yang secara formal, baru pada abad ke-19 kita mulai
mendapati disiplin ilmu yang disebut ilmu
ekonomi. (Wallerstein, 1997: 26) .Pada abad yang sama (abad ke-19), ketika
ilmu ekonomi mulai berkembang menjadi disiplin yang mapan di berbagai
universitas disiplin ilmu yang berorientasi pada masa kini dan nomotetis
sebagai sebuah disiplin ilmu yang sepenuhnya baru, tiba-tiba muncul dengan nama
baru pula, yakni sosiologi. Tentu saja bagi sang penemu Auguste Comte, berkeyakinan
bahwa ilmu tersebut harus menjadi “ratu ilmu-ilmu”. Sosiologi merupakan hasil
asosiasi reformasi sosial, yang agenda utamanya berkaitan dengan berbagai
ketidakpuasan yang disebabkan oleh kekacauan populasi kelas pekerja perkotaan
yang semakin besar jumlahnya seiring dengan dampak revolusi industri yang sulit
terkendali.
Tidak
lama setelah itu, muncul ilmu politik sebagai sebuah displin ilmu baru. Kemunculannya
ini bukan karena subject matter-nya
negara kontemporer dan kepolitikanya juga bukan karena kurang menyetujui
analisis nomotesis, tetapi terutama karena resistensi fakultas-fakultas hukum
untuk merebut monopoli di area ini (Wallerstein, 1997 : 29). Filsafat politik
pada kajian para ilmuawan politik memperkenankan disiplin baru ilmu politik ini
untuk menuntut suatu warisan yang berasal dari karya-karya yunani kuno, seperti
plato dan aristoteles yang sudah lama mapan dalam kurikulum
universitas-universitas. Namun ironisnya, filsafat politik masih belum
memperoleh justifikasi yang cukup memadai
untuk menciptakan sebuah disiplin ilmu baru. Sedangkan ilmu politik
sebagai sebuah disiplin ilmu yang terpisah, terjadi setelah berhasil menyempurnakan
tujuannya yang lebih jauh, yakni melegitimasi ilmu ekonomi sebagai sebuah
disiplin tersendiri (Wallerstein, 1997: 30).
Begitulah
“empat serangkai” sejarah, ekonomi, sosiologi dan ilmu politik ketika telah
berhasil menjadi disiplin-disiplin ilmu sosial di universitas pada abad ke-19
di kelima negara, yakni Inggris, Francis, Jerman, Italia, dan Amerika Serikat
paling tidak sampai tahun1945. Hampir semua ilmuwan sosial berasumsi bahwa
batasan-batasan keilmuwannya itu pun menyediakan parameter-parameter spasial
dalam semua interaksi sosial, sosiolog memiliki parameter pada masyarakat, ekonom
pada ekonomi makro memiliki parameter ekonomi nasional, ilmuwan politik
memiliki parameter pemerintahan,dan sejarawan memiliki parameter perkembangan
bangsa dan negara.
Geografi,
psikologi, dan antropologi, lebih mirip merupakan kasus yang sedikit berbeda. .Khusus
untuk geografi, memang seperti sejarah yang merupakan sebuah praktik sejak lama
bahkan sejak zaman yunani kuno, seperti yang telah dilukiskann oleh Herotodus
(abad ke-5 SM). Akan tetapi, pada akhir abad ke-19 geografi berhasil
merekonstruksi dirinya sebagai sebuah displin baru, terutama di universitas-universitas
Jerman, yang membentuk dan mengilhami berbagai perkembangan di tempat-tempat
lain. Selanjutnya, geografi merupakan satu disiplin dalam periode sebelum 1945,
yang dalam praktiknya secara sadar berusaha sungguh-sungguh mencakup seluruh
dunia dalam istilah-istilah subject
matter-nya. Inilah kelebihan sekaligus kelemahannya.
Begitu
pun dengan psikologi, merupakan kasus yang berbeda pula. Psikologi pada mulanya
merupakan bagian integral dari filsafat. Ia mencoba memisahkan diri dari
filsafat dan menyusun diri ke dalam format ilmiah baru pada abad ke-19. Pada
abad ke-19 dua teori psikologi yang bersaing yakni faculty psychology (psikologi kemampuan) dan psikologi asosiasi
yang mulai lahir karena timbulnya frenologis yang dikemukakan Gall untuk
mencoba melokalisasi kemampuan khusus pada otak yang berbeda-beda (Atkinson dan
Hilgard, 1996: 442). Akan tetapi Wilhem
yang patut di hargai jasanya. Dia meletakan psikologi sebagai disiplin ilmu.
Pada tahun 1879, Wundt untuk pertama kalinya mendirikan laboratorium psikologi
formal pertama di Universitas of Leipzig di Jerman, sedangkan G.Stanley Hall
mendirikan laboratorium psikologi pertama di John Hopskin University, pada
tahun 1883 di Amerika serikat ( Atkinson dan Hilgrad, 1996 : 442).
Namun dalam praktiknya, psikologi
didefinisikan bukan sebagai ilmu yang berada dalam arena ilmu sosial, tetapi
lebah dekat dalam arena medis. Hal itu berarti legitimasi ilmiahnya tergantung pada kedekatanya dengan ilmu-ilmu
alam. Oleh karna itu, para psikolog mencoba menyebrang dari ilmu sosial ke ilmu
biologis. Sebagai implikasinya, sebagian universitas psikologi dipindahkan dari
fakultas ilmu-ilmu sosial ke fakultas ilmu-ilmu alam (Wallerstein, 1997 :42).
Berbeda
dengan antropologi, kasus ini lebih tampak adanya semacam justifikasi lintas antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan (humaniora),
tidak lagi membuktikan dirinya sendiri sebagai sesuatu taken for granted, seperti
yang dulu nampak jelas. Sebaliknya, khusunya studi kebudayaan yang kini telah
menjamur dan melintasiu rumpun displin, telah menunjukan bahwa ilmu-ilmu sosial
tidak lagi sebagai saudara malang diantara dua kubu yang terpolarisasi antara
ilmu alam dan ilmu kemanusiaan (Wallerstein, 1997 :107 ). Disinilah perlu
adanya fleksibilitas ilmu sosial untuk membuka dirinya dalam kajian masalah-masalah sosial yang tidak kaku
(rigid).
Para
arkeolog merekonstruksi cara-cara organisasi sosial masyarakat yang sangat
berbeda dari bentuk organisasi sosial masyarakat barat. Mereka menunjukan bahwa
adat istiadat yang aneh di mata Barat tidaklah irasional, tetapi berfungsi
untuk melindungi dan memproduksikan penduduk, sebagai mana dituliskan dalam a functional theory of culture (Malinowski,
1994). Para sarjana orientalis yang mengkaji dan menerjemahkan teks-teks dari
peradaban tinggi non-barat menegaskan bahwa teks tersebut bersifat
instrumental, yang melegimitasikan konsep mengenai dunia relegi yang merupakan
suatu pemutusan hubungan dengan pandangan-pandangan Kristensentris
(Wallerstein,1997 : 47).
2.4. Metode dan Kebenaran Ilmiah
2.4.1.
Metode
ilmiah
Istilah metode secara
etimologis berasal dari bahasa Yunani
meta yang berarti sesudah dan
kata hodos yang berarti jalan. Jadi, metode merupakan langkah-langkah yang diambil, menurut
urutan tertentu, untuk mencapai pengetahuan yang telah dirancang dan dipakai
dalam proses memperoleh pengetahuan jenis apapun (Soeprapto, 2003: 128).
Menurut rumusan The World of Science Encyclopedia (Volume 17: 181) metode ilmiah
diartikan sebagai prosedur yang dipergunakan oleh ilmuwan-ilmuwan dalam
pencarian sistematis terhadap pengetahuan baru dan peninjauan kembali
pengetahuan yang telah ada. Perenyataan tersebut mengungkapkan bahwa pengertian
metode ilmiah pada hakikatnya merupakan prosedur yang mencakup berbagai
tindakan, pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh
pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang ada.
Sedikit berbeda dengan
pendapat George Kneller (1978: 118) dalam karyanya dia mengemukakan ‘Dengan
metode ilmiah kami maksudkan struktur rasional dari penyelidikan ilmiah yang hipotesisnya
disusun dan diuji’. Sedangkan menurut Arturo Rosenblueth (1970: 1) dalam
bukunya Mind and Brain, mengemukakan
bahwa metode ilmiah ‘Sebagai prosedur dan ukuran yang dipakai oleh
ilmuwan-ilmuwan dalam penyusunan pembangunan cabang pengetahuan khusus mereka’.
Lebih rinci lagi mengenai
pembahasan metode ilmiah jika kita membahas pendapat Harold Titus (1964: 527)
yang merumuskan bahwa metode ilmiah sebagai’Proses-proses dan langkah-langkah
yang membuat ilmu-ilmu menghasilkan pengetahuan’. Dengan demikian ruang lingkup
metode ilmiah cukup luas karena tidak hanya mencakup pengamatan dan percobaan saja (The Liang Gie, 1999: 111)
merinci cakupan metode ilmiah itu mencakup menganalisis, mendeskripsikan,
mengklarifikasikan, mengadakan pengukuran, memperbandingkan, dan melakukan
survei. Sementara menurut Sheldon J. Lachman cakupan metode ilmiah sampai enam
langkah, mencakup perumusan hipotesis spesifik atau pertanyaan spesifik untuk
penyelidikan, perancangan pendidikan, pengumpulan data, penggolongan data dan
pengembangan generalisasi-generalisasi, serta pemeriksaan kebenaran terhadap
hasil-hasil.
Pendapat yang berbeda
diungkapkan oleh Goldstein yang mengungkapkan ‘Sesunguhnya, istilah metode
ilmiah menyesatkan. Mungkin hal itu mengusulkan bahwa ada sesuatu yang
dirumuskan dalam prosedur, jika diikuti akan menuntun secara otomatis ke
penemuan ilmiah’. Kemudian Kaplan mengungkapkan ‘Kekhawatiran saya dengan
konsepsi metode ilmiah terasa untuk saya, suatu justifikasi pragmatis yang
mengada-ada terus-menerus bahwa analisis logika kita tidak mampu untuk menerima
segalanya secara penuh kedalam catatan. Sanggahan-sanggahan tersebut
mengingatkan kita untuk tidak tergesa-gesa memutlakkan keampuhan metode ilmiah
sebagaimana dikemukakan oleh sebagian orang.
2.4.2.
Kebenaran
Ilmiah
Julienne Ford dalam Paradigms and Fairy Tales (1975)
mengemukakan bahwa istilah kebenaran
memiliki empat arti yang berbeda yang ia simbolkan dengan T1, T2, T3, T4.
1. Kebenaran Pertama (T1)
adalah kebenaram metafisik. Kebenaran itu tidak dapat diuji benar atau tidaknya
berdasarkan norma-norma eksternal, seperti kesesuaian dengan alam, logika
deduktif, atau standar-standar perilaku profesional. Merupakan kebenaran yang paling
mendasar dan puncak dari seluruh kebenaran (Supriadi, 1998: 5). Oleh karena itu
harus diterima apa adanya. Misalnya, kebenaran atau iman-iman dan
doktrin-doktrin absolut agama.
2. Kebenaran Kedua (T2) adalah
kebenaran etik, yang menunjuk pada perangkat satandar moral atau profesional
tentang perilaku yang pantas dilakukan, termasuk kode etik. Kebenaran ini ada
yang mutlak dan ada pula yang relatif.
3. Kebenaran Ketiga (T3) adalah
kebenaran logis. Sesuatu dianggap benar apabila secara logis atau matematis konsisten
dan koheren dengan apa yang telah diakui sebagai sesuatu yang benar atau sesuai
dengan apa yang benar menurut kepercayaan metafisik. Misalnya 2+2=4.
4. Kebenaran Keempat (T4)
adalah kebenaran empirik, yang lazimnya dipercayai sebagai landasan pekerjaan
para ilmuwan dalam melakukan penelitian. Sesuatu dianggap benar apabila
konsisten dengan kenyataan alam, dalam arti diverfikasi, dijustifikasi, dan
tahan terhadap falsifikasi atau kritik.
Dalam konteks kebenaran ilmiah yang melibatkan subjek
(manusia, knower, dan obsever) dengan objek (fakta, realitas, dan known),
terdapat tiga teori kebenaran, yaitu:
1. Teori Korespondensi
(Correspondence Theory), teori ini beranggapan bahwa sebuah pernyataan itu
benar jika apa yang diungkapkannya itu merupakan fakta, dalam arti adanya suatu
kenyataan yang interaksional antara teori dengan realita (Kattsoff, 1996: 183).
Moto dari teori ini adalah kebenaran itu setia atau tunduk pada realitas
objektif (Supriadi, 1996: 7) Contoh, Jakarta adalah ibukota Indonesia.
2. Teori Koherensi (Coherence
Theory), yang beranggapan bahwa sesuatu dianggap benar jika terdapat koherensi
atau konsistensi, dalam arti tidak terjadi kontradiktif pada saat bersamaan,
antara dua atau lebih logika. Jadi, fokus dalam teori ini adalah logika yang
konsisten dan secara inheren memiliki konsistensi. Jadi, disini kebenaran logis
mendahului kebenaran empiris (Kattsoff, 1996: 181; Supriadi, 1998: 7).
3. Teori Pragmantisme (Pragmatism
Theory), yang beranggapan bahwa kebenaran itu tersimpul pada aspek fungsional
secara praktis (Kattsoff, 1996: 130-131). Segala sesuatu yang benar apabila
memiliki asas manfaat (utilitarian). Jadi, kebenaran itu menaruh perhatian
dalam praktik Mereka memandang hidup manusia itu sebagai suatu perjuangan yang
berlangsung terus-menerus, yang didalamnya terdapat konsekuensi-konsekuensi
beersifat terus-menerus.
2.5. Pengertian
Struktur Ilmu
Menurut pendapat Joseph J.
Schwab struktur suatu disiplin ilmu adalah bentuk konsepsi yang membatasi pokok
masalah yang diselidiki dari suatu disiplin dan pengawasan/pengendalian
terhadap penelitiannya. Struktur suatu disiplin ilmu meliputi dua bagian, yaitu
substantive conceptual
structure dan syntactical structure.
substantive conceptual
structure ialah konsep-konsep yang menjadi kerangka berfikir atau frame of reference dalam meneliti
sesuatu. substantive conceptual
structure akan menghubungkan dan mengarahkan penelitian melalui serangkaian
pertannyaan, contohnya data apa yang perlu dicari? Eksperimen yang bagaimana
yang diperlukan? Dan apa yang harus dilakukan? Sedangkan konsepsi yang dimaksud
dibentuk oleh ilmu itu sendiri meminjam dari disiplin yang lain.
Syntactical structure berhubungan dengan inquiry atau penelitian yang dilakukan oleh
displin itu. Syntactical structure menyangkut masalah-masalah, jalan mana
yang harus di tempuh dalam penelitian?
Cara mengumpulkan data, cara menguji data, keriteria yang dipakai dalam
menetapkan kualitas data, ukuran untuk menentukan bahwa data yang diperoleh
relevan atau mungkin tidak relevan, penting atau kurang penting, jalan yang
ditempuh oleh disiplin itu sendiri, dari data mentah melalui interpretasi
menuju pada kesimpulan.
Pendapat William J. Goode
bahwa ilmu adalah sekumpulan pengetahuan sistematis dan sekaligus sebagai
metode pendekatan terhadap dunia empiris, ilmu merupakan relasi yang rumit
antara teori dan fakta.
Pendapat Jacob Bronowski
bahwa ilmu adalah aktivitas menyusun fakta-fakta yang diketahui dalam
kelompok-kelompok di bawah konsep-konsep umum, dan konsep-konsep itu dinilai
berdasarkan peryataan dari tindakan-tindakan yang kita dasarkan padanya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa batang tubuh ilmu (the body of knowledge)
strukturnya mencangkup fakta, konsep, generalisasi, dan teori.
2.6. Pengertian dan Peranan Fakta
Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English, yang
dimaksud fakta adalah sebagai berikut.
1. Sesuatu
yang digunakan untuk mengacu pada situasi tertentu atau khusus.
2. Kualitas
atau sifat yang aktual (nyata) atau dibuat atas dasar
fakta-fakta. Kenyataan-kenyataan fisik atau pengalaman praktis sebagaimana
dibedakan dengan imajinasi, Sesuatu hal yang dikenal sebagai yang benar-benar
ada dan terjadi, terutama yang spekulasi, atau teori.
3. Dapat dibuktikan oleh evidensi (bukti)
yang benar atau dinyatakan benar-benar terjadi.
4. Hal
yang terjadi dapat dibuktikan oleh hal-hal yang benar, bukan oleh berbagai hal
yang telah ditemukan.
5. Sesuatu
penegasan, pernyataan, atau informasi yang berisi atau berarti mengandung
sesuatu memiliki kenyataan objektif, dalam arti luas adalah sesuatu yang
ditampilkan dengan benar atau salah karena memiliki raelitas objektif.
Ternyata tidak semua pertanyaan
di atas relevan dengan pembahasan kita sekarang ini, oleh karena itu harus kita
seleksi. Suatu hal yang menarik dari peryataan di atas bahwa fakta itu sifatnya
khusus ataupun terbatas, tidak bersifat general atau umum yang tidak terbatas.
Selain itu, menunjukkan suatu sifat yang nyata, yang ditampilkan dengan
benar-benar ada, terjadi karena memiliki raelitas objektif. Dengan demikian,
hal itu sangat sesuai denagn peryataan Bachtiar. Bahwa fakta merupakan
abstraksi dari kenyataan yang diamati, yang sifatnya terbatas dan dapat diuji
kebenarannya secara empiris. Fakta pun merupakan building blocks yang digunakan untuk mengembangkan konsep.
Menurut Helius Sjamsuddin
bahwa fakta umumnya erat hubunganya dengan jawaban atas apa, siapa, kapan, di
mana, dan juga berupa benda-benda (things)
yang benar-benar ada atau peristiwa apa yang pernah terjadi pada masa lalu.
Fakta harus dirumuskan atas dasar sistem kerangka berpikir tertentu. Fenomena
yang sma akan menghasilkan fakta yang berbeda, apabila kerengka berfikir yang
dipergunakan berbeda. Fakta harus merupakan rumusan yang tajam, tertentu, tidak
mengandung pertanyaan dan memiliki bukti sendiri. Dan menurut James A. Banks,
fakta adalah kejadian berbagai hal atau peristiwa tertentu yang pada
gilirannya menjadi data mentah atau
pengamatan dari ahli ilmuan-ilmuan sosial.
Sebagai contoh, menurut Carr
para sejarawan memperoleh fakta-fakta itu dari dokumen, inskripsi, dan
ilmu-ilmu bantu sejarah lainnya, seperti arkeologi, epigrafi, numismatik, dan
kronologi. Di sinilah para sejarawan harus pandai menyeleksi terhadap apa yang
dijadikan fakta tersebut. Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Pirandello menganagolikan
bahwa fakta ibarat karung goni baru dapat berdiri tegak setelah diisi sesuatu
di dalamnya. Jadi, jika terdapat ungkapan fakta berbicara untuk dirinya
sendiri. Hal itu saja tidak benar. Karena bagaimanapun keberadaan fakta itu,
kehadirannya atas kehendak sejarawan yang memilihnya dan menganggap rekevan
dengan kebutuhan penelitian.
Lomas menyatakan, Seseorang
tidak bisa lepas dari arti ide dalam sejarah. Sejarah untuk menjadi penuh arti,
tergantung pada seleksi dan hal ini pada gilirannya tergantung pada penetapan
signifikansi kriteria untuk memilih yang lebih relevan dan untuk menolak yan
kurang relevan. Dengan demikian, sejarawanlah yang lebih menentukan untuk
berbicara dengan alasan-alasan tertentu untuk menjadikan suatu cerita sejarah,
tentang seorang tokoh, peristiwa, benar tidaknya berbuat sesuatu,atas
fakta-fakta yang ia seleksi sendiri. Namun, tidak berarti sejarawan itu menjadi
diktator dan mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran. Sebab kesadaran tentang
lukisan masa lalu itu bukanlah merupakan wacana (discourse) intelektual yang
bebas, tetapi dalam keterbatasan faktual yang partikular itu pun dapat
mengembangkan kebebasan apresiasi dan kreativitas sejarah kritis, reflektif,
dan inspiratif. Bukan keterangan sejarah (historical
explanation) yang idoelogis tanpa pertanggung jawaban yang rasional.
Sebaliknya, yang ingin kita usahakan adalah sejarah sebagai ilmu pengetahuan
yang selalu relevan dengan perkembangan zaman apa pun. Begitu pun dalam
penjelasan sejarah, sejarawan dan guru sejarah tidaklah terbatas dari isi
sumber-sumber dan fakta sejarah yang harus disampaikan. Sebab bagaimanapun
seharusnya kebenaran faktual tetap lebih ditentukan oleh kejujuran sejarawan,
dan kebenaran faktual mengisyaratkan kebenaran teoristis.
Hubungan sejarawan maupun
ahli-ahli ilmu sosial dengan fakta hakikatnya setaraf, atau menurut istilah
Carr ibarat memberi dan menerima, keduanya saling membutukan. Mengingat fakta
itu pun memerlukan suatu penafsiran yang lebih lanjut oleh sejarawan maupun
ilmu-ilmu sosial lainnya. Sejarawan dan ahli ilmu sosial lainnya perlu
mengembangkan dan menyuarakan fakta agar dapat bercerita dalam koridor yang
memiliki raelitas objektif, namun tidak kaku, tidak mati, dan tetap ada
artinya. Demikian juga sejarawan maupun ahli ilmu sosial lainnya, jika tidak ada fakta maka karyanya tidak berguna, tidak
berakar dan sia-sia.
Fakta
memang ibarat sebuah simbol, begitu menurut Carl L. Becker dalam Everyman His Own Histirian maupun F.W.
Dillistone dalam The Power Symbols.
Sebuah fakta yang sederhana dapat berubah menjadi fakta yang sangat penting dan
berkekuatan besar karena jaringan-jaringan yang terbentuk memiliki kaitan yang
lebih jauh dan lebih besar lagi. Dalam perspektif politik, siapa yang mengira
karena absennya kebebasan, pada pukul
9 pagi tanggal 21 Mei 1998 akan terjadi lengsernya Jenderal Soeharto sebagai
presiden Indonesia? Siapa yang mengira karena absennya kebebasan, Jenderal Soeharto yang baru saja dipilih secara
bulat oleh MPR dua bulan sebelumnya, dapat berakhir dengan begitu cepat dalam
peristiwa yang spektakuler? Hampir semua orang terjebak dan merasa serta tidak
percaya dengan keputusan itu, mengingat sebagai “sultan di jawa tradisional” ia
telah mengkonsolidasikan semua kekuasaan di tangannya dengan menempatkan
loyalisnya pada posisi kunci di institusi politik, militer, dan birokrasi untuk
menyokong kekuasaannya. Tentu saja mayoritas rakyat indonesia bergembira atas
lengsernya sang presiden, sekalipun pernah menorehkan prestasi yang gemilang.
Akan tetapi, pada akhirnya prestasi itu tersapu oleh ketamakan dan kekacauan
ekonomi politik.
2.7. Pengertian dan Peranan Konsep
Istilah konsep yang berkembang di masyarakat awam hampir selalu dikaitan
dengan rancangan atau sesuatu yang belum selesai. Pemahaman yang demikian
sebenarnya terlalu sederhana dan menyimpang karena pengertian konsep begitu
luas dan bukan mengenai sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas yang belum
maupun sudah selesai. Istilah konsep
mengacu sebagai abstraksi yang bersifat konotatif maupun denotatif. Dengan demikian,
ruang lingkup konsep bisa bersifatabstrak maupun konkret ataupun riil. Sebut
saja gunung, danau, kursi, meja, pohon, mobil, kambing, ketimun, garam, dan
sebagainya, semuahnyaitu konsep. Di dunia ini baik itu yang konkret maupun
abstrak, seperti agama, kebaikan, pandai, merah, fantasi, kemenakan, gas, dan
mertua, itu adalah konsep-konsep yang tak terhingga jumlahnya. Jadi, kalau
begitu apa konsep itu ?
Menurut Schwab (1969 :
12-14), konsep merupakan abstraksi, suatukonstruksi logis yang terbentuk dari kesan,
tanggapan, dan pengalaman-pengalaman kompleks. Pendapat Schwab tersebut sejalan
dengan James A. Banks (1977: 85) bahwa A concept
is an abstract word or phrase that is useful for classifiying or categorizing a
group of things, ideas, or events. ‘Suatu konsep adalah suatu kata abstrak
atau frase yang bermanfaat untuk mengklasifikasikan atau menggolongkan suatu
kelompk berbagai hal, gagasan, atau peristiwa’. Dengan demikian, pengertian
konsep menujukan pada suatu abstraksi, penggambaran dari suatu yang konkret
maupun abstrak (tampak maupun tidak tampak) dapat berbentuk pengertian atau
definisi ataupun gambaran mental, atribut esensial dari suatu kata gori yang
memiliki ciri-ciri esensial relatif sama.
Sebagai contoh, gunung. Jika
dilihat dari jenis, ketinggian, dan bentuknya gunung itu sangat beragam. Gunung
Tangkuban Perahu di Jawa Barat akan jauh lebih kecil dan pendek jika
dibandingkan dengan G. Jayawijaya di Papua maupun G. kerinci di perbatasan
Provinsi Jambi dan Sumatra Barat.
Dengan demikian, berbeda
dengan fakta yang menekankan kekhususan, sedangkan konsep memiliki ciri-ciri
umum (common characteristics) yang
sudah tentu konsepnya lebih luas dari pada fakta. Menurut Jack R. Fraenkel
dalam Jelping Students Think and Value Strategies for Teaching the Social
Studies, dikatakan bahwa sebenarnya konsep-konsep itu dalam kenyataannya tidak
ada. Konsep itu berada dalam ide atau pikiran manusia. Semua realitas yang
berada di sekeliling kita memasuki atau menyentuh indra-indra manusia sebagai
informasi dari berbagai pengalaman. Kemudian, masukan-masukan indra (sensory
infut) tersebut diatur dan disusun dengan mengenakan simbol-simbol (label
kata-kata) berdasarkan persamaan-persamaan esensial tersebut (Fraenkel, 1980 :
58).
Mengklarifikasi jenis-jenis
konsep atas 6 macam.
1. Konsep kanjungtif, yaitu konsep yang berfungsi untuk menghubungkan
(Connective) dari keberadaan dua atau lebih atribut yang semuanya harus ada
(Fraenkel, 1980 : 58) Contohnya, konsep anak
berarti ia adalah indivindu yang masih kecil dan masih belum dewasa.
Sebaliknya, konsep Ibu maupun ayah mencerminkan orang dewasa yang
sudah cukup tua untuk memiliki anak.
2. Konsep disjungtif, mencerminkan adanya alternatif-alternatif yang
beragam. Contohnya, konsep olahraga bentuk dan jenisnya dapat berupa permainan
sepak bola, tenis meja, lempar lembing, maraton, dan sebagainya.
3. Konsep relasional, yang memiliki arti mengandung suatu hubungan khusus
antara dua atribut maupun lebih yang dinyatakan secara eksplisit dengan
bilangan tertentu. Contohnya, konsep kecepatan
mobil dihubungkan dengan rata-rata per kilo meter per jam. Konsep isi
dihubungkan dengan meter kubik. Konsep luas dihubungkan dengan berapa meter
persegi.
4. Konsep deskriptif, adalah konsep
yang menuntut jawaban tentang gambaran suatu benda. Konsep deskriptif ini pun
menuntut pemahaman karakteristik ataupun ciri-ciri esensial yang sama dalam
mengemukakan pendapat. Contohnya, apa itu kursi? Apa itu Presiden ? dan
sebagainya.
5. Konsep valuatif yaitu konsep yang berhubungan denga pertimbangan baik
ataupun buruk, salah satupun benar, cantik ataupun jelek rupa, dan sebagainya.
6. Konsep campuran antara deskriptif dan konsep valuatif,
yaitu suatu konsep yang tidak hanya memberikan penjelasan tentang suatu
karakteristik yang diniliki oleh benda tersebut, tetapi juga sekaligus
memberikan sikap ataupun penilaian terhadap pernyataan tersebut. Menurut
Fraenkel (1980 :59), konsep ini merupakan yang paling banyak ditemui. Contohnya
pembunuhan sadis, pemerintah otoriter, kolonialisme, imperialisme, sadisme, dan
sebagainya.
Timbul pertanyaan, sebenarnya kita belajar mengenal
konsep-konsep itu untuk apa ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut Fraenkel telah
mengidentifikasi kegunaan konsep bagi kehidupan manusia.
1. Konsep itu berguna untuk
melakukan efisien dan efektivitas bagi manusia, hal itu dapat kita pahami
karena informasi-informasi itu kian terus bertambah banyak dan semuanya harus
diindentifikasi dalam simbol-simbol yang dapat disepakati. Caranya adalah dengan
merumuskannya dalam konsep-konsep yang mereduksi informasi-informasi tersebut
menurut proposi-proposi yang dapat ditangani (Sjamsuddin, 1996 :15). Konsep
mencakup kelas dari objek, peristiwa, individu, atau ide. Kemudian
konsep-konsep itu diterima melaluli indra kjita dan disusun serta diserhanakan
berdasarkan persamaan karakteristiknya, namun belum begitu rinci ( Fraenkel,
1980 : 64-64 )
2. Melalui konsep itu pun
adanya klasifikasi atas beberapa individu, karakteristik yang serupa kemudian
diindentifikasi dan dicari perbedaan-perbedaannya. Sehingga dalam klasifikasi
(kategorisasi) tersebut begitu tampak persamaan dan perbedaanya. Contohnya,
gunung : walaupun dari sekian gunung itu berbeda-beda, tetapi gunung memiliki
ciri-ciri yang sama, memiliki ketinggian sampai ribuan meter dari permukaan air
laut. Contoh lainya unggas, bervariasi dari jenis ayam, bebek, angsa, sampai
kepada jenis burung. Semuanya itu harus benar-benar teridenfikasi secara
teliti, jangan samapai terjadi miskonsep yang
dapat menimbulkan persepsi yang keliru dan fatal.
3. konsep dapat berfungsi untuk
mereduksi keperluan yang sering dikatakan berulang-ulang terhadap sesuatu
kajian yang serupa dan sudah diketahui (Fraenkel, 1980 : 65). Sebagai contoh
jika kita telah mengetahui binatang itu burung maka burung pun terbagi-bagi
dalam beberapa jenis, seperti burung gelatik, manyar, beo, pipit, gagak,
perkutut, kutilang, kakatua, kepodang, samurai, cendrawasih, elang, sampai
burung hantu.
4. konsep dapat berfungsi
memudahkan kita untuk memecahkan masalah. Dengan menempatkan objek, indivindu,
peristiwa, ataupun ide ke dalam kategori yang benar kita dapat memperoleh
beberapa wawasan bagaimana menangani sesuatu masalah tertentu yang dihadapi
(Fraenkel, 1980 : 65). Sebagai contoh, seseorang yang mengetahui bahwa ular
pohon yang berwarna hijau itu beracun dan sangat berbahaya maka ia akan
hati-hati jika ia memanjat pohon yang hijau dan sering dijadikan tempat
persembunyian ular pohon tersebut.
5. Konsep juga berguna untuk
menjelaskan (eksplanasi) sesuatu yang dianggap rumit ataupun memerlukan
keterangan yang cukup panjang dan rinci. Banyak konsep-konsep yang kita ketahui
sekarang diperoleh melalui proses pembelajaran ataupun pengenalan dari
konsep-konsep sebelumnya yang dianggap baru. Dengan demikian, konsep bisa dijakdikan
tempat persembunyian ular pohon tersebut.
6. Konsep berguna untuk
mengonseptualisasikan sesuatu secara cermat cermat melalui sembol-simbol.
Itulah kelebihan insan manusia sebagai makluk yang suka berfikir (homo
sapiens). Tidak ada filsuf modern yang telah menjadikan simbol lebih sentral
dalam pengembangan penafsiran tentang realitas, selain Ernest Cassirer yang
teruang dalam karyanya The Philosophy of
Simbolic karena manusia makluk yang suka menggunakan simbol-simbol
(Cassirer : 1951). Sedikit berbeda dengan sejarawan Belanda Johan Huizinga
dimana manusia sering disebut homo luden
atau makluk yang suka bermain.
7. Sesuatu konsep pun
mengandung konotasi negatif dinamakan stereotip (Fraenkel, 1980 : 66-68).
Konsep sterreotip ini demikian melakat pada diri setiap etnis maupun individu,
hanya kadar atau derajatnyalah yang membedakannya. Walter Lippman seorang
wartawan senior Amerika Serikat. Samapai sekarang ini dianggap sebagai orang
pertama yang merumuskan stereotip dan membahasnya secara ilmiah dalam buku
Public Opinion (1922). Menurut Lippman (1922 : 1), sereotip adalah gambaran di
kepala yang merupakan rekonstruksi dari keadaan lingkungan untuk menggambarkan
keadaan sebenarnya, dan sereotip berfungsi sebagai cara penyederhanaan untuk
memberikan gambaran itu. Akan tetapi, sekarang ini stereotip didefinisikan
sebagai informasi yang salah sebagai lawan dari sosiotip yang ilmiah (Hayakawa,
1950 : 209). Di Indonesia pun sering kita dengar ungkapan-ungkapan yang bernada
stereotip. Contohnya, jawa koek, Cina licik, Padang bengkok, Orang Tasik si
tukang kredit, Dasar Batak si tukang copet, Irian si hitam legam, dan
sebagainya. Bahkan di kalangan orang Barat pun setereotip dan etnosentrisme pernah
hidup dan berkembang.
8. konsep berguna sebagai mata
rantai penghubung ataupun katalisator antara disiplin ilmu, baik itu yang
sifatnya interdisipliner, multidisipliner, maupun lintas disipliner. Sebagai
contoh, konsep kerja sama bukan saja ditemukan dalam bidang sosial (sosiologi),
tetapi juga budaya (antropologi), kemudian ekonomi (terdapat koprasi), maupun
psikologi terutama dalam kajian empati dan solidaritas. Dalam bidang politik,
konsep kerja sama tersebut akan tampak pada kajian integrasi bangsa yang
dibangun oleh solidaritas dan kesetiakawanan.
2.8. Pengertian
dan Peranan Generalisasi
Generalisasi adalah
pertanyaan hubungan dua konsep atau lebih. Pertanyaan tersebut boleh terbentang
dari yang sangat sederhana ke yang sangat kompleks. Kadang-kadang mereka
dikenal sebagai prinsip-prinsip atau hukum.
Generalisasi menghubungkan
konsep satu sama lain, selanjutnya merupakan kesimpulan dari pengalaman kita.
Generalisasi dapat juga menguraikan
dunia sosial kita dengan teliti. Generalisasi menyatakan hubungan antara dua
konsep atau lebih, sering mengidentifikasi penyebab dan efek, dapat digunakan
untuk meramalkan suatu kejadian di masa depan yang berhubungan dengan yang
dinyatakan dalam generalisasi.
Dari pertanyaan tersebut
dapat dikemukakan bahwa generalisasi merupakan pertanyaan tentang hubungan
antara konsep-konsep dan berfungsi untuk membantu dalam memudahkan pemahaman
suatu maksud pertanyaan itu, berfungsi mengidentifikasi penyebab dan
pengaruhnya, bahkan dapat digunakan untuk memprediksi suatu kejadian yang
berhungan dengan pertanyaan yang ada dalam generalisasi tersebut. Dalam arti,
suatu generelasisasi pun merupakan pertanyaan yang sederhana sampai kepada yang
lebih konpleks. Dengan demikian, generalisasi itu tidak hanya mendeskripsikan
data, melainkan memberikan struktur pada data tersebut. Oleh karena itu, dapat
pula dikatakan bahwa generalisasi adalah kesimpulanyang ditarik secara induktif
mengenai dua hubungan fakta-fakta atau lebih yang ditarik secarainduktif
mengenai dua hubungan fakta-fakta atau lebih
yang melahirkan teori (Fuad Hasan, 1997: 10-11). Generalisasi pun
merupakan pernyataan yang menjelaskan hubungan antara konsep-konsep yang
berfungsi sebagain pembantu berpikir dan memahami, tidak sekedar mendeskripsikan data, tetapi
juga memberikan struktur (Sjamsuddin, 1996 : 19). Generalisasi dapat disusun
dalam bentuk dan ruang lingkup yang sederhana sampai kepada yang luas dan
kompleks. Oleh karena itu, James A. Banks (1977 : 99-101) membedakan 3 tingkat
generasi.
1. High Order Generalizations
disebut juga laws atau principles, yaitu generalisasi yang pemakaiannya secara
universal. Contohnya, interaksi antara suatu masyarakat dengan lingkungan
mereka, mempengaruhicara yang ditempuh mereka untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Intermediate Level
generalizations, ialah generlasasi yang digunakan di kawasan tertentu dan
kebudayaan tertentu. Contohnya, wilayah Indonesia yang terletak di daaerah
tropis yang subur dan daerahnya luas, menyebabkan bangsa Indonesiadi pedesaan
sebagai besar hidup dari pertanian.
3. Law Order Generalizations,
yaitu generalisasi yang digunakan atas data dari dua atau tiga sampel kecil,
misalnya tentang sekelompok kota padasatu kawasan tertentu. Contohnya, suatu
kelimpahan curah hujan yang tinggi seta suhu udara yang sejuk, menyebabkan
daerah Lembang, Bandung cocok untuk tanaman sayuran kol, sawi, maupun kentang.
Ditinjau dari tipe-tipenya,
generalisasi menurut Fraenkel (1980 : 74), dapat dibedakan menjadi empat macam,
yaitu generalisasi deskriptif, kausal, korelatif, dan kondisional.
1. Generalisai Kasusal, yaitu
suatu generalisasi yang hanya mendeskripsikan suatu hubungan yang ada.
Cotohnya, peradaban Eropa menyebarkan ke Afrika, Asia, dan Amerika, baik
melalui kolonisasi maupun cara-cara damai.
2. Generalisasi Kausal, yaitu
suatu generalisasi yang menjelaskan hubungan sebab akibat terjadinya suatu
peristiwa. Contoh, adanya imperialisme Barat, melahirkan nasionalsme Asia dan
Afrika.
3. Generalisasi Korelatif,
suatu generalisasi yang menujukan adanya hubungan satu sama lain. Contohnya,
pada umumnya industri berat di Eropa berdekatan dengan tambang-tambang batu
bara.
4. Generalisasi kondisional,
artinya suatu generalisasi yang menyarankan apa yang akan terkadi jika
seamdaimya suatu kondisi khusus dilaksanakn, dengan demikian adanya suatu
persyatan khusus. Contohnya, recovery ekonomi Indonesia sulit untuk dapat pulih
kembali, jika
faktor keamanan bagi investor tidak terjamin.
2.9. Pengertian dan Peranan Teori
Ada kesan bahwa berteori itu
jauh lebih mudah daripada praktik. Akan tetapi, dalam menyajikan teori
keilmuan, untuk membuat itu jauh, sangat sulit dan rumit. Dan kita dapat
melihat bahwa tidak semua para ahli pandai membuat dan menghasilkan teori-teori
baru. Di sinilah mengapa orang yang berhasil membuat teori sangat dihargai,
mengingat teori merupakan bentuk tertinggi dari pengetahuan. Bahkan teori
merupakan tujuan utama dari ilmu pengetahuan pada umumnya,
Hal yang terpenting yang
sama-sama dimiliki oleh para teoritikus adalah bahwa mereka tidak semata-mata
melukiskan kehidupan sosial atau menceritakan sejarah perkembangan sosial demi
kehidupan sosial, atau menceritakan sejarah perkembangan sosial itu sendiri.
Mereka lebih berusaha membantu kita untuk melihat masyarakat manusia dengan
cara tertentu sehingga apa yang kita peroleh dengan membaca karya-karya mereka
tidak hanya lebih banyak informasi mengenai kehidupan sosial, melainkan sesuatu
yang jauh lebih penting lagi, yaitu sebuah pemahaman yang lebih baik mengenai
hakikat hubungan-hubungan sosial manusia. Sasaran bersama para teoritikus
adalah memberi tilikan social dan pemahaman social yang lebih besar, bukan
menyajikan sekumpulan data social yang masih mentah. Mereka melakukan ini
dengan menyusun model-model tentang bagaimana masyarakat beroperasi,
memilah-milah masyarakat menjadi bagian-bagian pembentukanya, dan menunjukan
hubungan-hubungan operasional mereka.
Sebagai contoh, bagi Thomas
Hobbes, yang terkenal diktumnya homo homini lupus atau manusia adalah serigala
antara sesamanya. Hal itu berarti menganalisis hakiki kontrak-kontrak yang
dibuat oleh individu-individu yang rasional dan mengejar
kepentingan-kepentingan diri. Berbeda dengan Emile Durkheim yang menekankan
pada keteraturan sosial yang berhubungan dengan proses-proses sosial yang
meningkatkan integrasi dan solidaritas. Durkheim, selain itu pun dalam bukunya The Division of Labor in Society,
dikemukakan bahwa pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan suatu
perubahan dalam struktur sosial dan solidaritas mekanik ke solidaritas organik.
Dengan demikian, bagi Durkheim jelas memperlihatkan saling ketergantungan fungsional
dari kelompok-kelompok kerja yang besar di dalam organisme sosial. Dengan
melakukan itu, keduanya mengaku memberitahu kita tidak hanya apa yang
beroperasi dengan cara ini dan bukan dengan yang lain. Mereka berusaha
memajukan pemahaman kita sebanyak mungkin untuk pengetahuan kita tentang
fenomena sosial, untuk menjelaskan dan juga menggambarkannya.
Unsur-unsur utama sebuah
teori menurut Campbell (1945: 15) adalah definisi, deskripsi, dan penjelasan.
1. Definisi memberitahu
kita bagaimana penulis akan memakai istilah-istilah kuncinya, setiap teoritikus
tentang masyarakat misalnya, harus menjelaskan apa yang bia maksud dengan kata
masyarakat, dan menawarkan pandangan tertentu mengenai peristilahan pokok,
seperti interaksi, kontrak, maupun solidaritas. Proses mendefinisikan
istilah-istilah umum ini sangat penting karena mengacu pada analisis
konsep-konsep yang dituju. Hal itu selayaknya dilakukan dengan menunjuk
cirri-ciri esensial yang relatif sama atau dimiliki oleh suatu entitas jika
istilah yang bersangkutan ingin dipakai secara akurat untuk mengacu padanya.
Memang suatu definisi adalah tidak penting bagi dirinya, namun definisi berguna
sebagai alat untuk menjernihkan pemikiran.
2. Deskripsi merupakan
sebuah kegiatan yang tanpa akhir dan selalu belum selesai serta tanpa batas.
Jadi, tidak terhingga banyaknya fakta yang harus ditemukan, diselidiki,
dibuktikan, atau diperdebatkan. Bahkan untuk para teoritikus besar seleksi
bahan tertentu selalu diperlukan. Hal itu menunjukan kepada kita bahwa apa yang
menjadi cirri khas dari sebuah pendekatan teoretis yang berbeda dari sebuah
pendekatan empiris dalam arti sempit yang berdasarkan pada fakta-fakta khusus
yang saling berkaitan.
3. Penjelasan harus
melampaui makan deskripsi dengan mengatakan hal-hal apakah yang dapat memberikan
pada kita suatu pemahaman tertentu mengenai mengapa suatu kenyataan seperti
itu?. Misalnya, mengapa suatu jenis masyarakat tertentu akan berubah, entah
secara lamban (evolusi) atau secara cepat (revolusi) menjadi masyarakat jenis
lain?. Dengan demikian, pada setiap teori yang memadai harus disertai dengan
deskripsi yang saling berkaitan serta memuncak dalam suatu bentuk penjelasan
yang lebih rinci.
Kemudian, jika begitu teori
itu apa?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, di bawah ini disajikan beberapa
definisi, antara lain dikemukakan oleh Mandler dan Kessen dalam bukunya The Languageof Psychology dikemukakan, Theories are set of statements,
understandable to other, which make prediction about empirical events (Mandler
dan Kessen, 1959:142). Dengan demikian, menurut pendapat Mandler dan Kessen
tersebut bahwa teori itu merupakan ramalan tentang peristiwa empiris. Kemudian
menurut Kerlinger (2000:14), seorang peneliti behavioral, mengemukakan bahwa:
Suatu teori ialah
seperangkat konstruk (konsep), batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu
pandangan sistematis tentang fenomena dengan mencari hubungan-hubungan antar
variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi itu.
Sedikit berbeda dengan
Hollander yang ditulis dalam karyanya principles
and methods of social psychology, dikemukakan bahwa basically, a theory consists of one on more functional statements of
proportions that treat the fenomena (Hollander, 1967:55). Dengan demikian,
suatu teori menurutnya merupakan atas proposisi yang fungsional yang menyajikan
hubungan variable yang meliputi satuan fenomena. Begitu pun jika dibandingkan
dengan pendapat McDavid dan Harari dalam social
psychology: individuals, groups societies mengemukakan “istilah teori
secara normal diberlakukan bagi pengintegrasian tatanan hipotesis yang lebih
tinggi ke dalam jaringan sistematis yang mencoba untuk menguraikan dan
meramalkan cakupan peristiwa yang lebih luas dengan membiarkan satu hipotesis
menjadi berkualitas atau untuk menetapkan kondisi-kondisi itu di bawah yang
lain yang akan menjadi sesuai”.
Dari berbagai definisi di
atas, dapat disimpulkan bahwa teori di satu pihak adalah rangkaian fakta-fakta
dan konsep-konsep serta generalisasi-generalisasi, di pihak lain merupakan
perkiraan tentang implikasi (akibat) dari rangkaian fakta-fakta, konsep-konsep,
dan generalisasi-generalisasi tersebut, yang satu sama lainnya sangat
berhubungan. Dengan demikian, benar menurut sosiolog Indonesia Harsja Bachtiar
bahwa teori merupakan suatu kesatuan sejumlah generalisasi atas dasar fakta
yang diketahui (Bachtiar, 1997:114).
Menurut William J. Goode
demikian juga James Banks, teori teramat penting dalam ilmu pengetahuan karena
tanpa teori ilmu tidak dapat membuat prediksi ilmiah, dan tanpa pengetahuan
memprediksi, kita tidak dapat melakukan pengendalian. Serupa dengan pendapat
itu Joseph J. Schwab mengemukakan, They
seeks ends that are not knowledge but something else making, the appreciation
of what is made, the arts and habits of deliberation; choice and action
(schwab, 1969:21).
Bahkan lebih jauh Suppes (1974) dan Kerlinger (2000)
mengemukakan bahwa ada lima fungsi teori. Antara lain:
1.
Berguna
sebagai kerangka kerja untuk melakukan penelitian.
Mengenai
pentingnya teori sebagai kerangka kerja untuk penelitian, dimaksudkan untuk mencegah
praktik-praktik pengumpulan data yang tidak memberikan sumbangan bagi pemahaman
peristiwa. Empirisme yang polos menurut Suppes (1974: 6) merupakan suatu bentuk
coretan mental dan ketelanjangan tubuh jauh lebih menarik daripada
ketelanjangan pikiran. Sebagai kerangka kerja, teori secara tegas mampu
menyatupadukan kumpulan data yang terpisah-pisah menjadi suatu kerangka pedoman
yang konsisten dan berpautan yang menetapkan hubungannya, serta meramalkan
secara logis dari keterhubungan antar fenomena itu.
Oleh
karena itu, sebuah teori yang berperan sebagai kerangka kerja tersebut,
implikasinya bahwa teori harus memiliki kegunaan sebagai berikut.
a. Teori
harus mampu membantu mensistematisasikan, menyusun data, maupun pemikiran
tentang data sehingga tercapai pertalian yang logis di antara aneka ragam data
itu, yang semula kacau balau. Di sinilah teori berfungsi sebagai kerangka kerja
atau pedoman, bagan yang sistematisasi, mapun menjadi sistem acuan.
b. Mampu
memberikan suatu skema atau rencana sementara mengenai medan yang semula belum
di petakan sehingga terdapat suatu orientasi.
c. Mampu
menunjukan atau menyarankan arah untuk penyelidikan lebih lanjut.
Kerangka kerja tersebut
merupakan sebuah proses yang bersifat rasional, kognitif, dan teleologis (The
Liang Gie, 1999:96)
1. Aktivitas rasional, berarti
kegiatan yang mempergunakan kemampuan pikiran untuk bernalar yang berbeda
dengan aktivitas berdasarkan perasaan dan naluri. Dalam ilmu pengetahuan, teori
mempraktikkan diri sebagai kegiatan penalaran logis dari pengamatan empiris.
2. Aktivitas kognitif, pada
hakikatnya merupakan rangkaian kegiatan intelektual manusia yang melahirkan
ilmu. Hal ini sesuai dengan pendapat Bernard Barber bahwa pemikiran rasional
atau rasionalitas manusia merupakan sumber utama dari ilmu.
3. Aktivitas teleologis, adalah
mengarah pada tujuan tertentu karena para teoretikus maupun ilmuwan dalam melakukan aktivitas ilmiah
memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Teori
ilmu pengetahuan melayani suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai. Bukankah semua
teori ilmi pengetahuan itu pada dasarnya melayani suatu tujuan tertentu yang
ingin dicapai oleh para teoritisi dan ilmuwan? Sebagaimana ilmu maka teori pun
tidak mengarah pada tujuan tunggal yang sangat terbatas bidangnya. Lahirnya
teori-teori baru yang beragam di berbagai bidang dan tampaknya akan terus
berkembang sejalan dengan pemikiran para teoritisi dan ilmuwan. Hal ini seperti
yang dikemukakan oleh Stephen Toulmin.
‘Ilmu tidak
memiliki satu tujuan melainkan banyak, dan pertumbuhannya telah melampaui
banyak tahap-tahap yang bertentangan. Seperti halnya semua aktivitas kritis,
ilmu tidak memiliki satu, melainkan sejumlah tujuan yang berkaitan; ini harus
berusaha memnuhi semuanya sejauh mungkin dalam keserasian, dan ilmu berhak
menentukan tujuan-tujuan baru’.
2.
Teori
memberikan suatu kerangka kerja bagi pengorganisasian butir-butir informasi
tertentu.
Sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya oleh Lachman (1969: 46) bahwa teori pun
‘memberikan suatu skema atau rencana sementara mengenai medan yang semula belum
ditetapkan sehingga terdapat suatu orientasi. Dalam hal ini fakta-fakta,
proposisi, dan kaidah-kaidah itu dapat diturunkan dari teori tersebut dan
disusun secara sistematik, yang dilengkapi cirri-ciri pokok selanjutnya, yaitu
keumuman (generality), rasionalitas,
objektivitas, kemampuan diperiksa kebenaranya (verifiability), dan kemampuan menjadi milik umum (communality).
Kemudian
dalam kaitanya dengan fungsi kedua dari teori adalah bahwa teori memberikan
suatu kerangka kerja bagi pengorganisasian butir-butir informasi tertentu. Hal
ini dapat dipahami karena semua teori pada hakikatnya berusaha untuk memenuhi
fungsi itu. Dalam analogi ini dapat dimisalkan tentang teori belajar Robert
Gagne. Menurut pandangannya, belajar itu merupakan faktor yang luas yang
dibentuk oleh pertumbuhan. Perkembangan tingkah laku itu adalah hasil dari efek
kumulatif dari belajar (Gagne, 1968: 178).
Sebagai
contoh, seorang anak sedang mengungkapkan dalm bentuk bahasa lisan tentang kata
kursi berarti menunjuk pada objek benda-benda tempat duduk dalam perabotan
rumah yang berkaki. Jadi, dalam hal ini siswa dituntut untuk memiliki
pengetahuan tertentu, berkemampuan untuk menuangkan pengetahuan itu dalam
bentuk bahasa yang memadai untuk dapat dikomunikasikan kepada orang lain. Sebab
memiliki kemampuan verbal tanpa ada kemampuan untuk dibahasakan, kiranya tidak
banyak berguna. Memiliki informasi pengetahuan verbal memegang peranan penting
dalam kehidupan manusia karena tanpa pengetahuan verbal, orang tidak dapat
mengatur kehidupan sehari-harinya dan tidak dapat berkomunikasi dengan orang
lain (Winkel, 1991: 72-73).
Hal
ini akan berbeda dengan aktivitas pembelajaran selanjutnya. Ia sedang belajar
untuk mengembangkan kemampuan yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan
dirinya sendiri dalam bentuk representasi, khususnya konsep dan berbagai
simbol. Di mana ia sedang menempuh ujian teori mengemudi. Untuk menempuh ujian
teori tersebut, orang itu tidak perlu turun ke jalan raya, cukup dengan diuji
oleh petugas kepolisian dengan memperlihatkan sebuah peta atau denah yang
menggambarkan suatu situasi lalu lintas tertentu, serta diberikannya sejumlah
pertanyaan yang berkaitan dengan simbol-simbol atau rambu-rambu.
Jika
ditelaah bagian pertama dan kedua, ini tampak berbeda, walaupun dua-duanya
merupakan aktivitas belajar terutama jika ditelaah dari Teori Belajar Gagne.
Jenis belajar yang terdahulu atau pertama disebut belajar informasi verbal,
sedangkan belajar yang kemudian disebut belajar kemampuan intelek (Gagne dan
Briggs, 1970: 51).
3.
Teori
mengungkapkan kompleksitas peristiwa-peristiwa yang tampaknya sederhana.
Secara
umum fungsi ketiga dari suatu teori adalah bahwa teori sering mengungkapkan
seluk beluk dan kompleksitas peristiwa-peristiwa yang tampaknya sederhana.
Suatu contoh khusus adalah hakikat dan jenis-jenis belajar faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap belajar dari model Bandura (1971). Untuk sebagian besar
kejadian, penjelasan yang dahulu diberikan terbatas pada segi peniruannya saja.
Artinya, pelajar menirukan model dan mendapat hadiah karena melakukan aktivitas
yang diharapkan. Namun, teori belajar sosial dari Bandura ternyata menunjukan
hal yang kompleks sebab mengenai situasi waktu, pengamat menunjukan tingkah
laku hasil model berhari-hari dan berminggu-minggu, mengenali kondisi belajar
untuk gejala yang rumit penerapannya.
Secara
lebih umum, pemeriksaan terhadap teori-teori yang ada pada waktu itu menunjukan
adanya bermacam-macam faktor yang berpengaruh pada apa yang semula dianggap
proses sederhana tentang belajar. Ternyata dalam kelas penerapannya menyangkut
taraf perkembangan siswa, sifat hakikat tugas yang dipelajari, model yang
relevan diamati siswa, kemampuan siswa untuk menerima, proses pengkodean,
menyimpan aktivitas apa yang dipelajari siswa dalam ingatannya, dan persepsi
siswa terhadap apa yang dikerjakan dari sudut keberhasilan maupun kegagalannya.
Semuanya itu memberikan perhatian ekstra dan tidak boleh disepelekan.
4.
Teori
mengorganisasikan kembali pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Di dunia tidak ada yang
abadi, kecuali perubahan itu sendiri yang abadi. Bahkan seorang futuris ternama
Amerika Serikat, yakni Alvin Toffler (1981: 28-29) pernah mengatakan change do not only important in life, but
change of itself is life. Memaknai ungkapan tersebut benar juga menurut
Fritjop Capra bahwa krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya
menyentuh pada semua aspek kehidupan manusia belakangan ini semuanya memerlukan
suatu pengujian kembali secara mendalam premis-premis dan nilai-nilai budaya kita.
Ini artinya bahwa dalam ilmu
pengetahuan, keberadaan teori-teori lama mutlak diadakan peninjauan kembali
untuk dikaji dan diuji validitas dan relevansinya secara mendalam. Fungsi
penyusunan kembali kepercayaan-kepercayaan lama, khususnya penting berkaitan
dengan belajar di kelas. Belajar seperti itu terjadi dalam suatu konteks sosial
yang relative. Kadang-kadang variabel-variabel yang semula kecil saja
pengaruhnya dalam dasawarsa dekat yang sudah lewat, dapat menjadi faktor yang
penting dalam pengelolaan hasil belajar siswa.
5.
Teori
berfungsi untuk memberikan prediksi dan kontrol.
Hal ini dikemukakan oleh
kerlinger (2000: 16) bahwa di samping ilmuwan mempersoalkan penjelasan dan
pemahaman tentang ilmu, juga tidak kalah pentingnya adalah melakukan prediksi
dan control. Para pendukung pandangan ini dapat mengatakan bahwa adekuasi suatu
teori terletak pada kekuatan prediksinya. Jika dengan menggunakan suatu teori
kita dapat membuat suatu prediksi yang akurat, maka teori kita terkukuhkan.
Tinjauan yang melihat ilmu
pengetahuan dari sudut pandang prediksi ini jelas mengandung validitas yang
tinggi. Namun demikian, perlu diingat bahwa prediksi hanyalah salah satu aspek
saja dari suatu teori. Artinya manakala da proposisi-proposisi sederhana suatu
teori kita menurunkan proposisi lain yang lebih kompleks, pada intinya apa yang
kita lakukan adalah prediksi. Dengan demikian, para ahli sebelumnya benar bahwa
teori pada hakikatnya merupakan tujuan utama ilmu pengetahuan karena semua hal
lainnya memancar dari teori.
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Simpulan
Dari uraian di atas kita
dapat diambil kesimpulan bahwa suatu ilmu pengetahuan haruslah memenuhi tiga syarat pokok yaitu:
- Suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai obyek
tertentu (khususnya obyek formal).
- Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan
metode-metode tertentu yang
sesuai. - Suatu ilmu pengetahuan harus mengggunakan
sistematika tertentu.
Disamping ketiga macam
syarat tersebut, maka dapat diajakukan syarat-syarat tambahan bagi suatu ilmu
pengetahuan ialah antara lain:
- Suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai dinamika,
artinya ilmu pengetahuan harus senantiasa tumbuh dan berkembang untuk
mencapai kesempurnaan diri.
- Suatu ilmu pengetahuan harus praktis, artinya ilmu
pengetahuan harus berguna
atau dapat dipraktekkan untuk kehidupan sehari-hari. - Suatu ilmu pengetahuan harus diabdikan untuk
kesejahteraan umat manusia.
Ukuran
kebenaran Ilmu adalah rasionalisme dan empirisme sehingga kebenaran ilmu
bersifat Rasional dan Empiris.
Fungsi
ilmu/pengetahuan ilmiah:
1. Menjelaskan
2. Meramal
3. Mengontrol
Sehingga dengan demikian, ilmu adalah kumpulan pengetahuan
secara holistik yang tersusun secara sistematis yang teruji secara rasional dan
terbukti empiris.
3.2. Saran
Dari uraian diatas kami menyarankan kepada semuanya, bahwa ilmu itu sangat
penting dalam segala hal, ilmu pengetahuan dapat menjelaskan berbagai hal dan
dapat menambah pengetahuan seseorang karena ilmu adalah pelukisan fakta-fakta pengalaman secara lengkap
dan konsisten dalam istilah-istilah yang sesederhana mungkin, pelukisan secara lengkap dan konsisten itu
melalui tahap pembentukan definisi, melakukan analisa, melakukan
pengklassifikasian dan melakukan pengujian.
DAFTAR PUSTAKA
www.google.co.id
[ Jakarta (ANTARA News), Senin, 14 November
2011 16:53 WIB ]
Supardan, Dadang. (2009). Pengantar
Ilmu Sosial. Bandung. PT Bumi Aksara.
No comments:
Post a Comment