BAB
I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pembangunan
ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita
dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan
perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan
pendapatan bagi penduduk suatu negara.
Pembangunan
ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi mendorong
pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses
pembangunan ekonomi.
Yang dimaksud
dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu
perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu
negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP
riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi
keberhasilan pembangunan ekonomi.
Perbedaan
antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat
kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output
produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat
kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat
perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai
sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, sosial dan teknik.
Selanjutnya
pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan
perkapita penduduk meningkat dalam jangka panjang. Di sini terdapat tiga elemen
penting yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi.
I.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana proses pembangunan ekonomi nasional dari masa
revolusi hingga awal Reformasi.?
2.
Apa saja yang menjadi kendala pembangunan ekonomi Indonesia
pada masa tersebut?
3.
Bagaimana sejarah perencanaan pembangunan ekonomi Indonesia?
4.
Kenapa Indonesia menjadi Negara yang didera oleh hutang luar negeri?
I.3 Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penulisan ini agar dapat memahami suasana dan arah pembangunan ekonomi
nasional yang telah dilakukan dari masa revolusi, orde lama, Orde Baru hingga
awal Reformasi yang terus menumpu kemajuan nasional yang lebih baik.
Tujuan
lain dari penulisan ini juga agar dapat menambah wawasan masyarakat dalam
mewujudkan kehidupan yang adil, makmur dan beradap atas dasar Undang-Undang
Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka,
berdaulat, tertib, bersahabat, bersatu, aman, damai dan sejahtera.
I.4 Manfaat penulisan
Dengan
selesainya penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
mahasiswa atau pembaca tentang pembangunan ekonomi nasional dari masa revolusi
hingga awal reformasi.
I.5 Sistematika Penulisan
Sistematika
penulisan makalah ini kami buat dengan mencakup beberapa poin yang terdiri dari
tiga bab, yaitu:
•
Bab I Pendahuluan
Bahasan
dalam bab I ini terdiri dari beberapa bagian sebagai berikut:
I.1. Latar belakang
I.2. Rumusan masalah
I.3.
Tujuan penulisan
I.4.
Manfaat penulisan
I.5.
Sistematika penulisan
•
Bab II Pembahasan
Dalam bab II ini membahas mengenai isi atau inti dari
makalah ini yang didalamnya terdiri dari beberapa poin sebagai berikut:
II.1 Perekonbomian Indonesia pada masa revolusi
II.2 Perekonomian Indonesia pada masa percobaan demokrasi
pertama
II.3 Perekonomian Indosia pada masa demokrasi terpimpin
II.4 Perekonomian
Indonesia pasda masa penciptaan orde baru
II.5 Perekonomian Indonesia pada masa keemasan orde baru
II.6 Krisis dan tantangan ekonomi orde baru
•
Bab III Kesimpulan
Dalam bab ini terakhir dijelaskan kesimpulan atau poin-poin
penting dari makalah yang telah kami susun mengenai perekonomian indonesia dari
masa revolusi hingga awal reformasi.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Perekonomian Indonesia pada
Masa Revolusi
Setelah
Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia segera memproklamirkan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Meskipun di wilayah Hindia Belanda
(Indonesia) telah berdiri pemerintahan Republik Indonesia (RI), Belanda tetap
berkeyakinan bahwa wilayah tersebut masih berada dalam hak pemerintahan Hindia
Belanda. Sejak saat itu secara de facto telah
terdapat dua pemerintahan di wilayah Indonesia, yaitu pemerintahan RI dengan
pimpinan Soekarno-Hatta dan pemerintahan sipil Belanda dengan pimpinan Letnan
Gubernur Jenderal H.J. van Mook. Keadaan tersebut berpengaruh pada dunia
perekonomian Indonesia, termasuk dunia perbankan. Dalam periode 1945-1949
kegiatan perbankan telah berjalan dalam dua wilayah pemerintahan yang berbeda.
Sementara Bank-Bank Belanda kembali berjalan di wilayah yang telah diduduki
Belanda, pemerintah RI juga mempunyai upayanya sendiri untuk membangun sistem
perbankan nasional yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
II.1.1 Kelembagaan Bank Masa Revolusi
Pada 18
Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) berhasil
menyepakati Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang dikenal sebagai UUD
1945. UUD 1945 ditetapkan guna memberi landasan dasar bagi kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat yang adil
dan makmur. Oleh karena itu salah satu bidang yang mendapat perhatian besar
dalam UUD 1945 adalah bidang pembangunan ekonomi. Pada 19 Oktober 1945
didirikan Jajasan Poesat Bank Indonesia (JPBI) yang diketuai oleh Wakil Presiden
RI Mohammad Hatta. Dalam Akte Notaris pembentukan yayasan dinyatakan bahwa
yayasan yang kemudian disebut dengan “Bank Indonesia” tersebut mempunyai
wewenang untuk melakukan kegiatan sebagai bank umum yang memberi kredit,
mengeluarkan obligasi, menerima simpanan giro, deposito dan tabungan serta
memberikan informasi dan penerangan dalam bidang ekonomi. Sesuai dengan
wewenang tersebut antara Oktober 1945 dan Juni 1946 yayasan mengeluarkan
Obligasi Nasional 1946 yang mendapat sambutan spontan dari rakyat Indonesia.
Dengan obligasi tersebut JPBI dapat membantu memperkuat keuangan negara. Pada
10 Oktober 1945 NICA telah memperoleh akses ke kantor-kantor pusat bank Jepang
di Jakarta. De Javasche Bank (DJB) kembali diberi tugas sebagai bank sirkulasi
dan mengambil peranan Nanpo Kaihatsu Ginko.
Pertama kali DJB membuka Kantor Pusat di Jakarta pada 14 Maret 1946
kemudian diikuti dengan Kantor Cabang Semarang, Menado, Surabaya, Banjarmasin,
Pontianak, Bandung dan Medan. Sebelumnya di Makassar dan Kalimantan, untuk pertama
kali bank-bank menerapkan suatu pooling
system dan Kantor Cabang DJB setempat bertindak sebagai pimpinan pool.
Kemudian setelah Aksi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947 DJB membuka Kantor
Cabang Palembang, Cirebon, Malang dan Padang. Tahap akhir pembukaan kantor
cabang DJB dilaksanakan setelah Aksi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.
Pada saat itu dibuka Kantor Cabang Yogyakarta, Solo dan Kediri. Kantor Cabang
Yogyakarta kemudian ditutup kembali pada 29 Juni 1949. Hal itu terjadi karena
tentara Belanda ditarik kembali dari Yogyakarta setelah dilakukan diplomasi
antara Belanda dan RI. Akhirnya hanya Kantor Cabang Aceh yang tetap belum
dibuka kembali oleh DJB karena situasi dianggap belum memungkinkan. Pada
periode 1945 – 1949 Kantor Pusat DJB terdiri dari satuan-satuan kerja yang
meliputi Bagian Pengawasan Umum, Bagian Statistik-Ekonomi, Bagian Luar Negeri,
Bagian Urusan Wesel, Bagian Urusan Efek, Bagian Pemberian Kredit, Bagian
Sekretaris dan Urusan Pegawai, Bagian Tata-Usaha Pusat, Bagian Kas dan Uang
Kertas Bank, Bagian Pembukuan dan Bagian Urusan Hasil.
II.1.2 Kebijakan Moneter Masa Revolusi
Perang
kemerdekaan yang terus berkecamuk belum memungkinkan pemerintah RI untuk
melaksanakan kebijakan moneter yang terencana secara sistematis untuk menunjang
tercapainya stabilitas harga. Kebijakan yang ditempuh pada waktu itu lebih
banyak ditekankan pada pemenuhan kebutuhan uang kartal baik untuk membiayai
defisit keuangan negara maupun untuk kebutuhan transaksi. Pada periode ini
pemerintah RI mengeluarkan beberapa undang-undang yang mengatur peredaran uang
kartal sebagai langkah untuk mengurangi tekanan inflatoir akibat peredaran uang yang berlebihan. Setelah menerbitkan ORI
pemerintah segera menentukan nilai tukar
ORI baik terhadap nilai uang yang
masih berlaku maupun untuk perhitungan pembayaran hutang melalui Undang-Undang
No.19/1946 tanggal 25 Oktober 1946.
Selain menentukan nilai tukar uang tersebut, pemerintah RI juga telah
menentukan beberapa aturan pengedaran uang sebelum dan sesudah diberlakukannya
ORI.
Sementara itu NICA juga menetapkan kebijakan
moneter di wilayah yang dikuasainya. Langkah-langkah yang dilakukan oleh NICA
(pemerintah pendudukan Belanda) lebih ditekankan pada kebijakan devisa dan lalu
lintas perdagangan. Langkah moneter pertama yang dilakukan oleh NICA adalah
mendevaluasi nilai tukar Gulden Hindia Belanda yang sejalan dengan perkembangan
Gulden Belanda di Nederland. Karena tindakan devaluasi di Hindia Belanda
dilakukan belakangan, maka rentang waktu antara 7 September 1945 hingga 6 Maret
1946 perbandingan pari 1:1 antara mata uang Gulden Belanda dengan Gulden Hindia
Belanda ditiadakan.
II.1.3 Kebijakan Perbankan Masa Revolusi
Melalui
Undang-undang No. 2 Prp. Tahun 1946 tanggal 5 Juli 1946 pemerintah membentuk
Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi untuk Indonesia. Sebelumnya pada
22 Februari 1946 pemerintah telah terlebih dahulu membentuk Bank Rakyat
Indonesia (BRI). BRI ditetapkan sebagai bank yang menjalankan usaha perbankan
pada umumnya dengan mengutamakan pinjaman kepada rakyat kecil, khususnya
petani. Di samping kedua bank pemerintah tersebut, pada periode ini telah ada
beberapa bank swasta nasional yang beroperasi di Jawa yaitu : Bank Nasional
Indonesia (Surabaya, sejak 1928) dan Bank Surakarta MAI (Solo, 10 Nopember 1945).
Di luar Jawa, khususnya di Sumatera terdapat tiga bank swasta, yaitu Bank
Indonesia (8 Mei 1946) di Palembang, Bank Dagang Nasional Indonesia (26 Januari
1946) di Medan dan Bank Nasional (sejak 7 Desember 1930) di Bukittinggi.
Selanjutnya Pemerintah RI pada 1 Januari 1947 dengan bekerjasama dengan Bank
Negara Indonesia mendirikan Banking and
Trading Corporation (BTC) di Jakarta
dengan maksud untuk meletakkan dasar bagi pengembangan suatu bank dagang yang
dapat memberikan kredit bagi perdagangan ekspor-impor. Dalam kenyataannya
peranan perbankan, termasuk Bank Negara Indonesia, yang beroperasi di wilayah
RI pada periode revolusi masih sangat kecil. Bank-bank tidak mempunyai
koresponden diluar negeri sehingga tidak
dapat berfungsi sebagai saluran lalu-lintas pembayaran dengan luar negeri.
Meskipun demikian peranan perbankan nasional tersebut cukup penting dalam
membantu pemerintah untuk mengedarkan ORI sebagai uang Republik Indonesia yang
pertama kali. Pemulihan aktivitas perbankan di wilayah kekuasaan Belanda mulai
dilaksanakan sejak Belanda berhasil memperoleh akses ke kantor-kantor pusat
bank Jepang di Jakarta pada akhir 1945. Setelah itu kebijakan perbankan pertama
yang dilaksanakan oleh NICA adalah melakukan penutupan bank-bank Jepang yaitu
Syomin Ginko, Nanpo Kaihatsu Ginko, Mitsui Bank, Yokohama Specie Bank dan
Taiwan Bank yaitu bank yang telah digunakan Jepang untuk membiayai pasukan
pendudukan Jepang dalam Perang Dunia II.
II.1.4 Kebijakan Sistem Pembayaran Masa Revolusi
Hal
terpenting yang harus dilakukan di tengah perjuangan kemerdekaan adalah
penciptaan suatu identitas yang dapat menunjukkan kedaulatan Republik
Indonesia. Salah satu cara yang ditempuh untuk mewujudkan identitas tersebut
adalah melalui penciptaan mata uang. Oleh karena itu segera setelah proklamasi
kemerdekaan muncul desakan kepada pemerintah RI untuk segera mengeluarkan mata
uang Republik Indonesia. Pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah RI tanggal
2 Oktober 1945 yang menetapkan bahwa uang NICA tidak berlaku di wilayah RI.
Berikutnya pemerintah mengeluarkan Maklumat Presiden Republik Indonesia No.
1/10 tanggal 3 Oktober 1945 yang menetapkan beberapa jenis uang yang berlaku
sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Indonesia. Uang tersebut meliputi,
(1) uang kertas De Javasche Bank dalam pecahan dari lima hingga seribu rupiah
(2) uang kertas Pemerintah Hindia Belanda dalam pecahan dua setengah rupiah dan
satu rupiah (3) uang kertas Pemerintah Balatentara yang terdiri dari pecahan
seratus rupiah, sepuluh rupiah, lima rupiah, satu rupiah, lima puluh sen,
sepuluh sen, lima sen dan satu sen (4) uang logam Pemerintah Belanda yang
terbuat dari emas dalam pecahan sepuluh dan lima rupiah; bahan perak dalam
pecahan dua setengah dan satu rupiah, lima puluh sen, dua puluh lima sen dan sepuluh
sen; bahan nikel pecahan lima sen serta dari bahan tembaga dalam pecahan dua
setengah sen, satu sen dan setengah sen. Setelah dikeluarkannya kedua maklumat
tersebut pemerintah terus melakukan upaya pengkondisian sebelum dikeluarkannya
mata uang Republik Indonesia. Akhirnya melalui Undang-Undang No. 17 tahun 1946
tanggal 1 Oktober 1946 pemerintah secara resmi menetapkan pengeluaran Oeang
Repoeblik Indonesia (ORI). Selanjutnya pengaturan pengeluaran ORI, termasuk
mengenai nilai tukarnya terhadap uang yang beredar lainnya ditetapkan dalam
Undang-Undang No. 19 tahun 1946 tanggal 25 Oktober 1946. Sementara itu dengan
Keputusan Menteri Keuangan tanggal 29 Oktober 1946 ditetapkan berlakunya ORI
secara sah mulai 30 Oktober 1946 pukul 00.00. Pada hari itu juga Wakil Presiden
RI Moh. Hatta juga menyampaikan pidato sambutannya atas berlakunya ORI melalui
siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta. Hingga terbentuknya
Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) telah dilakukan 5 penerbitan /
emisi yaitu:
•
ORI Emisi I Djakarta 17 Oktober 1945 dalam delapan pecahan,
yaitu 1 sen, 5 sen, 10 sen, ½ rupiah, 1 rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah dan 100
rupiah.
•
ORI Emisi II Djokjakarta 1 Januari 1947 dalam empat pecahan,
yaitu 5 rupiah, 10 rupiah, 25 rupiah dan 100 rupiah.
•
ORI Emisi III Djokjakarta 26 Juli 1947 dalam pecahan ½
rupiah, 2½ rupiah, 25 rupiah, 50 rupiah, 100 rupiah dan 250 rupiah
•
ORI Emisi IV Jogjakarta 23 Agustus 1948 dalam pecahan yang
unik yaitu 40 rupiah, 75 rupiah, 100 rupiah dan 400 rupiah sedangkan pecahan
600 rupiah yang telah disiapkan tapi belum sempat diedarkan.
•
ORI Emisi V Jogjakarta 17 Agustus 1949 merupaka rupiah baru
dalam pecahan 10 sen baru, ½ rupiah baru dan 100 rupiah baru.
Oleh
karena itu Pemerintah RI memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah tertentu
untuk menerbitkan uang kertas atau tanda pembayaran yang sah yang berlaku
secara terbatas di daerah yang bersangkutan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 19/ 1947 tanggal 26 Agustus 1947, pemerintah daerah tingkat provinsi,
karesidenan dan kabupaten menerbitkan Uang Republik Indonesia Daerah yang
dikenal dengan URIDA. Beberapa URIDA yang pernah terbit antara lain adalah:
•
URIPS. Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera
•
URIDAB. Uang Kertas Darurat untuk Daerah Banten
•
Surat Tanda
Penerimaan Uang untuk DI Yogyakarta
•
Kupon Penukaran Uang
untuk Jambi
•
Tanda Pembayaran Yang
Sah untuk Karesidenan Lampung
•
Mandat Dewan Pertahanan Daerah Palembang (DPDP)
•
Tanda Pembayaran Yang Sah berlaku untuk Sumatera Selatan
•
Bon Pemerintah Negara RI Kabupaten Asahan
•
Mandat Pertahanan untuk Daerah Karesidenan Lampung
•
Tanda Pembayaran yang sah berlaku untuk daerah Aceh
Sementara
itu di wilayah yang diduduki Belanda telah beredar berbagai macam uang seperti
uang kertas DJB, uang kertas dan uang logam Pemerintah Hindia Belanda serta
uang Jepang.
II.2 Pembangunan Ekonomi pada Masa
Percobaan Demokrasi Pertama
Indonesia
akhirnya merdeka, setidak-tidaknya dalam pengertian hukum internasional, Dan
kini menghadapi prospek menentukan masa depanya sendiri. Dalam sebuah negeri
yang masih menunjukan adanya kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan
tradisi-tradisi otoriter, maka banyak hal bergantung pada kearifan dan nasib
baik kepemimpinan negeri itu. Akan tetapi, sebagian sejarah bangsa Indonesia sejak
tahun 1950 merupakan kisah tentang kegagalan rentetan pemimpin untuk memenuhi
harapan-harapan tinggi yang ditimbulkan oleh keberhasilan mencapai kemerdekaan.
Dalam tahun 1950, kendali pemerintahan berada di tangan kaum nasionalis
perkotaan dari generasi yang lebih tua dari partai-partai sekuler dan islam
yang terkemuka. Ada suatu kesepakatan umum bahwa demokrasi diinginkan dan
mereka itulah orang-orang yang akan dapat menciptakan sebuah negara demokrasi.
Akan tetapi, pada tahun 1957 percobaan demokrasi pertama ini telah mengalami
kegagalan, korupsi tersebar luas, kesatuan wilayah negara terancam, keadilan
sosial belum tercapai, masalah-masalah ekonomi belum terpecahkan, dan banyak
harapan yang ditimbulkan oleh revolusi tidak terwujud.
Masalah-masalah
ekonomi dan sosial yang dihadapi bangsa Indonesia setelah pendudukan jepang
dan Revolusi sangatlah besar,
perkebunan-perkebunan dan instalasi-lnstalasi industri di seluruh penjuru
negeri rusak berat. Mungkin yang paling penting ialah bahwa jumlah penduduk meningkat
tajam. Diperkirakan jumlah penduduk pada tahun 1950 adalah 77,2 juta jiwa, pada
tahun 1955 berjumlah 85,4 juta jiwa, dan menurut sensus pada tahun 1961 adalah
97 juta jiwa. Produksi pangan meningkat teapi tidak cukup. Di Jawa, produksi
beras perkapita sedikit menurun dari tahun 1950 sampai 1960. Maka, sejumlah
beras impor makanan masih diperlukan. Pertanian banyak menyerap tenaga kerja
baru dengan membagi pekerjaan kepada sejumlah buruh yang jumlahnya meningkat
terus. Tetapi dengan menurunnya jumlah lahan yang dimiliki, banyak keluarga
petani tidak lagi memiliki lahan yang cukup untuk menafkahi hidup mereka dan
harus mencari banyak, atau kebanyakan, pendapatan mereka dengan menjadi buruh
upahan. Banyak dari mereka yang
berduyun-duyun ke kota-kota yang tumbuh secara cepat sekali. Secara
alami kota-kota raja yang lebih besar menjadi fokus kegiatan politik, sehingga
masalah-masalah pedesaan sering diabaikan.
Karena di
Jawa terdapat ibukota negara, maka daerah luar jawa pada umumnya cenderung
dilupakan oleh pemerintah pusat. Dalam upaya penyubsidi perekonomian impor
jawa, maka rupiah Indonesia dipertahankan dalam nilai tukar yang sengaja dibuat
tinggi. Tindakan ini menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi daerah-daerah luar
jawa yang berperekonomian ekspor serta
mendorong munculnya pasar gelap dan terjadinya penyelundupan. Sebagian besar
bidang perdagangan dan industri menderita.
Pemulihan
ekspor Indonesia berlangsung lambat. Minyak, penghasil devisa terbesar kedua
setelah karet adalah yang paling besar harapanya untuk jangka panjang. Pada
tahun 1957, produksi minyak mencapai dua Kali lipat tingkat produksi pada tahun
1940, tetapi sebagian dari peningkatan ini dikonsumsi di dalam negeri. Selama
tahun 1950-6, permintaan bensin di dalam negeri meningkat 64,5% dan permintaan minyak tanah meningkat 200,5%.
Pada umumnya, program-program infrasrtuktur pemerintah yang sangat penting
untuk sektor ekspor (seprti jalan raya, pelabuhan, pengedalian banjir, irigasi,
kehutanan) memburuk, dan nilai tukar yang dibuat untuk mendiskriminsikan para
pengekspor. Di bidang ekonomi, pada umumnya kepentingan-kepentingan
non-Indonesia tetap mempunyai arti yang penting. Shell dan
perusahaan-perusahaan Amerika, Stanvac dan Caltex, mempunyai posisi yang kuat
dalam bidang industri minyak, dan sebagian besar pelayaran antar pulau berada
ditangan perusahaan pelayaran KPM Belanda. Perbankan didominasi oleh
perusahaan-perusahaan Belanda, Inggris, dan Cina. Orang-orang Cina juga banyak
yang menguasi kebanyakan kredit pedesaan. Bagi
yang tahu, tampak jelas bahwa bangsa Indonesia secara ekonomi tidak
merdeka, suatu kenyataan yang mendukung radikalisme pada akhir tahun 1950-an.
Dengan
lambatnya pemulihan ekonomi dan meluasnya pengeluaran pemerintah, maka tidaklah
mengherankan bahwa inflasi dari masa perang dan revolusi terus berlanjut. Biaya
hidup umum meningkat sekitar 100% selama setahun 1950-7, tetapi angka ini
menyembunyikan fluktuasi yang lebih tajam di daerah-daerah, pada kurun waktu,
dan untuk komoditas-komoditas tertentu. Semua sektor kemasyarakatan menderita
sampai pada tingkatan tertentu akibat kenaikan harga. Para pegawai yang digaji
dan para buruh upahan sangat berpengaruh, sedangkan para tuan tanah, para
pejabat desa yang diberi tanah sebagi pengganti gaji, dan para petani produsen beras
relatif diuntungkan. Dibandingkan dengan masa pendudukan jepang dan tahun-tahun
revolusi, keadaanya lebih baik bagi sebagian besar rakyat Indonesia pada tahun
1950-7, tetapi kemerdekaan tidak menghasilkan kemakmuran umum yang diharapkan
banyak orang.
Setelah
berakhirnya perang Korea, keadaan ekonomi Indonesia menjadi memburuk. Antara
bulan Februri 1951 dan September 1952, harga karet, ekspor nasional yang
terpenting, turun 71%. Penghasilan pemerintah tentu saja merosot. Dalam upaya
untuk memperbaiki neraca perdagangan yang tidak menguntungkan serta keluarnya
cadangan emas dan devisa, maka pemerintah mengenakan bea tambahan sebesar 100
sampai 200 persen terhadap impor barang mewah dan mengurangi pengeluaran.
Dengan demikian, dampak-dampak yang paling buruk dari krisis ekonomi dapat
dikurangi secara bertahap.
Pada masa
ini (1950-7), muncul sebuah sistem ekonomi baru yang disebut ekonomi liberal, karena dalam politik
dan sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Padahal, pengusaha
pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi,
terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya, sistem ini hanya memperburuk kondisi
perekonomian Indonesia yang baru merdeka. Di masa ini, munculah upaya-upaya
untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain:
•
‘Gunting Sjafruddin’, yaitu pemotongan nilai uang (sanering)
pada 20 Maret 1950. Istilah ‘Gunting Sjafruddin’ ini melekat pada era
Sjafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan pada kabinet Hatta II.
Langkah ini bertujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat
harga turun.
•
Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan
wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan
perusahaan impor asing. Impor barang tertentu dibatasi dan memberikan lisensi
impornya hanya pada importir pribumi. Pemberian kredit juga diberikan pada
perusahaan-perusahaan pribumi agar mereka bisa berpartisipasi dalam
perkembangan ekonomi nasional. Tapi, usaha ini gagal. Pengusaha pribumi
memiliki sifat yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha
nonpribumi.
•
Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada
15 Desember 1951, lewat UU No 24 Tahun 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral
dan bank sirkulasi.
•
Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang
diprakarsai Mendagri kala itu, Iskak Cokrohadisuryo. Langkah yang dilakukan
adalah menggalang kerja sama antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi.
Pengusaha nonpribumi wajib memberikan latihan-latihan kepada pengusaha pribumi.
Sementara itu, pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha
swasta nasional. Program ini pun tidak berjalan dengan baik. Pengusaha pribumi
kurang berpengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan
kredit dari pemerintah.
•
Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar
(KMB), termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya, banyak pengusaha
Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum
bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
II.3
Perekonomian Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin
Ditengah-tengah
krisis tahun 1957 diambilah langkah-langkah pertama menuju suatu bentuk
pemerintahan yang oleh presiden Soekarno dinamai “Demokrasi Terpimpin”. Ekonomi
Terpimpin adalah bagian dari demokrasi merupakan dimana aktivitas ekonomi
disentralisasikan dipusat pemerintahan, sementara daerah merupakan pendukung
perekonomian. Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966,
yaitu dari dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga Jatuhnya kekuasaan
Sukarno.
Disebut
Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada
kepemimpinan Presiden Sukarno. Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno adalah
kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu presiden.
II.3.1Tugas
Demokrasi Terpimpin
Demokrasi
Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil sebagai
warisan masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih mantap/stabil.
Demokrasi
Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer/Liberal. Hal ini
disebabkan karena pada masa Demokrasi parlementer, kekuasaan presiden hanya
terbatas sebagai kepala negara, sedangkan kekuasaan Pemerintah dilaksanakan
oleh partai.
Pada saat
presiden Soekarno menjadi presiden, Soekarno mengumumkan pembentukan Kabinet
Karya dengan mengangkat Djuanda Kartawidjaja sebagai perdana mentri, Djuanda
Kartawidjaja sudah lama menduduki kabinet selama tahun 1945 dia juga dihormati
karena mengerti soal ekonomi. Untuk Mentri luar negeri presiden soekarno
mengangkat Dr. Subandrio dan wakilnya K.H. Idham Chalid dari Nahdatul Ulama,
Hardi dari Partai Nasional Indonesia, dan Dr. Johannes Leimena dari partai
Kristen.
II.3.2
Kebijakan Ekonomi pada Demokrasi Terpimpin
•
Devaluasi mata uang rupiah
Tujuan
dilakukan Devaluasi yaitu guna membendung inflasi yang tetap tinggi, mengurangi
jumlah uang yang beredar di masyarakat dan Meningkatkan nilai rupiah sehingga
rakyat kecil tidak dirugikan.
•
Membekukan Deposito
Deposito
bank yang besar jumlahnya dibekukan karena untuk mengurangi uang dari Rp 32
Miliyar menjadi 21 Miliyar dengan sekali pukul.
•
Pembentukan Bapennas ( Badan Perancang Pembangunan Nasional
)
Awalnya
dibentuk pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin oleh Moh. Yamin yang
beranggotakan 50 orang yang bernama Depernasi ( Dewan Perancang Nasional )
tugasnya yaitu untuk Mempersiapkan rancangan undang-undang pembangunan yang
berencana, dan menilai penyelenggaraan pembangunan.
Masalah
pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembagunan proyek besar dalam
bidang industri, akan tetapi prasaranan pembangunan tidak berjalan lancar
sesuai harapan maka diganti dengan nama Bapennas yang dipimpin oleh presiden
Soekarno, tugas Bapennas yaitu menyusun rencana jangka panjang dan tahunan baik
rasional maupun daerah, mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan serta
membentuk Deklarasi Ekonomi ( Dekon ).
Untuk
mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dekon
dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Terpimpin Indonesia yang menjadi
bagian dari strategi umum revolusi Indonesia. Strategi Dekon adalah
mensukseskan Pembangunan Sementara Berencana 8 tahun yang polanya telah
diserahkan oleh Bappenas tanggal 13 Agustus 1960. Pemerintah Indonesia
menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah Berdikari yaitu berdiri diatas
kaki sendiri. Tujuan utama dibentuk Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang
bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk
mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
•
Nasionalisasi perusahaan Belanda
Pengambil
alihan perusahaan milik belanda menjadi perusahaan milik pemerintah Indonesia.
•
Pembentukan Front Nasional
Front
Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front
Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita
proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah
menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan
pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Tugas front
nasional adalah sebagai berikut :
Menyelesaikan
revolusi Nasional, melaksanakan pembangunan dan mengembalikan Irian Barat.
•
Pembentukan Komando Tertinggi Operasi Ekonomi ( KOTOE ) dan
Kesatuan Operasi ( KESOE )
Dikeluarkan
peraturan tanggal 17 April 1964 mengenai adanya Komando Tertinggi Operasi
Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP) dalam usaha perdagangan. Selain
itu diadakannya peleburan bank-bank Negara. Presiden berusaha mempersatukan
semua bank negara ke dalam satu bank sentral sehingga didirikan Bank Tunggal Milik
Negara berdasarkan Penpres No. 7 tahun 1965. Tugas bank tersebut adalah sebagai
bank sirkulasi, bank sentral, dan bank umum. Untuk mewujudkan tujuan tersebut
maka dilakukan peleburan bank-bank negara seperti Bank Koperasi dan Nelayan
(BKTN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam
Bank Indonesia. Dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa
unit dengan tugas dan pekerjaan masing-masing. Tindakan itu menimbulkan
spekulasi dan penyelewengan dalam penggunaan uang negara sebab tidak ada
lembaga pengawas.
Kegagalan
pemerintah dalam menanggung masalah ekonomi, disebabkan karena semua kegiatan
ekonomi terpusat sehingga kegitan ekonomi mengalami penurunan yang disertai
dengan infasi, masalah ekonomi tidak diatasi berdasarkan prinsip-prinsip
ekonomi, tetapi diatasi dengan cara-cara politis, kemenangan politik diutamakan
sedangkan kehidupan ekonomi diabaikan (politik dikedepankan tanpa memperhatikan
ekonomi). Kagagalan-Kegagalan Sistem Ekonomi Demokrasi Terpimpin tersebut
meliputi:
•
Terjadi inflasi
•
Harga-harga barang naik sekitar 500% selama setahun
•
Pemerintah tidak menghemat biaya pengeluaran-pengeluarannya
•
Banyak proyek mercusuar pemerintah dan juga sebagian akibat
politik kontroversi dengan Malaysia dan juga negara-negara barat
•
Penghasilan negara berkurang karena adanya gangguan
keamananakibat pergolakan daerah yang menyebabkan ekspor menurun
•
Pengambilalihan perusahaan Belanda yang tidak diimbangi oleh
tenaga kerja yang cakap dan berpengalaman
•
Pengeluaran biaya untuk menyelenggarakan Asia Games 1962
•
Tidak adanya aturan yang jelas
•
Terjadi krisis moral
•
Tingginya tingkat korupsi birokrasi.
Peraturan
yang dikeluarkan oleh pemerintah sering bertentangan antara satu peraturan
dengan peraturan yang lainnya. Tidak ada ukuran yang objektif untuk menilai
suatu usaha atau hasil dari suatu usaha. Terjadinya berbagai bentuk
penyelewengan dan salah urus. Kebangkrutan tidak dapat dikendalikan, masyarakat
mengalami kesulitan hidup, kemiskinan, dan angka kriminalitas yang meningkat.
II.4
Perekonomian Indonesia pada Masa Awal Orde Baru
Sampai
beberapa bulan setelah usaha kudeta 1965, masa depan politik Indonesia masih
belum jelas. Pada akhirnya, Soeharto membangun apa yang dikenal dengan Orde
Baru Indonesia. Orde Baru terbentuk dengan dukungan yang sangat besar dari kelompok-kelompok yang
ingin terbebas dari kekacauan masa lalu.
Pada awal
orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama.
Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan
keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi
mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasikurang lebih 650 % per
tahun.
Terdapat
persamaan antara kebijakan orde baru pada dekade awal dan kebijakn periode
politik etis pemerintahan kolonial. Seperti pemerintahan zaman Belanda, orde
baru juga berjanji akan membangun ekonomi nasional dan akan meningkatkan taraf
pendidikan dan kesejahteraan. Orde baru memang mampu meningkatkan ekonomi
nasional, tetapi tidak mampu meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan.
Orde baru mengembangkan gaya pemerintahan yang paternalistik namun juga
menindas. Orde baru berusaha mencari keterlibatan rakyat untuk mendapatkan
legitimasi, tetapi hanya lewat cara-cara yang dikendalikan dengan cermat.
Sebagian besar pembangunan ekonomi nasional bergantung pada perusahaan asing
dan hanya terjadi perumbuhan kecil pada industri pribumi.
Orde baru
harus menghadapi masalah sosial yang lebih besar daripada yang dihadapi para
reformis di masa politik etis. Hal ini terjadi sebagian karena belanda gagal
menyelesaikan masalh ini karena dekade sebelumnya, dan sebagian lagi karena
berlalaunya waktu dan pergolakan yang terjadi sejak penaklukan jepang membuat
masalah tersebut kian konfleks. Belanda gagal memenuhi kesejahteraan bangsa
yang pada tahun 1930 berpenduduk 60,7 juta. Karena kelalaian selama beberapa
dekade lalu dan mendesaknya kebutuhan untuk terlebih dulu mengendalikan ekonomi
bangsa di tahun-tahun setelah 1965, maka mungkin tak mengejutkan jika
pemerintahan orde baru awalnya tidak mampu berkontribusi banyak dalam memenuhi
kesejahteraan penduduknya, yang pada sensus tahun 1971 telah mencapai 119,2
juta jiwa dan 147,3 juta pada tahun 1980.
Setelah
melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata
pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem
etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran
dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari
salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian
secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu,
pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan
perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia.
Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Hasilnya,
pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka
kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi
pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang
meningkat pesat. Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran
lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah,
antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin
tajam, serta penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan
menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan
politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh.
Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global,
Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara
drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai
kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.
II. Perekonomian Indonesia pada Masa Keemasan
Orde Baru
Pertengahan
dasawarsa 60-an adalah masa suram bagi perekonomian bangsa Indonesia. Pada masa
tersebut, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi
sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta. Sehingga, pada
permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan
ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi,
penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan
pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang
menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Tingkat produksi dan investasi di berbagai
sektor utama menunjukan kemunduran semenjak tahun 1950. Pendapatapan riil
perkapita dalam tahun 1966 sangat mungkin lebih rendah daripada tahun 1938.
Sektor industri yang menyumbangkan hanya sekitar 10% dari GDP dihadapkan pada
masalah pengangguran kapasitas yang serius. Diawal dasawarsa tersebut defisit
anggaran belanja negara mencapai 50% dari pengeluaran total negara, penerimaan
ekspor sangat menurun, dan selama tahun 1964-1966 hiperinflasi melanda negara
ini dengan akibat lumpuhnya perekonomian. Hal di atas menjadi penyebab kurang
lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Oleh karena
itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut:
•
Stabilisasi dan
Rehabilitasi Ekonomi
Keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan
masa Demokrasi Terpimpin, pemerintah menempuh cara :
- Mengeluarkan Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang
Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan.
- MPRS mengeluarkan
garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, progr stabilitas dan
rehabilitasi, serta program pembangunan.
•
Kerja Sama Luar Negeri
Keadaan ekonomi Indonesia pasca Orde Lama sangat parah,
hutangnya mencapai 2,3-2,7 miliar sehingga pemerintah Indonesia meminta
negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia.
Pemerintah mengikuti perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo Jepang
pada 19-20 September 1966 yang menanggapi baik usaha pemerintah Indonesia bahwa
devisa ekspornya akan digunakan untuk pembayaran utang yang selanjutnya akan
dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Perundingan dilanjutkan di Paris,
Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut:
•
Utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1968
ditunda pembayarannya hingga tahun 1972-1979.
•
Utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1969 dan
1970 dipertimbangkan untuk ditunda juga pembayarannya.
Perundingan dilanjutkan di Amsterdam, Belanda pada tanggal
23-24 Februari 1967. Perundingan itu bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia
akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat
lunak yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Inter Governmental Group for
Indonesia). Melalui pertemuan itu pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan
bantuan luar negeri. Indonesia mendapatkan penangguhan dan keringanan
syarat-syarat pembayaran utangnya.
•
Pembangunan Nasional
Dilakukan pembagunan nasional pada masa Orde Baru dengan
tujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala
bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan
Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi
semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil.
Pemerintah
Orde Baru di bawah pimpinan Jendral Soeharto yang memulai memegang kekuasaan
pemerintahan pada bulan Maret 1966 memberikan prioritas utama bagi pemulihan
roda perekonomian. Menjelang tahun 1969 stabilitas moneter telah tercapai
dengan cukup baik, dan pada bulan April tahun itu Repelita I dimulai. Daswarsa
setelah itu, penuh dengan peristiwa-peristiwa penting bagi perkembangan ekonomi
di Indonesia. Perekonomian tumbuh lebih cepat dan lebih mantap dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya; pergeseran-pergeseran telah terjai dalam
struktur perekonomian dan komposisi output
nasional. Selama sekitar dua belas tahun rezim Orde Baru, Soeharto mengecap
keberhasilan luar biasa. Rencana pembangunan ekonominya disokong oleh
melonjaknya harga minyak pada tahun 1970-an. Hingga awal 1980-an, indonesia
mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Dari tahun 1971 hingga 1981, tingkat
pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto (PDB) berkisar pada angka 7,7%, dan
tidak pernah berada dibawah angka 5%. Prestasi ini kebanyakan karena pendapatan
dari minyak, yang tetap tinggi hingga 1982, terutama dipicu lagi oleh perang
Irak-Iran 1979. Pada tahun 1981, Indonesia merupakan penghasil gas alam cair
terbesar di dunia. Namun, meskipun begitu, sampai saat ini Indonesia masih
tergolong dalam kelompok negara-negara miskin di dunia. Dilihat dari segi
pendapatan perkapitanya, yaitu sebesar
US$ 300 pertahun, memang sudah berada diatas pendapatan negara termiskin di
dunia (US$ 90); tetapi perlu diingat bahwa negara terkaya di dunia
berpendapatan diatas US$ 14.000 perkapita pertahun.
Krisis
yang melilit pertamina memerlukan waktu yang cukup lama untuk diatasi.
Pemerintah mempertahankan perusahaan Krakatau Steel milik Pertamina dan
pengembangan pulau Batam, meskipun dalam skala yang lebih kecil. Caltex dan
Stanvac dituntut untuk menerima pengurangan keuntungan. Akhirnya, krisis itu
bisa diatasi. Kebetulan saja krisis ini menghilankan begitu banyak likuiditas sehingga
mengendalikan tekanan inflasi akibat kenaikan harga minyak. Kalau pada tahun
1974 tingkat inflasi tahunan mencapai 41%, pada tahun-tahun selanjutnya dalam
dekade itu, tingkat inflasi hanya berkisar antara 10-20%_ dianggap masih
terlalu tinggi bagi sekalangan ekonom.
Bagi
sebagian besar warga indonesia, keuntungan yang ditimbulkan oleh harga minyak
yahun 1970-an memberikan perbaikan nyata dalam standar hidup. kini, pemerintah
dapat memenuhi janjinya untuk memenuhi kesejahteraan rakyat indonesia, suatu
janji yang menjadi landasan legitimasi rezim. prestasinya dalam sektor
pertanian, pendidikan, dan kesehatan sangat mengagumkan, terutama jika
dibandingkan dengan catatan prestasi pemerintah kolonial Belanda atau pada masa
pemerintahan Sukarno.
Investasi
untuk irigasi, jenis bibit baru, pupuk dan pestisida menggenjot produksi beras
dan bahan pangan lainya. Pada tahun 1960-an, tingkat ketersediaan beras
diperkirakan kurang dari 100 kilogram perkapita, namun pada tahun 1983 angka
itu berubah menjadi 146 kilogram. Impor beras berkurang hingga hampir
tidaka ada, dan Jakarta mengklaim terlah mencapai swasembada beras pada
pertengahan tahun 1980-an. Prediksi-prediksi pesimistis bahwa indonesia akan
mengalami krisis pangan segera tersingkir oleh optimisme. Prestasi luar biasa
ini merupakan hasil dari kemajuan teknologi, kebijakan pemrerintah,
daninisiatif serta kerja keras dari para petani-jelata indonesia.
Ukuran-ukuran
kesejahteraan yang terjadi pada masa orde baru sudah menunjukan perbaikan.
Tapi, jika perbaikan itu dibandingkan negara-negara Asia lain, potret
kemiskinan Indonesia masih tampak jelas. Perbaikan kesejahteraan dan pendidikan
yang dilakukan rezim, sebagaimana perkembangan ekonomi, lebih terkonsentrasi di
indonesia bagian barat, terutama pulau jawa. Jawa merupakan sebuah tempat yang
menjadi daerah letak ibukota negara, fokus pembangunan pemerin tah, tempat
tinggal mayoritas penduduk, dan juga menjadi fokus perpolitikan indonesia. Bagi
kaum elite indonesia, pulau luar jawa menempati urutan bawah dalam daftar
prioritas mereka.
Pembangunan
ekonomi dan konsentrasi pada manufaktur di Jawa Barat, dengan sendirinya,
menyebabkan kebalikan yang cukup berarti dari penataan ulang yang pada masa
kolonial, ketika pengarahan produk Indonesia ke pasar luar negri memperlemah
jaringan perdagangan pra-kolonial yang menghubungkan masyarakat antarpulau.
Sekarang, untuk pertama kalinya dalam satu abad, ekonomi negara mulai terbentuk
seiring karena indonesia mengalami revolusi industri yang terlambat berbasis
tenaga kerja yang murah. Bahan baku dari luar Jawa diperdagangkan ke
puasat-pusat industri di jawa. Disanalah bahan baku diolah menjadi barang jadi
dan dijual ke seluruh indonesia, seperti juga ke luar negeri. Sekali lagi, ini
memungkinkan kepulauan Indonesia dipersautkan oleh keuntungan ekonomi dan
kepentingan sendiri.
Pembangunan
ekonomi dan investasi pemerintah dalam bidang kesehatan, pendidikan dan
kesejahteraan membawa perubahan signifikan bagi indonesia, termasuk urbanisasi
yang pesat. Pada tahun 1990, sebanyak 30,9% penduduk bisa dianggap sebagai kaum
urban. Di daerah pedesaan, listrik, sekolah, sepeda motor, dan
tayangan-tayangan televisi mengenai peristiwa-peristiwa nasional dan gaya hidup
perkotaan mampu mengubah persefsi secara radikal.kaum kaya perkotaan semakin
kaya, dan demikian juga halnya dengan banyak penduduk di pedesaan. ada suatu
presepsi politis bahwa terjadi kesenjangan yang semakin lebar antara kaum kaya
dan miskin di pedesaan, namun hanya sedikit bukti yang mendukung hal tersebut,
dan malah bebrapa bukti menunjukan kebalikan hal tersebut.
Dalam
banyak hal, Suharto dan struktur pemerintahanya tampak tak tertandingi, namun
terjadi bebrapa perubahan signiofikan di sekitar diri Suharto. Dari tahun 1982
hingga 1986, Indonesia harus menyesuaikan diri dengan turunya harga minyak;
hari-hari keuntungan telah belalu. Terjadi kelebihan prodksi minyak dunia dan
resesi di perekonomian negara-negara maju. Devisa dan ekspor Indonesia menurun.
Pembangunan sejauh ini masih mengesankan dan pertumbuhan tahunan terus berada
pada level 4%. pada tahun 1982, pendapatan tahunan perkapita meningkat hingga
hampir US$ 600, yang membuat Bank Dunia mengklasifikasikan ulang Indonesia
sebagai negara berpendapatan menengah. Namun, pembangunan juga menimbulkan
tingkat utang luar negeri yang tinggi,
yang sebagian besarnya dalam bentuk Yen Jepang dan Dolar Amerika. Total utang
luar negeri mencapai US$ 20944 juta pada tahun 1982, 40.071 juta tahun dan 51.415 juta pada tahun 1988. Secara
berurutan, masing-masing toptal utang mewkili 29,2, 52,2, dan 64,1% PDB atau
merupakan 18,1, 37,3, dan 40,2% rasi pembayaran utag (debet serice ratio).
Angka-angka ini sudah cukup membunyikan peringatan bahaya dalam banyak sektor.
Namun, produksi beras terus meningkat, menurut sumber pemerintah, dan ini sangat
penting bagi kesejahteraan rakyat indonesia. Selama lima tahun hingga 1982 produksi beras meningkat 36% dan
swasewmbada nasional hampir tercapai. Hasil panen yang luar biasa besarnya
menyusul pada periode 1983 -5.
Nasionalis
ekonomi didorong oleh meningkatnya rasa bangga Indonesia atas prestasinya.
Ketika kontrak Stanvac atas ladang minyak Sumatra habis mas berlakunya pada
bulan November1983, Pertamina mengambil alih. Pemerintah menutup
perusahaan-perusahaan asing untik melatih penduduk lokal. Pemerintah juga
berusaha mengembangkan industri lokal sebisa-bisanya, terutama mendorong ekspor
nonmigas. Pariwisata menjadi sumber utama devisa asing dan meledak sejak
peertengahan 1980-an di Bali. Devaluasi pemerintrah hingga 28% pada bulan Maret
1983 mendorong pertumbuhan pariwisata, sebagaimana halnya didorong oleh izin
masuk bebas visa bagi sebagian besar wisatawan asing yang diberlakukan pada
tahun yang sama.
Pemerintahan
Suharto telah sukses melawati masa lima tahun kesulitan ekonomi. Perencanaan
ekonomi yang cermat, penghematan fiskal, dan devaluasi rupiah mampu
menggairahkan perbaikan ekonomi. Demi mengatasi masalah kesesakan”
(bouttleneck) yang besar dalam dunia perdagangan indonesia, Suharto
mengeluarkan intruksi presiden pada tahun 1985 yang menghapuskan badan cukai
Indonesia yang terkenal korup dan tidak kompeten serta meneken kontrak dengan
Swiss Societe dari General de Surveillance untuk mengambil alih fungsinya, hal
mana membawa perubahan dramatis. Pengurangan besar-besaran dalam hal tarif
diperkrnalkan pada tahun 1986, meskipun kepentingan pribadi para kroni dalam
industri baja, plastik, dan katun dilindungi dari perubahan-perubahan ini.
Asian Wall Street Journal memperkirakan bahwa harga baja di indonesia berada
25-45% diatas harga pasar internasional, sedangkan plastik berada 15-25% diatas
harga pasar internasional. Dari 1987 hingga 1992, pertumbuhan ekonomi rata-rata
tahunan adalah 6,7%, meskipun sudah tidak ada lagi pendapatan yang tinggi dari
minyak. Manufaktur dan ekspor nonmigas
lainya menjadi unggulan perekonomian Indonesia. Pada awal 1980-an,
proforsi tenaga kerja dalam sektor pertanian turun menjadi dibawah 50% untuk
pertamakalinya. Kemiskinan menurun dan hanya ada sedikit bukti yang mendukung
kecurigaan adanya jurang yang semakin lebar antara yang kaya dan yang miskin.
Namun,
memang terdapat bukti mengenai adanya kesenjangan lebar pembangunan regional,
yang berakibat jelek di masa depan. Tetapi, pembedaan utama kini bukan
membedakan antara Jawa dan tahun 1990,
Jawa menghasilkan 62% dari PDB (Produksi Domestik Bruto) nonmigas. Terjadi pula
perkembnangan yang signifikan din Sumatra dan banyak devisa dari turisme Bali.
Jadi perbedaan yang dikedepankan adalah antara Indonesia bagian barat dan
Indonesia bagian timur yang jauh tertinggal. Indonesia secara keseluruhan masih
merupakan negar miskin, terlepas dari kemajuan yang dicapai dalam pembangunan
dan munculnya gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, dan bagian timur jauh
lebih miskin daripada bagian barat.
Pada bulan
Maret 1988, Suharto kembali terpilih oleh MPR sebagai presiden untuk kelima
kalinya. Dengan segala kepercayaan diri yang dimiliki seorang ndeso yang menjadi negarawan dunia dan
dikelilingi oleh keluaraga yang semakin kaya, para kroni, dan para penjilat
yang menaburinya dengan pujian berlebihan, Suharto betindak untuk memastikan
tidak ada seorangpun yang akan menentang kekuasaanya.
Kondisi
domestik dan internasional tetap soportif terhadap rezim Suharto. Di dalam
negeri, kelas menengah urban kosmopolitan yang terdidik muncul dengan identitas
dan prilaku yang semakin islami. Kelas menengah ini menyadari bahwa mereka diuntungkan oleh
kebijakan-kebijakan pembangunan Suharto dan bahwa mereka berada di
tengah-tengah jutaan masyarakat indonesia yang masih sangat miskin. Jadi kelas
menengah indonesia berharapa adanya reformasi rezim, namun secara umum merka
tidak begitu tertarik dengan kemungkina revolusi “people’s power” di indonesia.
Mereka tahu bahwa jika kaum miskin dimobilisasi secara politis, sasaran
utamanya pastilah kaum elite atas dan para cukong, sedangkan sasaran keduanya
mungkin sekali harta kelas menengah. Makanya, dibuatlah kompromi-kompromi,
yaitu kelas menengah menoleransi pelanggaran hukum dan poendekatan keamanan
ABRI yang keras sebagai harga pembangunan.
Tidak
hanya kelas menengah ini yang menoleransi penyimpangan rezim sebagai harga bagi
keuntungan mereka. Penduduk desa pedalaman mengalami pemerahan dari pihak-pihak
diatas mereka, namun mereka juga memandang adanya keuntungan nyata dari rezim
Suharto: listrik di pedesaan, dibangunya sekolah dan klinik, beras dan uang
berlimpah, inflasi moderat, dan kemungkinan masa depan lebih baik bagi
anak-anak mereka.
Di luar
negeri, negara-negara barat memandang Indonesia sebagai negara pembangunan yang
konservatif. Indonesia merupakan contoh aksi penyelamatan yang luar biasa suatu
negara dari bencana sosial politik ekonomi. Pembangunan indonesia memberikan
berbagai kesempatan bagi individu, usahawan, dan pemerintahan barat untuk
menangguk keuntungan dari pertumbuhan Indonesia.
II.6 Krisis
dan Tantangan Ekonomi Orde Baru
Indonesia
dan konteks internasional berubah drastis sejak akhir 1980-an. Berakhirnya
perang dingin dan keruntuhan serta pecahnya Uni Soviet mengartikan bahwa
pemerintahan demokratis barat tidak begitu lagi melihat perlunya kerjasama
dengan rezim-rezim dunia ketiga. Pada saat yang sama, perkembangan-perkembangan
itu mengarahkan pemerintah Indonesia dan militer untuk meningkatkan kekerasan,
karena mereka khawatir dengan segala potensi kekerasan etnisnya juga akan
runtuh seperti Soviet. Rezim Soeharto melakukan hal ini ketika kelas menengah
Indonesia mulai tidak begitu toleran terhadap penyimpangan-penyimpangan rezim,
dan ketika peningkatan rasa keislaman telah menuntut adanya keadilan dan
moralitas yang begitu besar. Dalam kondisi penuh tantangan ini, keluarga
Soeharto dan klik penguasa semakin menggila dalam korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaan mereka. Kemudian, krisis keuangan Asia menceburkan Indonesia kedalam
bencana ekonomi, sehingga tidak ada lagi alasan utama bagi rakyat untuk
mendukung pemerintah. Pada tahun 1998, rezim Soeharto runtuh di tengah-tengah
suasana yang mirip dengan suasana kelahiranya di tahun 1965-6, yaitu di
tengah-tengah krisis ekonomi, kerusuhan, dan pertumpahan darah di jalan-jalan.
Di tengah
situasi yang kacau ini, Timor Timur juga mulai muncul sebagai wilayah berbahaya
bagi Jakarta. Hingga 1989, provinsi itu tertutup bagi dunia luar dan ABRI bebas
berkeliaran di sana, sebelum akhirnya provinsi itu di buka kembali. Hal ini
memberikan kesempatan bagi dunia luar untuk menilai hasil pemerintahan
Indonesia di Timor Timur. Hasil kekuasaannya adalah kombinasi dari investasi
pembangunan ( meskipun Timor Timur tetap menjadi provinsi dengan PDB per kapita
terendah di Indonesia ) dengan usaha untuk menekan identitas politik rakyat
Timor Timur, eksploitasi sumber daya setempat ( terutama kopi, kayu cendana,
dan marmer ) oleh tokoh-tokoh senior ABRI dan oleh kebrutalan ABRI. Dalam
tahun-tahun berikutnya, muncul masalah-masalah baru karena meningkatnya
dominasi pembangunan ekonomi lokal oleh pemukim Indonesia dari luar Timor Timur
(terutama orang Bugis dan Makasar).
Meskipun
demontrasi yang di sertai kekerasan semakin sering terjadi di Timor Timur,
namun pemerintah pusat dan ABRI setempat bertekad untuk menentang segala
perubahan fundamental di sana. Selain itu pemerintah luar negeri pun terus
mendukung rezim Soeharto dan menganggap Timor Timur sebagai gangguan kecil yang
mereka yakini seharusnya bisa di atasi oleh Jakarta. Pada bulan Desember 1989,
Australia dan Indonesia menandatangani perjanjian untuk secara bersama
mengeksploitasi zona ‘Celah Timor’ antara dua Negara. Namun sepuluh tahun
kemudian Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia dan menggantikan Indonesia
sebagai mitra Australia dalam perjanjian itu. Amerika serikat meneruskan
penjualan pesawat F-16 kepada Jakarta pada akhir bulan tersebut dan bulan juni
1990 IGGI setuju untuk meningkatkan bantuan kepada Indonesia menjadi US$ 4,5
miliar atau meningkat 4,6% dari bantuan 1989.
Pada awal
1990-an, korupsi rezim sudah semakin menggurita dan menjadi rahasia umum di
dalam dan luar negeri. Semua anak Soeharto menumpuk kekayaan. Mereka
menjalankan perusahaan pengumpul uang berskala besar. Anak-anak Soeharto
menikmati transaksi istimewa dalam jalan tol, impor komoditas strategis,
eksplorasi sumber daya alam, dan dalam banyak bidang lain. Beberapa cukong yang
dulu mendapatkan kekayaan kotor hasil kerja sama dengan Soeharto kini dengan
sukses mengubah bisnisnya menjadi bisnis legal. Diperkirakan sekitar 70%
kegiatan ekonomi swasta berada ditangan orang Cina pada tahun 1990-an. Aburizal
bakrie merupakan satu-satunya pengusaha pribumi berskala besar yang bisa
berjalan secara sah sejajar dengan kelompok cukong salim, astra, dan
dharmapala.
Beberapa
skandal terburuk berkaitan dengan hutan tropis Indonesia yang berharga. Di
perkirakan luas hutan Indonesia di tahun 1989 menyusut hampir 30% dari tahun
1950. Dalam dekade pertama pemerintahan Soeharto, konsesi penebangan kayu
diberikan dengan biaya rendah kepada perusahaan cukong dan ABRI yang kemudian
mengsub-kontrakan kepada penebang Malaysia dan Filipina. Pada tahun 1980,
Indonesia merupakan pengekspor kayu tropis terbesar di dunia. Ketika permintaan
dunia atas kayu lapis menurun, raja-raja kayu berpaling kepada pemerintah untuk
menyubsidi perpindahan usaha mereka menjadi produsen papan erat. Banyak area
yang di hancurkan, terutama di Kalimantan. Sekitar 2,5 juta orang dayak terusir
dari rumah tradisional mereka di sana.
Kekayaan
keluarga Soeharto, para kroni dan cukong yang berlebihan, jelas melukai rakyat
jelata dan usahawan pribumi, sehingga memicu respons bersentimen agama. Islam
sering menjadi sasaran serangan selama bertahun-tahun, namun kini usaha rezim
untuk mengooptasi kepentingan Islam membuatnya harus bereaksi lebih positif
terhadap aspirasi Islam di banding masa lalu.
Pada tahun
1990, Abdurrahman wahid mengejutkan banyak pengikutnya dengan mengumumkan bahwa
NU akan mendirikan Bank kredit pedesaan untuk membantu usahawan kecil dan para
petani, dan bank itu akan di jalankan berdasarkan prinsip barat, yaitu
memberlakukan bunga yang melanggar prinsip Alquran. Yang mengejutkan lagi,
mitra NU adalah Bank summa, bagian dari grup astra yang di pegang oleh keluarga
cina-kristen. Dua ribu cabang akan di bangun, namun yang terjadi hanya Sembilan
cabang yang dibuka sebelum Bank summa bangkrut pada tahun 1992. Saham Bank
summa di ambil alih oleh Koran jawa pos. Grup astra diambil oleh dua cukong,
prajogo pangestu dan liem sioe liong.
Hal yang
lebih signifikan lagi adalah berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991
yang dijalankan berdasarkan prinsip Islam, dengan tidak memberlakukan bunga dan
beroprasi dengan prinsip ortodoks bagi-hasil dan bagi-rugi. ICMI mendukung
inisiatif ini dan Soeharto memberikan bantuan dengan uang dari salah satu
yayasan yang ia kendalikan. Ketika Indonesia mengalamai krisis moneter enam
tahun kemudian, Bank Muamalat bertahan cukup baik dibandingkan bank lain,
karena bank ini tidak terikat dengan komitmen finansial yang membangkrutkan
hampir seluruh sektor bisnis modern Indonesia.
Ketika
muncul tuntutan akan adanya masyarakat yang lebih adil dan ketika perilaku
rezim semakin menyimpang, pendekatan represif ABRI terhadap segala masalah
menimbulkan insiden heboh yang berdampak internasional. Pemerintah Kanada,
Denmark dan Belanda membatalkan program-program bantuan. Pada awal 1992,
pemerintah Belanda yang mengetuai konsorium IGGI menegaskan bahwa bantuan untuk
Indonesia harus dibarengi dengan perbaikan Indonesia atas pelanggaran HAM.
Respons Soeharto mencerminkan keyakinannya pada kedudukan dirinya sendiri dan
bangsanya. Soeharto tidak mau menerima petuah-petuah dari pemerintah asing dan
mengumumkan Indonesia tidak akan lagi menerima bantuan dari IGGI. Dengan
demikian Soeharto membubarkan kelompok yang telah menyalurkan bantuan ke
Jakarta selama 25 tahun itu. Soeharto menerima penghormatan yang luas di
Indonesia, bahkan dari banyak pengkritiknya karena reaksi yang sangat
nasionalis ini.
Soeharto
meminta Bank Dunia untuk membentuk konsorium bantuan baru tanpa Belanda sebagai
anggota. Dia tahu pasti dia tidak akan rugi apa pun karena pada tahun 1991
bantuan Belanda tidak lebih dari 2% dari keselurahan bantuan IGGI. Hasilnya
adalah terbentuknya Consultative Group on Indonesia (CGI) yang beranggotakan
semua mantan anggota IGGI kecuali Belanda. CGI ini merupakan kelompok pemberi
utang terbesar untuk Indonesia.
Penduduk
Indonesia gelisah, konflik sosial menyebar, perasaan anti Soeharto menguat
dalam diri militer, apalagi dalam kalangan kelas menengah dan partai politik,
dan kini perekonomian pun semakin bahaya. Meskipun pertumbuhan ekonomi tetap
berada di atas 5% ketika melewati pertengahan 1990-an, tingkat suku bunga juga
masih tinggi. Banyak perusahaan swasta meminta pinjaman luar negeri dan meminta
utang dalam bentuk dolar atau yen sementara nilai rupiah untuk membayar utang
itu pun semakin menurun. Utang luar negeri pemerintah Indonesia pun sangat
besar. Pada tahun 1992, diperkirakan total utang luar negeri berada di atas US$
84 miliar. Ini merupakan 67,4% dari PDB, dan 32,1% rasio pembayaran utang.
Tetapi angka ini termasuk utang swasta, yang sebenarnya lebih besar lagi.
Ketika para investor asing mulai melihat ada kesempatan untuk berinvestasi di
tempat lain selain Indonesia, dan ketika beberapa perusahaan mulai kesal
terhadap korupsi dalam dunia bisnis Indonesia, investasi asing melorot dalam
empat tahun berturut-turut.
Pada tahun
1993-4, pemerintah memperkenalkan beberapa kebijakan untuk mendorong investasi
asing, yang kemudian pulih pada tahun 1994. Sejak saat itu mulailah masa
pertumbuhan pesat. 8,1% pada tahun 1995, kemudian 7,4% pada tahun 1996, dan
hampir 8% pada tahun 1997. Tetapi, inflasi tidak berada jauh di bawah angka
pertumbuhan dan investasi asing kembali menurun. Para usahawan serakah Jakarta
membuat perjanjian utang luar negeri yang besar, yang tak lama kemudian membuat
negara ini terpuruk. Anak-anak Soeharto menjadi kaya luar biasa dari usaha
mereka. Banyak dari usaha mereka itu bertumpu pada uang yang dengan sigap
bersedia dipinjamkan oleh kepentingan-kepentingan luar negeri, karena
perusahaan Soeharto dijamin pasti mendatangkan untung. Kabar burung yang
beredar mengatakan bahwa keluarga Soeharto berinvestasi jarang menggunakan uang
mereka sendiri.
Rezim
menjadi lebih represif dengan harapan mampu membungkam ancaman-ancaman politik
dan mengeruk kekayaan secepatnya. BUMN merupakan bagian besar perekonomian
karena mewakili kira-kira 30% dari PDB pada awal 1990-an. BUMN merupakan ciri
utama, sebagian karena banyak orang Indonesia yang masih tidak memercayai
kapitalisme swasta dan sebagian lagi karena dalam masa Soeharto, BUMN merupakan
sumber penting patronase elite. Sebagai perusahaan komersial, kinerja BUMN
secara umum bervariasi dari buruk hingga buruk luar biasa. BPIS pimpinan
Habibie mengendalikan sederetan industri berteknologi tinggi yang menghabiskan
miliaran dolar uang negara. Pada 1992, Habibie memutuskan untuk membeli 39
kapal angkutan laut bekas Jerman timur yang diperkirakan menghabiskan anggaran
US$ 482 juta untuk membeli dan memperbaikinya, yang direncanakan kebanyakan
akan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan BPIS.
Sementara
itu, enam anak Soeharto memerah dengan rakus segala kesempatan yang ada buat
mereka. Mungkin ibu mereka kalah, Ibu Tien, yang juga telah banyak dituduh
melakukan korupsi, yang bertindak sebagai filter antara Soeharto dan
anak-anaknya, sehingga mampu membatasi keserakahan anak-anaknya tersebut. Jika
memang demikian halnya, kematian Ibu Tien pada bulan april 1996 menyingkirkan
unsur pengekang itu.
Salah satu
skandal bisnis keluarga yang mencolok mencuat pada awal 1996. Dikabarkan
Indonesia akan merakit mobil nasionalnya sendiri di dalam negeri, yang
mensyaratkan adanya pembebasan pajak. Dengan keputusan presiden, kontrak
perakitan itu jatuh ke tangn Tommy Soeharto dan perusahaan manufaktur mobil
dari korea, kia, yang dibebaskan dari pajak dan bea masuk. Namun, segera
ketauan bahwa usaha bersama ini sama sekali tidak akan membuat mobil nasional
di Indonesia. Malah, mobil itu sepenuhnya buatan kia yang diberi label nasional,
sehingga mampu terhindar dari segala macam pajak dan bea masuk serta
mendatangkan keuntungan besar bagi kedua belah pihak. Tommy mengatakan bahwa ia
akan mengirim orang Indonesia untuk bekerja di pabrik kia di Korea, sehingga
akan tepatlah bahwa mobil tersebut adalah mobil nasional. Yang lebih absurd
mobil baru tersebut dinamakan Timor. Soeharto menyetujui pengimporan 45.000
mobil Timor pada tahun pertama. Hal ini memicu protes keras dari luar, karena
ini melanggar peraturan perdagangan internasional. Pada 1994 Soeharto
menggambarkan dirinya sebagai penjunjung tinggi perdagangan bebas, namun tampak
jelas bahwa keluarga lebih berarti bagi dirinya.
Iklim
internasional Indonesia menjadi semakin anti rezim, baik dalam bidang politik
maupun ekonomi. Soeharto memang disambut baik oleh Clinton dalam satu kunjungan
kenegaraan ke Washington pada 1995, namun hal itu tidak meredam kemarahan
Amerika terhadap kasus mobil nasional Tommy setahun kemudian. Yang semakin
memperburuk kedudukan Internasioanal Indonesia adalah ketika hadiah Nobel
perdamaian 1996 diberikan secara bersama kepada dua pemimpin Timor Timur, Uskup
Belo dan Jose Ramos-Horta.
Indonesia
kini memiliki utang jangka pendek yang sangat besar, karena banyak utang masuk
ke Indonesia yang biasanya dalam bentuk dolar Amerika, sehingga membengkak
karena mengikuti pergerakan rupiah yang tidak bagus. Sistem perbankan yang
menangani semua uang ini sama sekali tidak tertata dengan baik. Jepang, mesin ekonomi kawasan asia, masih
dalam resesi yang berkepanjangan sepanjang tahun 1990-an. Jadi, Indonesia tidak
dalam kondisi bagus untuk menghadapi kejutan ekonomi. Keadaan cuaca pun
tampaknya tidak bersahabat bagi Indonesia karena badai kekeringan El nino yang
parah telah mengurangi produksi beras hingga 10% pada tahun 1997-8, dan
memperparah kebakaran hutan, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Namun
nampaknya Bank Dunia terkesan oleh kemilau Jakarta, pada mei 1997 masih
mengatakan bahwa fundamental Indonesia dalam keadaan baik.
Kemudian,
krisis asia yang muncul di Thailand menghantam Indonesia. Rupiah selama ini
berada dalam kisaran Rp 2.500/ US$, namun nilai ini segera merosot di bulan
Juli 1997. Pada bulan Agustus, nilai mata uang menurun 9%. Bank Indonesia
mengakui bahwa ia tidak bisa membendung nilai rupiah yang terus merosot. Pada
akhir Oktober, nilai tukar rupiah menjadi Rp 4.000/ US$. Dari sini rupiah
semakin terpuruk. Pada bulan Januari 1998, rupiah tenggelam hingga level
sekitar Rp 17.000/US$, atau kehilangan 85% nilainya. Bursa saham Jakarta
hancur. Hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut, tabungan kelas
menengah lenyap, dan jutaan pekerja diberhentikan dari pekerjaan mereka.
Respons
pertama pemerintah terhadap krisis mencerminkan kesombongan dan kurangnya
kesadaran terhadap realitas. Reformasi diumumkan, namun proyek keluarga dan
para kroni terus dilindungi. Perjanjian dengan IMF pada bulan Oktober 1997
mengakibatkan ditutupnya 16 bank, tetapi dua bank yang dimiliki keluarga
Soeharto dibuka kembali. Lalu, dimulailah tarik urat antara IMF dan Soeharto
yang menjadi konsumsi publik dan semakin meneguhkan anggapan para pengamat
dalam dan luar negeri bahwa rezim ini sudah begitu dalam terbelit nepotisme,
korupsi, dan inkompetensi. Ada seruan-seruan reformasi dari banyak pihak, tapi
tetap tidak mendatangkan hasil. Pilar utama rezim, yaitu Soeharto sendiri,
tampak tidak sekuat dulu.
Pada bulan
Januari 1998, Soeharto mengumumkan rancangan anggaran negara yang absurd karena
memasukan asumsi nilai tukar rupiah yang berlaku enam bulan sebelumnya. Pada
tanggal 15 Januari terjadi konflik yang membuat IMF mengancamam akan menunda
bantuan kalau Soeharto tidak mengambil langkah reformasi yang realistis. Pada
saat itu rupiah mencapai kurs yang
paling jelek.
Tuntutan
akan reformasi terus meningkat seiring dengan seamakin memburuknya krisis
ekonomi dan semakin jelas bahwa rezim tidak mampu untuk mereformasikan diri.
Demontrasi mahasiswa semakin marak. ABRI membiarkanya selama demontrasi itu
dilakukan dalam kampus. Tapi, pada awal Mei, mahasiswa sudah turun ke jalan-jalan
di kota besar. Pada 12 mei, penembak jitu ABRI menembak mati empat mahasiswa
demonstran di Universitas Trisakti Jakarta. Kejadian ini menjadi titik balik.
Kematian mereka, bersama dengan keruntuhan ekonomi, kebrutalan ABRI, korupsi
rezim, dan kemustahilan akan adanya reformasi, telah memporak-porandakan
benteng terakhir keabsahan rezim dan ketertiban sosial. Pada bulan Mei 1998
Orde baru pun runtuh di tengah kekacauan.
BAB
III
KESIMPULAN
Pembangunan
ekonomi Indonesia dari masa revolusi sampai berakhirnya rezim Soeharto
mengalami pasang surut. Di awal kemerdekaan, pemerintah mendirikan Bank
Indonesia untuk menjalankan semua aktivitas perbankan serta memberikan
informasi dan penerangan dalam bidang ekonomi. Di masa orde baru, Indonesia
dihadapakan pada masalah-masalah ekonomi yang besar. Pemerintah memberikan
prioritas utama bagi pemulihan roda perekonomian salah satunya dengan program
pembangunan jamgka panjang secara periodik lima tahunan atau biasa disebut
pelita(pembangunan lima tahun). Hasilnya cukup baik, perekonomian Indonesia
berkembang pesat.
Memasuki
akhir 1980-an, krisis keuangan Asia
semakin menenggelamkan Indonesia pada bencana ekonomi nasional. Utang luar
negeri yang sangat besar pun semakin menghancurkan perekonomian. Utang luar
negeri yang membengkak disebabkan karena uang yang masuk ke dalam negeri
umumnya berbentuk dolar, sedangkan nilai rupiah terhadap dolar sangatlah buruk
waktu itu. Di tengah-tengah krisis yang dialami,
keluarga Soeharto dan para penguasa semakin menggila dalam korupsi. Hal
inimengakibatkan kebencian rakyat kepada Soeharto dan keluarganya. Tahun 1998
Orde Baru pun runtuh di tangah-tengah krisis ekonomi nasional yang sangat
buruk.
No comments:
Post a Comment