The Limit to Growth adalah
sebuah buku pada tahun 1972. Buku ini merupakan hasil penelitian yang
disponsori oleh sekelompok orang dengan berbagai latar belakang keahlian dan
profesi yang terwadahi dalam forum bernama The Club of Rome. Studi dilakukan
oleh perguruan tinggi terkenal di Amerika Serikat, Massachusetts Institute of
Technology (MIT) dibawah pimpinan Dennis L Meadows. Inti dari laporan The Limit
to Growth adalah desakan kepada dunia agar pertumbuhan ekonomi dibatasi atau
dikendalikan secara sadar. Juga didesak agar diciptakan konsensus untuk
merumuskan zero growth dalam penggunaan sumber daya alam yang tidak terbarukan.
Laporan MIT kepada the Club of Rome dalam buku The Limit
to Growth pada awalnya sempat menggegerkan dunia, namun dengan berjalannya
waktu, perhatian terhadap buku ini makin tidak terdengar dan akhirnya padam
juga. Dunia kembali tenang dan pertumbuhan terus meningkat seakan-akan sumber
daya alam tidak pernah akan habis.
Untuk menjelaskan persoalan yang dihadapi dunia, MIT
merumuskan lima persoalan dunia yang dijadikan unsur dalam model MIT, yaitu
pertumbuhan industri yang sangat cepat, pertumbuhan penduduk dengan laju yang
tinggi, kelaparan yang makin meluas, menipisnya sumber daya alam tak terbarukan
dan kerusakan lingkungan.
Laporan MIT dalam buku the Limit To Growth menarik
perhatian saya karena kelangkaan sumber daya alam yang tidak terbarukan
dijadikan salah satu permasalahan dunia. Unsur kelangkaan sumber daya alam yang
tidak terbarukan ternyata tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan empat
unsur yang lain yaitu permasalahan pertumbuhan industri, pertumbuhan penduduk,
kelaparan dan kerusakan lingkungan.
Sebagaimana dikemukakan dalam laporan MIT, kelima persoalan
dunia tersebut satu dengan yang lain saling mempengaruhi dengan pola yang
sangat kompleks. Model yang dikembangkan oleh MIT bertujuan untuk menjelaskan
keterkaitan kelima unsur yang sangat kompleks tadi. Penjelasan ini dianggap
penting karena banyak negara mengabaikan keterkaitan antara lima persoalan yang
dikemukakan oleh MIT tersebut. Sebagai contoh, banyak negara beranggapan akan
dapat mengentaskan kemiskinan dengan melakukan eksploitasi sumber daya alam
tanpa mengindahkan kelestarian alam. Mereka melupakan bahwa ada keterkaitan
antara kemiskinan dengan kerusakan lingkungan.
Di Indonesia sendiri orang belum merasa perlu untuk
membahas masalah kelangkaan sumber daya alam dalam kaitan dengan permasalahan
nasional yang lain. Kebijakan negara tentang sumber daya alam di Indonesia
belum berada dalam posisi ‘siaga’ (alert) tentang akan datangnya kelangkaan
sumber daya alam yang tidak terbarukan di masa depan. Permasalahan sumber daya
alam di Indonesia sampai sekarang masih berkisar pada pertumbuhan investasi,
pertumbuhan eksport dan pertumbuhan pendapatan negara. Antisipasi terhadap
kelangkaan sumber daya alam belum mendapat perhatian.
Dalam bidang mineral, kebijakan negara selama ini juga
masih terfokus pada permasalahan pertumbuhan investasi, pertumbuhan eksport dan
pertumbuhan pendapatan negara. Kebijakan negara dalam bidang sumber daya
mineral belum dikaitkan dengan permasalahan kemiskinan dan kebijakan
industrialisasi. Bahkan kaitan antara kebijakan sumber daya mineral dengan
kebijakan perlindungan lingkungan juga masih bersifat ad hock, belum
terinegrasi.
Sebenarnya negara-negara berkembang yang kaya akan sumber
daya alam bukannya tidak menyadari adanya persoalan dunia yang kait mengkait
sebagaimana dilaporkan oleh MIT kepada the Club of Rome. Namun meskipun
menyadari, banyak negara yang tidak berdaya untuk tidak mengejar pertumbuhan
yang tinggi dalam eksploitasi sumber daya alam. Tekanan pasar dan kebutuhan
pendanaan pembangunan di dalam negeri merupakan daya dorong untuk terus
meningkatkan pertumbuhan eksploitasi sumber daya mineral di negara berkembang.
Lepas dari peran sistem ekonomi yang kita pelajari dari,
ada kenyataan bahwa selama beberapa dekade terakhir peran ekonomi ternyata
dijalankan oleh organisasi-organisasi usaha. Organisasi usaha yang menjalankan
ekonomi dunia merupakan perusahaan-perusahaan besar yang mencakup semua
kebutuhan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh manusia. Perusahaan skala sangat
besar ini beroperasi di berbagai negara tanpa terkendala oleh batas-batas
kedaulatan negara. Perusahaan besar yang beroperasi lintas negara tersebut
sering disebut disebut Trans National Corporation (TNC).
TNC tidak hanya besar tetapi juga memiliki kekuatan dan
kekuasaan yang luar biasa besar. Mereka memiliki segalanya: dana, teknologi,
pasar, akses ke kekuasaan dan segala macam informasi. Dengan kekuatan dan
kekuasaan yang dimiliki, TNC dapat berbuat apapun untuk mewujudkan apa yang
diinginkan.
Dengan hadirnya TNC maka teori ekonomi yang kita pelajari
di bangku sekolah tidak berjalan murni lagi. Pasar tidak lagi mencerminkan
kebutuhan konsumen tetapi merupakan cerminan dari keinginan TNC. Mereka dapat
mendiktekan apa yang mereka inginkan menjadi apa yang dibutuhkan oleh konsumen.
TNC tidak hanya menguasai sistem pasar dan sistem produksi, tetapi juga
menguasai sistem kehidupan manusia di bumi ini. Setiap aspek dalam kehidupan
masyarakat ditentukan oleh apa yang menjadi keinginan TNC. Makanan yang dimakan
orang, pakaian yang dikenakan, kendaraan yang digunakan, semuanya ditentukan
oleh TNC. Bukan itu saja, gaya hidup dan keyakinan orang juga dipengaruhi oleh
apa yang diinginkan TNC.
Orang boleh berargumentasi bahwa masih ada negara yang
berkewajiban melindungi rakyatnya terhadap keinginan pasar yang merugikan. Yang
menjadi persoalan adalah bahwa negara tidak selalu beranggapan bahwa
pertumbuhan pasar sebagai sesuatu yang merugikan rakyat dan negara. Negara
justru beranggapan bahwa pertumbuhan adalah untuk kesejahteraan rakyat.
Pertumbuhan telah dijadikan merupakan parameter keberhasilan pembangunan yang
menghasilkan kesejahteraan rakyat.
Salah satu faktor pertumbuhan ekonomi yang diupayakan
terus meningkat adalah investasi. Investasi harus terus tumbuh agar dapat
memberi lapangan pekerjaan, pemasukan devisa dan pajak. Dalam bidang apa
investasi harus dilakukan tidak terlalu dimasalahkan. Bagaimana dampak dari
inevstasi terhadap kehidupan rakyat juga tidak perlu menjadi halangan untuk
menerima investasi.
Makanan siap saja seperti burger dari McDonald merupakan
investasi yang membuka peluang kerja dan meningkatkan pendapatan negara.
Masalah apakah burger merupakan makanan yang sehat atau tidak sehat, tidak
perlu dipermasalahkan. Dengan dibukanya toko burger McDonald di mana-mana
dianggap sebagai petunjuk keberhasilan pembangunan yang mensejahterakan rakyat.
Apa yang terjadi kalau sikap terhadap pertumbuhan
McDonald tadi diterapkan pada bidang industri sumber daya alam pada umumnya dan
sumber daya mineral pada khususnya? Di mana letak kesalahannya kalau negara
memacu pertumbuhan eksploitasi sumber daya alam yang bukan saja meningkatkan
pendapatan pajak tetapi juga pendapatan devisa dan lapangan pekerjaan? Di sini
kita perlu kembali ke model yang dikembangkan oleh MIT tentang keterkaitan
antara pertumbuhan dengan persoalan kemiskinan, jumlah penduduk dan seterusnya.
Para konservasionis pernah mengusulkan agar dalam hal
eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan konsep mekanisme pasar tidak
digunakan lagi. Dengan lain perkataan para konservasionis mengusulkan agar
negara yang memiliki sumber daya alam menentukan sendiri tingkat produksi dan
tingkat pertumbuhan eksploitasi sumber daya alam yang terbaik bagi negara dan
rakyatnya. Dengan lain perkataan para konservasionis ingin mengatakan agar
negara tidak mengacu pada kebutuhan TNC tetapi pada kebutuhan rakyatnya.
Mungkinkah konsep para konservasionis diatas diterapkan?
Sumber daya alam yang tidak terbarukan pada umumnya terdapat di negara-negara
berkembang. Negara berkembang yang sedang membangun memerlukan investasi,
memerlukan devisa dan memerlukan peningakatan pendapatan negara. Negara
berkembang tidak memiliki apapun sebagai modal pembangunan selain apa yang
diberikan oleh alam.
Banyak negara berkembang yang berpendapat bahwa
pertumbuhan adalah kebutuhan sekarang yang diperlukan untuk memberi makan,
pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi dan segala bentuk kebutuhan
rakyat yang lain. Pertumbuhan bukan masalah nanti yang dapat ditunda atau atau
dibatasi. Kebijakan jangka pendek ini sangat sesuai dengan kebutuhan para
politisi yang mengendalikan negara serta sesuai pula dengan kehendak TNC.
Akibatnya kebijakan sumber daya alam selalu merupakan kebijakan yang bersifat
ad hock.
Dengan argumentasi diatas maka banyak negara berkembang
menganggap kata konservasi merupakan sesuatu yang jauh dari jangkauan,
merupakan sesuatu yang berada di awang-awang. Minyak dan gas bumi, mineral dan
hutan adalah untuk hari ini dan bukan untuk hari nanti. Oleh karena itu
pertimbangan masa depan dapat ditunda dulu.
Kepentingan memang memiliki dimensi waktu dan dimensi
ruang. Dari pengalaman maupun dari hasil penelitian kita mengetahui bahwa
kebanyakan orang, organisasi ataupun negara lebih mengedepankan kepentingan
dengan dimensi waktu pendek dan kepentingan dengan dimensi ruang yang sempit.
Seorang ayah atau ibu sibuk dengan usahanya (kepentingan sempit dan waktu
pendek) sehingga melupakan pendidikan anaknya yang merupakan kepentingan lebih
luas pada jangka yang panjang. Sebuah bangsa dan negara dapat terjebak pada
kepentingan dan permasalahan masa kini yang sempit sehingga melupakan
kepentingan jangka panjang dan kepentingan lebih besar. Pertumbuhan yang
dikejar oleh negara pada umumnya merupakan kepentingan jangka pendek dengan
sasaran-sasaran kepentingan yang lebih sempit.
Selama ini Indonesia juga menganut paham pertumbuhan
sebagai kepentingan jangka pendek dengan sasaran-sasaran kepentingan yang
sempit. Indonesia pernah menganut paham pertumbuhan at all cost. Dalam periode
tahun 1966 sampai 1998 Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dengan bayaran masa depan bangsa yang sangat mahal.
Sejak tahun 1970-an telah terjadi perdebatan tentang
dilema antara pertumbuhan dengan konservasi lingkungan dan sumber daya alam.
Perdebatan secara informal di kalangan akademisi terus berlangsung secara
intensip dan juga makin meluas. Belakangan perdebatan pada tataran akademis
yang tidak formal masuk dalam agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Berbagai teori dan konsep pembangunan diusulkan sebagai
jalan keluar dari dilema pertumbuhan dengan konservasi. Salah satu jalan keluar
yang diperkenalkan oleh PBB adalah konsep Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development). Konsep Pembangunan Berkelanjutan dari PBB ini dari
waktu ke waktu mengalami perubahan dengan tujuan agar sesuai dengan kebutuhan.
Orang boleh marah-marah sambil bertanya kepada negara:
Mengapa demikian? Di lain pihak orang juga dapat bersedih sambil bertanya:
Mengapa demikian? Mengapa sesuatu yang telah disepakati tidak diterapkan?
Mengapa negara tidak melakukan perubahan dalam melakukan eksploitasi sumber
daya alam? Jawaban dari pertanyaan ini tentunya berada di luar lingkup buku
ini.
No comments:
Post a Comment