8/03/2015

Creepypasta bahasa "On The Bus"

Credited to : Lucas Llinàs Mùnera
Translated & Retold by : Manon




Jauh sebelum kedatangan para penjelajah Spaniard, jalanan, aspal & tanah Columbia yang berdebu adalah lahan subur bagi berkembangnya cerita2 mitos, serta legenda kota. Misal kisah tentang 'La Patasola', hantu wanita berkaki satu yang bergentayangan mencari anaknya sambil menangis pilu, dan juga tentang 'El Duende', goblin yang berjalannya mundur dan sering menyebabkan para pengelana menemui ajalnya, yang sudah selama berabad2 menjebak dengan meng-iming2i para pelancong tempat peristirahatan sejenak.
Meskipun cerita2 tersebut biasanya mempersulit mereka yang tinggal atau yang hendak melewati tempat bersangkutan, perkembangan peradaban masih saja memunculkan benih baru dari legenda kota yang masih di yakini, jauh dalam hati orang banyak, di masa teknologi yang moderen ini. Sebagai contohnya adalah cerita tentang bus hantu yang disebut sebut sering terlihat di sekitar jalanan Bogota saat malam. Desas desus tersebar bahwa ada seorang wanita muda yang menumpangi bus itu sendirian, namun beberapa hari kemudian tubuhnya yang termutilasi di temukan di sebuah ladang gersang tak bertuan, ekspresi di wajah kakunya menggambarkan saat saat terakhirnya yg penuh kengerian dan penderitaan.


Seperti kabar yang tersebar, jika kau bukan seorang wanita muda, dan saat itu bukan hari Selasa jam setengah enam petang, maka kau tak perlu cemas akan munculnya bus hantu tersebut atau dihampiri oleh kurcaci2 buruk rupa.


Kau sudah menggunakan transportasi Bogota selama lebih dari dua dekade, dan yang paling kau sayangkan adalah sistem peredaran bus mereka yang tidak mengimbangi kesibukan masyarakat yang semakin meningkat. Tapi apa boleh buat, rumahmu 80 blok jauhnya, jadi pilihanmu hanya satu yaitu menunggu bus yang melalui jalur menuju rumahmu. Berjalan akan lebih menyusahkan dari pada lamanya menunggu angkutan umum lewat.


Akhirnya muncul juga bus yang jalurnya melewati rute rumahmu, poster ongkos yang tertempel menunjukan tarif penumpang lebih murah 200 peso dari tarif standar yang diberlakukan sekarang. Biasanya ini menunjukkan bahwa bus tersebut merupakan bus lama dan agak tak nyaman dibanding transportasi kebanyakan, namun tak seorang sopir bus pun dalam sejarah kota itu yang perduli akan masalah tersebut. Masyarakat yang menilai dirinya lebih kaya atau merasa sebagai "golongan elit" akan memilih berpergian dengan taksi yang tarifnya lebih mahal tujuh kalinya dari ongkos bus, dan berdasarkan fakta yang ada, hal ini menjadikan diri mereka lebih beresiko untuk dirampok atau di palak.
Tapi itu adalah pilihan mereka bukan?


Namun kau termasuk orang yang sangat suka menawar, jadi kau menanyai si sopir tua apakah kau boleh naik dengan membayar tarifnya sebanyak seribu peso saja.
Sepasang mata di wajah tua dan keriput si sopir bus tak teralihkan dari jalan, tanpa menjawab dia menerima bayaran ongkosmu dan langsung memasukannya ke tas yang tergantung di tuas perseneling.
Dengan hati puas, kau menoleh ke bagian penumpang; sebuah kursi kosong pasti nyaman untuk perjalananmu yang panjang ini.


Kau merasa agak aneh (mengingat saat itu masih siang), karena tidak terdapat cukup banyak penumpang di sana sehingga tidak seorangpun harus berdiri. Beberapa kursi terlihat masih kosong, jadi kau pilih satu yang di sebelah kiri, di baris tengah. Baik tempat duduk yang di pinggir atau yang dekat jendela keduanya kosong, kemudian kau duduk di kursi dekat jendela sambil menghela pelan dan kau rentangkan kakimu ke kursi sampingnya. Perjalanan yang tidak biasa ini pasti akan segera berakhir dengan biasa biasa saja.

Radio sopir mati dan batere di hp mu sudah habis sejam yang lalu, jadi kau menikmati waktu dengan memandang keluar jendela, melihat para pedagang keliling menjajakan dagangannya, para pengendara mobil mengangguk ngangguk oleh musik yang sedang mereka dengarkan.
Posisi dudukmu mulai mengakibatkan punggungmu pegal, kau pun merentangkan tubuhmu dan sekilas kau mulai mencuri curi pandang ke arah penumpang lainnya. Tampaknya tak ada dari mereka yang naik bersama, mereka hanya saling mendiamkan dan selalu menghadap ke depan. Mereka juga semuanya benar benar tua dan peot-- tidak peot seperti sudah berumur lebih dari 100 tahun, tampaknya mereka berumur 75 kebawah. Kau merasa sedikit heran, dan pemikiran bahwa kau seharusnya tidak berada disana terlintas di benakmu.
Pikiran konyol, namun jika di gabung dengan kuatnya bau yang tidak biasa (meskipun tak terlalu penting) dari logam dan karat, membuatmu mendongak untuk melihat apa kau sudah hampir sampai ke tujuanmu. Sayangnya, perjalananmu masih sepanjang 30 atau 40 blok lagi, jadi kau lalu memandang ke luar jendela lagi, menerawang keluar, dan untuk sejenak membiarkan angan anganmu terbang melayang kemanapun yang diinginkannya.

Pemandangan toko Pacho Bakery membuyarkan lamunanmu yang telah berlangsung 20 menit lamanya. Kau berdiri kemudian melenggang melewati para penumpang bisu di sekitarmu menuju ke pintu keluar bus, sambil meneliti dimana tombol perak yang harus kau tekan sehingga sang sopir tahu bahwa kau akan turun.
Ketika kau mendongak dan mendapati tombolnya berada di atas pintu, kau baru sadar bahwa tak seorang penumpangpun yang bertambah atau berkurang dari sejak saat kau naik, yang mana sangat ganjil pada jam jam sibuk siang itu. Kau menepis pemikiranmu dengan berasumsi bahwa itu hanyalah suatu kebetulan yang tidak biasa, kau memencet tombolnya lalu menggenggam pegangan pintu dan-

Kau duduk di kursimu, menghadap ke depan.

Apa... apa apaan yang terjadi barusan? Kau menengok ke sekeliling dan mendapati semua orang masih berada di tempat mereka seperti sebelumnya. Kau mencoba untuk melakukan kontak mata dengan mereka namun percuma karena tampaknya mereka telah melayang hilang entah kemana dalam angan2 tua mereka. Gagasan untuk mengatakan sesuatu muncul di otakmu, tapi kau memutuskan untuk menepisnya. Lagipula, apa juga yang harus kau katakan? Mungkin saja kau terlalu tenggelam dalam lamunanmu sehingga tanpa sadar kau membayangkan dirimu sendiri beranjak untuk menekan tombol belnya pak sopir.


Ya mungkin ; khayalan siang bolongmu terlalu hidup sehingga mengejutkanmu saat kembali ke dunia nyata.
Lagi pula, busnya sudah melaju melewati tempat tinggalmu sejauh dua blok. Boleh saja kau menyebutnya "kejadian aneh saat perjalanan pulang" atau apalah, tapi sekarang kau harus turun dari bus dulu. Menyebalkan sekali jika harus berjalan balik terlalu jauh. Kau (sekali lagi) bangkit dari kursimu dan melangkah menuju pintu, entah kenapa saat itu kau merasa gugup akan para penumpang lain yang begitu tak memperdulikan apapun dan siapapun di sekitar mereka.


Nah itu tombolnya, persis berada di tempat yang kau ingat. Hanya saja kau tak ingat bagaimana kau bisa ingat dimana letak tombol itu, tentu saja, karena kau tidak benar benar pernah kembali ke sana ; mungkin kau melihat tombol itu saat tadi kau naik ke bus. Setelah berpegangan ke tiang bus, menatap ke sopir, kau lalu menekan jempolmu ke tombol-


Kau duduk di kursimu, menghadap ke depan.


Hawa dingin menyeruak tulang punggungmu, dan bukannya mereda, malah semakin menjalar ke setiap kaki dan tanganmu. Perasaan ini bukan disebabkan oleh sistem penyesuaian suhu tubuh, ini adalah perasaan yang kau rasakan saat tiba tiba hatimu terjerat oleh ketakutan yang muncul mendahului teror. Sesuatu yang sangat salah sedang terjadi.


Kau tak tahu apa, kau hanya ingin keluar, kau tak ingin berada di dalam bus itu lagi. Benakmu diselimuti kesunyian yang mencekam; entah apa yang di pikirkan orang orang di sekitarmu, yang pasti mereka tidak memikirkan kejadian yang sedang kau alami ini.
Maka dari itu, kau kembali memutuskan untuk tak berbicara apa-apa dan beranjak lagi dari kursimu, dengan lebih panik dari sebelumnya. Segala yang kau inginkan saat itu adalah keluar dari bus. Dan lagi rumahmu sudah terlewat sejauh sepuluh blok, dan mendadak kau merasa tidak lagi keberatan untuk berjalan kembali walaupun cukup jauh. Namun yang paling utama kau harus keluar dulu dari bus sialan itu.


Saat kau melangkah ke pintu belakang (bus kan pintunya ada dua, depan dan belakang), seorang wanita tua di barisan paling pojok mendongak dan menatapmu. Ekspresinya tak menunjukan apapun, namun keterpakuan wajahnya padamu --kearah batang tubuhmu lebih tepatnya-- seolah olah kau ini adalah semacam bagian dari bus dan lama kelamaan perasaan ngeri mengalir menjalari urat urat nadimu.


Sadarlah, kau tak boleh panik, tidak sekarang. Kau berdiri di bagian belakang bus, tanpa menekan bel lagi, kau berteriak pada sopir untuk berhenti, dan membiarkanmu turun, berseru bahwa kau sudah dua kali membunyikan belnya, namun dia tetap membisu. Kau memakinya, mengancamnya dengan kematian dan mendoakan hal buruk menimpa anak cucunya, tetapi pintu masih tertutup. Sopir itu tak mendengarkan. Atau tak menghiraukan. Atau tak ingin kau turun dari bus.
Tapi kau tak perduli tentang apa yang dia inginkan atau tidak inginkan, jadi kau berpegangan pada tiang, melangkah mundur, berancang ancang, kemudian menjejakkan kaki sekuat tenaga tepat di tengah engsel pintu yang-


Kau duduk di kursimu, menghadap ke depan.


Butuh waktu sesaat bagimu untuk mencerna hal yang terjadi barusan. Mungkin lebih dari hanya sesaat, mungkin satu menit penuh.


Ketika kau paham bahwa bus itu takkan membiarkanmu keluar, kau mulai merasakan sakit yang tiba tiba di lututmu, nyeri yang tajam dan menusuk. Itu lutut dari kaki yang kau gunakan untuk menjejak pintu, dan walaupun kau mengalami sakitnya, pintu itu tetap tak rusak sedikitpun. Sambil memijat kakimu yang sakit kau mulai merasa putus asa, saat itulah kau melihat kedua punggung tanganmu.


Yang tidak lagi terlihat seperti tangan milik orang yang berusia 25 tahun. Tampak keriput, dengan urat uratnya yang menonjol dan bahkan lengkap dengan bintik bintik kehitaman. Semakin kau fokus pada tangan dan lenganmu, perasaan ngeri yang sangat melahap setiap sisi kejiwaanmu. Kau meraba wajahmu, kerut kerutan itu, janggut itu, sebelumnya tak pernah ada di dagumu. Beberapa helai rambut yang tersisa seadanya menghiasi kepalamu; saat jari jarimu menyentuh pitak di batok kepalamu, percikan listrik kejut dari jantungmu begitu menyengat ke setiap penjuru batinmu yang terdalam. Matamu serasa perih, karena kau terus terbelalak oleh ketidakpercayaan, kau merasa seolah olah kerongkonganmu tersumpal oleh gumpalan horor seberat tujuh ton, mengakibatkanmu tak mampu berkata kata.


Kau harus keluar dari bus jahat itu, kau harus pergi sebelum benda itu menyelesaikan apa yang telah dimulainya. Dengan waspada kau bangkit dari kursi--kau tak ingin menciderai dirimu sendiri lebih jauh lagi--dan melangkah menuju ke depan, mendekat ke sopir. Mungkin kau bisa mengiba padanya, atau mungkin kau bisa memukulnya sampai mati dengan senter atau apapun, mengingat terdapat banyak macam alat perkakas dan pernak pernik di bagian depan bus-


Kau duduk di kursimu, menghadap ke depan.


Kali ini kau perlu lima sampai sepuluh menitan untuk kembali memahami kejadian yang baru kau alami, tentang hilangnya kehidupanmu hanya dalam sekejap mata. Kedua tanganmu sekarang serupa dengan tangan nenekmu, punggungmu terasa linu mulai dari pangkal sampai leher, dan penglihatanmu mengkaburkan simbol simbol di poster yang menempel diatas jendela. Bahkan ingatanmu tidak setajam yang seharusnya; butuh waktu agak lama bagimu untuk mengingat bahwa kau harus mencari cara lain keluar dari bus itu.


Mungkin kekerasan bukan cara yang tepat, mungkin kau bisa membuka pintunya jika dengan lembut. Mungkin jika kau memperlakukan bus itu layaknya makhluk hidup, mesin iblis itu akan tersentuh hatinya dan membiarkanmu keluar, mungkin...


Si wanita tua itu kembali menatapmu. Kau melihat dia mengenakan jaket biru, yang mana terlalu kebesaran untuk ukuran badannya; jika dia memakai kemeja seukuran itu, maka pasti akan terlihat menjuntai dan kedodoran di tubuhnya yang ringkih. Setetes air mata menetes di wajah kuyunya yang tanpa ekspresi, mengalir mengikuti gurat keriputnya lalu jatuh menetes lemah ke atas gelang tangannya. Sebuah jam Totto berwarna merah melingkar di gelang itu, yang sedang tren di kalangan anak anak yang baru lulus SMA.


Kau mempelajari pintu bus. Dua panel digabungkan dengan sebuah engsel yang posisinya vertikal, setiap sisi pinggir pintu dilapisi bantalan karet guna meredam benturan.
Terdapat sebuah celah di pintu yang bengkok membuka, saat kau menyadari ini, secercah harapan merasukimu. Jika kau memasukan-


Kau duduk di kursimu, memandang ke depan.


SIAL JAHANAM GILA SIAL APA SIH YANG SEDANG TERJADI TANGANKU JADI TUA TANGANKU SEMAKIN RENTA TANGANKU SEPERTI TANGAN PRIA TUA BANGKA, TIDAK SEPERTI TANGAN KAKEKKU, MALAH AMAT SANGAT TUA SEPERTI PRIA TUA DIBELAKANG SANA KAU MENGAMUK KAU BERPALING PADA SOPIR DAN MEMBENTAKNYA DAN MENCENGKERAM WAJAHNYA DAN BERTERIAK SUPAYA DIA MEMBIARKANMU KELUAR DIA MENGGUMAMKAN SESUATU YANG TAK KAU PAHAMI GIGINYA DARAHNYA GIGIMU OH TUHAN GIGIKU SEPERTI KEROPOS MENCIUT KOTOR DAN BUSUK DAN APA APAAN INI SUDAH BERAPA LAMA AKU BERADA DI SINI SIAL AKU TAK PEDULI LAGI AKAN KU PECAHKAN JENDELANNYA DENGAN SIKUKU MESKIPUN SAMPAI PATAH AKU TAK MAU MATI DI SINI TAKKAN ADA LAGI-


Kau duduk di kursimu, memandang ke depan.


Setelah berlama lama, kau memandang ke bawah, ke tanganmu. Tampak tulangnya bertonjolan, rematik, kotor sekali kuku kuku itu dan pecah pecah seperti kuku wanita tua penyihir yang sering muncul di televisi, yang telah di saksikan dan di takuti oleh lebih dari satu generasi penuh anak anak kecil.


Wanita penyihir? Wanita penyihir bukanlah kata yang tepat. Karena dia wanita, benar kan? Paling tidak yang selalu ibumu ceritakan. Semisal tentang La Patasola.


Lututmu masih nyeri, tapi sekarang sikumu juga sakit. Rasanya seperti ter-iris iris. Ah, ya. Ini adalah bus. Kau harus turun. Kau tahu kau harus melakukannya. Kau tak ingat mengapa kau harus keluar, tapi kau sudah bertekad. Harus segera. Harus cepat. Kau sangat lelah.


Kau mencoba bangkit dari kursimu namun lututmu bergemeletuk menahan bobot tubuhmu; maka kau kembali jatuh terduduk di kursi. Kau harus keluar dari bus. Kau terkenang oleh bus bus semacam ini, yang biasa kau naiki saat pergi bekerja. Kau berancang ancang hendak bangkit dari kursi. Kau akan mencoba untuk turun dari bus. Tapi tunggu sebentar. Kau harus mengumpulkan tenaga dulu. Turunnya nanti saja. Busnya bisa menunggu.


Kau duduk di kursimu, menghadap ke depan.


Kau duduk di kursimu, menghadap ke depan.

No comments:

Post a Comment