9/11/2015

Sejarah Korupsi di Indonesia


BABII
PEMBAHASAN

1.1 Korupsi Dalam Dimensi Sejarah Indonesia (bagian pertama)

Di tahun 1799 asosiasi dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) diplesetkan menjadi Verhaan Onder Corruptie, runtuh lantaran korupsi.Catatan sejarah memang menunjukkan bahwa pada paruh kedua abad 18 VOC digerogoti oleh korupsi yang akut. Pada tanggal 12 Desember 1642 Gubernur Jendral Antonio Van Diemen bahkan menyurati Heeren XVII tentang parahnya korupsi yang terjadi di tubuh VOC. Berbagai upaya ubtuk memberantas korupsi di dalam tubuh asosiasi dagang ini tak berhasil. Sehingga tak jarang dikatakan bahwa korupsi saat itu sudah menjadi suatu kenyataan hidup.
Pasal utama penyebab korupsi ini adalah kecilnya gaji yang diterima oleh para pegawai VOC. Sementara gaji pegawai rendahan VOC, yang hanya berkisar antara 16 gulden hingga 24 gulden per bulan, tak sesuai dengan gaya hidup di Batavia pada saat itu. Para pegawai setingkat juru tulis rata-rata menerima gaji 24 Gulden setiap bulan, sementara seorang Gubernur Jendral menerima 600 hingga 700 Gulden setiap bulan. Para pejabat VOC, mulai dari Gubernur Jendral hingga juru tulis, banyak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Bahkan dalam banyak kasus ditemukan jabatan-jabatan khusus yang berhubungan dengan perdagangan diperjualbelikan dan diberikan kepada orang yang memberikan penawaran tertinggi.
Sudah barang tentu sebagai sebuah perusahaan dagang VOC melarang para pegawainya terlibat dalam perdagangan. Akan tetapi dengan alasan gaji yang kecil, pada saat itu taklah heran jika dijumpai para pejabat VOC yang melakukan kerjasama dagang dengan para pedagang Portugis, India, atau Perancis. Bahkan praktek tersebut mungkin dikerjakan sebagai prioritas ketimbang kerja untuk VOC sendiri. Tak jarang merea memanfaatkan kapal VOC untuk mengangkut barang yang bukan diperuntukkan bagi VOC sendiri. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan di London pada tahun 1743, A Description of Holland, or the Present State of the United Provinces,” dilaporkan banyak kapal VOC yang karam akibat kelebihan muatan.
Persoalan korupsi ini tidak berarti tuntas tatkala VOC digantikan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Sistem birokrasi Hindia Belanda yang mengenal dua sistem, Bestuurs Beambten (BB) dan Pangreh Praja, memicu tindakan korupsi dalam bentuk yang lain. Pada masa Tanam Paksa, 1830-1870, penduduk pribumi diwajibkan untuk menanam beberapa jenis tanaman yang laku di pasar-pasar Eropa. Menurut peraturan petani diharuskan untuk menanami 1/3 bagian dari tanahnya bagi tanaman wajib tersebut. Umumnya tanaman tersebut berusia tahunan seperti kopi, teh, atau nila. Berdasarkan peraturan harus mengubah 1/3 bagian dari sawah-sawah produktif mereka guna tanaman tersebut dan meluangkan 1/3 waktu mereka untuk menagawasi tanaman tersebut.
Akan tetapi dalam prakteknya kepala desa, demang, wedana, atau bupati yang bertanggung jawab atas tanam paksa tersebut justru memaksa para petani untuk menanami 2/3 bagian dari tanahnya untuk tanaman wajib. Keuntungan yang didapat sudah barang tentu masuk dalam kantung pribadi para pejabat tersebut. Sementara itu residen-resinden dan pengawas (controluer) Hindia Belanda mendiamkan saja praktek tersebut karena mendapat bagian yang tidak sedikit. Taklah heran bila pada masa Tanam Paksa wabah penyakit dan kelaparan melanda penduduk pedesaan, terutama di Pulau Jawa, karena di dalam prakteknya mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengawasi tanaman tahunan yang diwajibkan dan tak memiliki waktu lagi untuk sawah-sawah mereka. Belum lagi 1/3 bagian yang dapat mereka tanami untuk padi, tak mencukupi kebutuhan keluarga mereka dalam setahun.
Situasi tersebut tidak berubah banyak meskipun sistem Tanam Paksa dihapuskan pada tahun 1870 dan diganti oleh sistem perekonomian liberal, dimana perusahaan-perusahaan swasta diizinkan untuk membuka perkebunan-perkebunan dalam skala besar. Perubahan ini juga menandai diterapkanya sistem kerja upahan.
Modal asing semakin deras masuk ke Hindia Belanda, yang bukannya memberikan kebaikan, tetapi justru semakin memperburuk kondisi kehidupan masyarakat. Para pemilik modal, selain bisa memiliki tanah, juga dapat menyewa dari penduduk setempat atau pemerintah. Sawahsawah desa yang bersifat komunal mulai banyak disewakan para kepala desa dimana mereka mendapat premi tertentu, sementara peduduknya menjadi kuli secara massal. Petani telah menjadi budak di lahannya sendiri.
Meskipun industri Gula semakin berkembang, kehidupan kaum buruh dan tani yang menggerakkan produksi tebu dan pabrik gula kian lama kian terpuruk. Kehidupan kaum buruh dan petani yang buruk itu tak ada satupun mendapat pembelaan dari aparat birokrasi pemerintah, yang seharusnya memeberikan perlindungan. Para kepala desa sudah sepenuhnya menjadi alat perusahaan perkebunan tebu dengan berbagai suap yang mereka terima. Pemberontakanpemberontakan kecil petani tebu mulai muncul, dengan membakar area perkebunan tebu.
Di sisi yang lain persoalan klasik yang ada pada masa-masa sebelumnya tetap dijumpai. Gaji yang diterima oleh para pangreh praja, terutama pangreh praja rendahan seperti wedana, camatcamat dan mantri, tetaplah kecil. Keuntungan besar yang didapat pemerintah Hindia Belanda dari sewa-menyewa lahan perkebunan dan pajak yang mereka peroleh dari penguaha-pengusaha perkebunan tak digunakan untuk mensejahterakan aparat birokrasi pada level menengah ke bawah. Sementara sebagai bagian dari pemerintahan Hindia Belanda dan sistem birokrasi tradisional, para pangreh praja ini harus memelihara gaya hidup sebagai priyayi. Diduga mereka menerima segala macam upeti dari rakyat untuk membiayai hidup mereka.
Para patih dan bupati, meskipun gaji yang mereka terima lebih tinggi, juga banyak menerima upeti yang tidak resmi dari rakyat. Selain itu mereka pun masih memelihara kewajiban kerja bakti bagi para kawula yang berada dibawah kekuasaan mereka. Kewajiban-kewajiban tidak resmi ini baru dihapuskan sama sekali oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1890. Peristiwa antara Bupati Lebak dan Multatuli mungkin salah satu contoh yang menarik tentang penindasan dan tindak korupsi yang dilakukan oleh pangreh praja Hindia Belanda.
Dengan diperluasnya pemungutan pajak oleh Belanda atas tanah dan hasilnya, pejabat pribumi setingkat kepala desa dan pembantunya memanfaatkan kesempatan dari peluang baru tersebut untuk mengambil keuntungan yang besar. Di Jawa, Bekel (petugas pemungut pajak) menaikkan 20 kali lipat apa yang mereka bayar kepada atasan mereka.

1.2 Korupsi Dalam Dimensi Sejarah Indonesia (bagian kedua)

Dalam catatan banyak ahli sejarah, periode pendudukan Jepang dipercaya sebagai masa merajalelanya korupsi. Pemerintah pendudukan Jepang memberlakukan Indonesia sebagai arena perang, dimana segala sumber alam dan manusia harus dipergunakan untuk kepentingan perang bala tentara Dai Nippon. Bahkan akibat langkanya minyak tanah, yang diprioritaskan bagi kepentingan bala tentara Jepang, rakyat diwajibkan untuk menanam pohon jarak, yang akan diambil bijinya sebagai alat penerangan. Sangat sulit untuk mendapatkan beras atau pakaian pada saat itu.
Namun kesulitan tersebut “agak tertolong” jika ada yang mau berkolaborasi dengan pemerintah pendudukan Jepang. Jika ada yang mau menjadi corong kampanye Jepang, salah satunya adalah kampanye gerakan tiga A, maka kesulitan untuk mendapat pakaian atau bahan makanan sedikit teratasi.
Selepas revolusi kemerdekaan tahun 1945-1949, negara Indonesia yang baru lahir lebih banyak disibukkan dengan persoalan penataan sistem politik. Persoalan ekonomi menjadi nomor dua. Melalui kesepakatan yang diperoleh pada Perjanjian Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 secara resmi kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda, kendati sebagian besar sektor perekonomian masih dikuasai oleh Belanda.
Pada tahun 1951 desakan untuk melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda, dan perusahaan Barat lainnya, semakin kuat. Akhirnya di tahun 1958 ini pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 86/1958 tentang kebijakan nasionalisasi perusahaanperusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, terutama pada sektor perkebunan, minyak dan gas bumi, serta pertambangan. Undang-undang tersebut berlaku surut hingga Desember 1957, dan pada prakteknya bukan hanya diterapkan pada perusahaan-perusahaan Belanda saja, namun juga pada perusahaan-perusahaan Barat lainnya.  
Sebelum adanya undang-undang nasionalisasi tersebut, dengan alasan untuk memberikan proteksi kepada pengusaha-pengusaha pribumi, pemerintah Indonesia menerapkan suatu kebijakan yang diberi nama Politik Benteng. Berdasarkan kebijakan ini pengusaha-pengusaha pribumi diberikan bantuan kredit dan fasilitas, salah satunya adalah lisensi untuk mengimpor barang. Laba yang diperoleh oleh para pengusaha pribumi tersebut, dari penjualan barang impor di dalam negeri, diharapkan dapat menjadi modal untuk melakukan ekspansi usaha.
Namun pada akhirnya Politik Benteng ini tidak melahirkan pengusaha pribumi yang tangguh. Yang muncul justru praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Pengusaha-pengusaha yang mendapatkan lisensi tersebut hanyalah pengusaha-pengusaha yang dekat dengan pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik yang dominan. Pengusaha-pengusaha pribumi “dadakan” tersebut sama sekali tidak memiliki bekal kemampuan usaha yang memadai. Akhirnya mereka hanya “menyewaka” lisensi yang mereka punyai tersebut kepada pengusaha-pengusaha swasta lainnya, yang umumnya berasal dari pengusaha keturunan Cina.  Praktek kongkalingkong ini lah yang melahirkan istilah Ali-Baba. Si Ali yang memiliki lisensi dan di Baba yang memiliki uang untuk modal kerja lisensi tersebut.
Upaya untuk melakukan rasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, dan Barat lainnya, justru melahirkan persoalan baru. Sebelum UU tersebut diberlakukan pada tahun 1958, pihak militer, terutama Angkatan Darat (AD), telah melakukan aksi sepihak dan merebut perusahaanperusahaan aing tersebut. Pada tanggal 13 Desember 1957 Mayor Jenderal A.H. Nasution (KSAD pada saat itu)  mengeluarkan larangan pengambilalihan perusahaan Belanda tanpa sepengetahuan militer dan menempatkan perusahaan-perusahaan yang diambil alih tersebut dibawah pengawsan militer.
Dapat dikatakan hingga tahun 1958 perusahaan-perusahaan yang diambil alih tersebut berada sepenuhnya dibawah pengwasan militer. Merekalah yang pada akhirnya memiliki wewenang untuk memberikan hak pengelolaan kepada pihak lain. Praktek ini lagi-lagi menimbulkan bentuk KKN baru dan praktek Ali-Baba, karena pengusaha-pengusaha swasta yang mendapatkan hak pengelolaan tersebut adalah pengusaha-pengusaha yang telah lama dekat dengan pihak militer.
Demokrasi terpimpin yang kemudian dijalankan oleh Soekarno pun gagal untuk mengatasi disintegrasi administrasi kenegaraan. Perekonomian tetap tergantung pada birokrasi partai-partai politik dan militer. Aparat negara tak bekerja dengan baik dan korupsi semakin merajalela. Jaringan komunikasi dan transportasi tak berjalan dengan baik, dan upaya pemerintah untuk mendapat pemasukan dari pajak tak berhasil.  
Akan tetapi unsur militer, terutama angkatan darat, mampu untuk bertahan dan menghidupi diri mereka sendiri melalui sumber-sumber perekonomian yang mereka kuasai. Namun banyak pula sumber perekonomian tersebut menjadi sarang praktek kolusi dan korupsi serta menguntungkan beberapa gelintir petinggi militer. Hal ini banyak melahirkan ketidakpuasan di kalangan militer, terutama kelompok perwira muda yang lebih berorientasi nasional.
Gerakan 30 September 1965 yang sering didengungkan oleh rezim Soeharto sebagai upaya kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebenarnya lebih merupakan suatu gerakan pembersihan yang coba dilakukan oleh kelompok perwira muda terhadap beberapa petinggi militer, yang mereka cap lebih dekat dengan Barat dan banyak melakukan penyimpangan. Rezim Orde Baru yang mengambil alih kekuasaan pada tahun 1965 percaya bahwa persoalanpersoalan yang muncul di masa Orde Lama dapat diselesaikan dengan melakukan “pembangunan” terutama di sektor ekonomi. Oleh karenanya Soeharto mulai melirik dan mengundang kembali investasi asing, yang tidak menyukai Orde Lama. Oleh karenanya pertumbuhan ekonomilah yang menjadi target utama rezim Orde Baru. Persoalan kebocoran atau korupsi menjadi persoalan nomor dua. Bagi rezim Orde Baru yang terpenting adalah kemajuan dan pertumbuhan ekonomi serta tetap melakukan kontrol terhadap kekuasaan politik, sehingga mereka dapat menjalankan program pembangunan tersebut.   

1.3  Korupsi Dalam Dimensi Sejarah Indonesia (bagian ketiga)

Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.
Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.
Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi – memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.
Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar “mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korupsi.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
Hal menarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah “beban” kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.
Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh “Belanda Item” (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.
Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.

No comments:

Post a Comment