7/28/2015

Creepypasta bahasa "The Crow--Ling"











Yah, ini adalah Cerita yang sangat panjang--namun sangat layak untuk di baca bagi yang benar-benar mencintai Creepypasta karakter. mungkin ada 2 atau 3 part lagi dan semuanya panjang..


jadi, kalau kalian mencintai Creepypasta, kalian layak memberikan waktu beberapa menit untuk membacanya.






The Crow--Ling~


Source: Creepypasta.Indonesia-






Credit: F.A--F


***













Well, aku akan memulainya. Sebuah Cerita yang mungkin tak pernah terbayang sebelumnya, sebuah cerita yang akan merubah segalanya tentang kehidupanku—mungkin yang jauh lebih buruk dari sebuah fantasy terkelamku. Cerita tentang makhluk yang awalnya ku pikir hanya sebuah lelucon dari mulut-mulut usil—aku menyebutnya dengan “The Crow” yang lain menyebutnya dengan “The—Crow’ling”.






Semua ini di mulai saat liburan Musim panas, sekolah mengadakan perjalanan berwisata ke sebuah Kota Tua—butuh waktu setidaknya 8 jam untuk sampai disana, sebelumnya aku tidak pernah berpikir untuk mengikutinya, mengingat aku memiliki agenda berlibur bersama keluargaku, sampai ayahku yang dengan seenaknya mengatakan dia harus pergi ke luar Negri untuk satu alasan yang paling ku benci, “Pekerjaan”—hingga terpaksa akhirnya aku harus ikut dalam agenda Sekolah.






Aku memiliki satu kebiasaan unik dari dulu, meskipun bila kau melihatku tampaknya aku terlihat bukan seperti gadis Feminim, namun aku memiliki kebiasaan layaknya gadis yang sangat Feminim, yaitu menulis semua Cerita keseharianku dalam sebuah buku Harian kecil.






Mungkin terdengar klise, namun aku menulis itu semua sebagai pengingat dari setiap kepingan kenangan yang pernah ku lalui, alasan yang paling tepat adalah karena aku memiliki penyakit—langka yang mungkin masih asing di telinga kalian, yaitu Amnesiather, seperti Amnesia, namun memiliki perbedaan dari tingkatan stress ketika melupakan sesuatu yang penting.






Aku bisa melihat Sebuah Bus kuning besar, sedang terparkir di depan rumahku, dan saat itu aku seolah tahu apa yang akan di katakan oleh ibuku. “Janine, kau sudah siap Nak, sepertinya teman-temanmu sudah tiba—“ ucapnya sembari memberikanku Tas, dan mengantarku berjalan ke halaman Rumah.






Aku bisa melihat semua teman-teman menatapku dengan senyuman khas mereka, aku menyambutnya dengan senyuman tipis, sebelum aku mulai meninggalkan ibuku yang berniat untuk mencium keningku, namun aku mengalihkan dahiku sebelum bibir hangat itu menyentuhnya. Aku memang merasa bersalah setelah itu—namun aku bukanlah bocah kecil lagi. Terlebih dia akan melakukanya di depan teman-temanku, aku sangat malu. Namun ibu tampak mengerti, terlihat dari bagaimana dia membelai kepalaku. Dengan pelan, aku mulai duduk di tepian jendela Bus. menatapnya, ketika Bus mulai melaju pelan, meninggalkan sosoknya yang terus melambai ke arahku.






Aku duduk dengan teman sebangkuku, Grisia, gadis berambut pendek manis yang tidak terlalu ku kenal, mungkin aku mengenalnya begitu juga denganya, namun kami tidak begitu akrab, atau lebih tepatnya aku yang tidak benar-benar punya teman yang akrab denganku.






Untuk beberapa saat, aku berusaha menikmati perjalanan itu.






-14 Januari—pukul 08.30 pagi.






Aku mengeluarkan catatan kecil, dan sebuah pena, kemudian mulai menulis kegiatan pagiku, tidak banyak—karena ayahku sudah berangkat sebelumnya, hanya kejadian saat sarapan bersama ibuku, dimana dia menjelaskan apa saja isi tas yang dia persiapkan untukku.






Grisia melirikku beberapa kali, tampaknya dia ingin tahu apa yang selama ini ku lakukan dengan buku kecil itu. Aku hanya meringis memandangnya, berusaha meyakinkanya tidak ada yang aneh dari kertas ini, hanya sebuah catatan tak berarti.






Ku sadari, Bus mulai melaju di jalanan lurus, di Tepian sebuah jurang—cukup aman dengan pemandangan yang memukau, aku bisa melihat tebing-tebing dengan pepohonan lebat disana-sini, aku dan Grisia, begitu terpukau dengan semua ini. Aku pikir, berlibur dengan semua teman-teman sekolahku bukan ide yang terlalu buruk.






Oh, untuk guru pembimbing kami, ada 3 orang dalam rombongan, Sir Redolf, Nona Anita, dan Mr. Glegorry, mereka adalah guru—guru pengajar di sekolah kami.






Sir Redolf adalah guru Olahraga, sementara Nona Anita adalah pengajar sastra bahasa kami, sedangkan Mr. Glegory adalah wakil kepala sekolah sekaligus guru Sejarah kami.






Bus mulai menuruni jalanan yang berliku, kemudian melewati sisi dalam hutan, tidak ada lagi Bukit—indah yang bisa kami pandang, kini hanya pohon –pohon besar yang bisa aku saksikan, semua Murid tampak asyik dengan obrolan mereka masing-masing, aku dan Grisia masih terlalu sungkan untuk saling bercakap-cakap, namun saat kami dalam keadaan kaku itu, kami di kejutkan dengan sebuah Sentakan yang membuat Bus tiba-tiba terpelanting, namun Sopir dengan cekatan mengerem, hingga Ban berderit kencang.. sebelum akhirnya benar-benar berhenti.






Aku dan semua murid, serta Guru pengawas tampak Shock, dan mulai melihat ke sisi jendela luar tentang apa yang terjadi.






Sopir berjalan keluar untuk beberapa saat, dan Mr. Glegory tampak menenangkan kami yang masih terkejut akibat apa yang baru saja menimpa kami. Bus berhenti tepat di jalanan yang Sepi senyap, lebih tepatnya jalur dalam Hutan.






Sir Redolf berjalan masuk dan tampak berbincang-bincang dengan Nona Anita, sesekali mereka melirik kea rah kami, tampaknya dari percakapan mereka, aku bisa mengira-ira ada yang salah dengan Ban-nya, mungkin pecah.






Beberapa saat, Mr. Glegory akhirnya berbicara dengan kami, dia mengatakan Bus mengalami kendala dengan Ban-nya namun tidak perlu ada yang khawatir, karena Sopir sedang berusaha menggantinya dengan Ban cadangan. Mr. Glegory dan Sir Redolf melangkah keluar, dan Nona Anita mencoba mencairkan suasana tegang, yang di sambut “Uhuuu—uu ” oleh semua murid.






Aku mulai bosan dengan semua ini, setidaknya sudah 10 menit kami ada disini, namun waktu terasa begitu lama, aku baru saja menulis kejadian ini di buku harianku, saat Grisia menepuk bahuku.






“Roti?” tawarnya.






Aku menolaknya, karena perutku masih terlalu penuh dengan sarapan pagiku, dia tampak mengerti dan memasukkanya kembali di tasnya. Kami terlibat dalam keadaan canggung kembali.






Sampai—dia tiba-tiba mengatakan. “Janine, kau suka dengan sebuah Cerita?” ucapnya tampak ragu-ragu memandangku.






“Cerita?!” aku mengulanginya.






“Eh—ya, Cerita Seram mungkin. Daripada kita bengong seperti ini”






Aku menatapnya sungkan, namun melihat dia mencoba berusaha akrbab denganku membuatku harus menyambutnya, jadi aku mengatakan, “Tentu saja—kau punya?” dengan sedikit gelak tawa kecil.






“Tentu.”






Aku mulai menatap Grisia, yang mulai meletakkan tasnya di atas kursi kami, dan dia menatapku serta membenarkan posisi duduknya agar aku bisa menatap dirinya dengan gampang.






“Kau pernah mendengar tentang The Crow’—Ling?”






“The—apa? Coling?” ucapku tampak bingung.






“Bukan Janine, tapi The Crow—ling. Sang Gagak Hitam? Em, mungkin kau tampak asing, namun The Crow—ling adalah makhluk yang mengerikan seperti cerita-cerita di Creepypasta, seperti, Slanderman, Pastel Man atau Jeff?? Kau tahu mereka bukan??”






Aku sedikit bingung, namun aku sedikit mengerti dengan makhluk –makhluk yang Grisia ucapkan, hanya saja, The Crow—ling, aku belum pernah mendengarnya. Aku mulai mengangguk berusaha mengerti dan Grisia mulai melanjutkanya.






“Kabarnya, dulu ada Makhluk mengerikan yang di berikan nama The Crow—ling atau sang Gagak, dia adalah makhluk Besar, Tinggi, namun tidak memiliki wajah, tidak ada Mata—hidung, telinga, hanya memiliki mulut, dia berbeda seperti Slanderman, karena kulitnya Hitam pekat keabu-abuan, dengan sayap Gagak kecil di punggung besarnya, tingginya sekitar 2 Meter lebih, dengan tangan panjang hingga menyentuh tanah.






Dia hanya memiliki mulut, namun dia tidak bisa mengatakan sesuatu dengan mulutnya, kau tahu kenapa? The Crow—ling menyimpan sesuatu di dalam mulutnya. Sesuatu yang sangat kelam, sebuah Mimpi atau mungkin Imajinasi yang buruk.






Dia biasanya akan menemui seseorang yang akan tertimpa Kemalangan, dia akan menyentuh si Manusia Malang, dan memberitahu bahwa, sesuatu yang buruk sedang mengelilinginya. Dia menceritakan sebuah detail tentang peristiwa yang mengerikan, namun dia menceritakan detail itu, sebagai penutup Kutukanya. Kau mengerti maksudku—Janine?” Grisia menatapku yang begitu terpaku mendengarnya, sampai aku hanya diam memandangnya.






“Janine—kau mengerti bukan?” Grisia mengulanginya.






“Oh—Ya. Lalu, apa kutukanya?? Sebuah mimpi buruk, seperti apa yang Pastel Man lakukan??”






“Tidak—dia sangat berbeda seperti Pastel Man, dia lebih buruk. Karena The Crow—ling hidup dari bencana manusia yang malang. Dia menghantui Manusia malang. Tidak semua orang bisa menemuinya, atau memanggilnya, dia yang menentukan dan memilih siapa yang akan menerima Keburukanya. Dia adalah makhluk yang selalu memberikan petuah dan petunjuk tentang Musibah terburuk.”






“Tunggu dulu—dia memberitahu Musibah? Bukankah itu artinya dia baik?”






“tidak Janine—masalahnya dia, menceritakan musibah dan kemalangan itu ketika semua sudah terjadi.”






Ku rasakan, langit mulai mendung dan aku bisa melihat, hujan mulai turun, sementara tubuhku mulai menggigil kedinginan, entah karena Cerita atau musim yang berganti namun aku tidak dapat menutupi bahwa diriku merinding mendengar ceritanya.






“Bagaimana kau tahu cerita tentang The—Crow, ya—??”






Grisia menatapku sangat dalam, sembari membisikkan sesuatu “ini adalah Cerita yang terkenal—kau tidak perlu tahu darimana aku mendengarnya, yang harusnya kau tanyakan adalah, kenapa aku menceritakanya kepadamu?? Itu jauh lebih Penting.”






“Apa—? Kenapa??” aku menatap wajah Grisia hingga wajah kami hanya berjarak beberapa centi meter.






“Karena dia sekarang—ada di belakangmu!!”






Brummm!! Aku berteriak kaget, saat mendengar suara Mesin berdebum-hingga semua orang menatapku.






Mr. Glegorry menatapku sembari bertanya, “kau tidak apa-apa Janine?”






“Eh, ya, ya, maafkan aku. Hanya saja—“






Aku bisa melihat Grisia mencoba menahan senyum. Dan saat Mr. Glegorry sudah kembali ke tempatnya, Grisia tertawa, “seharusnya kau lihat wajahmu yang pucat itu tadi—maaf maaf!! Aku bercanda”






“tidak lucu—“ aku mngumpat kesal.






Bus kembali berjalan, namun—jalanan mulai terasa licin ketika hujan mulai turun, sedangkan liku jalanan setelah keluar dari Hutan adalah Jurang, meski jam menunjukkan pukul 11 Siang, namun langit sangat Gelap. Aku berharap segera keluar dari Area ini, entah kenapa tiba-tiba perasaanku sangat tidak enak, dan bila aku benar, ini semua tentang Grisia dan cerita bodohnya tentang “The—Colling, The –Maling atau apapun itu. Aku benar-benar kesal, namun sangat menggelitik bila aku mengingatnya.”






Bus mulai melaju kencang, saat tiba-tiba kami berada di tepian Tebing kembali, Hujan semakin deras, dan membuatku semakin khawatir, Nona Alina berkali-kali meminta agar Sopir lebih berhati—hati sementara 40 murid lain tampak asyik bercanda dan sibuk dengan gadget mereka, saat—Chittttt!!






Bus kehilangan keseimbangan, dan Semua Murid terpental tak beraturan termasuk aku—dan Grisia yang harus terlempar dari tempat duduk kami. Sopir berusaha melakukan tindakan berarti namun yang terjadi, kami mengarah langsung ke Tepian Jurang, saat itu—untuk beberapa detik. Aku melihatnya..






Sesuatu yang berdiri di tengah-tengah Badan Bus bagian dalam, berdiri seimbang dalam Kondisi Bus yang terpelanting miring, sesuatu yang tinggi sampai harus membungkuk, tanpa Mata, tanpa telinga dan Hidung—hanya mulut yang menyeringai menatapku.






The Crow—ling??






.........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................






Itu adalah kalimat yang ku ucapkan saat terakhir, sebelum “Blaaarrr!!” serpihan kaca Jendela Bus mulai menghantam sesuatu, membuatku terpelanting dari satu tempat ke tempat lain, dan menghancurkan segalanya! Segalanya yang ku lihat, yang menimpa semua Orang, karena saat terakhirku sebelum aku menutup kedua mataku. Aku masih bisa melihat makhuk itu, berdiri menatapku, sesuatu yang hitam dan mencair keluar dari mulutnya, dan ku pikir, disinilah aku berakhir. Berakhir dalam Bencana kematian, yang sesungguhnya.






Hitam dan kelam, adalah sebuah gambaran yang muncul setelah semua ini, semuanya terlihat merasuki tulang belulangku, aku masih bisa mengingat jelas sosoknya si Gagak hitam. Dengan Kepalanya yang lonjong tanpa mata, hidung, telinga, hanya mulut busuk dengan sesuatu yang hitam ketika dia mengangah, tubuhnya yang tinggi, kurus, Telanjang tanpa kelamin, berdiri bungkuk dengan sayap gagak kecil yang terlihat tidak pantas untuk makhluk sepertinya, sayap ‘nya tidak terlihat singkron denganya, seperti melihat sisi lain dari Peri menjijikkan. Tanganya panjang menyentuh Alas kakinya, semua warna kehitaman itu dengan sedikit temberam dalam sisi keabu-abuan tentang The Crowling, si pembawa bencana begitu terukir jelas dalam ingatanku.






Aku melihat secercah Bayangan ketika perlahan suara-suara itu muncul di telingaku, awalnya tipis dan memecah, namun perlahan melembut dan terdengar memanggilku, “Janine, janine, Bangun nak, bangun!” yang ku lihat selanjutnya adalah wajah penasaran seorang Mr. Gligorry.






“jadi—ini yang namanya akherat Mr.” suaraku terdengar serak, dia menatapku dengan wajahnya yang buruk, lusuh dan kotor.






“sayangnya tidak Nak. Ini bukan Akherat”






Aku mulai menyesuaikan pemandangan yang terjadi di sekelilingku, awalnya semua terlihat samar-samar namun perlahan, fokusku mulai kembali—aku bisa melihat sesuatu yang terbakar. Sesuatu yang besar, kuning dan Ringsek berantakan. Aku membelalak berusaha berdiri dengan rasa sakit yang seketika mengencangkan otot-otot pada tulangku. Bus kami. Hancur berantakan.






Seketika Mr. Gligorry memelukku, berusaha membuatku sadar dengan apa yang terjadi, dia mengangkatku, menjauh dari tempat itu. Aku sesekali berusaha mengerti apa yang terjadi, Mayat-mayat itu, aku mengenalnya—aku bisa melihatnya dengan jelas, namun sesuatu seperti membeku dan berhenti di tenggorokanku, si gemuk, Sopir Bus itu, dia tewas, tepat di tempatnya dia duduk—bahkan mungkin dia tidak bisa melakukan apapun termasuk dengan darah di seluruh bagian Bus. Pemandangan mengerikan ini seperti sebuah pesan, pesan tentang Makhluk itu, yang mungkin tertuju untuk kami.






“Berapa?” aku mencoba menekan perasaanku—sebelum perasaan emosional yang sudah memenuhi kepalaku Mr Gligorry seolah mengerti dengan maksudku. Dia membelai kepalaku, kemudian berucap seperti berbisik, 6 Orang, sisanya Tewas, yang lainya hilang.






Mr. Gligorry berhenti dan mendudukkanku di bawah pohon besar. Aku bisa melihat Nona Anita, Sir Redolf, Brown, Medeline, dan Grisia yang sedang meringkuk, sepertinya menangis.






“Jadi—ada lagi yang selamat?” Nona Anita menatap Mr. Gligorry yang menggeleng kecewa, “hanya Janine, yang lainya tewas dan beberapa Hilang. Tidak ada yang tersisa disana. Aku rasa saat ini, lebih baik kita berdiam disini. Hari sudah gelap. Besok kita akan memikirkan langkah apa selanjutnya.”






Kami bermalam disana, dalam dingin yang menusuk ke tulang kami, hanya menggunakan tangan untuk menghangatkan kami. Tidak ada percakapan berarti, hanya keheningan yang mampu kami rasakan dan itu benar-benar sangat menyiksa.






Subuh sebelum matahari terbit, kami mulai bergerak, Hutan ini aneh, tidak ada cahaya disini seperti di selimuti kegelapan terus menerus. Kami mulai mengeluarkan Mayat-mayat teman kami yang berakhir tragis, beberapa tewas dengan wajah Shock, dengan mulut terbuka lebar, beberapa di antaranya masih membuka mata. Kami mengumpulkan apa yang tersisa, makanan- minuman, apapun, yang bisa membuat kami bertahan.






Aku tidak melakukan kontak apapun saat ini dengan siapapun bahkan dengan Mr. Gligorry sekalipun. Semua ini membuatku sangat kacau, sampai aku menemukan Buku kecil milikku.






Aku melihatnya, membacanya dan memahaminya. Membuatku tiba-tiba seperti kembali ke waktu itu, bila benar tentang seseorang yang akan menemui ajalnya akan melihat sesuatu yang aneh maka cerita bodoh tentang The Crowling mungkin hanya bayanganku, sesuatu yang sebenarnya ku buat, sesuatu yang membuatku harus melihatnya dalam Fantasyku sebelum semuanya terjadi. Makhluk itu memang mungkin benar-benar tidak ada.






Kami hanya menemukan 14 Mayat, termasuk Sopir Bus meski dengan tangan terpotong.






Kami tidak memiliki waktu untuk mengubur mereka, kami terlalu letih, sakit dan kelaparan, tidak ada yang masuk dalam perut kami sejak kemarin.






Nona Anita meminta kami berkumpul, dan menyantap beberapa makanan yang kami temukan, hanya snack-snack tidak berguna dan beberapa botol air, tidak mengenyangkan, namun cukup membuat kami bertahan beberapa Jam.






Sir Redolf dan Mr. Gligorry sedang mencari jalan untuk kami, mencoba berjalan jauh dan meminta bantuan dan ,bila mereka beruntung mungkin kami akan selamat—bila kami beruntung.






Siang berganti menjadi Senja namun tidak ada bedanya, hanya kegelapan yang ada disini, Aku masih terduduk lesuh, menulis coretan-coretan di buku itu, entah apa yang ku pikirkan, ketika aku sadar—aku hanya menulis sesuatu yang sama. tentang “The Crowling”.






Aku menatap Grisia, dia hanya terduduk lesu, diam tak bergerak, air matanya mungkin sudah mengering atau mungkin sudah tidak ada air dalam tubuhnya hingga dia sudah tidak bisa menangis lagi.






Aku mulai kelaparan, perutku terus menggerutu membuatku tidak tau harus melakukan apa—aku sadar, mungkin bukan hanya aku yang merasakan itu, namun bila aku benar, aku merasakan sesuatu yang buruk—sesuatu yang sangat buruk dan mengelilingi kami. Sesuatu yang membuatku gemetar terus menerus.






Gelap sudah datang, suara langkah kaki Sir Redolf dan Mr. Gligorry terdengar, mereka muncul dengan wajah yang seolah membuatku tahu apa yang mereka akan katakan, Nona Anita segera menghampirinya “Bagaimana? Ada yang di temukan.”






“tidak ada apapun—hanya hutan dan hutan. “ Mr. Gligorry seperti tidak tahu apa yang harus dia lakukan.






“tidak ada makanan, kau tidak melihat apapun, Babi, Rusa, atau apapun disini?” Anita mencengkram bahu Mr. Gligorry yang tertunduk.






“Tidak ada, kami tidak menemukan apapun”






Nona Anita memandang kami semua yang hanya diam meringkuh, “Well, mungkin lebih baik malam ini kita lebih baik tidur, mungkin besok kita akan mendapatkan kabar baik”






Aku mencoba untuk tidur dengan perut kosong yang memuakkan, ketika Senja datang, Nona Anita membangunkanku dan mengatakan Brown dan Medelin, mereka berhasil menangkap Babi Hutan.






Aku melihat Grisia dan semua orang sedang menyantapnya, aku berjalan pelan mengelilingi daging kemerahan itu, melihat mereka menyantapnya seperti itu, setidaknya membuatku sedikit menahan diri.






“Babi hutan, yeah"






“Yeah, duduklah dan makan ini akan membuat kita bertahan beberapa hari.” Sahut Sir Redolf.






Medeline dan Brown terllihat lahap, Grisia memberikanku tempat dan memberikan hati kecokelatan kepadaku, “Makanlah, ini bagian yang tidak terlalu pahit”






“Thanks” ucapku menerimanya, namun saat gumpalan kecokelatan itu menyentuh tanganku, lembek dan berair, aku menjatuhkanya begitu saja.






“Daging ini mentah?”






“Tidak ada api disini Janine, kau harus membiasakan diri. Setidaknya untuk sementara waktu saja. Hanya ini yang bisa kita tangkap" bisik Mr. Gligorry.






Aku meraih kembali gumpalan itu, berusaha keras memasukkanya dalam mulutku dan kemudian perlahan mengunyahnya, namun seketika aku memuntahkanya.. aku merasa mual saat memakanya, mungkin aku tidak terbiasa merasakan masakan mentah seperti ini.






“Kau tidak bisa memuntahkan itu gadis bodoh?” Nona Anita mengutukku, sesuatu yang tak pernah ku lihat sebelumnya, dia tidak pernah seperti ini, sekalipun dia marah sebesar apapun.






Mr. Gligorry memandangnya tajam, dan beberapa saat dia meminta maaf kepadaku, “Janine, aku minta maaf, aku mengalami beberapa masalah yang berat maksudku kita—“






“Yeah, Nona Anita, aku mengerti”






Aku kembali memakan makanan itu, dan menahanya sebisa mungkin sebesar apapun aku ingin mengeluarkanya aku harus mengisi perutku.






Aku yakin hari sudah siang, namun disini, tidak ada Siang—hanya kegelapan yang menyelimutinya, entah karena Pohon terlalu rimbun hingga menutupi sinar matahari atau tempat ini memang aneh. Aku dan Grisia berjalan mencari sesuatu yang mungkin berguna, ranting pohon, batu atau apapun yang akan membuat kami bertahan.






“Grisia—“aku memanggilnya.






“yeah” sahutnya terdengar lirih, tak bersemangat.






“kau ingat tentang The Crowling yang kau ceritakan sebelum—“






Langkahnya berhenti, begitu juga denganku.






“apa yang ingin kau ketahui?” ucapnya tanpa menatap wajahku.






“Apakah, semua ini”






Grisia berbalik dengan cepat dan mencekik leherku kemudian menatap tajam mataku, hingga membuatku kesulitan untuk bernafas, “Apa yang ingin kau sampaikan Janine sebenarnya? Kau ingin mengatakan ini adalah ulah The Crowling?”






“Lepaskan?”






Grisia melepaskanku.






“The Crowling hanya lelucon, dia tidak nyata!! “ ucapnya.






“lalu kau yang membuatnya ?”






“tidak. Itu adalah cerita seram untuk anak-anak. Di tempatku, agar anak –anak tidak bermain hingga larut, ibu-ibu mereka akan menceritakan tentang The Crowling. Aku tidak percaya, lagipula aku menceritakanya padamu hanya ingin mengobrol saja denganmu, kau tahu kan. Aku tidak serius”






“Baiklah, namun apa sebenarnya makhluk ini? Peri atau apa?”






“kenapa kau begitu tertarik?”






“aku ingin tahu. Hanya itu saja" kami kembali berjalan melewati semak belukar,






“The Crowling, adalah makhluk entah bagaimana aku menyebutnya. Dia hidup dari sebuah bencana, dia akan menjelaskan sebuah Detail dari bencana yang akan terjadi, hanya saja. Dia memberikan gambaran nyata tentang bencana dengan beberapa Versi. Dia seperti mimpi, namun itu bukanlah mimpi, ini jauh lebih kelam, lebih Hitam, sampai kau tidak tahu, siapa sebenarnya The Crow’l ini.






Banyak yang menyebut dia memilih bagaimana menciptakan ketakutan yang paling jauh, melebihi batasan fantasy yang mengerikan, namun apapun itu The Crow’l itu tidak nyata. Dia hanya mitos, seperti Slander man atau Pastel man.”






Kami sudah berjalan sangat jauh, tidak ada yang kami temukan selain Pohon –pohon besar, hanya ranting-ranting kecil, tidak ada kelinci, Rusa atau apapun. Kami memutuskan kembali. Ketika kami berjalan, kami melihat Brown dan Medeline, berjalan dengan mimic wajah yang aneh.






Kami mengikutinya, berjalan di belakangnya.






Sampai mereka berhenti dengan pisau di tangan mereka, saat itu aku tahu, ada yang aneh dengan semua ini, dan ketika mereka mulai melakukanya, aku terdiam membeku. Seperti sesuatu sudah mengoyak seluruh tubuhku—sesuatu yang tajam sudah mencabik—cabik jantungku.






Aku bergerak sangat cepat, bersama Grisia yang hanya diam di belakangku, aku tampak murka dengan apa yang terjadi, ku tembus semak belukar dan menunjuk dengan marah wajah Brown dan Medeline di depan Nona Anita dan Mr. Gligorry, serta Sir Redolf yang berdiri di bawah pohon.






“Daging itu—jangan kalian memakanya?”






Mr. Gligorry memandangku penasaran.






Bibirku gemetar hebat, dan suaraku parau berantakan, “mereka menggunakan Daging Manusia, yeah—bukan babi hutan atau apapun kalian menyebutnya. Itu adalah daging sopir Bus itu bukan? Kau membuat kami memakan daging manusia yang sudah menjadi mayat?”






Ucapanku terdengar mengambang, wajah Brown dan Medeline tampak kaku memandangku.






“Apa kau sedang mabuk? Apakah kau lapar sampai ngelantur seperti ini?” ucap nona Anita memandangku.






“Tidak!” aku berteriak, “Tanya saja pada Grisia, dia melihatnya, dia melihatnya mengiris jeroan dari tubuh gemuk itu? Dan apa kau tidak merasakanya, rasa aneh yang menjijikkan itu. Benarkan Grisia, ayo bicaralah?? Katakan pada mereka”






Grisia melangkah maju memandangku. “Tidak Janine. Tidak!!”






“Tidak!! Apa kau bilang, kau sudah gila?” aku mencengkram lehernya. “Kau melihatnya juga?”






“Lalu –kenapa?? Kenapa bila kita memakanya?”






Aku tersadar, ketika semua mata memandang ku tajam, dan penuh selidik.. “kau tidak menyadarinya Janine, Hutan ini aneh. Kau belum menyadarinya, tidak ada apapun disini, tidak ada binatang apapun, bahkan seekor nyamuk satupun disini , aku yakin kau juga merasakanya. Hanya ini Janine, hanya ini yang bisa kita lakukan?”






Seketika, sesuatu seperti membuatku merasakan Rasa sakit di tulang belulangku, wajah–wajah itu, di antara mereka, aku melihatnya. The Crow-ling ada di antara mereka, berdiri seperti menikmati semua ini.






Dan aku mendengar tentang sesuatu. “Dia akan menciptakan Mimpi di luar Fantasymu, dia adalah The Crow’l “






“Kau akan di seret sangat dalam, jauh di luar jangkauan dari Fantasymu” kalimat itu terasa mengambang, janggal, seolah ada satu sisi dimana kau tidak bisa membedakan apakah The Crow’l memang benar-benar ada.






Tubuhku lemah, pucat dan sekarat, setidaknya aku masih bisa terjaga, melihat orang-orang yang kau kenal bersikap bar, bar seperti sesuatu yang tidak akan pernah bisa kau lupakan selamanya. Itu sangat mengerikan jauh di luar imajinasiku.






Mataku masih menangkap sosok bangsat itu! Dia hanya berdiri menatapku, dan aku baru menyadari, tubuh menjijikkan itu, ternyata terdiri dari semacam urat-urat tak beraturan dan sayap kecil , seperti sebuah pelengkap dari kengerian yang dia ciptakan. Bila aku menegaskan bagaimana bentuk tubuhnya seperti seongok daging yang bisa hidup.






Aku masih berpikir, kenapa mereka semua tidak menyadari tentang dirinya, si Makhluk gagak ini yang jelas-jelas berdiri di antara mereka. Mungkin mereka tidak bisa melihatnya, mungkin The Crow’l hadir bukan untuk mereka, atau yang paling ku pikirkan, The Crow’ling adalah bentuk liar dari ketakutanku.






14 hari, dan aku hanya terikat di Pohon kecil ini, sekarat dan kelaparan, hanya limpah dan hati busuk yang ada di depanku, mereka memberikanya bila aku bisa bersikap baik dan mulai mengunyahnya, memasukkanya dalam perutku. Aku putus asa, namun aku tidak pernah berpikir untuk memakanya, lagi, akan tetapi aku juga tidak segera-mati, sangat tersiksa, sementara dia masih berdiri menatapku, tak bergerak layaknya menaken yang sedang di pajang.






Sampai, sesuatu yang gelap datang. Hujan perlahan turun, dan aku melihat Grisia berjongkok di depanku, matanya sangat liar tidak seperti Grisia yang biasanya, dia menatapku kelam, lumuran darah mengering di bibirnya dan menunjukkan sebuah seringai di depanku.






“Kau tidak memakanya?” suaranya lirih namun mencekam, apa yang terjadi dengan Grisia.






Aku hanya diam saja, tak ada tenaga untuk sekedar bersuara. Aku seperti tersiksa dalam tubuh sekarat, hanya mampu melihat dan menyaksikan semua akan menjadi tambah buruk.






“kalau kau tidak mau, aku yang akan menyelesaikanya?” dia menatap hati yang membusuk di depanku, warnanya sudah menghitam dan aromanya memuakkan.






Grisia menikmati setiap gigitanya, membuatku begidik ngeri, seseorang manusia yang beradab melakukan tindakan kanibal dan kau hanya bisa diam dan menyaksikanya.






Nafasku perlahan memudar, seperti nyawaku sudah berada di ujung kepalaku, namun tiba-tiba The Crow’ling ada di sampingku, mengulurkan tanganya dan merobek isi perutku.






Aku membelalak menatap wajahnya. Sampai dia bersuara sangat dalam, seperti tenggorokanya tergorok namun memiliki ketukan intonasi nada yang indah. The Crow’ling untuk pertama kalinya berbicara kepadaku.






“Kau tidak akan mati nak—tidak sampai scenario ini selesai. Kau akan melihat, kenapa kau beruntung bertemu denganku??”






Aku tidak mengerti maksud ucapanya. Namun setelah dia menarik tanganya keluar dari perutku, sesuatu menutup robekan itu dengan daging yang baru, seperti regenerasi namun aku tetap tidak mengerti.






Aku menggelegak, dengan tubuh menggigil, saat melihat, sesuatu menghantam Kepala Grisia—hingga isi kepalanya keluar dan memenuhi wajahku dengan organ lembek mengerikan itu.






Dadaku perlahan berdetak sangat lambat, mataku terjaga menatap sosok Anita, wanita yang menjadi pengajar kami, berdiri menyeringai dengan wajah penuh nafsu. Dia berjongkok dan mulai menyambar, organ lembek seperti menikmati bubur menjijikkan yang di buat di dapur sekolah.






“apa-apa’an si ke’par*t ini?” aku mengutuk, namun dengan wajah ketakutan, suara tawa yang bergema terdengar, The Crow’l tertawa di sampingku.






“Kau yang melakukanya?” suaraku terdengar semakin putus asa menatap makhluk terkutuk itu.






“Tidak nak, kau tahu sendiri aku tidak melakukan apapun.” Ucapnya dengan nada yang sama, hambar namun sangat mencekam, terdengan penuh rasa humor namun bibirnya penuh dengan tipu daya.






“kau yang ada di balik semua ini?” aku mencoba menyangga kalimatnya.






“Nak, kau tahu. Aku bukanlah pemainya, aku tidak melemparkan dadu di depan wajahmu, aku hanya penonton. Kau harus bisa membedakan bagaimana cara bermain dengan semua ini”






“dengan siapa aku bermain?”






“tidak-tidak, tidak nak” dia mengulanginya 3 kali, sembari menatap tepat di wajahku “aku tidak boleh mengatakanya. Tidak untuk sekarang..“ bibirnya terlihat tersungging.






“Lalu, sebagai penonton apa yang kau lakukan?”






“Menikmatinya”.






terjadi jeda yang panjang antara kami, sementara sosok yang ku kenal, Anita dia terus mencabik dengan brutal, aku tidak lagi melihat Brown, Medeline, Sir Redolf, karena yang ada jauh disana hanya, Mr. Gligorry tampak murung menatap Anita.






“apakah dia sadar, apakah dia mengerti apa yang terjadi, atau apakah dia tahu semua ini terlalu jauh dari sebuah imajinasi yang terlampau mengerikan" aku masih membisu namun tetap mengutuk semua ini.






Sampai pria separuh baya itu mulai berjalan, langkahnya terhuyung, pakaianya robek lusuh dengan tubuh kurus, matanya kosong sampai dia tiba–tiba memeluk Anita, aku terperangah untuk beberapa saat sebelum tahu apa yang terjadi selanjutnya, bukan karena drama ini terlihat lebih baik, namun lebih jauh saat dia memutar kepalanya sampai suara tulang yang patah terdengar hingga ke gendang telingaku.






Pria itu kini menatap ke arahku, tatapanya sayu dan putus asa, bibirnya mengering gemetar, tak ada senyuman, tak ada kesedihan, hanya wajah datar yang sudah menyerah, sangat sangat menyerah.






Dia mendekatiku, menatapku dan membisikkan sesuatu. “Semua akan kembali"






Saat kalimat itu mencelos ke dalam jantungku, sebuah sentakan wajah dari Mr. Gligorry terpisah dengan tengkoraknya, dan untuk pertama kalinya aku melihat makhluk itu memainkan perananya.






“Kau tahu nak, ada satu sisi sepertimu yang sebenarnya ingin ku lihat, namun aku tidak mendapatkanya hari ini. Karena aku percaya Setiap manusia terlahir dengan 2 sisi yang menarik, kau ingin tahu siapa yang sedang bermain disini. Waktu, takdir, dan kematian. sementara aku yang duduk menatap mereka bermain. Aku akan mulai menceritakan semuanya tentang waktu, kau memainkan sisi yang benar saat memilih bergabung dengan semua teman-temanmu, karena bila kau menolaknya, kau akan mati dengan cara yang buruk, kau akan melihat wanita yang melahirkanmu terbakar di depan matamu, kau hanya bisa menjerit dan perlahan namun pasti, kulitmu akan terkelupas, cairan yang matang akan tercium sementara kau masih sadar, kau akan meraung terus menerus, namun Takdir melemparkan dadunya dan mulai bermain, Ayahmu harus pergi, dan kau terjebak disini, akan tetapi ada satu kebenaran dimana Takdir tidak bisa bermain Curang, sebab Kematian tetap akan mendapatkanmu, sepintar apapun sang Takdir memainkan dadunya, Kematian tetap mendapatkanmu. Dan ketika permainan berakhir, Semua akan kembali.






Banyak Manusia yang mengatakan setelah kematian tidak akan ada yang tersisa, tapi, Nak, aku akan memberikanmu satu rahasia kecil, kau tahu ada dadu yang harus di lempar lagi, dan itu adalah dadu dari sang Waktu, karena rahasia kecil ini, adalah Waktu yang mampu membohongi Kematian. Sebab saat Waktu mulai bermain, dia akan mengembalikan semua ke titik awal permainan. Seperti Saat manusia mati, sebenarnya yang terjadi, mereka tidak benar-benar mati, yang terjadi adalah semua terulang kembali, seperti kau akan terlahir kembali dan memutar semuanya secara ulang, akan tetapi aku yang memutuskan, aku lah yang berperan dimana kau akan berada. Karena ketika kau selesai dengan semua ini, Waktu yang akan melemparkan dadunya, dan aku yang melanjutkan dimana kau akan mengulanginya.”






The Crow’l mulai mencekik leherku, mengangkat tubuhku hingga aku bisa melihatnya, wajahnya yang mengerikan tampak mulai mendekatiku, aku bisa mencium bau busuk itu perlahan-lahan, cairan hitam mulai menetes keluar, dan saat wajah kami hanya beberapa Centi meter, dia mengatakan sesuatu yang tak kan pernah ku lupakan.






“Aku adalah pelayan Sang Waktu nak, ingat lah itu”






dan dia mulai menghisap semuanya, aku bisa merasakan perlahan-lahan, mulai dari kakiku, yang mati rasa dan itu terus terjadi, hingga sampai sum-sum tulangku dan berakhir di atas kepalaku, saat wajah mengerikan itu perlahan sirna di mataku, semua akan kembali.






“Janine, Kau mengerti bukan? “






Aku menatap Grisia, “Eh, tentang apa?” ucapku bingung.






“The Crow’ling. Aku sedang menceritakanya. Kau tidak mendengarku"






Aku melihat ke sekelilingku, semuanya kembali. Waktu benar-benar sedang memainkan dadunya, ku buka buku yang ada di depanku, dan aku melihatnya. Semua tulisanku, adalah tentang The Crow’ling.






Aku memberikan buku’ku pada Grisia, sementara aku mulai berjalan putus asa, menatap pria gemuk yang menjadi Sopir kami, ‘Mr. Gligorry berkali-kali bertanya padaku tentang apa yang ku lakukan disini’ namun, aku tidak perduli.






Saat semua mata memandangku, Aku menancapkan Penaku ke tengkuknya. Bus terpelanting menuju






Jurang, dan aku memulai Skenarionya kembali.






Karena sebelum Bus terlempar masuk ke Jurang, The Crow’ling sedang melihatku.






“dia akan menciptakan Mimpi di luar Fantasymu, karena dia adalah The Crow’ling“










Tamat

No comments:

Post a Comment