BABII
PEMBAHASAN
1.1 Korupsi Dalam Dimensi Sejarah Indonesia (bagian pertama)
Di tahun 1799 asosiasi dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)
diplesetkan menjadi Verhaan Onder Corruptie, runtuh lantaran korupsi.Catatan
sejarah memang menunjukkan bahwa pada paruh kedua abad 18 VOC digerogoti oleh
korupsi yang akut. Pada tanggal 12 Desember 1642 Gubernur Jendral Antonio Van
Diemen bahkan menyurati Heeren XVII tentang parahnya korupsi yang terjadi di
tubuh VOC. Berbagai upaya ubtuk memberantas korupsi di dalam tubuh asosiasi
dagang ini tak berhasil. Sehingga tak jarang dikatakan bahwa korupsi saat itu
sudah menjadi suatu kenyataan hidup.
Pasal
utama penyebab korupsi ini adalah kecilnya gaji yang diterima oleh para pegawai
VOC. Sementara gaji pegawai rendahan VOC, yang hanya berkisar antara 16 gulden
hingga 24 gulden per bulan, tak sesuai dengan gaya hidup di Batavia pada saat
itu. Para pegawai setingkat juru tulis rata-rata menerima gaji 24 Gulden setiap
bulan, sementara seorang Gubernur Jendral menerima 600 hingga 700 Gulden setiap
bulan. Para pejabat VOC, mulai dari Gubernur Jendral hingga juru tulis, banyak
memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Bahkan dalam banyak kasus
ditemukan jabatan-jabatan khusus yang berhubungan dengan perdagangan
diperjualbelikan dan diberikan kepada orang yang memberikan penawaran
tertinggi.
Sudah
barang tentu sebagai sebuah perusahaan dagang VOC melarang para pegawainya
terlibat dalam perdagangan. Akan tetapi dengan alasan gaji yang kecil, pada
saat itu taklah heran jika dijumpai para pejabat VOC yang melakukan kerjasama
dagang dengan para pedagang Portugis, India, atau Perancis. Bahkan praktek
tersebut mungkin dikerjakan sebagai prioritas ketimbang kerja untuk VOC
sendiri. Tak jarang merea memanfaatkan kapal VOC untuk mengangkut barang yang
bukan diperuntukkan bagi VOC sendiri. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan di
London pada tahun 1743, “A Description of Holland, or the
Present State of the United Provinces,” dilaporkan banyak kapal VOC
yang karam akibat kelebihan muatan.
Persoalan
korupsi ini tidak berarti tuntas tatkala VOC digantikan oleh pemerintahan
Hindia Belanda. Sistem birokrasi Hindia Belanda yang mengenal dua sistem,
Bestuurs Beambten (BB) dan Pangreh Praja, memicu tindakan korupsi dalam bentuk
yang lain. Pada masa Tanam Paksa, 1830-1870, penduduk pribumi diwajibkan untuk
menanam beberapa jenis tanaman yang laku di pasar-pasar Eropa. Menurut
peraturan petani diharuskan untuk menanami 1/3 bagian dari tanahnya bagi
tanaman wajib tersebut. Umumnya tanaman tersebut berusia tahunan seperti kopi,
teh, atau nila. Berdasarkan peraturan harus mengubah 1/3 bagian dari
sawah-sawah produktif mereka guna tanaman tersebut dan meluangkan 1/3 waktu
mereka untuk menagawasi tanaman tersebut.
Akan
tetapi dalam prakteknya kepala desa, demang, wedana, atau bupati yang
bertanggung jawab atas tanam paksa tersebut justru memaksa para petani untuk
menanami 2/3 bagian dari tanahnya untuk tanaman wajib. Keuntungan yang didapat
sudah barang tentu masuk dalam kantung pribadi para pejabat tersebut. Sementara
itu residen-resinden dan pengawas (controluer) Hindia Belanda mendiamkan saja
praktek tersebut karena mendapat bagian yang tidak sedikit. Taklah heran bila
pada masa Tanam Paksa wabah penyakit dan kelaparan melanda penduduk pedesaan,
terutama di Pulau Jawa, karena di dalam prakteknya mereka lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk mengawasi tanaman tahunan yang diwajibkan dan tak
memiliki waktu lagi untuk sawah-sawah mereka. Belum lagi 1/3 bagian yang dapat
mereka tanami untuk padi, tak mencukupi kebutuhan keluarga mereka dalam
setahun.
Situasi
tersebut tidak berubah banyak meskipun sistem Tanam Paksa dihapuskan pada tahun
1870 dan diganti oleh sistem perekonomian liberal, dimana perusahaan-perusahaan
swasta diizinkan untuk membuka perkebunan-perkebunan dalam skala besar.
Perubahan ini juga menandai diterapkanya sistem kerja upahan.
Modal
asing semakin deras masuk ke Hindia Belanda, yang bukannya memberikan kebaikan,
tetapi justru semakin memperburuk kondisi kehidupan masyarakat. Para pemilik
modal, selain bisa memiliki tanah, juga dapat menyewa dari penduduk setempat
atau pemerintah. Sawahsawah desa yang bersifat komunal mulai banyak disewakan
para kepala desa dimana mereka mendapat premi tertentu, sementara peduduknya
menjadi kuli secara massal. Petani telah menjadi budak di lahannya sendiri.
Meskipun
industri Gula semakin berkembang, kehidupan kaum buruh dan tani yang
menggerakkan produksi tebu dan pabrik gula kian lama kian terpuruk. Kehidupan
kaum buruh dan petani yang buruk itu tak ada satupun mendapat pembelaan dari
aparat birokrasi pemerintah, yang seharusnya memeberikan perlindungan. Para
kepala desa sudah sepenuhnya menjadi alat perusahaan perkebunan tebu dengan
berbagai suap yang mereka terima. Pemberontakanpemberontakan kecil petani tebu
mulai muncul, dengan membakar area perkebunan tebu.
Di sisi
yang lain persoalan klasik yang ada pada masa-masa sebelumnya tetap dijumpai.
Gaji yang diterima oleh para pangreh praja, terutama pangreh praja rendahan
seperti wedana, camatcamat dan mantri, tetaplah kecil. Keuntungan besar yang
didapat pemerintah Hindia Belanda dari sewa-menyewa lahan perkebunan dan pajak
yang mereka peroleh dari penguaha-pengusaha perkebunan tak digunakan untuk
mensejahterakan aparat birokrasi pada level menengah ke bawah. Sementara
sebagai bagian dari pemerintahan Hindia Belanda dan sistem birokrasi
tradisional, para pangreh praja ini harus memelihara gaya hidup sebagai
priyayi. Diduga mereka menerima segala macam upeti dari rakyat untuk membiayai
hidup mereka.
Para
patih dan bupati, meskipun gaji yang mereka terima lebih tinggi, juga banyak
menerima upeti yang tidak resmi dari rakyat. Selain itu mereka pun masih
memelihara kewajiban kerja bakti bagi para kawula yang berada dibawah kekuasaan
mereka. Kewajiban-kewajiban tidak resmi ini baru dihapuskan sama sekali oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1890. Peristiwa antara Bupati Lebak dan
Multatuli mungkin salah satu contoh yang menarik tentang penindasan dan tindak
korupsi yang dilakukan oleh pangreh praja Hindia Belanda.
Dengan
diperluasnya pemungutan pajak oleh Belanda atas tanah dan hasilnya, pejabat
pribumi setingkat kepala desa dan pembantunya memanfaatkan kesempatan dari
peluang baru tersebut untuk mengambil keuntungan yang besar. Di Jawa, Bekel
(petugas pemungut pajak) menaikkan 20 kali lipat apa yang mereka bayar kepada
atasan mereka.
1.2 Korupsi Dalam
Dimensi Sejarah Indonesia (bagian kedua)
Dalam
catatan banyak ahli sejarah, periode pendudukan Jepang dipercaya sebagai masa
merajalelanya korupsi. Pemerintah pendudukan Jepang memberlakukan Indonesia
sebagai arena perang, dimana segala sumber alam dan manusia harus dipergunakan
untuk kepentingan perang bala tentara Dai Nippon. Bahkan akibat langkanya
minyak tanah, yang diprioritaskan bagi kepentingan bala tentara Jepang, rakyat
diwajibkan untuk menanam pohon jarak, yang akan diambil bijinya sebagai alat
penerangan. Sangat sulit untuk mendapatkan beras atau pakaian pada saat itu.
Namun
kesulitan tersebut “agak tertolong” jika ada yang mau berkolaborasi
dengan pemerintah pendudukan Jepang. Jika ada yang mau menjadi corong kampanye
Jepang, salah satunya adalah kampanye gerakan tiga A, maka kesulitan untuk
mendapat pakaian atau bahan makanan sedikit teratasi.
Selepas
revolusi kemerdekaan tahun 1945-1949, negara Indonesia yang baru lahir lebih
banyak disibukkan dengan persoalan penataan sistem politik. Persoalan ekonomi
menjadi nomor dua. Melalui kesepakatan yang diperoleh pada Perjanjian Meja
Bundar (KMB) pada tahun 1949 secara resmi kemerdekaan Indonesia diakui oleh
Belanda, kendati sebagian besar sektor perekonomian masih dikuasai oleh
Belanda.
Pada tahun
1951 desakan untuk melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan
Belanda, dan perusahaan Barat lainnya, semakin kuat. Akhirnya di tahun 1958 ini
pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 86/1958 tentang kebijakan
nasionalisasi perusahaanperusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, terutama
pada sektor perkebunan, minyak dan gas bumi, serta pertambangan. Undang-undang
tersebut berlaku surut hingga Desember 1957, dan pada prakteknya bukan hanya
diterapkan pada perusahaan-perusahaan Belanda saja, namun juga pada
perusahaan-perusahaan Barat lainnya.
Sebelum
adanya undang-undang nasionalisasi tersebut, dengan alasan untuk memberikan
proteksi kepada pengusaha-pengusaha pribumi, pemerintah Indonesia menerapkan
suatu kebijakan yang diberi nama Politik Benteng. Berdasarkan kebijakan ini
pengusaha-pengusaha pribumi diberikan bantuan kredit dan fasilitas, salah
satunya adalah lisensi untuk mengimpor barang. Laba yang diperoleh oleh para
pengusaha pribumi tersebut, dari penjualan barang impor di dalam negeri,
diharapkan dapat menjadi modal untuk melakukan ekspansi usaha.
Namun
pada akhirnya Politik Benteng ini tidak melahirkan pengusaha pribumi yang
tangguh. Yang muncul justru praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Pengusaha-pengusaha yang mendapatkan lisensi tersebut hanyalah pengusaha-pengusaha
yang dekat dengan pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik yang dominan.
Pengusaha-pengusaha pribumi “dadakan” tersebut sama sekali tidak
memiliki bekal kemampuan usaha yang memadai. Akhirnya mereka hanya “menyewaka”
lisensi yang mereka punyai tersebut kepada pengusaha-pengusaha swasta lainnya,
yang umumnya berasal dari pengusaha keturunan Cina. Praktek
kongkalingkong ini lah yang melahirkan istilah Ali-Baba. Si Ali yang memiliki
lisensi dan di Baba yang memiliki uang untuk modal kerja lisensi tersebut.
Upaya
untuk melakukan rasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, dan Barat lainnya,
justru melahirkan persoalan baru. Sebelum UU tersebut diberlakukan pada tahun
1958, pihak militer, terutama Angkatan Darat (AD), telah melakukan aksi sepihak
dan merebut perusahaanperusahaan aing tersebut. Pada tanggal 13 Desember 1957
Mayor Jenderal A.H. Nasution (KSAD pada saat itu) mengeluarkan larangan
pengambilalihan perusahaan Belanda tanpa sepengetahuan militer dan menempatkan
perusahaan-perusahaan yang diambil alih tersebut dibawah pengawsan militer.
Dapat
dikatakan hingga tahun 1958 perusahaan-perusahaan yang diambil alih tersebut
berada sepenuhnya dibawah pengwasan militer. Merekalah yang pada akhirnya
memiliki wewenang untuk memberikan hak pengelolaan kepada pihak lain. Praktek
ini lagi-lagi menimbulkan bentuk KKN baru dan praktek Ali-Baba, karena
pengusaha-pengusaha swasta yang mendapatkan hak pengelolaan tersebut adalah
pengusaha-pengusaha yang telah lama dekat dengan pihak militer.
Demokrasi
terpimpin yang kemudian dijalankan oleh Soekarno pun gagal untuk mengatasi
disintegrasi administrasi kenegaraan. Perekonomian tetap tergantung pada
birokrasi partai-partai politik dan militer. Aparat negara tak bekerja dengan
baik dan korupsi semakin merajalela. Jaringan komunikasi dan transportasi tak
berjalan dengan baik, dan upaya pemerintah untuk mendapat pemasukan dari pajak
tak berhasil.
Akan
tetapi unsur militer, terutama angkatan darat, mampu untuk bertahan dan
menghidupi diri mereka sendiri melalui sumber-sumber perekonomian yang mereka
kuasai. Namun banyak pula sumber perekonomian tersebut menjadi sarang praktek
kolusi dan korupsi serta menguntungkan beberapa gelintir petinggi militer.
Hal ini banyak melahirkan ketidakpuasan di kalangan militer, terutama kelompok
perwira muda yang lebih berorientasi nasional.
Gerakan
30 September 1965 yang sering didengungkan oleh rezim Soeharto sebagai upaya
kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebenarnya lebih
merupakan suatu gerakan pembersihan yang coba dilakukan oleh kelompok perwira
muda terhadap beberapa petinggi militer, yang mereka cap lebih dekat dengan
Barat dan banyak melakukan penyimpangan. Rezim Orde Baru yang mengambil alih
kekuasaan pada tahun 1965 percaya bahwa persoalanpersoalan yang muncul di masa
Orde Lama dapat diselesaikan dengan melakukan “pembangunan” terutama di sektor
ekonomi. Oleh karenanya Soeharto mulai melirik dan mengundang kembali investasi
asing, yang tidak menyukai Orde Lama. Oleh karenanya pertumbuhan ekonomilah
yang menjadi target utama rezim Orde Baru. Persoalan kebocoran atau korupsi
menjadi persoalan nomor dua. Bagi rezim Orde Baru yang terpenting adalah
kemajuan dan pertumbuhan ekonomi serta tetap melakukan kontrol terhadap
kekuasaan politik, sehingga mereka dapat menjalankan program pembangunan
tersebut.
1.3 Korupsi Dalam Dimensi Sejarah
Indonesia (bagian ketiga)
Korupsi
di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di
era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari
api.
Sejarawan
di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah
ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang
dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren
dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan
lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang
ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi”
yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan,
baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala
besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu
dengan kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis
dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.
Era
Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah
sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang
tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita
dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan
perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling
membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa
Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan
lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji
merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap
Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di
Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya
para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling
berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif
ekonomi – memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum
nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya
kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah
karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya
diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan
sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang
saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram
lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi
taringnya oleh Belanda.
Pada
tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua
kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun
1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu
Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian
Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan
Pakualaman.
Benar
bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor
intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram.
Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing
(Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?),
lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi
dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan
“character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi
sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi
atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Belanda
memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia,
maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan
Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi
dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak
kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta “berintegrasi’
seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih
didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil
nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.
Perilaku
“korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya
orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar “mengkorup” harta-harta
Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur
dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul
Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke
negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang
belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga
gemar korupsi.
Dalam
buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris
yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat
sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa
maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi
situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim,
kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh
budaya asing dan lain-lain.
Hal
menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa.
Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun,
di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak
terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu
keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
Hal
menarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara
sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau
mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka
atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung,
dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran
yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau
perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara
(khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran
kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya
“dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau
kehendak “penguasa”.
Budaya
yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya
korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam
mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang
(Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem
di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun
sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Alasan
mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping
rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai
contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn
Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik
satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah
yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku
“memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah “beban” kewajiban rakyat
terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
Kebiasaan
mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh
Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 –
1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat
terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam
Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih
menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang
terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya
kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara
harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah
membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun
kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi
peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi”
dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak
manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu
sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia
mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan”
menjadi “Tanam Paksa”.
Seperti
apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah
sebagai berikut:
1.
Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku
dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh
juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu
pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang
dipaksa oleh “Belanda Item” (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi
2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.
Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana
sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi”
yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah
diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik
di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik
tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat
kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit,
sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan
belum bisa ditemukan.
Pada
era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan
Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah
pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia
Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya,
dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni
Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah
satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan
mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat
negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir
tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir
itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha
Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik
Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas
sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet
Juanda).
Tahun
1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi
kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab
ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka
lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga
ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap
rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami
hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara
direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari
atasan.
Dalam
kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan
untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya
Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor,
“prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Selang
beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi
yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling
Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan
korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Era
Orde Baru
Pada
pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden
Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi
sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu
memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke
akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun
1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes
keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina,
Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang
korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa,
akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ
Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah
membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust,
Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil
temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika
Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi
Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya
melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika
timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal
itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution
berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai
dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari
dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa
bekas sama sekali.
Era Reformasi
Jika
pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh
kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen
penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era
pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak
terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total
terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan
konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama
juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali
secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian,
Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman,
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan
ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin
Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk
rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah
Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran
dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di
samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak
bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan
bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden,
melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses
tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses
pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi
dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung
Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser,
Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik.
Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat
karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di
masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum
semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja
betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan
berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu
Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari
jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang
utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam
upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi
perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi
kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan
wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era
Reformasi.
No comments:
Post a Comment