SERIKAT ISLAM
Makalah
diajukan untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Sejarah
Pergerakan Nasional Indonesia
disusun oleh :
Anggesti Awalia 1100991
Nurul Fajri 1102102
JURUSAN
PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA
2013
BAB IPENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Masa Pergerakan Nasional yang
dimulai dari tahun 1908 hingga 1942 merupakan awal mula pergerakan Indonesia.
Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan timbulnya banyak Organisasi-organisasi
yang sudah tersusun secara struktural. Maksud dari Organisasi yang tersusun
secara struktural yaitu Organisasi yang ada tidaklah bersifat tradisional.
Organisasi yang tradisional dicirikan dengan peran pemimpin yang sangat
dominan. Jika pemimpin tersebut meninggal atau ditangkap maka organisasi
tersebut akan lenyap. Selain dari organisasi yang sudah tersusun secara
struktural ciri dari masa ini yaitu lingkup yang sudah menasional. Nasional di
sini dimaksudkan bahwa organisasi tersebut bukan hanya terpaku oleh
daerah-daerah saja, tetapi juga sudah melebarkan sayapnya hingga meraih anggota
dan pengaruh ke daerah lain yang lebih luas.
Salah satu organisasi pada masa
pergerakan nasional adalah Sarekat Islam. Sarekat Islam mula-mula dinamakan
Sarekat Dagang Islam. Ketika masih menjadi Sarekat Dagang Islam organisasi ini
lebih berfokus kepada masalah perekonomian, tetapi ketika sudah menjadi Sarekat
Islam maka lebih berfokus kepada masalah politik.
Sarekat Islam merupakan suatu
organisasi yang banyak memberikan konstribusi kepada pergerakan nasional.
Kongres-kongres yang dilakukan oleh Sarekat Islam banyak yang memberikan kritik
kepada pemerintah Belanda serta memberikan peluang kepada masyarakat pribumi. Walaupun
karena kritik tersebut Sarekat Islam pernah dibekukan.
Sarekat Islam merupakan organisasi
yang memiliki banyak pengikut. Oleh karena itulah banyak sekali pihak yang
ingin menggunakannya demi kepentingan politik tersendiri. Paham-paham dari luar
yang banyak memberikan pengaruh juga memberikan dampak yang cukup besar bagi
Sarekat Islam itu sendiri. Paham tersebut juga menjadi bumerang bagi Sarekat
Islam. Selain itu juga adanya pro dan kontra di dalam kubu anggota Sarekat
Islam juga memberikan dampak yang begitu besar bagi organisasi tersebut. Indie Weerbaar dan Volksraad juga memberikan konstribusi dalam perjalanan Sarekat
Islam.
1.2
Rumusan
Permasalahan
Melihat latar belakang di atas, terdapat
beberapa permasalahan yang muncul, yaitu :
1.
Apa
yang melatarbelakangi didirikannya Serikat Islam ?
2.
Bagaimana
pengaruh Sosialisme-Revolusioner terhadap Serikat Islam ?
3.
Apa
yang menyebabkan perpecahan dalam Serikat Islam ?
4.
Bagaimana
kondisi Serikat Islam pasca perpecahan ?
5.
Bagaimana
pengaruh ataupun peran Serikat Islam dalam pergerakan nasional ?
1.3
Tujuan
Penulisan
Dengan melihat adanya permasalahan yang muncul, dengan demikian tujuan
penulisan ini, yaitu :
1.
Memberikan
informasi seputar hal yang melatarbelakangi didirikannya Serikat Islam;
2.
Mengetahui
pengaruh Sosialisme-Revolusioner terhadap Serikat Islam;
3.
Memberikan
pengetahuan terkait penyebab perpecahan dalam Serikat Islam;
4.
Memberikan
gambaran kondisi Serikat Islam pasca perpecahan;
5.
Menjelaskan
pengaruh ataupun peran Serikat Islam dalam pergerakan nasional.
1.4
Manfaat
Penulisan
Dengan mengetahui Serikat Islam yang merupakan salah satu pergerakan
nasional awal yang ada di Indonesia, manfaat yang diharapkan yaitu:
1.
Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan dan
keilmuan dalam Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia khususnya dalam bidang
Sarekat Islam.
2.
Pembaca, sebagai wahana penambah pengetahuan dan
keilmuan serta kajian teoritis dalam Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia
khususnya dalam bidang sarekat Islam.
BAB IIPEMBAHASAN
2.1
Latar
Belakang Didirikannya Serikat Islam
Sarekat Islam, yang sebelumnya merupakan Sarekat Dagang Islam, pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam
yang tidak lain adalah golongan-golongan pedagang pribumi sebagai bentuk
perlawanan terhadap dominasi pedagang orang-orang Cina. Hal ini berawal dari timbulnya
usaha pengusaha batik di kota Surakarta untuk mengadakan persatuan demi melawan
taktik dagang para pedagang Cina.
Usaha
tersebut dipelpori oleh Haji
Samanhudi di kampung Laweyan di kota Surakarta.
Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam pada tahun 1911 yang
beranggotakan para pengusaha batik di kota Surakarta. Tujuan utama didirikannya
Sarekat Dagang Islam adalah untuk memperkuat usaha dalam menghadapi para
pedagang Cina, dengan tujuan awal untuk menghimpun
para pedagang pribumi muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing
dengan pedagang-pedagang besar orang-orang
Cina (Muljana, 2008: 121). Pada saat itu,
pedagang-pedagang Cina tersebut telah lebih maju usahanya dan memiliki hak dan
status yang lebih tinggi dari pada pedagang pribumi lainnya. Berdirinya
perkumpulan Sarekat Dagang Islam itu jelas berdasarkan pertimbangan ekonomi.
Oleh karena itu, para pengusaha batik di Indonesia pada umumnya memeluk agama Islam.
Berdirinya Sarekat Dagang Islam disambut
baik oleh para pengusaha batik yang mengharapkan dapat membeli bahan batik
lebih murah. Meskipun demikian, untuk bergerak secara sah, Sarekat Dagang Islam
harus menyusun anggaran dasarnya untuk disahkan oleh pemerintah. Untuk menyusun
anggaran dasar tersebut. Haji Samanhudi merasa kurang mampu. Oleh karena itu, dia
kemudian mencari bantuan kepada seorang pelajar Indonesia yang berkerja pada
perusahaan di Surabaya. Pelajar yang dimaksu adalah Cokroaminoto. Kemudian,
Haji Samanhudi menghubungi Umar Said Cokroaminoto. Setelah bertukar pikiran,
timbul gagasan dalam diri Umar Said Cokroaminoto untuk mengubah nama Sarekat
Dagang Islam menjadi Sarekat Islam, atas pertimbangan bahwa perkumpulan itu
tidak terbatas sampai pada para pedagang saja, tetapi juga mempunyai dasar yang
lebih luas sehingga orang Islam yang di luar pedagang dapat menjadi anggota.
Gagasan Cokroaminoto diterima baik oleh Haji Samanhudi. Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Umar Said Cokroaminoto, nama Serikat Dagang
Islam diubah menjadi Sarekat Islam. Hal ini dilakukan agar organisasi tidak
hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain, seperti halnya
politik. Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI
adalah sebagai berikut:
1.
Mengembangkan jiwa dagang;
2.
Membantu anggota-anggota yang mengalami
kesulitan dalam bidang usaha;
3.
Memajukan pengajaran dan semua usaha yang
mempercepat naiknya derajat rakyat;
4.
Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru
mengenai agama Islam;
5.
Hidup menurut perintah agama.
Pada tahun 1914
telah berdiri 56 cabang Sarekat Islam dengan pengakuan sebagai badan hukum.
Cabang-cabang tersebut masih berdiri sebagai Sarekat Islam Lokal karena badan
pusat tidak ada. demikianlah pengurus Pusat Sarekat Islam mengajukan permohonan
pengakuan sebagai badan hukum dengan penjelasan bahwa pusat Sarekat Islam tidak
mempunyai anggota perorangan, tetapi anggotanya terdiri dari sarekat-sarekat
Islam Lokal. Maka pada tanggal 18 Maret 1916, diputuskan oleh yang berwajib
untuk pengakuan sebagai badan hukum (Muljana, 2008: 122-123).. Tujuan Serikat Islam adalah membangun
persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan
mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan Serikat Islam terbuka untuk
semua lapisan masyarakat muslim. Pada waktu Serikat Islam mengajukan diri
sebagai Badan Hukum, pada awalnya Gubernur
Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikannya
pada Serikat Islam lokal. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat
adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar
terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya Serikat Islam memiliki jumlah
anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.
Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya Serikat
Islam pusat diberikan pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah
memperbolehkan berdirinya partai politik, Serikat Islam berubah menjadi partai
politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917.
Tokoh-tokoh
pendiri pusat Sarekat Islam dengan pengurus yang terdiri :
1.
Haji Samanhudi (Ketua Kehormatan)
2.
Umar Said Cokroaminoto
3.
Agus Salim
4.
Abdul Muis
5.
Haji Gunawan
6.
Wondoamiseno
7.
Sasrokardono
8.
Soerjopranoto
9.
Alimin Prawirodirejo
10. Semaun
2.2
Pengaruh
Serikat Islam dalam Pergerakan Nasional
Serikat Islam pada
mulanya bernama Serikat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi yang
berdasarkan pada Agama dan Perekonomian Rakyat sebagai dasar dalam
pergerakannya, tujuannya pula adalah melindungi hak – hak pedagang pribumi dari
monopoli dagang yang dilakukan oleh pedagang–pedagang besar tionghoa. Dan
dengan lahirnya Sarikat Dagang Islam yang menghimpun pedagang Islam pribumi
pada saat itu, diharapkan dapat bersaing dengan pedagang asing seperti Tionghoa,
India, dan Arab.
Pada 1912 Sarekat Dagang Islam berganti
nama menjadi Sarekat Islam oleh H.O.S. Tjokroaminoto, pergantian nama ini didasarkan agar Sarekat
Islam ini tidak hanya bergerak dalam bidang agama dan Ekonomi saja, tetapi dapat
bergerak dalam Politik pula, sehingga membuat ruang gerak Sarekat Islam pun
bertambah luas. Setelah
menjadi SI sifat gerakan menjadi lebih luas karena tidak dibatasi
keanggotaannya pada kaum pedagang saja. Dalam Anggaran Dasar tertanggal 10
September 1912, tujuan perkumpulan ini diperluas ,antara lain:
1.
Memajukan
perdagangan;
2.
Memberi
pertolongan kepada anggota yang mengalami kesukaran (semacam usaha koperasi);
3.
Memajukan
kecerdasan rakyat dan hidup menurut perintah agama;
4.
Memajukan
agama Islam serta menghilangkan faham- faham yang keliru tentang agama Islam.
Program yang baru tersebut masih mempertahankan tujuan lama
yaitu dalam bidang perdagangan namun tampak terlihat perluasan ruang gerak yang
tidak membatasi pada keanggotaan para pedagang tetapi terbuka bagi semua
masyarakat. Tujuan politik tidak tercantumkan karena pemerintah masih melarang
adanya partai politik. Perluasan keanggotaan tersebut menyebabkan dalam waktu
relatif singkat keanggotaan Serikat Islam meningkat drastis.
Mobilisasi terhadap rakyat pun bertambah luas, karena pada saat itu muncul
Nasionalisme dalam pengertian politik baru saat Sarekat Islam ini diketuai oleh
HOS Tjokroaminoto. Sebagai organisasi poltik pelopor Nasionalisme, saat itu
Tjokroaminoto pun memberikan batasan :
“Pengertian
Nasional sebagai usaha meningkatkan seseorang pada tingkat natie berjuang menuntut pemerintahan sendiri atau sekurang –
kurangnya bangsa Indonesia diberi hak untuk mengemukakan suaranya dalam masalah
politik.” (Muhibin : 2009).
Dalam Sarekat Islam pun terdapat beberapa program kerja,
program kerja dibagi atas delapan bagian yaitu: Mengenai politik Sarekat Islam
menuntut didirikannya dewan-dewan daerah, perluasan hak-hak Volksraad
dengan tujuan untuk mentransformasikan menjadi suatu lembaga perwakilan yang
sesungguhnya untuk legelatif. Sarekat Islam juga menuntut penghapusan kerja
paksa dan sistim izin untuk bepergian. Dalam bidang pendidikan, Serikat Islam
menuntut penghapusan peraturan diskriminatif dalam penerimaan murid di sekolah-sekolah.
Dalam bidang agama, Serikat Islampun menuntut dihapuskannya segala peraturan
dan undang-undang yang menghambat tersiarnya agama Islam. Sarekat Islam juga
menuntut pemisahan lembaga kekuasaan yudikatif dan eksekutif dan menganggap
perlu dibangun suatu hukum yang sama bagi menegakkan hak-hak yang sama di
antara penduduk negeri. Partai juga menuntut perbaikan di bidang agraria dan
pertanian dengan menghapuskan particuliere landerijen (milik tuan tanah)
serta menasonalisasi industri-industri monopolistik yang menyangkut pelayanan
dan barang-barang pokok kebutuhan rakyat banyak. Dalam bidang keuangan SI
menuntut adanya pajak-pajak berdasar proporsional serta pajak-pajak yang
dipungut terhadap laba perkebunan. Kemudian Serikat Islam inipun menuntut pemerintah
untuk memerangi minuman keras dan candu, perjudian, prostitusi dan melarang
penggunaan tenaga anak-anak serta membuat peraturan perburuhan yang menjaga
kepentingan para pekerja dan menambah poliklinik dengan gratis
Benda dalam Padmo
(2007) menyatakan bahwa “SI mempunyai daya tarik yang jauh jangkauannya di luar
penduduk kota yang berpendidikan Barat. Tujuh tahun setelah Tjokroaminoto
memimpin SI, partai ini memusatkan perhatiannya secara eklusif pada orang
Indonesia dengan merekrut semua kelas, baik di kota maupun desa. Mereka adalah
pedagang muslim, pekerja di kota, kyai dan ulama, beberapa priyayi, dan tak
kurang pula petani ditarik dalam partai politik yang pertama pada masa kolonial
di Indonesia ini”. Serikat Islam meratakan kesadaran Nasional terhadap seluruh
lapisan masyarakat, baik itu lapisan masyarakat atas maupun lapisan masyarakat
tengah, dan rakyat biasa di seluruh Indonesia, terutama melalui Kongres
Nasional Senntral Islam di Bandung pada 1916. Pada periode awal perkembanganya,
Sarekat Islam dapat memobilisasi massa dengan sangat baik, hal iti terbukti
pada empat tahun berjalannya Serikat Islam yang telah memiliki anggota sebanyak
360.000 orang, kemudian menjelang tahun 1919, anggotanya telah mencapai hampir
dua setengah juta orang. Para pendiri Serikat Islam mendirikan organisasinya
ini tidak hanya untuk mengadakan perlawanan terhadap orang–orang Cina, tetapi
untuk membuat front melawan semua
penghinaan terhadap rakyat bumi putera. Oleh karena itu, Serikat Islam berhasil
mencapai lapisan bawah masyarakat yang berabad–abad hampir tidak mengalami
perubahan dan paling banyak menderita.
Pada mulanya Serikat
Islam bersifat loyal dan membantu pemerintah. Kongresnya yang pertama yang
diadakan di Bandung pada tahun 1916, kebijakan yang diambil pada saat itu
adalah untuk membantu pemerintah. Namun
pada saat kongres Nasional di Madiun pada 17 – 20 Februari 1923, kongres
mengambil keputusan untuk membentuk sebuah Partai yaitu partai Serikat Islam
(PSI), kongres ini pula membicarakan sikap politik partai terhadap pemerintah,
pada kongres ini dibahas mengenai perubahan sikap terhadap pemerintah.
Perubahan sikap politik ini adalah partai tidak mempercayai lagi pemerintah,
dan partai menolak kerjasama dengan pemerintah, sikap politik ini biasa disebut
juga sebagai sikap “Politik Hijrah.”
2.3
Pengaruh
Sosialisme-Revolusioner terhadap Serikat Islam
Kemenangam Revolusi pada bulan Oktober di Rusia
memberikan dorongan dan antusiasme yang lebih hebat kepada ISDV untuk
menyebarkan Marxisme dalam politik Indonesia dan Sarekat Islam adalah sasaran
utama, karena merupakan satu-satunya gerakan massa terkuat pada saat itu. ISDV
mengadakan infiltrasi ke dalam tubuh Sarekat Islam dengan tujuan dapat
menguasai massa.
Pada tahun 1920, kelompok-kelompok kiri yang lebih
ekstrim dalam ISDV telah berhasil mengadakan kontak-kontak dekat dengan unsure-unsur
kiri dalam Sarekat Islam, seperti Semaoen dari cabang Semarang, Alimin
Prawirodirdjo dan Darsono. Ketiga tokoh Sarekat Islam ini telah berhasil dibina
oleh Snevliet dengan ideologi Marxisme dalam tempo yang relatif singkat.
Pada tahun 1918 Sneevleit diusir dari Indonesia
karena kegiatan-kegiatannya akan membahayakan kekuasaan kolonial kedepannya,
sebab Marxisme dikatakan sebagai antitesi terhadap kolonialisme dan
kapitalisme.
Setahun setelah ISDV cabang Semarang didirikan,
yaitu pada tahun 1914, menerima anggota pribumi sebanyak 85 orang dan pada
tahun 1916 anggotanya telah bertambah menjadi 134 orang. Dalan kongres ISDV di
Jakarta bulan Mei 1917, Sneevliet disidang akibat tulisan Zegepraal-nya,
namun ia tetap pada pendiriannya dan beberapa temannya mendukung sikap dan
garis perjuangannya.
Akhirnya ISDV pecah, puncaknya ketika ISDV cabang
Batavia dan Bandung memisahkan diri dan bergabung dengan ISDP (Indische
Sosiaal Democraatische Partij). Setelah pecah Sneevliet menarik orang-orang
pribumi untuk menduduki posisi penting organisasi. Mereka adalah Semaoen, Mas
Marco dan Darsono.
ISDV melakukan penyusupan dalam usaha memperoleh
pengaruh diadakan pembagian tugas sebagai berikut: (1) Untuk mendekati serdadu
bangsa Belanda di lakukan oleh Sneevliet; (2) Untuk mendekati serdadu Angkatan
Laut Belanda ditangani oleh Brandsteder; (3) Untuk mendekati pegawai-pegawai
negeri bangsa Belanda bagian sipil dijalankan oleh Baars dan van Burink; (4) Untuk mendekati bangsa
Indonesia, Semaoen memasuki Sarekat Islam yang kemudian disusul oleh Darsono,
Tan Malaka dan Alimin Prawirodirjo (Materu 1985:19).
Strategi ini dikenal sebagai “blok di dalam” atau “block
within” yang dikembangkan sejak tahun 1916 oleh ISDV untuk meraih dukungan
dari massa Sarekat Islam. Maksud dari taktik ini adalah mengembangkan
propaganda dan koneksitas di antara massa dengan membangun semacam sel-sel di
dalam tubuh partai induk yaitu menjadikan anggota ISDV menjadi anggota Sarekat
Islam dan sebaliknya menjadikan anggota Sarekat Islam menjadi anggota ISDV
(Priyono, 1990:2). Mereka memperkuat pengaruh dengan jalan memanfaatkan keadaan
buruk akibat Perang Dunia I dan panenan padi yang gagal serta ketidakpuasan
buruh perkebunan sebagab upah yang rendah dan membubungnya harga-harga. Ada
beberapa hal yang menyebabkan berhasilnya ISDV melakukan infiltrasi ke dalam
tubuh Sarekat Islam, yaitu: (1) Central Sarekat Islam sebagai badan koordinasi
pusat masih sangat lemah kekuasaannya. Tiap-tiap cabang Sarekat Islam bertindak
sendiri-sendiri secara bebas. Para pemimpin lokal yang kuat mempunyai pengaruh
yang menentukan di dalam Sarekat Islam cabang; (2) Kondisi kepartaian pada
waktu itu memungkinkan orang untuk menjadi anggota lebih dari satu partai,
karena pada mulanya organisasi-organisasi didirikan bukan sebagai partai
politik melainkan sebagai suatu organisasi guna mendukung berbagai kepentingan
sosial budaya dan ekonomi. Di kalangan kaum terpelajar menjadi kebiasaan bagi
setiap orang untuk memasuki berbagai macam organisasi yang dianggapnya dapat membantu
kepentingannya (Poesponegoro dan Notosusanto 1993: 199-200).
Pandangan miring terhadap Sneevliet dan
kawan-kawannya berkembang terutama setelah Sarekat Islam cabang Semarang
bergerak radikal dan menunjukkan warna merahnya. Abdoel Moeis, tokoh cabang
Bandung adalah yang paling gencar menyerang gerakan Sneevliet dan
kawankawannya. Abdoel Moeis meragukan komitmen perjuangan Sneevliet dengan
alasan mereka tidak berdarah santri Jawa.
Pada tanggal 6 Mei 1917, Semaoen diangkat menjadi
Presiden Sarekat Islam cabang Semarang menggantikan Raden Sodjono.
Perlahan-lahan Semaoen mempengaruhi para pemimipin Sarekat Islam Semarang dan
berhasil membawa organisasi bergeser ke arah sosialis-revolusioner. Sebagai
puncak usahanya merevolusinerkan Sarekat Islam Semarang pada tanggal 19
November 1917 melalui organ Sarekat Islam Semarang yakni harian Sinar Hindia
(dulu bernama Sinar Djawa) yang berhasil dikuasainya (Gie, 2005: 23). Sarekat
Islam Semarang menjadi kelompok yang sulit diawasi oleh pimpinan pusat Sarekat
Islam. Walaupun menurut tujuan utama Sarekat Islam untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat Indonesia, Sarekat Islam Semarang menolak penampilan
Islam, menyerukan aksi revolusioner dan dengan provokatif menuduh
anggota-anggota Sarekat Islam yang moderat sebagai borjuis.
2.4
Perpecahan
dalam Serikat Islam
Pada mulanya Sarekat
Islam (SI) dilarang untuk menjalankan organisasinya oleh pemerintah Belanda
pada Agustus 1912. Setelah diadakan perubahan pada anggaran dasar SI maka
diperbolehkan untuk menjalankan aktivitasnya kembali. Rutgers (2012; 4)
menerangkan bahwa, “...pada Juni 1913, pengaktifan Pimpinan Pusat SI tidak
diizinkan, dan untuk sementara waktu, yang diizinkan itu hanya cabang-cabangnya
belaka. Baru pada 1916 Pimpinan Pusat SI diperkenankan sesudah pengawasan
pemerintah diperkuat.”
Pada tanggal 26 Januari
1913 diadakan kongres Sarekat Islam pertama di Surabaya. Pada kongres tersebut
pimpinan SI Oemar Said Tjokroaminoto mengutarakan intinya bahwa SI setia
terhadap pemerintahan Belanda. Hal ini disebutkan dalam Rutgers (2012; 4), “SI
bukanlah suatu partai politik yang menghendaki revolusi seperti yang disangka
kebanyakan orang. Jika nanti diadakan pengejaran-pengejaran, kita harus meminta
perlindungan terhadap gubernur Jenderal. Kita setia dan puas terhadap kekuasaan
Belanda. Sungguh tidak benar, kalau kita dikatakan hendak menyebabkan
huru-hara, sungguh tidak benar, kalau kita dikatakan berontak. Itu semua tidak
benar, tidak, seribu kali tidak.”
Kongres Sarekat Islam I
menghasilkan keputusan bahwa Sarekat Islam bukan lagi sebagai organisasi daerah
Surakarta melainkan organisasi terbuka yang cakupannya meliputi Hindia Belanda.
Oleh karena itu disahkan tiga kota sebagai sentral dari Sarekat Islam meliputi
Surabaya, Yogyakarta dan Bandung.
Fungsi dari tiga kota
sentral Sarekat Islam menurut Suryanegara (2012; 380) yaitu :
1.
Pertama, dari centraal Sjarikat Islam
(CSI) Surabaya, membangkitkan kesadaran berpolitik nasional umat Islam yang
bergabung dalam Sjarikat Islam di Jawa Timur hingga seluruh wilayah Indonesia
Timur;
2.
Kedua, dari Centraal Sjarikat Islam
(CSI) Yogyakarta, membangkitkan kesadaran politik nasional umat Islam yang
bergabung dalam Sjarikat Islam di Jawa Tengah hingga seluruh wilayah Indonesia
Tengah;
3.
Ketiga, dari Centraal Sjarikat Islam
(CSI) Bandung, membangkitkan kesadaran politik nasional umat Islam yang
bergabung dalam Sjarikat Islam di Jawa Barat hingga Indonesia barat.
Dalam penetapan fungsi
tersebut memang disebutkan pembagian wilayah. Tetapi perlu diingatkan kembali
bahwa pembagian daerah teritorial seperti Indonesia Timur, Indonesia Tengah dan
Indonesia Barat masih belum jelas. Hal ini dikarenakan belum adanya pembagian
wilayah seperti sekarang pada masa itu.
Dalam waktu beberapa
bulan semenjak kongres Sarekat Islam pertama, SI sempat dibekukan. Menurut
Kartodirdjo (Mulyanti, 2010: 22-23) bahwa:
“Sarekat Islam
yang berdiri di Semarang sempat menyulut perkelahian antara orang Cina dengan
anggota Sarekat Islam Semarang. Perkelahian tersebut terjadi di kampung
Brondongan pada tanggal 24 Maret 1913. Penyebab perkelahian adalah kebencian
seorang Cina penjual tahu dan nasi, bernama Liem Mo Sing terhadap orang-orang
Sarekat Islam. Semula warung Liem Mo Sing tergolong laku, buruh yang bekerja di
perusahaan di dekat warungnya hampir sebagian besar menjadi langganan. Setelah
di kampung Brondongan berdiri Sarekat Islam dan buruh perusahaan tersebut
menjadi anggota maka berdiri toko dan koperasi. Sebagai akibat warung Liem Mo
Sing tidak laku. Oleh karena itu Liem Mo Sing menjadi benci terhadap Sarekat
Islam dan berusaha mengganggu orang-orang yang sedang salat, memaki-maki
orang-orang Sarekat Islam dan sebagainya. Pada hari Kamis malam tanggal 27
Maret 1913, seorang bernama Rus setelah salat Isa” melihat Liem sedang
bersembunyi di bawah surau. Karena diketahui Liem melarikan diri, kemudian
dikejar oleh orang-orang yang sedang di surau. Akhirnya Liem tertangkap dan
dipukuli, sedangkan orang-orang Cina yang berusaha melarikan diri karena takut
ikut dipukuli penduduk karena dikira akan membantu Liem.”
Perselisihan dengan
Tinghoa tersebut juga dituliskan oleh Rutgers (2012: 5), “kejadian-kejadian
seperti merampoki Tinghoa adalah juga tergolong kelompok “nasional” ini. Dalam
sikap terhadap bangsa Tinghoa terdapat perubahan antara lain disebabkan oleh
meletusnya Revolusi Tiongkok 1911-1912 yang menyebabkan banyak penduduk Tinghoa
berubah sikap dan menyakinkan akan benarnya gerakan kemerdekaan di Indonesia
juga. Sebaliknya rakyat Indonesia mulai ikut serta dalam
demonstrasi-demonstrasi yang amat menguntungkan gerakan revolusioner Tionghoa.
2.3.1
Perpecahan Akibat Pendirian Volksraad
& Indie Weebar
Pada tanggal 17-24 Juli
1916 dilaksanakan National Congres Centraal
Sjarikat Islam di Bandung. Menurut Suryanegara (2012: 387) suasana Bandung
pada saat kongres Nasional pertama yaitu :
“Suasana
kongres Nasional pertama Centraal Sjarikat Islam tersebut, disampaikan Mohamad
Rroem dalam harian ABADI, senin 22 Juni 1970 M atau 17 Rabiul Awal Achir 1390
H. Dua tahun kemudian, pada 1972, laporan Mohamad Roem tersebut dibukukan dalam
Bunga Rampai dari Sadjarah. Mohamad
Roem menuturkan, alun-alun Bandung sebagai kongres dihias sangat indah,
disertai dengan bufet yang menyediakan makanan dan minuman.
Pelaksanaan
kongres mendapat dukungan dari para ibu guru sekolah kautamaan istri. Mereka
ikut serta dalam melayani tamu-tamu yang akan menikmati hidangan makanan dan
minuman di bufet-bufet. Mohammad Roem memberikan penilaian bahwa adanya
aktivitas kaum Ibu Parahiyangan tersebut pertanda para Ibu tidak mau
ketinggalan dalam gerakan kebangkitan kesadaran nasional.
Pada Ahad, 18
Juni 1916 M, diadakan pula pawai besar yang berlangsung damai. Pawai tersebut
melewati jalan-jalan raya di Bandung. Ini pertanda Sjarikat Islam mendapat
sambutan dari segenap rakyat. Saat itu hanya Sjarikat Islamlah yang memelopori
kongres yang disertai dengan penyelenggaraan berbagai acara, seperti pameran,
pawai dan rapat akbar.”
Rutgers (2012: 7)
memaparkan bahwa, “Kongres Sarekat Islam yang dilangsungkan di Bandung antara
17-24 Juli 1916 dikunjungi oleh wakil dari tidak kurang 80 daerah di segala
pelosok Indonesia dan mewakili tidak kurang dari 360.000 anggota”. Dalam hal
ini pendapat dari Rutgers saling mendukung dengan Suryanegara bahwa Kongres
Sarekat Islam mendapatkan dukungan dari banyak orang.
Mengenai pembahasan
Rutgers (2012:7) membahas bahwa, “Soal-soal politik dan perluasan hak-hak
politik menjadi acara pembicaraan dan yang mencolok mata ialah, bahwa kongres
ini oleh ketianya diberi nama kongres Nasional yang pertama dari Sarekat Islam.
Meskipun ia mengajurkan pada anggota-anggota supaya memperhatikan semua
undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah kolonial dan supaya mengejar
kemakmuran dan kesejahteraan dengan jalan yang sah, yang menonjol ke depan
adalah tuntutan zelf bestuur
(pemerintahan sendiri) dan tuntutan adanya wakil-wakil rakyat dalam
pemerintahan, dengan desentralisasi dan otonomi untuk beberapa bagian dari
Indonesia”
Jelas terlihat bahwa SI
sangat kental akan kritikannya kepada pemerintah Belanda. Kritikan tersebut
juga tersirat dengan digunakannya bahasa Melayu oleh Oemar Said Tjokroaminoto
pada pidatonya. Suryanegara (2012: 387) mengemukakan, “Adapun pidato Oemar Said
Tjokroaminoto disampaikan dalam bahasa Melayu, karena pengunjungnya dari
berbagai etnis. Pidato tersebut memakan waktu selama dua jam”. Perlu diingat
kembali bahwa penggunaan bahasa Belanda pada waktu itu dilarang digunakan oleh
kalangan ulama, santri dan umat Islam.
Suryanegara (2012: 392)
memaparkan tuntutan yang dihasilkan oleh Kongres Nasional Sarekat Islam di
Bandung yaitu, “Pertama, segenap undang-undang yang akan diberlakukan untuk
pribumi, harus dibuat bersama dengan pimpinan perwakilan dari rakyat Indonesia.
Berarti kongres menuntut adanya dewan perwakilan rakyat. Kedua, dengan
diberlakukannya sistem desentralisasi dari Pemerintah Hindia Belanda sejak 23
Juli 1903, maka kongres menuntut agar sistem desentralisasi diberlakukan lebih
luas untuk seluruh wilayah Nusantara Indonesia. Dengan kata lain, kongres
menuntut agar Indonesia ber-pemerintahan sendiri atau Indonesia Merdeka.”
Selain dari dua hal
tersebut kongres nasional Sarekat Islam juga menuntut agar diizinkan ikut serta
dalam Indie Weerbaar (Pertahanan India
atau pertahanan Indonesia). Cara yang dilakukan yaitu mengikutsertakan pemuda
Indonesia dalam pertahanan. Bousquet (Suryanegara, 2012: 395) mengatakan bahwa
:
“Sjarikat Islam
menyadari kuatnya penjajah karena memiliki siperioritas militer. Sebaliknya,
ulama dan Santri dalam posisi lemah karena tidak memiliki organisasi militer
moderen. Dengan menyertakan para pemuda dalam sistem pertahanan yang
dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam menghadapi Perang Dunia I
(1914-1919 M), diharapkan nantinya mereka akan dapat merebut kembali kedaulatan
bangsa dan negara dari penjajah. Rencana tersebut, baru berhasil pada masa
pendudukan Jepang (1942-1945 M) dalam upaya memenangkan Perang Asia Timur Raya
(1941-1945 M), yakni dengan dibentuknya Tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan
Lastjar Hizboellah.”
Ricklefs (2008: 371)
menyebutkan bahwa, “masalah Indie
Weerbaar (Pertahanan Hindia) mula-mula merupakan persoalan pertahanan,
tetapi segera berkaitan erat dengan usul-usul bagi pembentukan Volksraad, “dewan rakyat”. Gagasan
pembentukan milisi paruh-waktu yang terdiri atas orang-orang Indonesia telah
dipertimbangkan, dan ditolak oleh pemerintah pada tahun 1913-4. Akan tetapi,
dengan pecahnya Perang Dunia I pada bulan agustus 1914, gagasan tersebut
dibicarakan lagi, karena milisi merupakan kekuatan pertahanan yang lebih murah
daripada memperbesar pasukan profesional.”
Berkaitan dengan
pandangan SI terhadap pembentukan Indie
Weerbaar sendiri, Ricklefs (2008: 371) mengungkapkan bahwa, “..., kampanye Indie weerbaar dengan cepat berubah
menjadi isu perwakilan rakyat. Pada tahun 1916-1917, suatu delegasi yang
terdiri atas wakil-wakil Budi Utomo, SI, Regenten Bond, dan
organisasi-organisasi serupa dari keempat kerajaan Jawa berkunjung ke negara
Belanda. Mereka mengajukan petisi kepada ratu Wilhelmia dan berkeliling negara
itu guna memberikan ceramah-ceramah. Ketika perlemen Belanda bertindak
menangani masalah-masalah itu, maka rancangan undang-undang bagi pembentukan
milisi pribumi tidak disetujui, tetapi pada bulan Desember 1916 rancangan
undang-undang bagi pembentukan Volksraad disetujui.”
Di dalam kubu Sarekat
Islam sendiri juga terdapat perbedaan pendapat. Salah satu tokoh Sarekat Islam
yaitu Samaun tidak menghendaki jika SI masuk ke dalam Indie Weerbaar. Pringgodigdo (1994: 8), “tetapi pimpinan C.S.I.
masih menyetujui aksi aksi
parlementer-evolusioner. Juga usulan Samaun untuk tidak ikut campur dalam
gerakan Indie Weerbaar tidak terima
(pada waktu itu Abdul Muis sebagai anggota “utusan Indie Weerbaar” memberikan
laporan tentang pengalamannya di negeri Belanda.”
Selain tidak menyetujui
SI masuk ke dalam Indie Weerbaar, Samaun
juga tidak setuju jika SI masuk ke dalam Volksraad.
Pringgodigdo (1994: 8) menyebutkan bahwa, “Usaha Semaun agar S.I jangan ikut
duduk dalam Volkstraad juga sia-sia. Semaun berkata, Volksraad hanya suatu
pertunjukan kosong, suatu akal dari kaum kapitalis mengelabuhi mata rakyat
jelata untuk memperoleh untung lebih banyak. Terhadap ini Abdul Muis
berpendapat: turut duduk didalamnya dengan sambil berusaha, lambat laun
mengubah Volksraad menjadi sebuah parlemen sejati. Kongres mufakat SI turut
serta dalam komite nasional yang didirikan atas anjuran BU. Komite itu
mempunyai tujuan membuat daftar nama-nama calon anggota Volksraad untuk
dipimpin oleh majelis-majelis daerah dan/atau diangkat oleh pemerintah Hindia
Belanda; SI akan memajukan dua calon.”
Volksraad
berdiri atas keputusan dari pemerintah Belanda mengenai Dewan Nasional. Seperti
telah dipaparkan di atas bahwa kongres nasional SI di Bandung menghendaki
adanya Dewan Perwakilan Nasional. Sayangnya pendirian Volksraad tidak sesuai dengan harapan. Rutgers (2012: 10)
mengatakan bahwa, “Tetapi tuntutan-tuntutan gerakan nasional dan Sarekat Islam
jauh melebihi itu, hingga di sana-sini timbul bentrokan. Di kalangan kaum tani
timbullah gerakan samin, yang pimpinannya dipegang oleh Samat. Gerakan ini
mempunyai tujuan-tujuan komunisme kuno untuk kaum tani.”
Kongres Nasional SI ke
III di Surabaya membicarakan kelanjutan
dari kongres di Bandung mengenai Dewan Rakyat. Dengan tanggapan dan pembicaraan
dari pemerintah Belanda mengenai dewan rakyat yang dibentuk sebagai Volksraad. Sayangnya anggota pribumi
yang ikut serta dalam Volksraad
sedikit, lebih banyak diisi oleh orang-orang luar pribumi.
2.3.2
Pecah Menjadi SI Revolusioner dan SI
Berlandaskan Asas Islam
Ketika pengaruh Rusia
mulai menyebar ke penjuru dunia, tidak luput pula pengaruhnya datang ke
Indonesia. Pengaruh ini dimulai saat Sneevliet mendirikan Indische sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) di Surabaya.
Ricklefs (2008: 370) mengungkapkan, “Pada tahun 1913, H.J.F.M. Sneeviet
(1883-1942) tiba di Indonesia. Dia memulai kariernya sebagai penganut mistik
Katolik, tetapi kemudian beralih ke ide-ide sosial-demokrat yang revolusioner
dan aktivisme serikat buruh. Dia kemudian bertindak sebagai agen komintern di
Cina dengan nama samaran G. Maring. Pada tahun 1914, dia mendirikan Indische
Sociaal-Democratische Vereeninging (ISDV), “Ikatan Sosial-Demokratis Hindia”,
di Surabaya.
Sayangnya kelemahan
dari ISDV yaitu anggota-anggota yang tergabung di dalamnya terdiri dari
orang-orang Belanda. Untuk mengambil hati rakyat pribumi maka tahun 1915
menjalin kerjasama dengan Insulinde.
Sayangnya kerjasama dengan Insulinde
tidak berpengaruh besar, maka dari itu mulai dilirik Sarekat Islam. Ricklefs
(2008: 370) mengemukakan, “Anggota Insulinde berjumlah 6000 orang, termasuk
beberapa orang Jawa terkemuka, tetapi organisasi ini jelas bukanlah alat yang
ideal untuk mendapatkan basis rakyat. Oleh karena itu, perhatian ISDV mulai
beralih kepada Sarekat Islam, satu-satunya organisasi yang memiliki pengikut di
kalangan rakyat Indonesia.
Tahun 1914 Semaun yang
termasuk ke dalam anggota sarekat Islam di cabang Surabaya bergabung dengan
ISDV. Semaun kemudian dipindahkan ke Semarang. Semaun membawa ideologi sosialis
yang dibawanya dari ISDV ke Sarekat Islam cabang Semarang ini. Ricklefs (2008:
372) mengemukakan, “pengaruh kiri dalam Sarekat Islam semakin bertambah besar
karena ISDV berusaha memperoleh basis rakyat. Pada tahun 1914, seorang pemuda
Jawa buruh kereta api yang bernama Semaun (1899-1971) menjadi anggota SI cabang
Surabaya. Pada tahun 1915, dia pindah ke Semarang, di mana Sneevliet aktif
dalam Serikat Buruh Kereta Api dan Trem (VSTP). Kini Semaun juga bergabung
dalam ISDV. Jumlah anggota SI Semarang berkembang pesat mencapai 20.000 orang
pada tahun 1917. Di bawah pengaruh Semaun, cabang ini mengambil garis
antikapitalis yang kuat.”
Kongres Nasional SI ke
II menuai konflik antara Semaun dengan Abdoel Moeis mengenai masalah Volksraad dan Indie Weerbaar. Giie (Muryanti, 2010: 30) mengemukakan, “Dalam
kongres ini untuk pertama kali membahas masalah tanah partikelir, perkebunan
tebu, Volksraad dan masalah nasib
buruh. Namun dalam kongres tersebut terjadi pertentangan antara Abdoel Moeis
dengan Semaun terutama mengenai masalah Indie
Weerbaar dan Volksraad. Hasilnya
golongan yang anti Indie Weerbaar dan
memihak Sarekat Islam Semarang hampir separuh.”
Akibar konflik yang
terjadi di dalam kubu Sarekat Islam sendiri berkaitan dengan perbedaan ideologi
maka SI terpecah menjadi dua. Sarekat Islam yang tetap mempertahankan asas
kebangsaan dan keagamaan (SI Putih) dan anggota yang berpindah haluan menjadi
sosialis-komunis yang dipimpin oleh SI cabang semarang.
Faktor-faktor perpecahan
yang terjadi di dalam tubuh Sarekat Islam sendiri bermula dari keinginan untuk
bergabung dengan Volksraad dan Indie Weerbar. Keinginan ini membuat
munculnya golongan yang tidak sependapat dan menentang keras. Masuknya pengaruh
Sosialis-komunis yang dibawa oleh Sneeviet dan Semaun. Pengaruh ini
mengakibatkan perbedaan ideologi yang sangat drastis di dalam kubu Sarekat
Islam itu sendiri.
2.4
Kemunduran Partai Serikat Islam
Kehancuran atau
kemunduran Partai Serikat Islam ini dimulai pada saat struktur organisasi
partai yang dianggap telah sempurna, lalu adanya pemecatan terhadap Dr.
Soekiman yang merupakan salah satu elit pengurus partai. Kemudian Dr. Soekiman
beserta pengikutnya membentuk sebuah partai lagi yang diberi nama Partai Islam
Indonesia (PII), kemudian adanya konflik di dalam partai juga membuat partai
ini semakin melemah. Melemahnya partai juga terlihat pada saat “Kongres Partai
Sarekat Islam tahun 1927 menegaskan bahwa tujuan perjuangan adalah mencapai
kemerdekaan nasional berdasarkan agama Islam. Karena tujuannya adalah untuk
mencapai kemerdekaan nasional maka Partai Sarekat Islam menggabungkan diri
dengan Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia
(PPPKI)” (Hasyim, 2010). Kemudian, hal
ini terlihat pada tahun 1938 ketika Abikusno sudah mulai tidak konsisten dengan
ia memilih menggabungkan PSII ke dalam GAPPI yang dianggap sebagai wadah
Organisasi Nasional. Tujuan GAPPI adalah mempersatukan semua partai politik
Indonesia Raya. Dasar aksinya adalah hak mengatur diri sendiri, kebangsaan yang
bersendikan demokrasi menuju cita–cita bangsa Indonesia. Kemudian juga
kelemahan dan kehancuran partai pun semakin terlihat pada tahun 1939, ketika
secara resmi S.M. Kartosuwiryo mengundurkan diri dari kepengurusan Partai,
Kartosuwiryo pada saat itu jabatannya adalah sebagai sekjen yang merangkap
sebagai wakil Presiden dalam partai, dan setelah ia keluar dari Partai Serikat
Islam Indonesia, ia membentuk sebuah lembaga yang dinamakan lembaga Suffah
(Pusat Pendidikan Kaderisasi Gerakan).
BAB IIIPENUTUP
3.1
Kesimpulan
3.2
Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
Adikarya. Suhartono. 1994. Sejarah
Pergerak Nasional:Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Gie, Soe Hok. 2005. Dibawah Lentera
Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920. Yogyakarta : Bentang.
Hanifah, Abu. 1978. Renungan Sejarah
Bangsa Dulu dan Sekarang. Jakarta: Yayasan Indayu.
Hasyim, M. (2010) Serikat Islam. [Online]. Tersedia : http://hasheem.wordpress.com/2010/02/17/sarekat-islam/. [6 Maretg 2013]
Kartodirdjo, Sartono. 1975. Sarekat
Islam Lokal. Jakarta: Arsip Daerah Republik Indonesia.
Materu,
Mohamad Sidky Daeng. (1985). Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia.
Jakarta: Gunung Agung.
Muhibin, M. (2009). Politik Hijrah Perjuangan Partai Sarekat
Islam Indonesia dalam Melawan Pemerintahan Kolonial Belanda Tahun 1923-1940.
[Online]. Tersedia : http://digilib.uin-suka.ac.id/3654/1/BAB%20I,V.pdf. [6
Maret 2013]
Muljana.
Slamet. (2008). Kesadaran Nasional dari
Kolonialisme Sampai Kemerdekaan Jilid
I, : LkiS Yogyakarta.
Muryanti,
Endang. (2010). Muncul dan Pecahnya
Sarekat Islam di Semarang 1913-1920. Semarang : Paramita Vol. 20 No. 1
Nurhadiantomo. 2004. Hukum
Reintegrasi Sosial: Konflik-Konflik Sosial Pri-Nonpri dan Badan Keadilan Sosial.
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Padmo, S. (2007). Gerakan Pembaharuan Islam Indonesia dari Masa ke Masa : Sebuah
Pengantar. [Online]. Tersedia : http://journal.ugm.ac.id/index.php/jurnal-humaniora/article/view/899/746. [6
Maret 2013]
Poesponegoro, Marwati Djoened dan
Notosusanto, Nugroho (ed). 1993. Sejarah nasional Indonesia V. Jakarta :
Balai Pustaka.
Pringgodigdo,
A.K. (1994). Sejarah Pergerakan Rakyat
Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Ricklefs, M.C. (2005). Sejarah
Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Ricklefs, M.C.
(2008). Sejarah Indonesia Modern
1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
Rutgers, S.J.
(2012). Sejarah Pergerakan Nasional
Indonesia. Yogyakarta: Ombak
Setianto, Y.
(2012). Sarekat Islam : Gerakan Awal
Nasional – Religius di Indonesia. [Online]. Tersedia : http//asosiasiwipknips.wordpress.com/2012/08/14/sarekat-islam-gerakan-awal-nasional-religius-di-indonesia/. [6 Maret 2013]
Suryanegara,
A.M. (2012). Api Sejarah. Bandung:
Salamadani
No comments:
Post a Comment