BAB I
PENDAHULUAN
I.1.Latar Belakang
Antropologi suatu cabang ilmu sosial yang diketahui orang
banyak sebagai ilmu yang mempelajari tentang kebudayaan. Padahal antropologi
itu tidak hanya memepelajari atau membahas mengenai kebudayaan saja. Dalam
antropologi pun banyak membahas mengenai fisik, kemasyarakatan, dan tentu saja
kebudayaan. Antropologi juga merupakan salah satu cabang ilmu
sosial yang mengambil fokus pada studi tentang manusia dan perilaku
kebudayaannya. Sebagai disiplin baru yang muncul pada paruh kedua abad ke 20,
antropologi menggelar studinya untuk menguak manusia berikut periaku social
budayanya sejak awal mula muncul di muka bumi hingga pernik budaya manusia di masa
kini. Karenanya, studi-studi antropologi sangat lekat dengan kerja-kerja riset
terhadap situs-situs budaya dan penelitian berbasis riset lapang.
Antropologi memiliki
arti penting bagi para intelektual dan aktivis dalam memahami realitas sosial
kekinian dalam lanskap kebudayaan manusia. Mempelajari antropologi sama halnya
dengan mempelajari posisi diri dalam persilangan kebudayaan dan sistem nilai
yang ada disekitarnya. Dalam pemahaman inilah sebenarnya mempelajari
antropologi sama halnya menisbatkan diri menjadi seorang peneliti atas dirinya
sendiri dimana dia berpijak. Dengan demikian, menjadi seorang etnografer atau
seorang antropog sebenarnya tidak harus melalui satu fase pendidikan formal
yang ketat dan panjang. Ketika kita mengambil posisi sadar bahwa hidup adalah
menjadi seorang yang selalu sadar dan ”membaca” realitas yang ada dan kritis
dalam penelusuran atas realitas sekitar secara jeli dan kritis, maka siapapun
bisa memulai hidup sebagai seorang peneliti atau antropolog.
I.2.Perumusan Masalah
Makalah ini akan menjelaskan tentang pengertian dan ruang lingkup antropologi, pendekatan,
metode, teknik, dan ilmu bantu antropologi,Hubungan antropologi dengan
ilmu-ilmu sosial lainnya,Obyektivitas antropologi,tujuan dan kegunaan
antropologi,Sejarah perkembangan antropolog,konsep-konsep antropologi dan
generalisasi-generalisasi antropologi dan juga teori-teori antropologi.
I.3.Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk
memberikan pemahaman lebih lanjut tentang antropologi dan struktur ilmu
Antropologi, sehingga pada akhirnya pembaca dapat mengerti dan membedakan konsep-
konsep di atas dan juga untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah pengantar
ilmu sosial.
I.4.Manfaat Penulisan
Diharapkan penulisan dari makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada mahasiswa atau pembaca tentang Antropologi dan juga Struktur
ilmu antropologi.
I.5.Sistematik Penulisan
BAB II
PENDAHULUAN
II.1.Pengertian dan Ruang Lingkup Antropologi
Istilah
antopologi berasal dari bahasa Yunani dari kata antropos = manusia dan logos =
ilmu.Secara harfiah, antropologi berarti ilmu tentang manusia. Ada beberapa
ahli antropolog yang mengemukakan antropologi merupakan studi tenteng umat
manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan
perilakunya dan untuk memperoleh pengertian atau pemahaman yang lengkap tentang
keanekaragaman manusia ( haviland , 1997: 7; kontjaraningrat, 1987: 1-2).
Ilmu antropologi terbagi kedalam 5
subilmu yang mempelajari:
1. Masalah
asal dan evolusinya manusia secara biologis;
2. Perkembangan
persebaran aneka kebudayaan manusia;
3. Ciri
fisik manusia (aneka ragam)
4. Ragam
bahasa, darimana asal perkembangan dan persebaran;
5. Asas-asas
masyarakat, kebudayaan manusia seluruh dunia masa kini.
Bila
dilihat dari garis besarnya antropologi terbagi menjadi dua, yaitu antropologi
fisik dan antropologi budaya. Antropologi fisik mempelajari manusia sebagai
organisme biologis yang melacak perkembangnan manusia menurut evolusinya dan
menyelidiki variasi biologisnya. Para antropolog beranggapan bahwa umumnya
nenek moyang manusia pada dasarnya sama dengan primate oleh karena itu
keistimewaan apapun yang dianggap pada manusia mereka tetap digolongkan dalam
binatang yang menyusui atau primata. Antropologi budaya memfokuskan pada
kebudayaan manusia dan cara hidupnya dalam masyarakat. Cabang-cabang
antropologi yaitu arkeologi, antropologi linguistic, dan etnologi.
Pada
awal abad 20 Franz Boas yang disebut juga sebagai bapak antropologi, mengajukan
tinjauan kritisnya terhadap asumsi-asumsi antropologi evolusioner serta
implikasinya yang cenderung bersifat rasional, selanjutnya ia mengembangkan
aliran baru yang sering disebut Antropologi
Boas.
Saat
ini kajian antropogi budaya menekankan pada 4 aspek;
1. Pertimbangan
politik;
2. Menyangkut
hubungan kebudayaan dan kekuasaan;
3. Menyangkut
bahasa dalam antropogi budaya;
4. Prefensi
dan pemikiran individual.
Dalam
kajian antropologi budaya, kebudayaan seharusnya ditempatkan tidak hanya
sekedar menekankan pada aspek estetika atau humanis melainkan juga aspek politik.
Dalam antropologi budaya banyak berhubungan erat dengan ilmu-ilmu social
lainnya seperti sosiologi, berbeda dengan antropologi fisik yang berhubungan
dengan ilmu-ilmu biologi.
Secara keseluruhan yang termasuk
bidang-bidang khusus dalam antropologi, selain antropologi fisik dan kebudayaan
adalah antropologi fisik , antropologi
medis , antropologi pisikologis, dan antropologi sosial. Antropologi ekonomi
membahas mengenai bagaimana cara manusia mempertahankan,mengapresiasikan diri
melalui pengguanaan barang dan jasa material (Gudman , 2000 : 259 ). Ruang
lingkup antropologi ekonomi mencangkup riset-riset tentang
teknologi,produksi,perdagangan,konsumsi,serta berbagai bentuk pen gaturan
sosial dan ideologis manusia, bidang ini pun di pengaruhi cabang-cabang lain
dari ilmu ekonomi khususnya aliran mikro dan neoklasik.
Antropolgi medis merupakan subdisiplin yang sekarang ini
tumbuh pesat. Antropologi medis banyak membahas hubungan antara penyakit dan
kebudayaan yang tampak mempengaruhi evolusi manusia, begitu luasanya
ruanglingkup antropologi medis tidak mudah mendefinisikan subjek kajiannya.
Antropologi pisikologi mengkaji
tentang hubungan antara indivudu de ngan makna dan nilai dengan kebiasaan
sosial dari system budaya yang ada ( White, 2000 : 856). Fokus kajian bidang
ini terpusat pada individu dalam masyarakat. Mendekatkan hubungan pisikologi
dengan piskiatri disbanding dengan mainstream antropologi.
Antropologi sosial dikembangkan oleh
james George frazer di Amerika Serikat awal abad ke 20. Kajiannya
mendeskrifsikan proyek evolusionis yang bertujuan merekonstruksi masyarakat
primitive asli dan mencatat perkembangannya melalui berbagai tinggkat
peradaban.
II.2. Pendekatan, Metode, Teknik, dan Ilmu bantu Antropologi
Pendekatan yang digunakan dalam antropologi menggunanakan
pendekatan kuantitatif (positivstik) dan kualitatif (naturalistik). Artinya ,
dalam penelitian antropologi dapat dilakukan melalui pengkajian secara
statistik-matematis, baik dilakukan untuk mengukur pengaruh maupun korelasi
antarvariabel penelitian,maupun dilakukan secara kualitatif-naturalistik.
Selain
pendekatan positivistik dan naturalistik, menurut Kapplan dan Manners (1999: 6)
dalam antropologi pun dikenal pendekatan relativisitik
dan komparatif . pendekatan relativisitik memandang bahwa setiap
kebudayaan merupakan konfigurasi unik yang memiliki cita rasa khas,gaya,serta
kemampuan tersendiri. Keunikan itu sering dinyatakan dengan dukungan maupum
tanpa dukungan bukti serta tidak banyak upaya membalas atau menjelaskannya.
Sedangkan
kaum komparativ berpendapat bahwa suatu institusi, proses,kompleks, atau ihwal
sesuatu hal , haruslah terlebih dahuludicopot dari matriks budaya yang lebih
besar dengan cara tertentu sehingga dapat dibandingkan dengan institusi,proses,kompleks
atau ihwal-ihwal dalam konteks lain. Adanya relativitas yang ekstrem, berangkat
dari anggapan-anggapan bahwa tidak ada dua budaya pun yang sama, pola,tatanan,
dan makna akan dipaksakan jika elemen-elemen diabstraksikan demi perbandingan, oleh
karena itu, perbandingan bagian-bagian yang telah diabstraksikan dari suatu
keutuhan , tidaklah dapat dipertahankan secara analitis.
Namun,
karena pemahaman tentang ketidaksamaan itu bersumber dari perbandingan, maka
tidak dapat kita katakan bahwa pendekatan relativisik itu tidak memiliki titik
temu dengan pendekatan komparatif. Titik temu kedua pendekatan tersebut
terletak pada pasal tidak diizinkanya pemaksaan. Terutama soal-soal yang
berkaitan dengan ideologi,minat, dan tekanan yang menimbulkan keragaman
pendekatan metodologis tersebut. Sebab komparatif dan relativus sama-sama
mengetahui bahwa tidak ada dua budayapun yang sama persis. Sungguhpun demikian,
mereka berbeda satu sama lain. Perbedaan itu paling tidak dua hal penting,
yaitu walaupun para komparativis mengakui bahwa semua bagian suatu budaya
nisyaya ada unsur perbedaannya, tetapi mereka percaya dan menekankan pada unsur
persamaannya yang saling berkaitan secara fungsional, sebaliknya kaum relativis
sangat menekankan masalah-masalah perbedaan dibanding komparativis ( Kapplan
dan Manners, 1999: 6-9).
Adapun metode penelitian antropologi yang dapat digunakan
:
1.
Deskriptif
Pengolahan data menjadi suatu yang dapat di utarakan
2.
Komparatif
Menyelidiki kemungkinan adanya hubungan sebab akibat
3.
Studi
Kasus
Pemeriksaan longitudinal terhapad suatu kejadian (kasus)
4.
Etnografis
Kajian tentang kehidupan dam kebudayaan masyarakat
(etnis)
5.
Survei
Menyebarkan kuesioner atau melakukan wawancara
Menurut
Gopala (1975) sarana dalam ilmu antropologi sedikitnya ada empat macam
penelitian komparatif :
1.
Penelitian
komparatif dengan tujuan menyusun sejarah kebudayaan manusia secara
inferensial.
2.
Penelitian
komparatif untuk menggambarkan suatu proses perubahan kebudayaan
3.
Penelitian
komparatif untuk taksonomi kebudayaan
4.
Penelitian
komparatif untuk mengkaji korelasi-korelasi antarunsur, antarpranata, antar
gejala antar kebudayaaan, untuk membuat generalisasi-generalisasi mengetahui
tingkah laku manusia pada umumnya.
Klasifikasi
antropologi mencangkup lima disiplin ilmu :
1.
Paleontropologi
Merupakan
ilmu tentang asal usul terjadinya evolusi makhluk manusia dengan mempergunakan
bahan penelitian melalui sisa-sisa tubuh yang telah membatu, atau fosil-fosil
manusia zaman ke zaman yang tersimpan dalam lapisan bumi dan didapat dengan berbagai
penggalian.
2. Antropologi
Fisik
Merupakan
bagian ilmu antropologi yang mempelajari suatu pengertian tentang sejarah
terjadinya aneka warna makhluk manusia jika dipandang dari sudut ciri-ciri
tubuhnya, baik lahir (fenotipik), seperti warna kulit, warna dan bentukrambut,
indeks tengkorak, bentuk muka, warna mata, bentuk hidung, tinggi badan, dan
bentuk tubuh maupun sifat bagian dalam (genotipik), seperti golongan darah dan
sebagainya. Manusia di muka bumi ini terdapat beberapa golongon berdasarkan persamaan
mengenai beberapa ciri tubuh.
Pengelompokan seperti itu dalam ilmu antropologi disebut ras.
3. Etnolinguistik
atau Antropologi Linguistik
Suatu ilmu yang berkaitan erat dengan ilmu antropologi,
dengan berbagai metode analisis kebudayaan yang berupa daftar kata-kata,
pelukisan tentang ciri dan tata bahasa dari beratus-ratus bahasa suku bangsa
yang tersebar di berbagai tempat di muka bumi. Dari bahan ini telah berkembang
ke berbagai macam metode analisis kebudayaan, serta berbagai metode untuk
menganalisis dan mencatat bahasa-bahasa yang tidak mengenal tulisan. Semua
bahan dan metode tersebut sekarang telah terolah, juga ilmu linguistik umum.
Walaupun demikian. Ilmu etnolinguistik di berbagai pusat ilmiah di dunia masih
tetap berkaitan erat dengan ilmu antropologi, bahkan merupakan bagian dari
antropologi.
4. Prehistori
Merupakan ilmu tentang perkembangan dan penyebaran semua
kebudayaan manusia sejak sebelum manusia mengenal tulisan dan huruf. Dalam ilmu
sejarah. Seluruh waktu dari perkembangan kebudayaan umat manusia, yaitu
kira-kira 800.000 tahun yang lalu hingga sekarang, dibagi menjadi dua bagian,
yaitu masa sebelum mengenal tulisa atau huruf, dan masa setelah mengenal
tulisan atau huruf. Subilmu prehistori ini sering disebut ilmu arkeologi. Di
sini ilmu arkeologi sebenarnya adalah sejarah kebudayaan zaman prehistori.
5. Etnologi
Merupakan
bagian ilmu antropologi trntang asas-asa manusia, mempelajari
kebudayaan-kebudayaan dalam kehidupan masyarakat dari bangsa-bangsa tertentu
yang tersebar di muka bumi ini pada masa sekarang. Belakangan ini, subilmu
etnologi telah berkembang menjadi dua aliran. Aliran pertama menekankan pada
penelitian diakronik yang disebut descriptive integration. Sedangkan aliran
kedua yang menekankan penelitian sinkronik dinamakan penelititan generalizing
approach (Koentjaraningrat, 1987: 31).
Kemudian
jika ditinjau dari Ilmu Bantunya,
antropologi banyak berhubungan dengan dan menggunakan ilmu-ilmu geologi,
paleontologi, anatomi, kesehatan masyarakat, psikiatri, linguistik, arkeologi,
sejarah, geografi, ekonomi, hukum adat administrasi, dan ilmu politik
(Koentjaraningrat, 1987: 31).
Sebagai
contoh, hubungan geologi dengan antropologi karena geologi mempelajari
ciri-ciri lapisan bumi serta perubahan-perubahannya, terutama dibutuhkan oleh subilmu
paleoantropologi dan prehistori, terutama untuk menetapkan umur atau usia dari
fosil-fosil makhluk primata dan fosil-fosil manusia dari zaman ke zaman.
Begitupun tentang usia artefak-artefak dan bekas-bekas budaya yang digali dalam
lapisan bumi tersebut. Hal itu akan mudah tertolong oleh bantuan ilmu geologi
melalui metode-metode kerjanya.
Peranan
ilmu paleontologi dalam antopologi
adalah mampu memberikan gambaran untuk mebuat membuat rekonstruksi tentang
proses evolusi bentuk-bentuk makhluk dari dahulu sampai sekarang. Kemudian
peranan ilmu anatomi dalam antropologi adalah untuk pemahaman tentang ciri-ciri
dari berbagai kerangka manusia, berbagai bagian tengkorak, dan ciri-ciri bagian
tubuh lainnya menjadi objek penelitian ini, khususnya bagi antropologi fisik.
Peranan
ilmu kesehatan masyarakat dalam
antropologi adalah memberikan pemahaman tentang sikap penduduk yang ditelitimya
temtamg kesehatan, temtamg sakit, pengobatam tradisional, terhadap
pantangan-pantangan kebiasaandan makanan, dan sebagainya. Peranan ilmu
psikiatri dalam antropologimerupakan suatu pengulasandari hubungan antara ilmu
antropologi dan psikologi yang kemudian mendapat fungsi praktis setelah meahami
tingkah laku manusia dengan segala latar belakang dan proses-proses mentalnya.
Begitupun peranan ilmu linguistik dalam antropologi memiliki konstribusi besar
dalam mengembangkan konsep dan metode-metode untuk mengupas segala macam bentuk
bahasa dan asalnya. Jadi, dapat dicapai suatu pengertian tentang ciri-ciri
dasar dari tiap bahasa di dunia secara cepat dan mudah dipahami
(Koentjaraningrat 1987: 33).
Peranan
ilmu sejarah dalam antropologi
memiliki arti penting dalam memberi gambaran latar belakang tentang kehidupan
masa lampau sebagaimana dilukiskan dalam berbagai peninggalan, seperti prasasti,
dokumen, naskah tradisional, arsip kuno, dan sebagainya. Para antropolog
memerlukan sejarah, terutama sejarah dari suku-suku bangsa yang ditelitinya.
Selain itu, untuk memecahkan persoalan-persoalan akulturasi dan difusi yang
bersifat eksternal.
Sedangkan
peranan geografi dalam antropologi adalah memberikan deskripsi tentang bumi
serat ciri-ciri iklim dan lingkungan fisik dan kebudayaan masyarakatnya. Ilmu
ekonomi dalam peranannya terhadap antropologi adalah memberikan gambaran
aktivitas kehidupan ekonomi yang sangat dipengaruhi sistem kemasyarakatan
sebagai bahan komparatif tentang berbagai hal, misalnya sikap kerja terhadap
kekayaan, system gotong royong, kebiasaan menghadapi musim paceklik, dan
sebagainya. Begitu pun peranan ilmu hukum adat bagi antropologi, dapat
memberikan jawaban tentang masalah-masalah hidup yang bersifat perdata, sosial
kontrol, dan pengendalian sosial lainnyayang menggambarkan keteraturan hidup
masyarakat yang ditelitinya. Bagi ilmi politik, peranannya dalam antropologi adalah untuk memahami
kekuatan, wewenang, distribusi serta proses-proses politik dalam segala macam
sistem pemerintahan mereka.
Jika ditelaah dari macam-macam
penelitiannya, dalam antropologi dikenal beberapa bentuk penelitian, seperti :
(1) penelitian descriptive integration, (2) penelitian generalizing approach,
dan (3) penelitian komparatif. Untuk penelitian komparatif ini menurut Gopala
Sarana (1975) dalam antropologi terrbagi menjadi 4 macam, yaitu (a) penelitian
komparatif dengan tujuan menyusun sejarah kebudayaan manusia secara
inferensial, (b) penelitian komparatif untuk menggambarkan suatu proses
perubahan kebudayaan,(c) penelitian komparatif untuk taksonomi kebudayaan, dan
(d) penelitian komparatif untuk menguji korelasi-korelasi antarunsur, antarpranata,
dan antar gejala kebudayaan untuk membuat generalisasi-generalisasi mengenai
tingkah laku manusia pada umumnya.
II.3. Hubungan Antropologi dengan Ilmu-Ilmu Sosial lainnya
1. Ilmu
Antropologi dengan Sejarah
Antropologi pada
prinsipnya adalah ilmu sejarah juga.Sejarah menyumbang bahan yang berupa fakta
dan data masa lampau yang dapat di jadikan sebagai pola ulang dalam menentukan
proyeksi masa depan. Sejarah itu dibutuhkan oleh ilmuan tropologi untuk
mengetahui hal penting yang telah
lampau, sebelum masyarakat itu mendapat pengaruh kebudayaan dari luar.
Sejarah dan
antropologi merupakan satu kesatuan yang mana antropologi adalah ilmu yang
mempelajari manusia dengan kebudayaan. Sedangkan sejarah sudah termasuk di
dalamnya.
2. Ilmu Antropologi dengan Ilmu Sosiologi
Sosiologi
membantu ilmu antropologi dalam mempelajari susunan kemasyarakatan, latar
belakang, serta kebudayaan manusia dan pola kehidupan manusia. Sehingga dengan
adanya sosiologi dapat mempermudah kita dalam mengkaji ilmu antropologi.
3. Ilmu
Antropologi dengan Ilmu Psikologi
Antropologi
dapat juga dikatakan sebagai ilmu yang menyelidiki tingkahlaku manusia
yang terpolakan. Sedangkan
psikologi mempelajari dan menyelidiki
pengalaman dan tingkah laku individu manusia yang dipengaruhi oleh
situasi-situasi sosial.
Sebagaimana yang diketahui antropologi mempelajari tentang manusia dan psikologi menyelidiki
pengalaman dan tingkah laku manusia. Walaupun psikologi mempunyai tujuan yang
khusus, dalampenyelidikan psikologi itu banyak gunanya bagi antropologi,
terutama mengenaisoal kepribadian dan kebudayaan yang dewasa ini sudah mulai
merupakan satu sub disiplin tersendiri dalam antropologi budaya. Dari kerjasama
antara antropologi dengan psikoloogi, kita dapat mempunyai gambaran yang jelas
tentang motivasi yang terdapat di belakang tingkahlaku manusia.
4. IlmuAntropologi dengan ilmu geografi
Geografi atau ilmu bumi, mencoba mencapai pengertian tentang
alam dinia ini dengan gambaran-gambaran tentang dan ciri-ciri dari segala bentuk
kehidupan yang ada di bumi, seperti flora dan fauna.Salah satunya adalah mahluk
manusia yang juga beranekaragam rupa dan sifatnya.Karena antropologi adalah
satu-satunya ilmu yang mampu menyelami masalah keanekaragaman manusia, tentu
geografi tidakdapat mengabaikan antropologi. Sebaliknya,
seorang ahli antropologi juga memerlukan pengertian tentang geografi. Karena
banyak masalah manusia yang berkaitandengan keadaan lingkungan alamnya.
5. Ilmu Antropologi dengan Ilmu Ekonomi
Ilmu
antropologi dengan ilmu ekonomi saling
berkaitan dan saling mempengaruhi. Dalam banyak Negara dimana pendududuk
pedesaan nya lebih besar dari pada pendududk kotanya, kekuatan, proses dan
hukum-hukum ekonomi yang berlaku dalam kegiatan kehidupan ekonominya sangat di
pengaruh ioleh system kemasyarakatan, caraberfikir, pandangan, serta sikap
hidup warga masyarakat pedesaan tadi. Dalam masyarakat negara-negara seperti
itu, seorang ahli ekonomi yang akan membangun ekonomi di Negara tersebut, ia
tentu memerlukan bahan yang komparatif mengenai sikap terhadap kerja, kekayaan,
maupun system gotong-royong, yakni semua bahan komparatif tentang berbagai
unsure dari system kemasyarakatan di negara-negaratersebut. Dalam mengumpulkan
bahanitu, antropologi memang sangat berguna.
6. Ilmu Antropologi dengan Ilmu Politik
Antropologi
menyumbang pengertian dan teori tentang kedudukan serta peranan-peranan dan
satuan-satuan sosial budaya yang lebih kecil dan sederhana.Hasil penyelidikan
antropologi yang menyangkut aspek cultural termasuk dalam gagasan dan lembaga
politik yang dapat menjelaskan mengenai pertumbuhan dan perkembangan politik.
Dalam mempelajari suatu masyarakat, yang dilakukan untuk menulis suatu
deskripsi etnografi, seorang ahli antropologi secara langsung akan berhadapan
dengan kekuatan-kekuatan dan proses-proses politiklokal, maupun dengan
aktivitas-aktivitas dan cabang-cabang politik nasional. Untuk menganalisa
gejala-gejala itu perlu mengetahui konsep-konsep dan teori-teori ilmu politik
II.4. Obyektivitas Antropologi
Masalah lama dalam ilmu-ilmu sosial yang belum terpecahkan sampai
sekarang adalah mengenai
kesenjangan peneliti. Sebab bagaimana mungkin dapat diharapkan tercapainya ilmu
pengetahuan yang objektif mengenai fenomena sosio-kultural bila praktisi ilmu
sosial adalah sekaligus sebagai ideologinya? Barangkali soal inilah yang paling
sulit dan jadi kendala, terutama dalam antropologi karena dalam cara
pengumpulan data dasarnya yang rumit dalam persoalan tersebut. Secara
tradisional menurut David Kapplan dan Albert A. Manners, antropologi
berkecimpung selama satu tahun atau lebih dalam kancah suatu budaya yang
eksotik yang dipelajarinya, mengamati lembaga-lembaga, pranata, dan cara hidup
(Kapplan dan Manners, 1999: 32). Selanjutnya Kapplan dan Manners mengemukakan
sebagai berikut.
Hal itu berbeda dengan laporan Oscar Lewis yang sama
mempelajari Tepoztlan kira-kira 20 tahun setelah Redfield, mengemukakan
masyarakat Tepoztlan sebagai komunitas yang ditandai dengan perbedaan tajam
dalam hal kekayaan dan tercabik-cabik oleh konflik antarpribadi yang tinggi.
Dapatlah dikatakan bahwa perbedaan kedua antropolog itu minimal terdapat dua
kemungkinan,yaitu :
1. Terjadi karena memang adanya
perubahan selama kurun waktu 20 tahun. Jika memang hanya karena perubahan
selama 20 tahun, barangkali tidak mengancam objektivitas antropologi.
2. Mereka memperoleh hasil yang berbeda
karena ditentukan oleh bagaimanakah cara mereka memperoleh laporan, dimana
kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, agama, dan ideologi ikut serta
mempengaruhi penilaian baik dan buruk terhadap sesuatu yang dikajinya.
Untuk itu, menurut Kapplan dan Manners (1999: 32) semua ilmu
sosial dan bukan hanya antropologi mengalami bias. Keliru jika kita bermaksud
mendapatkan objektivitas dalam pemikiran dan sikap antropolog selaku individu.
Bukan di sana kita harus mencarinya, melainkan seperti ditulis oleh Karl
Popper, objektivitas harus dicari dalam institusi dan tradisi kriritk suatu
disiplin (Popper, 1964: 155-159). Hanya dengan saling menerima dan memberi
kritik terbuka serta saling mempengaruhi antara bermacam-macam bias kita dapat
berharap akan munculnya suatu yang mendekati objektivitas. Dengan kata lain,
objektivitas hakiki sesuatu disiplin ilmu diupayakan dan ditingkatkan secara
kumulatif dari masa ke masa. Catatan Redfielddan Lewis telah merangsang suatu
pertukaran kritik dan ulasan yang didasarkan pada perbandingan antara kedua
catatan itu dengan catatan-catatan mengenai komunitas petani lain, khususnya di
Meksiko (Lewis, 1961: 174-184). Dari situ penulis yakin telah dihasilkan potret
yang mendekati objektif mengenai kehidupan petani.
Jika semua orang termasuk antropolog memandang dunia melalui
layar penyaring yang terbentuk dari nilai-nilai bias (tidak objektif) dari
sudut pandang individual, apakah ilmu-ilmu sosial lainnya pun bebas nilai?
Cukup banyak ilmuwan sosial yang menyangkal adanya kemungkinan tersebut. Karena
semua pengetahuan mengenai fenomena sosiokultural niscaya memantulkan
kesenjangan (bias ataupun subjektif) perseorangan. Maka pencarian objektivitas
dan netralitas adalah angan-angan belaka yang tidak pernah trlaksana.
Salah satu kelemahan pendapat semacam itu adalah kaum
antropolog berusaha menempatkan objektivitas itu dalam pemikiran dan sikap para
peneliti. Padahal, tempat yang layak untuk mencari objektivitas adalah dalam
tradisi kritik suatu disiplin. Sikap relavistik sepeti itu masih memiliki
kelemahan lain, yaitu di sana tidak dibedakan antara apa yang oleh filsuf ilmu
disebut sebagai konteks penemuan
dengan konteks justifikasi (Kapplan
dan Manners, 1999: 33). Kesenjangan dan nilai individual memiliki peran dalam
konteks penemuan, tetapi keduanya tidak serta-merta dan tidak boleh memiliki
peran penting dalam konteks justifikasi. Seperti yang Kapplan(1964: 232)
kemukakan berikut.
. . .sementara pertanyaan tentang
sumber suatu pengetahuan ilmiah dapat menjelaskan motivasi seorang ilmuwan
dalam menyatakan gagasan tertentu, pernyataan tersebut tidak memiliki relevansi
logis dengan suatu penilaian kritis tentang kesahihan atau validitas gagasan
itu.
Selanjutnya Kapplan mengemukakan lebih jauh seperti beberapa
kritikus tergoda untuk mengesampingkan rumusan Marx dengan alasan karena Marx
seorang yahudi dan kurdistan. Alasan semacam itu jelas merupakan sesuatu yang
tidak logis dan perlu diabaikan. Sebaliknya, gagasan dan teori-teori Marx akan
tetap berdiri tegap maupun runtuh sesuai dengan kandungan kemampuan logis dan
kebenaran gagasan keilmuan itu sendiri. Apapun yang menjadi sumber gagasan atau
teori seseorang, jika kita tidak mau mengakui bahwa ada standar yang bersifat nonpersonal
untuk menilai bukti dan argumentasinya maka antropologi dan mungkin seluruh
ilmu sosial akan menjadi tidak lebih dari himpunan ideologi belaka (Kapplan dan
Manners, 1999: 34).
II.5.Tujuan dan
Kegunaan Antropologi
Kerja lapangan dalam antropologi, selama ini merupakan karya penyelamatan, di
samping sebagai upaya yang bersumber pada keprihatinan politis juga merupakan
tindakan yang didorong oleh minat pada suatu persoalan tertentu. Setiap
antropolog yang memulai penelitian lapangan perdananya, pada umumnya mencari
suatu bangsa atau kelompok yang belum pernah diteliti. Tujuannya adalah untuk
memperluas arena perbandingan disamping untuk merekam berbagai budaya sebelum
budaya-budaya itu lenyap. Mungkin jika antropologi mengikuti kebijaksanaan
pengkajian ulang secara lebih sistematis, khususnya dengan penelitian yang
berbeda-beda untuk objek yang sama, akumulasinya dapat individual yang kemudian
akan cenderung saling meredam subjektivitas sehingga membuahkan pemahaman yang
lebih mendekati objektivitas sebagai sesuatu kajian yang diangankan.
Antropologi merupakan studi tentang umat manusia dan
tidak hanya sebagai disiplin ilmu yang bersifat akademis tetapi juga merupakan
suatu cara hidup yang berusaha menyampaikan kepada para siswa apa yang telah
diketahui orang. Oleh karena itu, kerja lapangan dalam antropologi
sungguh-sungguh merupakan suatu inisiasi karena menimbulkan suatu transformasi.
Begitu pun dengan pengalaman karena memberi kemungkinan-kemungkinan untuk
pengungkapan diri (self expression) dan cara hidup baru yang menuntut
suatu penyesuaian baru kepada segala sesuatu.
Antropologi melalui pendekatan dan metode ilmiah berusaha menyusun sejumlah
generalisasi yang bermakna tentang manusia dan perilakunya dan untuk mendapat
pengertian yang tidak apriori serta prejudice tentang keanekaragaman
manusia. Kedua bidang besar dari antropologi adalah antropologi fisik dan
budaya. Antropologi fisik memusatkan perhatiannya pada manusia sebagai
organisme biologis yang tekanannya pada upaya melacak evolusi perkembangan
manusia dan mempelajari variasi-variasi biologis dalam species manusia.
Sedangkan antropologi budaya berusaha mempelajari manusia berdasarkan
kebudayaannya. Di mana kebudayaan dapat merupakan peraturan-peraturan
atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Di antara ilmu-ilmu sosial dan alamiah, antropologi memiliki kedudukan, tujuan
, dan manfaat yang unik karena bertujuan dan bermanfaat dalam merumuskan
penjelasan-penjelasan tentang perilaku manusia yang didasarkan pada studi atas
semua aspek biologis manusia dan perilakunya di semua masyarakat.
Selain itu, antropologi bermaksud mempelajari umat manusia secara objektif
paling tidak mendekati objektif dan sistematis. Seorang antropologi dituntut
harus mampu menggunakan metode-metode yang mungkin juga diguanakan oleh para
ilmuwan lain dengan mengembangkan hipotesis atau penjelasan yang dianggap benar
menggunakan data lain untuk mengujinya, dan akhirnya menemukan suatu teori,
yaitu suatu sistem hipotesis yang telah teruji. Sedangkan data yang digunakan
ahli antropologi dapat berupa data dari suatu masyarakat atau studi komparatif
di antara sejumlah besar masyarakat.
II.6. Sejarah Perkembangan Antropologi
Fase pertama , Pada awal
abad ke-16,suku-suu bangsa penduduk pribumi Afrika,Asia dan Amerika mulai didatangi oleh orang-orang
Erop Barat.Kira-ira 4 abad lamannya berbagai daerah di muka bumi terpengaruh
oleh negara-negara Eropa Barat.Dengan perkembangan itu suatu himpunan dari
buku-buku kisah perjalanan.Dalam buku-buku itu termuat suatu himpunan dari
pengatahuan berupa deskrips tentang adat istiadat,bahasa dan ciri-ciri fisik
dari beraneka negara seperti di
Afrika,Asia,Bangsa Indian dn penduduk
pribumi Amerika .
Deskripsi
tersebut menarik perhatian orang-orang Eropa Barat karena adat istiadat
,susunan masyarakat,bahasa dan ciri-cirinya berbeda dengan mereka.Bahan
pengetahuan tersebut disebut etnografi.Desripsi etnografi tersebut biasanya
seringkali bersifat kabur dan orang Eropa Barat kebanyakan hanya memperhatian
hal yang tampak aneh saja.Bahan etnografi tadi amat menarik perhatian kalangan
pelajar di Eropa Barat pada abad ke-18,maka timbul 3 macam sikap bertentangan terhadap bangsa-bangsa di
Afrika,Asia,Oceania dan orang-orang di India di Amerika :
1. Sebagian
orang Eropa memandang sifat keburukan ,dan mengatakkan bahwa bangsa itu bukan
manusia sebenarnya (bahwa manusia liar,turunan iblis,dsb) maka timbul istilah
seperti savages,primitives,dll.
2. Sebagian
orang Eropa memandang sifat baik ,dan mengatakan bahwa masyarakat bangsa itu
adalah contoh masyarakat yang masih murni,belum kemasukan keburukan/kejahatan
seperti di dalam masyarakat bangsa Eropa.
3. Sebagian
orang Eropa tertarik akan adat istiadat yang aneh ,dan mulai mengumpulkan
benda-benda kebudayaan dari suku-suku bangsa tadi.Dan kumpulan-kumpulan
tersebut dihimpun menjadi satu,sehingga
dapat dilihat oleh umum.
Fase
Kedua , pertengahan Abad ke-19 ,Integrasi
yang sungguh-sungguh baru timbul.Secara
singkat ,Masyarakat dan kebudayaann manusia telah berevolusi sangat lambat
dalam jangka waktu beribu-ribu tahun.Masayarakat dan kebudayaan diluar
Eropa yang disebut primitif dianggap
sebagai contoh-contoh dari tingkat kebudayaab yabg lebih rendah ,yang masih
hidup sampai sekarang sebagai sisa-sisa dari kebudayaan manusia zaman
dahulu.Dengan timbulnya bebrapa karangan sekitar tahun 1860 ,yang
mengklasifikasikan bahan tentang beraneka ragam kebudayaan diseluruh dunia
kedalam tingkat-tingkat evolusi tertentu maka timbullah ilmu
Antropologi.Kemudian timbul beberapa karangan yang hendak meneliti sejarah
penyebaran kebudayaan bangsa-bangsa dimuka bumi.Disini pun kebudayaan
bangsa-bangsa diluar Eropa itu dianggap contoh dari kebudayaan manusia yang
kuno,sehingga dengan meneliti kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa dapat
menambah pengetahuannya tentang sejarah penyebaran kebudayaan manusia.Dalam
fase kedua ini ilmu antropologi berupa suatu ilmu yang akademikal dengan tujuan
,mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk mendapat
suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah
penyebaran kebudayaan manusia.
Fase
Ketiga , Permulaan Abad ke-20 sebagian dari
negara penajah di Eropa masing-masing berhasil mencapai kemantapan kekuasaannya
di daerah-daerah jajahan di luar Eropa.Untuk keperluan pemarintahan jajahannya
ilmu antropologi sangat penting bagi bangsa Eropa karena pada umumnya
bangsa-bangsa di luar Eropa masih mempunyai masyarakat yang belum
kompleks.Suatu pengertian tentang masyarakat yang belum kompleks akan menambah
juga pengertian orang tentang masyarakat
yang kompleks.Fase Ketiga ini ilmu antropologi menjadi suatu ilmu yang
praktis dengan tujuan ,mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa
di luar Eropa guna kepentingan pemerintahan kolonial dan guna mendapat suatu
pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks.
Fase
Keempat , kira-kira pada tahun 1930 ilmu
antropologi mengalami masa perkembangannya yang paling luas,baik mengenai
bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh teliti,maupun mengenai ketajaman dari
metode-metode ilmiahnya,kecuali bila ada 2 perubahan didunia ;
1. Timbulnya
antipati terhadap kolonialisme sesudah perang dunia II.
2. Cepat
hilangnya bangsa-bangsa primitif (dalam arti bangsa-bangsa asli dan terpencil
dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika)
Proses
tersebut menyebabkan bahwa ilmu antropologi seolah-olah kehilangan lapangan
,dan terdorong untuk mengembangkan lapangan-lapangan penelitian dengan pokok
tujuan yang baru.Pokok atau sasaran dari penelitian para ahli antropologi sudah
sejak 50 tahun yang lalu memang tidak lagi hanya suku-suku bangsa primitif
yangdi luar Eropa saja ,melainkan sudah beralih kepada manusia di daerah
pedesaan Eropa(seperti suku-suku bangsa Soami, Albania, Irlandia, penduduk
Pegunungan Sierra, dll).Fase keempat ini ilmu antropologi yang baru dalam fase
perkembangannya terbagi 2 tujuan;
1. Tujuan
Akademikal ,mencapai pengertian tentang makhluk
manusia pada umumnya dengan mempelajari anekawarna bentuk fisiknya,
masyarakat, serta kebudayaannya.
2. tujuan
Praktis ,mempelajari manusia dalam anekawarna masyarakatsuku-bangsa guna
membangun masyarakat suku-bangsa tsb.
II.7. Konsep-Konsep Antropologi
Penggunaan konsep dalam antropologi adalah penting karena
pengembangan konsep yang terdefinisikan dengan baik merupakan tujuan setiap
disiplin ilmu. Tapi untuk menyamakan persepsi tidak mudah, seperti menurut
Keesing (1958: 152) yang mengemukakan bahwa tidak ada dua ahli antropologi yang
berpikirnya sama persis, atau menggunakan dengan tepat pengoperasian
konsep-konsep atau simbol-simbol yang sama.
Konsep kebudayaan yang paling umum dapat dibagi menjadi,
1.
Kelompok
kebudayaan sebagai keseluruhan kompleks kehidupan manusia.
2.
Kelompok
kebudayaan sebagai warisan sosial atau tradisi.
3.
Kelompok
bkebudayaan sebagai cara dan aturan termasuk cita-cita , nialai-nilai, dan
kelakuan.
4.
Kelompok
kebudayaan sebagai keterkaitan dalam proses-proses psikologis.
5.
Kebudayaan
sebagai struktur atau poloa-pola organisasi kebudayaan.
6.
Kelompok
kebudayaan sebagai hasil perbuatan atau kecerdasan manusia.
7.
Kelompok
kebudayaan sebagai system symbol.
Adapun yang merupakan contoh konsep-konsep antropologi, diantaranya:
1. Kebudayaan
Istilah culture (kebudayaan) berasal dari bahasa Latin,
yakni cultura dari kata dasar colere yang berarti berkembang tumbuh. Namun,
secara umum pengertian kebudayaan mengacu pada kumpulan pengetahuan yang secara
sosial diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Para antropolog kemudian memberikan definisi yang beragam mengenai
kebudayaan yang dapat menimbulkan kemerosotan efektivitas disiplin ilmu.
Selanjutnya,Keesing mengidentifikasi
ada empat pendekatan terakhir terhadap masalah kebudayaan :
a.
Memandang
kebudayaan sebagai system adaptif dari keyakinan perilaku yang fungsi primernya
adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosial.
b.
Memandang
bahwa kebudayaan sebagai system kognitif yang tersusun dari apapun yang
diketahui dalam berpikir menurut cara tertentu dan dapat diterima bagi warga
kebudayaanya.
c.
Memandang
kebudayaan sebagai system struktur dari symbol-simbol yang dimiliki bersama dan
memiliki analogi dengan struktur pemikiran manusia.
Memandang
kebudayaan sebagai suatu system symbol yang terdiri atas symbol-simbol dan
makna-makna yang dimiliki bersama, dapat diidentifikasi, dan bersifat publik
2. Evolusi
Secara sederhana, konsep evolusi
mengacu pada sebuah transformasi yang berlangsung secara bertahap (McHenry,
2000:453). Dalam pandangan antropolog, istilah evolusi yang merupakan gagasan
bahwa bentuk-bentuk kehidupan berkembang dari suatu bentuk ke bentuk lain
melalui mata rantai transformasi dan modifikasi yang tidak pernah putus, pada
umunya diterma sebagai awal landasan berpikir mereka.
3. Daerah
Budaya (Culture Area)
Suatu daerah budaya (culture area)
adalah suatu daerah goegrafis yang memiliki sejumlah cirri-ciri budaya dan
kompleksitas lain yang dimilikinya (Banks,1977:274)
4.
Enkulturasi
Konsep enkulturasi mengacu kepada
suatu proses pembelajaran kebudayaan (Soekanto, 1993:167). Dengan demikian,
pada hakikatnya setiap orang sejak kecil sampai tua, melakukan proses
enkulturasi, mengingat manusia sebagia mahluk yang dianugerahi kemampuan untuk
berpikir dan bernalar sangat memungkinkan untuk setiap waktu meningkatkan
kemampuan kognitif, afektif dan psikomotoriknya
5. Difusi
Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur
kebudayaan secara meluas sehingga melewati batas tempat di mana kebudayaan itu
timbul (Soekanto,1993:150). Dalam proses difusi ini erat kaitanya dengan konsep
inovasi (pembaharuan).
Menurut Everett M. Rogers dalam
karyanya Diffusion of Innovation (1993), cepat tidaknya suatu proses difusi
erat hubunganya dengan empat elemen pokok, yaitu (a) sifat inovasi; (b)
komunikasi dengan saluran tertentu; (c) waktu yang tersedia; (d) system sosial
warga masyarakat
6. Akulturasi
Akulturasi adalah proses pertukaran
ataupun saling mempengaruhi dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sifatnya
sehingga unsure-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diakomodasikan dan
diintegrasikan ka dalam kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadianya
itu sendiri (Koentjaraningrat,1990:91)
7. Etnoentrisme
Etnosentrisme adalah cara pandang
bahwa tiap-tiap kelompok cenderung untuk berpikir bahwa kebudayaan dirinya itu
adalah superior (lebih baik dan lebih segalanya) daripada semua budaya yang
lain. Oleh karena itu, Jandt dalam penjelasanya mengemukakan bahwa etnosntrisme
merupakan penghambat ketiga dalam keterampilan komunikasi intercultural setelah
kecemasan dan mengumpamakan persamaan sabagai perbedaan
8. Tradisi
Tradisi adalah suatu pola perilaku atau kepercayaan yang telah menjadi bagian
dari suatu budaya yang telah lama dikenal sehingga menjadi adat istiadat dan
kepercayaan yang cecara turun-temurun (Soekanto,1993:520). Para siswa perlu
mempelajari tradisi sebab tidak sedikit dalam kajian tradisi mengandung
nilai-nilai keluhuran budi yang tinggi dan sering tidak tersntuh oleh agama
maupun budaya global. Namun sebaliknya juga, tadisi tidak selalu berpihak
kepada nilai kebaikan bahkan bertentangan dengan nilai hak asasi menusia secara
universal.
9. Ras dan
Etnik
Suatu ras adalah sekelompok orang yang memiliki sejumlah cirri biologi (fisik)
tertentu atau suatu populasi yang memiliki suatu kesamaan dalam sejumlah unsure
biologis atau fisik khas yang disebabkan oleh factor hereditas atau keturunan
(Oliver,1964:153). Sedangkan etnik sendiri lebih menekankan sebagai kelompok
sosial bagian dari ras yang memiliki cirri-ciri budaya yang sifatnya unik
(Marger,1985:7)
10. Stereotip
(Stereotype)
Stereotip adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu stereos yang
berarti solid dan tupos yang berarti citra dan kesan. Stereotip mulanya adalah
suatu rencana cetakan yang begitu begitu terbentuk sulit diubah.
11. Kekerabatan
(Kinship)
Istilah kekerabatan atau kinship menurut antropolog Robin Fox, merupakan konsep
inti dalam antropologi. Konsep kekerabatan tersebut merupujuk kepada tipologi
klasifikasi kerabat (kin) menurut penduduk tertentu berdasarkan aturan-aturan
keturunan (descent)dan aturan-aturan perkawinan.
12. Magis
Konsep magis menurut seorang pendiri
antropologi di Inggris E.B. Taylor, merupakan ilmu pseudo dan salah satu
khayalan yang paling merusak yang pernah menggerogoti umat manusia. Anggapan
bahwa magis merupakan sesuatu yang “di luar akal sehat”, hal ini mendapat
tantangan dari beberapa antropolog, mereka melihat itu sebagai penyakit ilmuwan
atau arogansi yang bersifat etnosentis dari kalangan akademisi Barat
(Willis,2000:601).
13. Tabu
Istilah tabu berasal dari bahasa Polinesia yang berarti terlarang. Secara
spesifik, apa yang dikatakan terlarang adalah persentuhan antara hal-hal
duniawi dan hal yang keramat, termasuk yang suci (misalny, persentuhan dengan
ketua suku) dan yang cemar (mayat). Ditinjau dari aspek historisnya, beberapa
antropolog (Douglas,1996; Chesterfield,1957; Turner,1969) menjelaskan latar
belakang lahirnya tabu sebagai berikut. Dalam kehidupan sehari-hari, kita
sering melihat berbagai keganjilan dan anomali. Untuk mengatasi keganjilan dan
anomaly itu terdapat tiga kemungkinan berikut.
a. Ditindas dan dibasmi
b. Anomaly dianggap sesuatu yang jahat
dan camar
c. Anomaly diterima sebagai mediator
antara yang suci dan yang cemar atau antara alam dan budaya.
14. Perkawinan
Agak sulit untuk mendefinisikan perkawinan, karena setiap
istilah perkawinan tersebut memiliki banyak bentuk yang dipengaruhi oleh system
nilai budaya masing-masing. Namun, secara umum konsep perkawinan tersebut
mengacu kepada proses formal pemaduan hubungan dua individu yang berbeda jenis
(walaupun kaum lesbi pun terjadi, namun itu bagian kasus) yang dilakukan secara
serimonia-simbolis dan makin dikarakterisasi oleh adanya kesederajatan,
kerukunan, dan kebersamaan dalam memulai hidup baru dalam hidup berpasangan.
II.8. Generalisasi- Generalisasi Antropologi
1.
Kebudayaan
Dalam
mengapresiasi budaya bangsa, setiap kebudayaan di samping memiliki kelemahan
juga memiliki keunggulan. Oleh karena itu, tidak aka nada suatu bentuk
kebudayaan yang sempurna
2.
Evolusi
Evolusi
tidak terbatas pada bidang biologi saja, melainkan meluas pada bidang sosial
dan kebudayaan. Dalam bidang sosial kita mengenal evolusi universal dari
Herbert Spencer, dalam bidang keluarga dikenal evolusi keluarga J.J. Bachoven,
dalam bidan agama dan kepercayaan dikenal evolusi animism, religi, da magis
dari E.B. taylor dan J.G. Frazer, dalam bidang kebudayaan dikenal evolusi
kebudayaan dari E.b. taylor dan L.h. Morgan, serta dalam sosiokultural dikenal
evolusi sosiokultural dari Sahlins dan Harris (Sanderson,1995:63).
3.
Culture Area
Pertumbuhan
kebudayaan menyebabkan timbulnya unsur-unsur baru yang akan mendesak unsure-unsur
budaya lama kea rah pinggir, sekeliling daerah pusat pertumbuhan budaya itu.
Oleh karena itu, jika hendak mencari atau meneliti unsure-unsur budaya kuno
maka tempat untuk mendapatkanya adalah di daerah-derah pinggirran sebagai
culture areanya (Koentjaraningrat,1987:128).
4.
Enkulturasi
Pada
hakikatnya, proses enkulturasi (proses mempelajari kebudayaan) seseorang
terhadap budaya orang lain itu diperlukan, guna menumbuhkakembangkan sikap
toleransi dan saling menghargai kebudayaan yang beragam dalam suatu pendidikan
multicultural maupun pendidikan global
5.
Difusi
Orang
dapat saja beranggapan bahwa dengan meluasnya unsure-unsur budaya megalith
Mesir kuno, yang berada di kawasan Afrika, Laut Tengah, Mesopotamia, India,
Indonesia, Polinesia, sampai ke amerika, kemudian menyimpulkan bahwa telah
terjadi proses difusi budaya heliolitic (Koentjaraningrat,1987:120).
6.
Akulturasi
Dalam
proses akulturasi, biasanya budaya overt atau lahiriah jauh lebih mudah
berkembang disbanding budaya covert atau tersembunyi (Linton,1984:458).
7.
Etnosentrisme
Pada
hakikatnya, setiap bangsa memiliki etnosentrisme atau penilaian yang baik
terhadap sikap-sikap dan pola kebudayaan kelompoknya sendiri, hanya
intensitasnyalah yang berbeda-beda, ada yang hanya sedikit dan ada pula yang
sangat etnosentris. Suatu bangsa, semakin tnggi etnosentrismenya, akan semakin
memperbanyak saingan dan lawan dalam kehidupan di dunia internasional.
8.
Tradisi
Bagi
pendukung antropologi aliran fungsiolnalisme, tradisi pada hakekatnya adalah
aktivitas kebudayaan yang bermaksud untuk memuskan suatu rangkaian dari
sejumlah kebutuhan naluri mahkluk manusia yang berhubungan dengan seluruh
kehidupan.
9.
Ras dan Etnik
Ras
merupakan suatu konsep biologi yang valid. Tidak hanya sekedar menggambarkan
morfologinya, yakni struktur fisik yang dapat diamati, melainkan juga komposisi
genetic sub-sub bagian spesies itu, seperti gen untuk golongan darah dan untuk
protein-protein spesifik. Sedangkan konsep etnik lebih merujuk kepada
kesatuan-kesatuan sosial dalam system sosial atau kebudayaan yang memiliki arti
atau kebudayaan tertentu karena keturunan, adat, agam, bahasa, dan sebagainya.
Dalam kaitanya dengan kapabilitas tiap ras dan etnis, tidak ada didunia ini
yang menjadi ras dan etis yang superior atau inferior.
10.
Stereotip
Berkembangnya
prasangka dan stereotip antar etnik yang terjadi di Indonesia merupakan salah
satu factor penyebab hambatan dalam mewujudkan multikulturalisme bangsa
Indonesia, pada giliranya akan memperlemah rasa persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia.
11.
Kekerabatan
Ikatan
ibu dan anak dapat diamati dan dinilai secara universal, tetapi peran ayah
maupun ibu dalam masyarakat tradisional sangatlah bervariasi. Oleh karena itu,
system kekerabatan pada masyarakat tradisional tidak dapat digeneralisir secara
universal.
12.
Magis
Magis
memang kejam, jahat, dan mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, tetapi perkembangan magis yang pernah mengalami masa-masa jaya
pada masa kehidupan primitive di setiap masyarakat, tidak dapat dipandang
sebagai masa lampau yang “hitam” dan penghalang segi-segi keagamaan. Sebab masa
primitive pun merupakan bagian penggambaran tahapan perkembangan umat manusia
secara keseluruhan (Pals.2001:61).
13.
Tabu
Pada
setiap tatanan masyarakat tradisional, tabu selalu ada.Dalam pandangan kaum
fungsionalis,tabu pun memiliki nilai-nilai kegunaan yang perlu dijaga oleh
masyarakatny dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya
(Koentjaraningrat,1987:171).
14.
Perkawinan
Pada semua masyarakat, untuk mengatur proses pemilihan pasangan dan perkawinan
memiliki norma atau peraturan yang begitu kompleks. Upacara perkawinan
merupakan suatu ritual perpindahan bagi setiap pasangan. Seorang pemuda dan
pemudi dewasa secara ritual memasuki kedudukan kedewasaan dengan hak-hak dan
kewajiban baru. Ia pun menandakan adanya persetujuan masyarakat atas ikatan itu
(Goode,2002:64).
II.9. Teori-Teori Antropologi
Sejumlah besar antropolog sampai Malinowski menyatakan bahwa
hendaknya tujuan yang dijangkau oleh etnografi adalah menyingkap hal-hal yang
harus diketahui seseorang agar mampu mengenal dan menjelajahi seluk beluk suatu
budaya tertentu. Jika kita ingin menghasilkan catatan yang mengemukakan
bagaimana budaya itu menurut penglihatan seorang warganya, kita harus berupaya
membuat catatan sesuai dengan konsep-konsep, kategori, dan tafsir warga budaya
itu sendiri. Tetapi jiika memandang penjelasan etnografis sebagai bagian dari
suatu bangunan teori yang menjelaskan cara pembentukan, pelestarian dan
perubahan budaya maka kita tidak akan puas dengan pandangan dari dalam mengenai
sistem tersebut.
Pihak-pihak yang tidak setuju jika antropologi dipandang
sebagai ilmu agaknya berpandangan terlalu sempit mengenai ilmu tersebut.
Pandangan yang nyaris merangkum seluruh jiwa dan upaya ilmiah adalah yang
melihat ilmu pengetahuan sebagai metode intelektual atau dalam ungkapan Ernes
Nagel (1959) seperangkat litany logika untuk menguji klaim atas pengetahuan.
Begitu pula dalam kata-kata Karl Popper (1962) yang cukup tepat, sains adalah
suatu proses menebak dan membuktikan kesalahan tebakan. Artinya, dalam ilmu
mangajukan tebakan-tebakan berani mengenai keadaan dunia, kemudian berusaha
membuktikan kesalahan tebakan-tebakan itu.
Sejauh Antropologi ingin benar-benar memahami pola-pola umum
dan regularitas fenomena kebudayaan, tidak ada alasan untuk menyangkal
statusnya sebagai ilmu. Menurut pandangan, ilmu-ilmu sosial bersifat ideografis
(partikularistik) dan tidak bersifat nomotetis (menggeneralisasi). Bagi
pendukung gagasan itu, sasaran ilmu social bukanlah perumusan system penjelasan
umum, melainkan lebih cenderung pada pengorganisasian dan presentasi data
dengan cara tertentu, menjadikan data itu dapat dipahami melalui suatu proses
pemahaman dan empati individual yang menurut Dilthey dan Weber disebut verstehen
(Kapplan dan Manners, 1999:35).
Proses empati atau verstehen tersebut dapat menghasilkan konsep dan
hipotesis, kendati verstehen seseorang dapat berbeda dengan yang lain.
Keuntungan heuristik dan keterbatasan praktis penggunaan pemahaman empatik (verstehen)
itu sebagai teknik penelitian ilmu social telah diringkas secara cermat dan
meyakinkan oleh Charles Frankel. Ilmu tidak serta-merta merupakan metode untuk
menghasilkan teori. Karena teori merupakan tindak kreatif yang lahir dari
pikiran yang menggenggam informasi dan berdisiplin. Ilmu hanyalah suatu metode,
suatu cara intelektual untuk memperkecil kekeliruan. Pada hakikatnya pemahaman
dan kemungkinan dipahami adalah proses psikologis berbeda-beda antara seseorang
dengan orang lain. Sesuatu yang sedang dan harus kita lakukan dalam antropologi
adalah pengetahuan yang terbuka untuk umum dan andal mengenai hal-ihwan sosiokultural.
Ada perbedaan hakiki yang dapat
membantu menjelaskan sifat teori antropologi yang serba relatif. Perbedaan itu
pula yang mendorong antropologi kurang memiliki kesejatian ilmu dalam
terminology ahli logika. Menurut Kapplan dan Manners (1999:37), perbedaannya
itu mencakup historisitas atau kesejarahan, sistem terbuka, isu-isu sosial, dan
ideologi.
Historisitas
atau kesejarahan dalam ilmu-ilmu alam teori-teorinya bersifat statis dan
universal, sedangkan dalam antropoligi bersifat dinamis dan kontelektual.
Sistem
terbuka maksudnya dalam kajian antropologi banyak variable-variabel yang tidak
dapat dikontrol. Denga tidak terkontrolnya variabel-variabel tersebut maka
variabelnya jauh lebih banyak probalistiknya dan terbuka.
Isu-isu
sosial maksudnya bahwa dalam kajian antropologi sangat peka terhadap isu-isu
sosial pada jamannya, bahkan kerap kali merasa bahwa justru itu adalah tugasnya
untuk memecahkan masalah tersebut.
Ideologi bahwa dalam antropologi sering dipengaruhi oleh
faktor-faktor ekstra ilmiah, misalnya implikasi moral atau yang dianggap
sebagai implikasi moral dari sesuatu teori. Sering terjadi teori-teori
antropologi yang ditolak, penyebabnya semata-mata karena dianggap
“deterministik” maupun “merendahkan martabat manusia” dan lain sebagainya.
1. Teori
Orientasi Nilai Budaya dari Kluckhohn
Menutut teori ini, hal-hal yang paling tinggi nilainya dalam
tiap kebudayaan hidup manusia yaitu ada 5 hal yang disebut value orientations
atau orientasi nilai budaya :
a. Human
nature atau makna hidup manusia
Kebudayaan
menganggap bahwa hidup itu adalah sumber keprihatinan dan penderitaan maka
kemungkinan variasi konsepsi orientasi nilai budayanya dirumuskan dengan kata evil.
Sebaliknya dalam banyak kebudayaan yang menganggap hidup itu adalah sumber
kesenangan dan keindahan, dirumuskan dengan kata good.
b. Man nature
atau makna dari hubungan manusia dengan alam sekitar
Kebudayaan yang mengkonsepsikan alam
sedemikian dahsat dan sempurna sehingga manusia sepatutnya tunduk saja
kepadanya. Namun terdapat kebudayaan yang mengajarkan kepada warganya sejak
dini, walaupun alam bersifat ganas. Nalar manusia harus mampu menjajaki
rahasia-rahasia untuk menaklukan dan memanfaatkan guna memenuhi kebutuhan.
c. Time,
yaitu persepsi manusia mengenai waktu
Kebudayaan yang mementingkan masa
sekarang, sementara banyak pula yang berorientasi ke masa depan. Kemungkinan
besar untuk tipe pertama adalah pemborosan, sedangkan untuk tipe kedua adalah
manusia yang hemat.
d. Activity,
yaitu masalah makna dari pekerjaan, karya, dan amal dari perbuatan manusia
Kebudayaan menganggap bahwa manusia
bekerja untuk mencari makan, selain untuk bereproduksi, dengan rumus being,
lalu kebudayaan menganggap bahwa hidup itu lebih luas daripada bekerja, seperti
menolong orang lain, dikelompokan dalam kata doing
e. Relational,
yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia
Kebudayaan sejak awal untuk hidup
bergotong-royong serta menghargai terhadap perilaku pemuka-pemukanya sebagai
acuhan kebudayaan sendiri. Sebaliknya banyak kebudayaan yang menekankan hak
individu untuk mandiri maka orientasinya adalah mementingkan mutu dari
karyanya, bukan atas senioritas kedudukan, pangkat, maupun status sosialnya.
2. Teori
Evolusi Sosiokultural Paralel-Konvergen-Divergen Sahlins dan Harris
Evolusi menyangkut suatu pembentangan atau perkembangan,
dimana sistem sosiokultural mulai menyadari kemungkinan potensial yang sejak
awal melekat didalam dirinya. Ini menyiratkan bahwa evolusi adalah gerakan ke
arah tujuan akhir, bahwa berbagai masyarakat berkembang dengan cara yang sama
sehingga embrio yang matang menjadi organisme yang sehat yang hidup di luar
tubuh induknya.
Menurut
dua antropolog yakni Marshall Sahlins (1960) dan Marvin Harris (1968) bahwa:
a. Evolusi sosiokultural meluputi
seluruh sistem sosiokultural maupun komponen-komponen yang terpisah dari sistem
tersebut. Biasanya terjadinya perubahan berawal dari suatu komponen atau
subkomponen yang menimbulkan perubahan-perubahan pada komponen yang lain.
b. Evolusi sosiokultural bukanlah
proses tunggal, unitary terjadi dengan cara yang sama pada seluruh masyarakat.
Sebagaimana evolusi biologis, evolusi sosiokultural memiliki karakter ganda.
Pada satu sisi ia merupakan proses yang meliputi transformasi menyeluruh pada
masyarakat manusia. Namun disisi lain evolusi sosiokultural memperlihatkan
diversifikasi adaptif yang mengikuti bayak garis yang berbedabeda dalam banyak
masyarakat.
c. Pembedaan tersebut dapat dirinci
sebagai evolusi parallel, evolusi konvergen, dan evolusi evolution.
d. Evolusi parallel merupakan evolusi
yang terjadi dalam dua atau lebih sosiobudaya atau masyarakat yang berkembang
dengan cara yang sama dan dengan tingkat yang pada dasarnya sama.
e. Evolusi konvergen terjadi ketika
berbagai masyarakat yang semula berbeda perkembangannya, namun akhirnya
mengikuti pola yang serupa kemajuannya.
f.
Evolusi
divergen terjadi ketika berbagai masyarakat yang semula mengikuti banyak
persamaan yang serupa, namun akhirnya mencapai tingkat perkembangan yang jauh
berbeda.
3. Teori
Evolusi Kebudayaan Lewis H. Morgan
Delapan tahap tentang evolusi kebudayaan secara universal
dalam karya berjudul Ancient Society (1987) adalah :
a.
Zaman
Liar Tua, merupakan zaman sejak adanya manusia sampai menemukan api, kemudian
manusia menemukan kepandaian meramu dan mencari akar-akar tumbuhan liar.
b.
Zaman
Liar Madya, merupakan zaman dimana manusia menemukan senjata busur dan panah.
Pada zaman ini pula manusia mulai mengubah mata pencahariannya dari meramu
menjadi pencari ikan di sungai-sungai sebagai pemburu.
c.
Zaman
Liar Muda, zaman ini manusia dari persenjataan busur dan panah sampai
mendapatkan barang-barang tembikar, namun kehidupannya masih berburu.
d.
Zaman
bar-bar tua, zaman ini sejak pandai membuat tembikar sampai mulai beternak
maupun bercocok tanam.
e.
Zaman
Barbar Madya, yaitu zaman sejak manusia beternak dan bercocok tanam sampai
kepandaian membuat alat-alat logam sampai mengenal tulisan.
f.
Zaman
Barbar Muda, yaitu zaman sejak manusia memiliki kepandaian membuat alat-alat
dari logam sampai mengenal tulisan.
g.
Zaman
Peradaban Purba, menghasilkan beberapa peradaban klasik zaman batu dan logam.
h.
Zaman
Peradaban Masa Kini, sejak zaman peradaban tua atau klasik sampai sekarang.
4. Teori
Evolusi Animisme dan Magic dari Taylor dan Frazer
Karya yang banyak berhubungan dengan teori agama, magis, dan
sihir, yang secara garis besar inti teorinya sebagai berikut :
a.
Animisme
adalah suatu kepercayaan pada kekuatan pribadi yang hidup dibalik semua benda.
Animis merupakan pemikiran yang sangat tua dari seluruh agama.
b.
Asal
mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa, disebabkan dua hal :
·
Perbedaan
yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan mati.
·
Peristiwa
mimpi dimana ia melihat dirinya ditempat yang lain yang menyebabkan manusia
membedakan antara tubuh jasmani dan rohani atau jiwa.
c.
Manusia
memecahkan beberapa persoalan hidupnya selalu dengan akal dan sistem
pengetahuannya. Tetapi kemampuan akal dan sistem pengetahuan manusia terbatas,
maka ia pun menggunakan magis atau ilmu gaib.
d.
Ilmu
gaib semula hanya untuk mengatasi pemecahan masalah hidup manusia yang berada
di luar kemampuan akan dan sistem pengetahuannya, saat itu agama belum ada.
e.
Karena
penggunaan magic tidak selalu berhasil maka mulailah ia yakin bahwa alam
semesta dihuni oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa daripada manusia.
Dari anggapan ini manusia berusaha menjalin hubungan dengan makluk halus dan
timbullah agama.
f.
Agama
dan magic berbeda. Agama sebagai cara mengambil hati untuk menenangkan
kekuatan yang melebihi kekuatan manusia yang menurut kepercayaan membimbing dan
mengendalikan nasib kehidupan manusia. Sedangkan magic sebagai usaha
untuk memanipulasikan hukum-hukum alam tertentu yang dipahami, semacam ilmu
pengetahuan semu.
g.
Prinsip
utama dari magic yaitu :
·
Like
produce like (persamaan menimbulkan persamaan) atau magic simpatetis.
·
Prinsip
magic senggol (contagious magic), yaitu benda atau manusia yang
pernah saling berhubungan, sesungguhnya dapat saling mempengaruhi, kendatipun
hanya seutas rambut, kuku, gigi, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Makalahnya bagus sekali om. Sangat bermanfaat...
ReplyDeletejangan lupa kunjungi web makalah lengkap www.makalah-kita.blogspot.co.id
lucu ya dalam pandangan antropolog bahwa agama datangnya dari suatu perioderisasi kebudayaan manusia... hehee
ReplyDeletebtw makalah yang bagus...