7/29/2015

Horror less then 10 minutes. Ini dia 10 film horror pendek menakutkan yang kalian bisa simak di YOUTUBE



Booooooooo

Menurut KBBI horor/ho·ror/  adalah sesuatu yg menimbulkan perasaan ngeri atau takut yg amat sangat. Dan Film Horror dapat disimpulkansebagai karya sinematografi yang memuat unsur-unsur tersebut.
Lalu pertanyaanya? Apakah sebuah film horror harus berdurasi rata-rata 1 jam setengah sampai 2 jam agar penonton bisa merapakan kengerian didalam film? Jawabannya tentu saja tidak. Beberapa film berikut adalah film horror pendek terseru (read:terseram) yang kalian bisa tonton di youtube.
Yang pastinya semua yang ada dalam list ini adalah film yang gua tonton, karenanya pasti masih banyak sekali film horror pendek berkualitas yang belum sempet ditonton dan gak dimasukin kedalam list ini. Buat yang ga sabar pengen nonton klik aja di gambar filmnya yah!
So, are you ready to watch this short fuckin horror film? Check this out.


1.Knock (2011)


Ada gadis blonde di WC jadi berasa pengen ngapain gitu yah

   Knock dimulai dengan setting disebuah kamar yang dimana ada 1 tokoh cewek yang sedang mempersiapkan untuk ujian di hari berikutnya. Dia pun bobok biar ga kesiangan. Sendirian loh bobolnya, kasihan yah dia terlalu sexy buat bobok sendirian. Eh? Tapi dia diganggu terus sama suara ketokan pintu sepanjang malam, siapakah gerangan? Kalian tidak kan menemukan penampakan atau adegan disturbing dalam film ini, tapi melalui horror yang bersifat atmosfir. 


2. Katasumi atau “In A Corner” 


Selain AKB48, jepang punya karya visual lain yang harus ditonton.

Film ini jelas cocok sebagai film pengantar tidur, film yang disutradarai oleh Takashi Shimizu, yup orang yang bertanggung jawab membuat saya mimpi buruk oleh seri-seri JuOn-nya ini, adalah debut kemunculan pertama kali hantu Kayako yang legendaris itu. Menakutkan? tentu saja. Hiyy!


3. Snip


Yakin cuma mau ngeluarin isi perut aja?

  “Snip” adalah film pendek tersakit yang pernah saya tonton, film yang bikin seri-seri “      "SAW” ataupun “Hostel” jadi akan terlihat seperti film kartun Nickelodeon. Mengapa demikian? Karena tidak seperti film Saw yang adegan organ keluar dari tubuh hanya berlasngsung beberapa detik. Dalam film ini adegan tersebut akan berlangsung sekitar 5 menit. Ya menghibur memang.


4. Grave Torture


Bocah apet, ngikut terus kemana mana

“Grave Torture”,  tidak sepeti judulnya film ini murni hasil karya anak bangsa. Mungkin bentuk eksperimental dari Joko Anwar yang telah menghibur pecinta thriller Indonesia lewat modus anomali dan masterpiecenya Pintu Terlarang. Film ini bercerita tentang bocah baik yang sayang papah.yang ketiduran saat meratapi ayahnya dalam peti mati, yap he was died. Si bocah pun dengan tolol nya ikut terkubur bersama sang ayah. Dan horror berbau religi pun dimulai. 


5. Love hurts


Mungkin ini salah satu alasan cewe kalo ke WC suka rame-rame

Bercerita tentang pasangan yang sedang bertengkar hebat di sebuah kamar mandi umum. Cowok pergi keluar karena pertengkaran sudah mencapai puncaknya, sementara sang cewek cengeng masih di kamar mandi. dan sendirian yap sendiriiiiaaaaaan. 


6. Cutting moments

Cutting moment gak berhenti di mulut

Film pendek karya Douglas Buck yang dirilis pada tahun 1997 benar-benar tahu bagaimana membuat orang muntah-muntah, sesuai judulnya memang akan ada banyak adegan motong-memotong, motong apa? tonton sendiri kalau berani.


7. Lights out

Bukan! Bukan! ini bukan film lesbi


Mungkin kita semua pernah mengalami situasi dimana lampu dirumah kita suka mati hidup sendiri. Tapi apa kalian yakin itu semua karena lampu atau kabel rusak? Bisa aja itu ulah makhluk lain. Ups.

8. Dinner

Abis diapain yah si blonde kira-kira

Berawal dari sebuah penyekapan berakhir pada sesosok melayang layang. Film nya agak mysterius sedikit absurd sih. Tapi tetap mengerikan kok buat ditonton. Kombinasi thriller, mystery, & horror

9. Pictured

Coba cek foto-foto di gadget kamu? Kali aja nemu beginian.

Film ini masih satu produksi sama film sebelumnya "Light Out". Kalau kalian suka film light out, pasti suka juga sama film ini. Cek cek ceeeek.

10. Endless

Yup. Itu baju bobo. Yup juga. Itu dikamar mandi

Film pendek yang teramat sangat artistik karena disajikan dalam slow motion. Mungkin untuk durasi 8 menit film ini hanya butuh syuting 4 menit. Di film ini akan ada adegan tusuk-tusakan, gigit-gigitan, tampar-tamparan dalam gerak yang sangat lambat. Oh its fuckiin artistic.

Itu dia 10 film horror yang asik banget ditonton bareng pasangan. Nah loh?
Sebenernya ada banyak banget sih film yang serem belum dimasukin ke list, kaya porcelen rising,mama, the smiling man dan masih banyak lagi. Ini mungkin hanya masalah selera aja. Oke ada yang mau nambahin? Tambahin aja di kolom komentar dibawah.
Sebelum pamit satu lagi nih buat bonus
Horror kaleng melayang.

Kamu gak suka nonton yang horror?
Bisa kok baca yang horror, nih:

1. On the bus2. Lolita Slave toy3. The Crowling4. Pastel man

Bye 

7/28/2015

Creepypasta bahasa "The Crow--Ling"











Yah, ini adalah Cerita yang sangat panjang--namun sangat layak untuk di baca bagi yang benar-benar mencintai Creepypasta karakter. mungkin ada 2 atau 3 part lagi dan semuanya panjang..


jadi, kalau kalian mencintai Creepypasta, kalian layak memberikan waktu beberapa menit untuk membacanya.






The Crow--Ling~


Source: Creepypasta.Indonesia-






Credit: F.A--F


***













Well, aku akan memulainya. Sebuah Cerita yang mungkin tak pernah terbayang sebelumnya, sebuah cerita yang akan merubah segalanya tentang kehidupanku—mungkin yang jauh lebih buruk dari sebuah fantasy terkelamku. Cerita tentang makhluk yang awalnya ku pikir hanya sebuah lelucon dari mulut-mulut usil—aku menyebutnya dengan “The Crow” yang lain menyebutnya dengan “The—Crow’ling”.






Semua ini di mulai saat liburan Musim panas, sekolah mengadakan perjalanan berwisata ke sebuah Kota Tua—butuh waktu setidaknya 8 jam untuk sampai disana, sebelumnya aku tidak pernah berpikir untuk mengikutinya, mengingat aku memiliki agenda berlibur bersama keluargaku, sampai ayahku yang dengan seenaknya mengatakan dia harus pergi ke luar Negri untuk satu alasan yang paling ku benci, “Pekerjaan”—hingga terpaksa akhirnya aku harus ikut dalam agenda Sekolah.






Aku memiliki satu kebiasaan unik dari dulu, meskipun bila kau melihatku tampaknya aku terlihat bukan seperti gadis Feminim, namun aku memiliki kebiasaan layaknya gadis yang sangat Feminim, yaitu menulis semua Cerita keseharianku dalam sebuah buku Harian kecil.






Mungkin terdengar klise, namun aku menulis itu semua sebagai pengingat dari setiap kepingan kenangan yang pernah ku lalui, alasan yang paling tepat adalah karena aku memiliki penyakit—langka yang mungkin masih asing di telinga kalian, yaitu Amnesiather, seperti Amnesia, namun memiliki perbedaan dari tingkatan stress ketika melupakan sesuatu yang penting.






Aku bisa melihat Sebuah Bus kuning besar, sedang terparkir di depan rumahku, dan saat itu aku seolah tahu apa yang akan di katakan oleh ibuku. “Janine, kau sudah siap Nak, sepertinya teman-temanmu sudah tiba—“ ucapnya sembari memberikanku Tas, dan mengantarku berjalan ke halaman Rumah.






Aku bisa melihat semua teman-teman menatapku dengan senyuman khas mereka, aku menyambutnya dengan senyuman tipis, sebelum aku mulai meninggalkan ibuku yang berniat untuk mencium keningku, namun aku mengalihkan dahiku sebelum bibir hangat itu menyentuhnya. Aku memang merasa bersalah setelah itu—namun aku bukanlah bocah kecil lagi. Terlebih dia akan melakukanya di depan teman-temanku, aku sangat malu. Namun ibu tampak mengerti, terlihat dari bagaimana dia membelai kepalaku. Dengan pelan, aku mulai duduk di tepian jendela Bus. menatapnya, ketika Bus mulai melaju pelan, meninggalkan sosoknya yang terus melambai ke arahku.






Aku duduk dengan teman sebangkuku, Grisia, gadis berambut pendek manis yang tidak terlalu ku kenal, mungkin aku mengenalnya begitu juga denganya, namun kami tidak begitu akrab, atau lebih tepatnya aku yang tidak benar-benar punya teman yang akrab denganku.






Untuk beberapa saat, aku berusaha menikmati perjalanan itu.






-14 Januari—pukul 08.30 pagi.






Aku mengeluarkan catatan kecil, dan sebuah pena, kemudian mulai menulis kegiatan pagiku, tidak banyak—karena ayahku sudah berangkat sebelumnya, hanya kejadian saat sarapan bersama ibuku, dimana dia menjelaskan apa saja isi tas yang dia persiapkan untukku.






Grisia melirikku beberapa kali, tampaknya dia ingin tahu apa yang selama ini ku lakukan dengan buku kecil itu. Aku hanya meringis memandangnya, berusaha meyakinkanya tidak ada yang aneh dari kertas ini, hanya sebuah catatan tak berarti.






Ku sadari, Bus mulai melaju di jalanan lurus, di Tepian sebuah jurang—cukup aman dengan pemandangan yang memukau, aku bisa melihat tebing-tebing dengan pepohonan lebat disana-sini, aku dan Grisia, begitu terpukau dengan semua ini. Aku pikir, berlibur dengan semua teman-teman sekolahku bukan ide yang terlalu buruk.






Oh, untuk guru pembimbing kami, ada 3 orang dalam rombongan, Sir Redolf, Nona Anita, dan Mr. Glegorry, mereka adalah guru—guru pengajar di sekolah kami.






Sir Redolf adalah guru Olahraga, sementara Nona Anita adalah pengajar sastra bahasa kami, sedangkan Mr. Glegory adalah wakil kepala sekolah sekaligus guru Sejarah kami.






Bus mulai menuruni jalanan yang berliku, kemudian melewati sisi dalam hutan, tidak ada lagi Bukit—indah yang bisa kami pandang, kini hanya pohon –pohon besar yang bisa aku saksikan, semua Murid tampak asyik dengan obrolan mereka masing-masing, aku dan Grisia masih terlalu sungkan untuk saling bercakap-cakap, namun saat kami dalam keadaan kaku itu, kami di kejutkan dengan sebuah Sentakan yang membuat Bus tiba-tiba terpelanting, namun Sopir dengan cekatan mengerem, hingga Ban berderit kencang.. sebelum akhirnya benar-benar berhenti.






Aku dan semua murid, serta Guru pengawas tampak Shock, dan mulai melihat ke sisi jendela luar tentang apa yang terjadi.






Sopir berjalan keluar untuk beberapa saat, dan Mr. Glegory tampak menenangkan kami yang masih terkejut akibat apa yang baru saja menimpa kami. Bus berhenti tepat di jalanan yang Sepi senyap, lebih tepatnya jalur dalam Hutan.






Sir Redolf berjalan masuk dan tampak berbincang-bincang dengan Nona Anita, sesekali mereka melirik kea rah kami, tampaknya dari percakapan mereka, aku bisa mengira-ira ada yang salah dengan Ban-nya, mungkin pecah.






Beberapa saat, Mr. Glegory akhirnya berbicara dengan kami, dia mengatakan Bus mengalami kendala dengan Ban-nya namun tidak perlu ada yang khawatir, karena Sopir sedang berusaha menggantinya dengan Ban cadangan. Mr. Glegory dan Sir Redolf melangkah keluar, dan Nona Anita mencoba mencairkan suasana tegang, yang di sambut “Uhuuu—uu ” oleh semua murid.






Aku mulai bosan dengan semua ini, setidaknya sudah 10 menit kami ada disini, namun waktu terasa begitu lama, aku baru saja menulis kejadian ini di buku harianku, saat Grisia menepuk bahuku.






“Roti?” tawarnya.






Aku menolaknya, karena perutku masih terlalu penuh dengan sarapan pagiku, dia tampak mengerti dan memasukkanya kembali di tasnya. Kami terlibat dalam keadaan canggung kembali.






Sampai—dia tiba-tiba mengatakan. “Janine, kau suka dengan sebuah Cerita?” ucapnya tampak ragu-ragu memandangku.






“Cerita?!” aku mengulanginya.






“Eh—ya, Cerita Seram mungkin. Daripada kita bengong seperti ini”






Aku menatapnya sungkan, namun melihat dia mencoba berusaha akrbab denganku membuatku harus menyambutnya, jadi aku mengatakan, “Tentu saja—kau punya?” dengan sedikit gelak tawa kecil.






“Tentu.”






Aku mulai menatap Grisia, yang mulai meletakkan tasnya di atas kursi kami, dan dia menatapku serta membenarkan posisi duduknya agar aku bisa menatap dirinya dengan gampang.






“Kau pernah mendengar tentang The Crow’—Ling?”






“The—apa? Coling?” ucapku tampak bingung.






“Bukan Janine, tapi The Crow—ling. Sang Gagak Hitam? Em, mungkin kau tampak asing, namun The Crow—ling adalah makhluk yang mengerikan seperti cerita-cerita di Creepypasta, seperti, Slanderman, Pastel Man atau Jeff?? Kau tahu mereka bukan??”






Aku sedikit bingung, namun aku sedikit mengerti dengan makhluk –makhluk yang Grisia ucapkan, hanya saja, The Crow—ling, aku belum pernah mendengarnya. Aku mulai mengangguk berusaha mengerti dan Grisia mulai melanjutkanya.






“Kabarnya, dulu ada Makhluk mengerikan yang di berikan nama The Crow—ling atau sang Gagak, dia adalah makhluk Besar, Tinggi, namun tidak memiliki wajah, tidak ada Mata—hidung, telinga, hanya memiliki mulut, dia berbeda seperti Slanderman, karena kulitnya Hitam pekat keabu-abuan, dengan sayap Gagak kecil di punggung besarnya, tingginya sekitar 2 Meter lebih, dengan tangan panjang hingga menyentuh tanah.






Dia hanya memiliki mulut, namun dia tidak bisa mengatakan sesuatu dengan mulutnya, kau tahu kenapa? The Crow—ling menyimpan sesuatu di dalam mulutnya. Sesuatu yang sangat kelam, sebuah Mimpi atau mungkin Imajinasi yang buruk.






Dia biasanya akan menemui seseorang yang akan tertimpa Kemalangan, dia akan menyentuh si Manusia Malang, dan memberitahu bahwa, sesuatu yang buruk sedang mengelilinginya. Dia menceritakan sebuah detail tentang peristiwa yang mengerikan, namun dia menceritakan detail itu, sebagai penutup Kutukanya. Kau mengerti maksudku—Janine?” Grisia menatapku yang begitu terpaku mendengarnya, sampai aku hanya diam memandangnya.






“Janine—kau mengerti bukan?” Grisia mengulanginya.






“Oh—Ya. Lalu, apa kutukanya?? Sebuah mimpi buruk, seperti apa yang Pastel Man lakukan??”






“Tidak—dia sangat berbeda seperti Pastel Man, dia lebih buruk. Karena The Crow—ling hidup dari bencana manusia yang malang. Dia menghantui Manusia malang. Tidak semua orang bisa menemuinya, atau memanggilnya, dia yang menentukan dan memilih siapa yang akan menerima Keburukanya. Dia adalah makhluk yang selalu memberikan petuah dan petunjuk tentang Musibah terburuk.”






“Tunggu dulu—dia memberitahu Musibah? Bukankah itu artinya dia baik?”






“tidak Janine—masalahnya dia, menceritakan musibah dan kemalangan itu ketika semua sudah terjadi.”






Ku rasakan, langit mulai mendung dan aku bisa melihat, hujan mulai turun, sementara tubuhku mulai menggigil kedinginan, entah karena Cerita atau musim yang berganti namun aku tidak dapat menutupi bahwa diriku merinding mendengar ceritanya.






“Bagaimana kau tahu cerita tentang The—Crow, ya—??”






Grisia menatapku sangat dalam, sembari membisikkan sesuatu “ini adalah Cerita yang terkenal—kau tidak perlu tahu darimana aku mendengarnya, yang harusnya kau tanyakan adalah, kenapa aku menceritakanya kepadamu?? Itu jauh lebih Penting.”






“Apa—? Kenapa??” aku menatap wajah Grisia hingga wajah kami hanya berjarak beberapa centi meter.






“Karena dia sekarang—ada di belakangmu!!”






Brummm!! Aku berteriak kaget, saat mendengar suara Mesin berdebum-hingga semua orang menatapku.






Mr. Glegorry menatapku sembari bertanya, “kau tidak apa-apa Janine?”






“Eh, ya, ya, maafkan aku. Hanya saja—“






Aku bisa melihat Grisia mencoba menahan senyum. Dan saat Mr. Glegorry sudah kembali ke tempatnya, Grisia tertawa, “seharusnya kau lihat wajahmu yang pucat itu tadi—maaf maaf!! Aku bercanda”






“tidak lucu—“ aku mngumpat kesal.






Bus kembali berjalan, namun—jalanan mulai terasa licin ketika hujan mulai turun, sedangkan liku jalanan setelah keluar dari Hutan adalah Jurang, meski jam menunjukkan pukul 11 Siang, namun langit sangat Gelap. Aku berharap segera keluar dari Area ini, entah kenapa tiba-tiba perasaanku sangat tidak enak, dan bila aku benar, ini semua tentang Grisia dan cerita bodohnya tentang “The—Colling, The –Maling atau apapun itu. Aku benar-benar kesal, namun sangat menggelitik bila aku mengingatnya.”






Bus mulai melaju kencang, saat tiba-tiba kami berada di tepian Tebing kembali, Hujan semakin deras, dan membuatku semakin khawatir, Nona Alina berkali-kali meminta agar Sopir lebih berhati—hati sementara 40 murid lain tampak asyik bercanda dan sibuk dengan gadget mereka, saat—Chittttt!!






Bus kehilangan keseimbangan, dan Semua Murid terpental tak beraturan termasuk aku—dan Grisia yang harus terlempar dari tempat duduk kami. Sopir berusaha melakukan tindakan berarti namun yang terjadi, kami mengarah langsung ke Tepian Jurang, saat itu—untuk beberapa detik. Aku melihatnya..






Sesuatu yang berdiri di tengah-tengah Badan Bus bagian dalam, berdiri seimbang dalam Kondisi Bus yang terpelanting miring, sesuatu yang tinggi sampai harus membungkuk, tanpa Mata, tanpa telinga dan Hidung—hanya mulut yang menyeringai menatapku.






The Crow—ling??






.........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................






Itu adalah kalimat yang ku ucapkan saat terakhir, sebelum “Blaaarrr!!” serpihan kaca Jendela Bus mulai menghantam sesuatu, membuatku terpelanting dari satu tempat ke tempat lain, dan menghancurkan segalanya! Segalanya yang ku lihat, yang menimpa semua Orang, karena saat terakhirku sebelum aku menutup kedua mataku. Aku masih bisa melihat makhuk itu, berdiri menatapku, sesuatu yang hitam dan mencair keluar dari mulutnya, dan ku pikir, disinilah aku berakhir. Berakhir dalam Bencana kematian, yang sesungguhnya.






Hitam dan kelam, adalah sebuah gambaran yang muncul setelah semua ini, semuanya terlihat merasuki tulang belulangku, aku masih bisa mengingat jelas sosoknya si Gagak hitam. Dengan Kepalanya yang lonjong tanpa mata, hidung, telinga, hanya mulut busuk dengan sesuatu yang hitam ketika dia mengangah, tubuhnya yang tinggi, kurus, Telanjang tanpa kelamin, berdiri bungkuk dengan sayap gagak kecil yang terlihat tidak pantas untuk makhluk sepertinya, sayap ‘nya tidak terlihat singkron denganya, seperti melihat sisi lain dari Peri menjijikkan. Tanganya panjang menyentuh Alas kakinya, semua warna kehitaman itu dengan sedikit temberam dalam sisi keabu-abuan tentang The Crowling, si pembawa bencana begitu terukir jelas dalam ingatanku.






Aku melihat secercah Bayangan ketika perlahan suara-suara itu muncul di telingaku, awalnya tipis dan memecah, namun perlahan melembut dan terdengar memanggilku, “Janine, janine, Bangun nak, bangun!” yang ku lihat selanjutnya adalah wajah penasaran seorang Mr. Gligorry.






“jadi—ini yang namanya akherat Mr.” suaraku terdengar serak, dia menatapku dengan wajahnya yang buruk, lusuh dan kotor.






“sayangnya tidak Nak. Ini bukan Akherat”






Aku mulai menyesuaikan pemandangan yang terjadi di sekelilingku, awalnya semua terlihat samar-samar namun perlahan, fokusku mulai kembali—aku bisa melihat sesuatu yang terbakar. Sesuatu yang besar, kuning dan Ringsek berantakan. Aku membelalak berusaha berdiri dengan rasa sakit yang seketika mengencangkan otot-otot pada tulangku. Bus kami. Hancur berantakan.






Seketika Mr. Gligorry memelukku, berusaha membuatku sadar dengan apa yang terjadi, dia mengangkatku, menjauh dari tempat itu. Aku sesekali berusaha mengerti apa yang terjadi, Mayat-mayat itu, aku mengenalnya—aku bisa melihatnya dengan jelas, namun sesuatu seperti membeku dan berhenti di tenggorokanku, si gemuk, Sopir Bus itu, dia tewas, tepat di tempatnya dia duduk—bahkan mungkin dia tidak bisa melakukan apapun termasuk dengan darah di seluruh bagian Bus. Pemandangan mengerikan ini seperti sebuah pesan, pesan tentang Makhluk itu, yang mungkin tertuju untuk kami.






“Berapa?” aku mencoba menekan perasaanku—sebelum perasaan emosional yang sudah memenuhi kepalaku Mr Gligorry seolah mengerti dengan maksudku. Dia membelai kepalaku, kemudian berucap seperti berbisik, 6 Orang, sisanya Tewas, yang lainya hilang.






Mr. Gligorry berhenti dan mendudukkanku di bawah pohon besar. Aku bisa melihat Nona Anita, Sir Redolf, Brown, Medeline, dan Grisia yang sedang meringkuk, sepertinya menangis.






“Jadi—ada lagi yang selamat?” Nona Anita menatap Mr. Gligorry yang menggeleng kecewa, “hanya Janine, yang lainya tewas dan beberapa Hilang. Tidak ada yang tersisa disana. Aku rasa saat ini, lebih baik kita berdiam disini. Hari sudah gelap. Besok kita akan memikirkan langkah apa selanjutnya.”






Kami bermalam disana, dalam dingin yang menusuk ke tulang kami, hanya menggunakan tangan untuk menghangatkan kami. Tidak ada percakapan berarti, hanya keheningan yang mampu kami rasakan dan itu benar-benar sangat menyiksa.






Subuh sebelum matahari terbit, kami mulai bergerak, Hutan ini aneh, tidak ada cahaya disini seperti di selimuti kegelapan terus menerus. Kami mulai mengeluarkan Mayat-mayat teman kami yang berakhir tragis, beberapa tewas dengan wajah Shock, dengan mulut terbuka lebar, beberapa di antaranya masih membuka mata. Kami mengumpulkan apa yang tersisa, makanan- minuman, apapun, yang bisa membuat kami bertahan.






Aku tidak melakukan kontak apapun saat ini dengan siapapun bahkan dengan Mr. Gligorry sekalipun. Semua ini membuatku sangat kacau, sampai aku menemukan Buku kecil milikku.






Aku melihatnya, membacanya dan memahaminya. Membuatku tiba-tiba seperti kembali ke waktu itu, bila benar tentang seseorang yang akan menemui ajalnya akan melihat sesuatu yang aneh maka cerita bodoh tentang The Crowling mungkin hanya bayanganku, sesuatu yang sebenarnya ku buat, sesuatu yang membuatku harus melihatnya dalam Fantasyku sebelum semuanya terjadi. Makhluk itu memang mungkin benar-benar tidak ada.






Kami hanya menemukan 14 Mayat, termasuk Sopir Bus meski dengan tangan terpotong.






Kami tidak memiliki waktu untuk mengubur mereka, kami terlalu letih, sakit dan kelaparan, tidak ada yang masuk dalam perut kami sejak kemarin.






Nona Anita meminta kami berkumpul, dan menyantap beberapa makanan yang kami temukan, hanya snack-snack tidak berguna dan beberapa botol air, tidak mengenyangkan, namun cukup membuat kami bertahan beberapa Jam.






Sir Redolf dan Mr. Gligorry sedang mencari jalan untuk kami, mencoba berjalan jauh dan meminta bantuan dan ,bila mereka beruntung mungkin kami akan selamat—bila kami beruntung.






Siang berganti menjadi Senja namun tidak ada bedanya, hanya kegelapan yang ada disini, Aku masih terduduk lesuh, menulis coretan-coretan di buku itu, entah apa yang ku pikirkan, ketika aku sadar—aku hanya menulis sesuatu yang sama. tentang “The Crowling”.






Aku menatap Grisia, dia hanya terduduk lesu, diam tak bergerak, air matanya mungkin sudah mengering atau mungkin sudah tidak ada air dalam tubuhnya hingga dia sudah tidak bisa menangis lagi.






Aku mulai kelaparan, perutku terus menggerutu membuatku tidak tau harus melakukan apa—aku sadar, mungkin bukan hanya aku yang merasakan itu, namun bila aku benar, aku merasakan sesuatu yang buruk—sesuatu yang sangat buruk dan mengelilingi kami. Sesuatu yang membuatku gemetar terus menerus.






Gelap sudah datang, suara langkah kaki Sir Redolf dan Mr. Gligorry terdengar, mereka muncul dengan wajah yang seolah membuatku tahu apa yang mereka akan katakan, Nona Anita segera menghampirinya “Bagaimana? Ada yang di temukan.”






“tidak ada apapun—hanya hutan dan hutan. “ Mr. Gligorry seperti tidak tahu apa yang harus dia lakukan.






“tidak ada makanan, kau tidak melihat apapun, Babi, Rusa, atau apapun disini?” Anita mencengkram bahu Mr. Gligorry yang tertunduk.






“Tidak ada, kami tidak menemukan apapun”






Nona Anita memandang kami semua yang hanya diam meringkuh, “Well, mungkin lebih baik malam ini kita lebih baik tidur, mungkin besok kita akan mendapatkan kabar baik”






Aku mencoba untuk tidur dengan perut kosong yang memuakkan, ketika Senja datang, Nona Anita membangunkanku dan mengatakan Brown dan Medelin, mereka berhasil menangkap Babi Hutan.






Aku melihat Grisia dan semua orang sedang menyantapnya, aku berjalan pelan mengelilingi daging kemerahan itu, melihat mereka menyantapnya seperti itu, setidaknya membuatku sedikit menahan diri.






“Babi hutan, yeah"






“Yeah, duduklah dan makan ini akan membuat kita bertahan beberapa hari.” Sahut Sir Redolf.






Medeline dan Brown terllihat lahap, Grisia memberikanku tempat dan memberikan hati kecokelatan kepadaku, “Makanlah, ini bagian yang tidak terlalu pahit”






“Thanks” ucapku menerimanya, namun saat gumpalan kecokelatan itu menyentuh tanganku, lembek dan berair, aku menjatuhkanya begitu saja.






“Daging ini mentah?”






“Tidak ada api disini Janine, kau harus membiasakan diri. Setidaknya untuk sementara waktu saja. Hanya ini yang bisa kita tangkap" bisik Mr. Gligorry.






Aku meraih kembali gumpalan itu, berusaha keras memasukkanya dalam mulutku dan kemudian perlahan mengunyahnya, namun seketika aku memuntahkanya.. aku merasa mual saat memakanya, mungkin aku tidak terbiasa merasakan masakan mentah seperti ini.






“Kau tidak bisa memuntahkan itu gadis bodoh?” Nona Anita mengutukku, sesuatu yang tak pernah ku lihat sebelumnya, dia tidak pernah seperti ini, sekalipun dia marah sebesar apapun.






Mr. Gligorry memandangnya tajam, dan beberapa saat dia meminta maaf kepadaku, “Janine, aku minta maaf, aku mengalami beberapa masalah yang berat maksudku kita—“






“Yeah, Nona Anita, aku mengerti”






Aku kembali memakan makanan itu, dan menahanya sebisa mungkin sebesar apapun aku ingin mengeluarkanya aku harus mengisi perutku.






Aku yakin hari sudah siang, namun disini, tidak ada Siang—hanya kegelapan yang menyelimutinya, entah karena Pohon terlalu rimbun hingga menutupi sinar matahari atau tempat ini memang aneh. Aku dan Grisia berjalan mencari sesuatu yang mungkin berguna, ranting pohon, batu atau apapun yang akan membuat kami bertahan.






“Grisia—“aku memanggilnya.






“yeah” sahutnya terdengar lirih, tak bersemangat.






“kau ingat tentang The Crowling yang kau ceritakan sebelum—“






Langkahnya berhenti, begitu juga denganku.






“apa yang ingin kau ketahui?” ucapnya tanpa menatap wajahku.






“Apakah, semua ini”






Grisia berbalik dengan cepat dan mencekik leherku kemudian menatap tajam mataku, hingga membuatku kesulitan untuk bernafas, “Apa yang ingin kau sampaikan Janine sebenarnya? Kau ingin mengatakan ini adalah ulah The Crowling?”






“Lepaskan?”






Grisia melepaskanku.






“The Crowling hanya lelucon, dia tidak nyata!! “ ucapnya.






“lalu kau yang membuatnya ?”






“tidak. Itu adalah cerita seram untuk anak-anak. Di tempatku, agar anak –anak tidak bermain hingga larut, ibu-ibu mereka akan menceritakan tentang The Crowling. Aku tidak percaya, lagipula aku menceritakanya padamu hanya ingin mengobrol saja denganmu, kau tahu kan. Aku tidak serius”






“Baiklah, namun apa sebenarnya makhluk ini? Peri atau apa?”






“kenapa kau begitu tertarik?”






“aku ingin tahu. Hanya itu saja" kami kembali berjalan melewati semak belukar,






“The Crowling, adalah makhluk entah bagaimana aku menyebutnya. Dia hidup dari sebuah bencana, dia akan menjelaskan sebuah Detail dari bencana yang akan terjadi, hanya saja. Dia memberikan gambaran nyata tentang bencana dengan beberapa Versi. Dia seperti mimpi, namun itu bukanlah mimpi, ini jauh lebih kelam, lebih Hitam, sampai kau tidak tahu, siapa sebenarnya The Crow’l ini.






Banyak yang menyebut dia memilih bagaimana menciptakan ketakutan yang paling jauh, melebihi batasan fantasy yang mengerikan, namun apapun itu The Crow’l itu tidak nyata. Dia hanya mitos, seperti Slander man atau Pastel man.”






Kami sudah berjalan sangat jauh, tidak ada yang kami temukan selain Pohon –pohon besar, hanya ranting-ranting kecil, tidak ada kelinci, Rusa atau apapun. Kami memutuskan kembali. Ketika kami berjalan, kami melihat Brown dan Medeline, berjalan dengan mimic wajah yang aneh.






Kami mengikutinya, berjalan di belakangnya.






Sampai mereka berhenti dengan pisau di tangan mereka, saat itu aku tahu, ada yang aneh dengan semua ini, dan ketika mereka mulai melakukanya, aku terdiam membeku. Seperti sesuatu sudah mengoyak seluruh tubuhku—sesuatu yang tajam sudah mencabik—cabik jantungku.






Aku bergerak sangat cepat, bersama Grisia yang hanya diam di belakangku, aku tampak murka dengan apa yang terjadi, ku tembus semak belukar dan menunjuk dengan marah wajah Brown dan Medeline di depan Nona Anita dan Mr. Gligorry, serta Sir Redolf yang berdiri di bawah pohon.






“Daging itu—jangan kalian memakanya?”






Mr. Gligorry memandangku penasaran.






Bibirku gemetar hebat, dan suaraku parau berantakan, “mereka menggunakan Daging Manusia, yeah—bukan babi hutan atau apapun kalian menyebutnya. Itu adalah daging sopir Bus itu bukan? Kau membuat kami memakan daging manusia yang sudah menjadi mayat?”






Ucapanku terdengar mengambang, wajah Brown dan Medeline tampak kaku memandangku.






“Apa kau sedang mabuk? Apakah kau lapar sampai ngelantur seperti ini?” ucap nona Anita memandangku.






“Tidak!” aku berteriak, “Tanya saja pada Grisia, dia melihatnya, dia melihatnya mengiris jeroan dari tubuh gemuk itu? Dan apa kau tidak merasakanya, rasa aneh yang menjijikkan itu. Benarkan Grisia, ayo bicaralah?? Katakan pada mereka”






Grisia melangkah maju memandangku. “Tidak Janine. Tidak!!”






“Tidak!! Apa kau bilang, kau sudah gila?” aku mencengkram lehernya. “Kau melihatnya juga?”






“Lalu –kenapa?? Kenapa bila kita memakanya?”






Aku tersadar, ketika semua mata memandang ku tajam, dan penuh selidik.. “kau tidak menyadarinya Janine, Hutan ini aneh. Kau belum menyadarinya, tidak ada apapun disini, tidak ada binatang apapun, bahkan seekor nyamuk satupun disini , aku yakin kau juga merasakanya. Hanya ini Janine, hanya ini yang bisa kita lakukan?”






Seketika, sesuatu seperti membuatku merasakan Rasa sakit di tulang belulangku, wajah–wajah itu, di antara mereka, aku melihatnya. The Crow-ling ada di antara mereka, berdiri seperti menikmati semua ini.






Dan aku mendengar tentang sesuatu. “Dia akan menciptakan Mimpi di luar Fantasymu, dia adalah The Crow’l “






“Kau akan di seret sangat dalam, jauh di luar jangkauan dari Fantasymu” kalimat itu terasa mengambang, janggal, seolah ada satu sisi dimana kau tidak bisa membedakan apakah The Crow’l memang benar-benar ada.






Tubuhku lemah, pucat dan sekarat, setidaknya aku masih bisa terjaga, melihat orang-orang yang kau kenal bersikap bar, bar seperti sesuatu yang tidak akan pernah bisa kau lupakan selamanya. Itu sangat mengerikan jauh di luar imajinasiku.






Mataku masih menangkap sosok bangsat itu! Dia hanya berdiri menatapku, dan aku baru menyadari, tubuh menjijikkan itu, ternyata terdiri dari semacam urat-urat tak beraturan dan sayap kecil , seperti sebuah pelengkap dari kengerian yang dia ciptakan. Bila aku menegaskan bagaimana bentuk tubuhnya seperti seongok daging yang bisa hidup.






Aku masih berpikir, kenapa mereka semua tidak menyadari tentang dirinya, si Makhluk gagak ini yang jelas-jelas berdiri di antara mereka. Mungkin mereka tidak bisa melihatnya, mungkin The Crow’l hadir bukan untuk mereka, atau yang paling ku pikirkan, The Crow’ling adalah bentuk liar dari ketakutanku.






14 hari, dan aku hanya terikat di Pohon kecil ini, sekarat dan kelaparan, hanya limpah dan hati busuk yang ada di depanku, mereka memberikanya bila aku bisa bersikap baik dan mulai mengunyahnya, memasukkanya dalam perutku. Aku putus asa, namun aku tidak pernah berpikir untuk memakanya, lagi, akan tetapi aku juga tidak segera-mati, sangat tersiksa, sementara dia masih berdiri menatapku, tak bergerak layaknya menaken yang sedang di pajang.






Sampai, sesuatu yang gelap datang. Hujan perlahan turun, dan aku melihat Grisia berjongkok di depanku, matanya sangat liar tidak seperti Grisia yang biasanya, dia menatapku kelam, lumuran darah mengering di bibirnya dan menunjukkan sebuah seringai di depanku.






“Kau tidak memakanya?” suaranya lirih namun mencekam, apa yang terjadi dengan Grisia.






Aku hanya diam saja, tak ada tenaga untuk sekedar bersuara. Aku seperti tersiksa dalam tubuh sekarat, hanya mampu melihat dan menyaksikan semua akan menjadi tambah buruk.






“kalau kau tidak mau, aku yang akan menyelesaikanya?” dia menatap hati yang membusuk di depanku, warnanya sudah menghitam dan aromanya memuakkan.






Grisia menikmati setiap gigitanya, membuatku begidik ngeri, seseorang manusia yang beradab melakukan tindakan kanibal dan kau hanya bisa diam dan menyaksikanya.






Nafasku perlahan memudar, seperti nyawaku sudah berada di ujung kepalaku, namun tiba-tiba The Crow’ling ada di sampingku, mengulurkan tanganya dan merobek isi perutku.






Aku membelalak menatap wajahnya. Sampai dia bersuara sangat dalam, seperti tenggorokanya tergorok namun memiliki ketukan intonasi nada yang indah. The Crow’ling untuk pertama kalinya berbicara kepadaku.






“Kau tidak akan mati nak—tidak sampai scenario ini selesai. Kau akan melihat, kenapa kau beruntung bertemu denganku??”






Aku tidak mengerti maksud ucapanya. Namun setelah dia menarik tanganya keluar dari perutku, sesuatu menutup robekan itu dengan daging yang baru, seperti regenerasi namun aku tetap tidak mengerti.






Aku menggelegak, dengan tubuh menggigil, saat melihat, sesuatu menghantam Kepala Grisia—hingga isi kepalanya keluar dan memenuhi wajahku dengan organ lembek mengerikan itu.






Dadaku perlahan berdetak sangat lambat, mataku terjaga menatap sosok Anita, wanita yang menjadi pengajar kami, berdiri menyeringai dengan wajah penuh nafsu. Dia berjongkok dan mulai menyambar, organ lembek seperti menikmati bubur menjijikkan yang di buat di dapur sekolah.






“apa-apa’an si ke’par*t ini?” aku mengutuk, namun dengan wajah ketakutan, suara tawa yang bergema terdengar, The Crow’l tertawa di sampingku.






“Kau yang melakukanya?” suaraku terdengar semakin putus asa menatap makhluk terkutuk itu.






“Tidak nak, kau tahu sendiri aku tidak melakukan apapun.” Ucapnya dengan nada yang sama, hambar namun sangat mencekam, terdengan penuh rasa humor namun bibirnya penuh dengan tipu daya.






“kau yang ada di balik semua ini?” aku mencoba menyangga kalimatnya.






“Nak, kau tahu. Aku bukanlah pemainya, aku tidak melemparkan dadu di depan wajahmu, aku hanya penonton. Kau harus bisa membedakan bagaimana cara bermain dengan semua ini”






“dengan siapa aku bermain?”






“tidak-tidak, tidak nak” dia mengulanginya 3 kali, sembari menatap tepat di wajahku “aku tidak boleh mengatakanya. Tidak untuk sekarang..“ bibirnya terlihat tersungging.






“Lalu, sebagai penonton apa yang kau lakukan?”






“Menikmatinya”.






terjadi jeda yang panjang antara kami, sementara sosok yang ku kenal, Anita dia terus mencabik dengan brutal, aku tidak lagi melihat Brown, Medeline, Sir Redolf, karena yang ada jauh disana hanya, Mr. Gligorry tampak murung menatap Anita.






“apakah dia sadar, apakah dia mengerti apa yang terjadi, atau apakah dia tahu semua ini terlalu jauh dari sebuah imajinasi yang terlampau mengerikan" aku masih membisu namun tetap mengutuk semua ini.






Sampai pria separuh baya itu mulai berjalan, langkahnya terhuyung, pakaianya robek lusuh dengan tubuh kurus, matanya kosong sampai dia tiba–tiba memeluk Anita, aku terperangah untuk beberapa saat sebelum tahu apa yang terjadi selanjutnya, bukan karena drama ini terlihat lebih baik, namun lebih jauh saat dia memutar kepalanya sampai suara tulang yang patah terdengar hingga ke gendang telingaku.






Pria itu kini menatap ke arahku, tatapanya sayu dan putus asa, bibirnya mengering gemetar, tak ada senyuman, tak ada kesedihan, hanya wajah datar yang sudah menyerah, sangat sangat menyerah.






Dia mendekatiku, menatapku dan membisikkan sesuatu. “Semua akan kembali"






Saat kalimat itu mencelos ke dalam jantungku, sebuah sentakan wajah dari Mr. Gligorry terpisah dengan tengkoraknya, dan untuk pertama kalinya aku melihat makhluk itu memainkan perananya.






“Kau tahu nak, ada satu sisi sepertimu yang sebenarnya ingin ku lihat, namun aku tidak mendapatkanya hari ini. Karena aku percaya Setiap manusia terlahir dengan 2 sisi yang menarik, kau ingin tahu siapa yang sedang bermain disini. Waktu, takdir, dan kematian. sementara aku yang duduk menatap mereka bermain. Aku akan mulai menceritakan semuanya tentang waktu, kau memainkan sisi yang benar saat memilih bergabung dengan semua teman-temanmu, karena bila kau menolaknya, kau akan mati dengan cara yang buruk, kau akan melihat wanita yang melahirkanmu terbakar di depan matamu, kau hanya bisa menjerit dan perlahan namun pasti, kulitmu akan terkelupas, cairan yang matang akan tercium sementara kau masih sadar, kau akan meraung terus menerus, namun Takdir melemparkan dadunya dan mulai bermain, Ayahmu harus pergi, dan kau terjebak disini, akan tetapi ada satu kebenaran dimana Takdir tidak bisa bermain Curang, sebab Kematian tetap akan mendapatkanmu, sepintar apapun sang Takdir memainkan dadunya, Kematian tetap mendapatkanmu. Dan ketika permainan berakhir, Semua akan kembali.






Banyak Manusia yang mengatakan setelah kematian tidak akan ada yang tersisa, tapi, Nak, aku akan memberikanmu satu rahasia kecil, kau tahu ada dadu yang harus di lempar lagi, dan itu adalah dadu dari sang Waktu, karena rahasia kecil ini, adalah Waktu yang mampu membohongi Kematian. Sebab saat Waktu mulai bermain, dia akan mengembalikan semua ke titik awal permainan. Seperti Saat manusia mati, sebenarnya yang terjadi, mereka tidak benar-benar mati, yang terjadi adalah semua terulang kembali, seperti kau akan terlahir kembali dan memutar semuanya secara ulang, akan tetapi aku yang memutuskan, aku lah yang berperan dimana kau akan berada. Karena ketika kau selesai dengan semua ini, Waktu yang akan melemparkan dadunya, dan aku yang melanjutkan dimana kau akan mengulanginya.”






The Crow’l mulai mencekik leherku, mengangkat tubuhku hingga aku bisa melihatnya, wajahnya yang mengerikan tampak mulai mendekatiku, aku bisa mencium bau busuk itu perlahan-lahan, cairan hitam mulai menetes keluar, dan saat wajah kami hanya beberapa Centi meter, dia mengatakan sesuatu yang tak kan pernah ku lupakan.






“Aku adalah pelayan Sang Waktu nak, ingat lah itu”






dan dia mulai menghisap semuanya, aku bisa merasakan perlahan-lahan, mulai dari kakiku, yang mati rasa dan itu terus terjadi, hingga sampai sum-sum tulangku dan berakhir di atas kepalaku, saat wajah mengerikan itu perlahan sirna di mataku, semua akan kembali.






“Janine, Kau mengerti bukan? “






Aku menatap Grisia, “Eh, tentang apa?” ucapku bingung.






“The Crow’ling. Aku sedang menceritakanya. Kau tidak mendengarku"






Aku melihat ke sekelilingku, semuanya kembali. Waktu benar-benar sedang memainkan dadunya, ku buka buku yang ada di depanku, dan aku melihatnya. Semua tulisanku, adalah tentang The Crow’ling.






Aku memberikan buku’ku pada Grisia, sementara aku mulai berjalan putus asa, menatap pria gemuk yang menjadi Sopir kami, ‘Mr. Gligorry berkali-kali bertanya padaku tentang apa yang ku lakukan disini’ namun, aku tidak perduli.






Saat semua mata memandangku, Aku menancapkan Penaku ke tengkuknya. Bus terpelanting menuju






Jurang, dan aku memulai Skenarionya kembali.






Karena sebelum Bus terlempar masuk ke Jurang, The Crow’ling sedang melihatku.






“dia akan menciptakan Mimpi di luar Fantasymu, karena dia adalah The Crow’ling“










Tamat

Creepy Pasta bahasa "Pastel Man"


Anggaplah hal ini sebagai sebuah peringatan. Dalam keadaan paling lemah sekalipun –seperti yang saat itu terjadi padaku- katakan tidak pada Pastel Man. Tak perduli betapa kau mencintainya atas janji manisnya untuk menolongmu, resiko yang akan kau terima sungguh tak sebanding. Aku mengatakan ini dengan harapan agar kalian tidak melakukan kesalahan yang sama sepertiku di malam musim salju nan dingin itu, berlutut di samping tubuh ayahku yang sekarat di atas lantai ruang tamu.

Saat itu tahun 1997, saat dimana aku bertemu untuk pertama kalinya dengan mahluk yang satu ini. Sejak itu, tak ada satu hari pun yang kulalui tanpa dihantui oleh wajahnya dalam bayanganku. Saat itu aku masih remaja, namun sore itu merupakan awal dimana masa kecilku nan indah hancur –remuk dan terteror oleh iblis keji dengan kulit berwarna biru pucat.
Walau terjadi bertahun-tahun lalu, aku masih mengingat kejadian –pertemuan pertama- itu secara jelas. Aku masih ingat baju yang kami kenakan, toping pizza yang sedang kami santap, bahkan skor football yang sedang kami tonton. Saat itu menjelang pertengahan babak ketika kemudian bicara ayah mulai terdengar kacau, yang mana terlihat janggal karena beliau hanya menyesap satu kaleng bir saja sejak kick off. Yang lebih aneh lagi adalah saat mengingat bahwa di masa lalu, beliau masih bisa berkata dengan jelas walaupun telah menyikat habis enam karton bir untuk dirinya sendiri. Sungguh tak bisa dimengerti kenapa hanya dengan satu kaleng bir saja sudah bisa membuat ayah nampak begitu mabuk. Kemudian aku sadar bahwa semua itu bukanlah akibat dari alkohol saat separuh tubuhnya terlihat lemas terkulai dan kemudian, ayah merosot jatuh dari sofa. Dengan panik aku mencoba bertanya apakah beliau baik-baik saja,namun ayah mulai meracau. Aku segera meraih ponsel di meja dan menghubungi 911.
“911. Apa keadaan darurat anda?”
“Kurasa ayahku mengalami serangan stroke.” Hanya pikiran itu yang terlintas sebelum kemudian operator menjawab.
“Ok, kami sudah mencatat alamat anda. Ambulan sudah dalam perjalanan dan akan segera datang. Apakah Ayah anda sadar?”
“Ya! T-tapi aku tak bisa mengerti perkataannya.” Racauan semakin deras muncul dari bibir Ayah. Aku sangat khawatir. Hanya dia yang aku punya. Ibu telah meninggal saat aku masih bayi sehingga tidak ada kesempatan bagiku untuk mengenalnya lebih dekat. Ayahlah yang selalu ada untukku, berperan sekaligus sebagai sosok ibu. Jika aku sampai kehilangan ayah, maka aku akan sebatang kara.
“Serangan stroke bisa diatasi. Kabar baiknya adalah Ayah anda masih sadar – “ Dan kemudian aku tidak mendengar kata-kata selanjutnya karena saat itulah aku menjatuhkan ponsel.
Saat itu aku merasa bahwa semua hal mengabur dan dunia sekitar menjadi senyap. Pertandingan di televisi, suara operator yang memberikan instruksi lewat ponsel, bahkan suara ayah saat dirinya menggeliat penuh penderitaan di atas karpet menjadi gambaran putih – seolah tersedot ke dalam dimensi lain saat kesadaranku akan sekitar menghilang. Perhatianku terfokus pada sebuah hal: sosok menjijikan nan aneh yang berdiri di dapur, menataku dan ayah dengan senyum ganjil yang menghiasi wajah menjijikannya.
Kepalanya nyaris menyundul atap dapur yang setinggi sembilan kaki. Dia mondar-mandir dengan gelisah seperti layaknya seorang bocah SD yang sedang menunggu bel pulang berbunyi sebagai isyarat dimulainya libur musim panas. Warna biru pastel yang menyelubungi seluruh tubuhnya –dari kepala sampai ujung kaki mengerikannya- tampak kusam dan berkeriput seperti selembar daun yang telah terpapar panas matahari selama berhari-hari. Tergantung pada lengannya yang kurus, terdapat sebuah tas dengan rajutan warna hitam. Benda itu dipindahkan dengan enteng dengan menggeser talinya oleh mahluk itu dengan menggunakan jemarinya yang panjang, sementara wajahnya menunjukan ekspresi tidak sabar.
Awalnya kupikir pikiranku kacau, dikarenakan melihat ayah yang mengalami stroke, namun setelah mahluk tersebut semakin mendekat denga merayap, aku mulai sadar bahwa apa yang kulihat bukanlah produk halusinasi. Dia menundukkan kepalanya saat memasuki ruang tamu dan menapakan kakinya yang kurus ke atas sofa. Walau mahluk tersebut bipedal (berdiri dengan dua kaki) namun saat bergerak, dia lebih memilih untuk merangkak. Dia berjalan mendekat dengan sikap layaknya seekor hewan buas yang sedang mengamati mangsanya. Siapa pun pastilah akan merasa ketakutan setengah mati melihatnya, namun senyum memuakan di wajahnya yang sangat mengerikan, jauh lebih membuatku berang daripada takut. Seolah-olah mahluk keparat itu menikmati penderitaan yang dialami ayah. Dia merangkak semakin dekat dan aku menggenggam tanga ayah dengan perasaan putus asa karena tidak bisa melindunginya. Mahluk itu kemudian berhenti hanya beberapa inchi dari diriku sebelum kemudian mengalihkan perhatiannya pada ayah.
“Aku bisa menyelamatkannya jika kau mau.” Aku langsung tertegun. Sebelumnya kusangka dia akan merobek leherku dengan geliginya atau mencabik wajahku dengan kuku hitamnya, dan aku telah bersiap untuk itu. berbicara padaku adalah merupakan hal terakhir yang kubayangkan darinya.
“Dia sekarat, namun aku bisa menyelamatkannya. Jika kau mau tentunya.”
Aku terduduk dengan mulut menganga tak percaya. Kudekap kepala ayah dan menatap pada dua mata besar mahluk di depanku yang berwarna merah muda dimana ukurannya memakan nyaris sepertiga dari keseluruhan wajahnya. Aku masih ingat bahwa sosoknya mengingatkanku pada sosok Kelinci Paskah – sungguh sebuah analogi konyol mengingat situasi yang kuhadapi saat itu. mahluk itu berdiri kembali di atas kedua kakinya dan aku kembali tersadar betapa mengesankannya mahluk itu dari sisi ukuran. Dia mengatakan padaku namanya –yang dimana tak berani kukatakan disini sebab hal tersebut merupakan hal paling mudah untuk membuatnya datang. Demi mudahnya akan kusebut dia disini sebagai si Pastel Man –hanya sebuah nama yang kukarang berdasarkan warna kulit dan bayangan merah muda yang berasal dari matanya. Hal tersebut dalam satu sisi membuatnya terdengar lucu dan konyol, dan sedikit meredakan kengerianku setiap teringat padanya. Walau sejujurnya tidak terlalu banyak membantu.
Akhirnya kewarasanku kembali juga setelah beberapa saat berkubang dalam shock untuk mengatakan beberapa kata yang gagap, “A-apa m-maksudmu dengan menyelamatkannya?”
“Apa yang kulakukan adalah membuat sebuah perjanjian, anak muda.” Suaranya secara mengejutkan terdengar begitu merdu –seperti ribuan paduan suara yang menyanyi serentak dalam sebuah kesatuan. Jika ada seseorang berbincang dengan mahluk tersebut sembari memejamkan mata, aku yakin mereka akan merasa sedang berbincang dengan malaikat bukan dengan sesosok makhluk mengerikan dengan seringai menyeramkan. Namun suaranya yang sungguh luar biasa hanya membuatku semakin tak nyaman. Sungguh sangat ganjil rasanya jika suara seindah itu dimiliki oleh makhluk yang begitu menjijikan. Sang Pastel Man kemudian membuat isyarat dengan menunjuk pada tasnya. “Aku punya kemampuan untuk menyelamatkan nyawa ayahmu, namun kau harus melakukan sebuah perjanjian denganku.”
“Perjanjian macam apa?”
“Semua hal terjadi demi sebuah alasan, bahkan untuk kematian sekalipun.” Senyumnya sedikit melebar seolah mahluk tersebut kemudian akan melayangkan sebuah punchline dari sebuah lelucon. “Aku memang bisa menyelamatkan nyawa ayahmu, namun ada orang lain yang harus menggantikan posisinya. Satu orang harus mati agar yang lain bisa tetap hidup. Itu perjanjiannya.”
Nafasku tercekat seketika, dan dia kembali berkata, “Bukan dirimu. Apa gunanya jika begitu? Tidak, aku memberikan pilihan padamu untuk memilih siapakah yang akan menggantikan ayahmu mala mini.”
Mendengar perkataannya, aku menjadi semakin tertegun. “K-kau … kaukah Sang Maut?”
Pastel man mendongakkan kepala dan mengaum nyaring. Aku sadar di saat-saat setelahnya, bahwa hal itu adalah cara keparat ini tertawa. “Bukan. Aku bukanlah dirinya, walau kau bukanlah orang pertama yang menayakan hal itu. Aku bukanlah iblis, atau pihak yang bekerja untuknya. Gampangnya anggap saja aku adalah seorang pembuat kontrak yang bekerja sendiri.” Dua lubang kecil yang menggantikan letak hidung mengembang, seolah mahluk tersebut merasa begitu puas telah menjelaskan sebuah hal agung kepadaku.
“Aku boleh memilih siapa pun?”
“Well, tidak bisa sembarang orang. Hal tersebut tidak akan mengasyikkan, bukan?” Aku bisa melihat bentuk seperti ujung panah layaknya gigi seekor hiu berderet dalam mulutnya saat mahluk tersebut membuka bibir saat bicara. “Pengganti ayahmu haruslah seseorang yang ada dalam kehidupanmu, setidaknya seseorang yang kau kenal.”
“Aku bukan pembunuh!” Suaraku terdengar lirih. Aku melihat ke arah ayah. Beliau sudah tak sadar dan kulitnya mulai memucat. “Dan rasanya … a-aku tak mampu membunuh seseorang saat ini!”
“Kau tak harus membunuh seseorang, anak muda.” Mahluk licik itu mulai memainkan kartu truff. “Apa yang harus kau lakukan hanyalah menyebutkan namanya, dan aku akan mengurus sisanya. Tentunya ada seseorang yang keberadaannya tidak kau inginkan dalam hidupmu, bukan? Guru, mantan pacar, atau mungkin seorang musuh di sekolahmu?” Memang benar. Aku kerap membayangkannya berkali-kali, namun dalam mimpi terliar sekalipun, aku tak akan pernah berani untuk menjadikannya nyata. Semua orang pasti mempunyai sosok yang merupakan racun bagi hidupnya. Seseorang yang membuat bangun di pagi hari dan memulai rutinitas menjadi begitu sulit, dan aku juga tahu benar akan hal itu. “Walter Flannigan,” gumamku dalam nafas tertahan.
“Siapa?”
“Walter Falnnigan. Dia anak di sekolah yang memberiku ini.” Kuangkat kemejaku dan menunjukan bekas tangan yang membentuk lebam di dada. Semua itu ulah Walter di ruang loker miggu itu. “Dia telah menyeretku dan menhajarku sejak awal aku bersekolah. Pihak sekolah tidak melakukan apa pun karena dia merupakan pemain football paling berbakat di sepanjang sejarah sekolah. Dia merupakan orang utama yang terpilih untuk masuk ke sebuah kampus bergengsi tahun depan. ESPN bahkan meliriknya.”
“Ahhh.” Pastel man mulai terkekh. Matanya semaki melebar dan kemudian merangkak kembali untuk berhadapan muka denganku. “Apa nikmatnya menjadi seorang raja tanpa adanya budak yang bisa diinjak, eh?”
“Aku sudah muak disiksa, jadi silahkan bunuh dia sebelum aku berubah pikiran!”
Pastel man mencengkeramkan jemarinya yang kuat pada wajahku secepat kilat. Seringai yang sebelumnya selalu melengkung di bibirnya kini digantikan dengan kerutan marah. “JANGAN MENGAJARKAN APA YANG HARUS KUPERBUAT, PAHAM?!” aku mengangguk ciut. Cengkeramannya begitu kuat. Aku paham kemudian bahwa jika dia menginginkannya, mahluk tersebut bisa saja meremukan kepalaku dengan mudah layaknya sebutir telur. “Bagus, sebab hal ini tidak sesederhana yang kau pikirkan, anak muda. Ada langkah-langkah yang harus dilakukan.”
“L-langkah-langkah?”
“Ya.” Senyum licik kembali muncul di wajahnya. “Kau harus menyaksikan sendiri kematian Walter Flannigan ini. Kau harus memanggilku, jika tidak aku tidak bisa menyelesaikan tugasku. Pancing dia hingga sendirian dan kemudian ucapkan namaku. Kau harus melihatnya mati sebelum matahari terbit jika tidak, berarti kau telah melanggar perjanjian yang telah kita sepakati. Jadi … apakah kita sepakat?” aku mengangguk lagi dan monster tersebut melepaskan cengkeramannya sebelum kemudian meraih tanganku. Telapak tangannya yang sangat besar menelan tanganku saat kami saling berjabat tangan. “Sempurna. Dengan jabat tangan ini, perjanjian kita telah terikat, anak muda.”
Aku menatap penuh curiga saat Pastel Man mengaduk-aduk tasnya sampai dia menemukan apa yang dicari. Diantara jemarinya, dia memegang seekor serangga aneh seukuran sekitar seperempat jarinya. Serangga itu mendengungkan sayapnya berusaha untuk lolos, namun tak bisa lepas dari jepitan Pastel Man. Dengan tangannya yang lain, dia membuka mulut ayahku.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku, namun dia tidak menjawabnya. Kemudian dia memasukan seranga itu dengan paksa ke dalam mulut ayahku, menjejalkannya sampai masuk ke dalam esophagus dengan jarinya.
Sekali lagi, Pastel Man berdiri. “Keinginanmu telah terkabul. Ayahmu akan segera pulih. Sekarang giliranmu. Ingat, anak itu harus mati sebelum matahari terbit atau perjanjian batal.
Dia berbalik dan mulai menjauhiku.
“Bagaimana jika aku berubah pikiran?” tanyaku.
Mahluk itu berhenti nyaris seketika dan kemudian berbalik. Lagi-lagi senyumnya berganti menjadi kerutan mencemooh mengerikan. Aku merasa lebih terancam dibanding saat dia mencengkeram wajahku sebelumnya. “Keadaan dan kesehatan ayahmu sebelumnya telah berpindah pada orang yang harus menggantikannya. Seseorang harus mati agar yang lain bisa meneruskan hidup. Itu perjanjiannya. Jika kau gagal merampungkan tugasmu, maka orang lain itu haruslah dirimu. Percayalah saat aku mengatakan hal ini, anak muda, aku tak perlu kau panggil kembali saat perjanjian kita batal. Aku berjanji untuk datang sendiri padamu. Dan saat hal itu terjadi, kau akan berharap tidak pernah menghianatiku.” Setelah mengucapkan semua itu, dia kembali pergi menuju dapur dan keluar lewat pintu belakang. Aku mengejarnya, namun saat sampai di luar –di halama belakang- mahluk itu telah menghilang. Saat itulah kemudian aku melihat lampu ambulan yang selanjutnya menepi di seberang jalan rumahku. Kuberikan isyarat pada mereka agar melihatku dan segera mengantarkan ke ayah.
Tidak begitu sulit untuk menemukan Walter. Aku tahu betul kemana dirinya pergi, namun aku hampir saja kehabisan waktu saat menunggu di rumah sakit untuk mendengar kabar dari dokter dari ICU. Aku harus bergegas menuju rumah Eddie Gillen. Orangtuanya sedang ke luar kota dan dia sebelumnya sudah berkoar di sekolah untuk mengadakan pesta. Ada dua hal yang aku tahu dari Walter:
1)Eddie adalah sahabat baiknya
2)Dia tidak akan pernah melewatkan satu pesta pun.
Saat itu sekitar pukul setengah empat pagi saat kutepikan mobilku. Aku parkir sedkit jauh dari jalanan sehingga tidak terlihat. Karena waktuku banyak tersita di rumah sakit, aku khawatir bakal melewatkan kesempatan untuk bertemu dengan Walter. Semua kekhawatiran buyar saat melihat picuk-upnya masih berada di samping jalan. Kekhawatran lain terlintas. Bagaimaa jika Walter ternyata terlalu mabuk dan tertidur atau pingsan? Aku mencoba memikirkan sebuah cara untuk bisa masuk ke rumah Eddie dan mencari kesempatan untuk bisa bertemu cukup lama dengan Walter sendirian, cukup lama bagi Pastel Man untuk melakukan apa yang ia kehendaki. Betapa beruntungnya diriku, tidak lama setelahnya, Walter muncul dari pintu depan rumah Eddie dan bergegas merangkak naik ke dalam mobilnya. Aku bernafas lega karena terhindar dari masalah yang bisa menyusahkanku.
Dia mulai berkendara dan aku membuntutinya, sebisa mungkin menjaga jarak sehingga dia tidak memergoki. Tampak jelas dia mabuk. Walau mengikutinya dari kejauhan, aku bisa melihat truknya beberapa kali keluar dari marka jalan. Perkataan Pastel Man sebelumnya terus terngiang di telinga seperti sebuah rekaman rusak.
“Kau harus menyaksikannya mati sebelum matahari terbit …”
Untuk melihat sosoknya kembali, jujur aku ragu, mengingat melihatnya sekali saja cukup membuatku trauma. Apakah aku mampu untuk melihat wajahnya untuk yang kedua kalinya? Bagaimana dengan Walter? Walau dirinya memang benar-benar anak brengsek, dia tidak layak untuk mati, terutama di tangan mahluk itu.
“Mahluk itu akan membunuhmu jika kau tidak membiarkan mahluk itu membunuh Walter, kau melakukan semua ini demi Ayah.”
Aku tidak yakin apakah suara itu berasal dari malaikat ataukah iblis yang duduk di atas pundakku. Dari jendela mobil di sampingku, kulihat segaris warna merah muncul di cakrawala –isyarat awal akan terbitnya mentari yang muncul di langit malam. Dalam beberapa jam ke depan, pagi akan segera datang dan aku akan terlambat untuk memenuhi perjanjian yang telah disepakati. Bagaimanapun, aku akan berjumpa lagi dengan Pastel Man.
Walter tinggal di kaki bukit di pinggiran kota dimana orang-orang kaya lainnya tinggal. Aku pernah sekali ke sana untuk mengerjakan tugas sekolah –dimana semua tugas itu aku yang mengerjakan dan semua pujian jatuh pada Walter. Kami sampai pada bagian dimana untuk sampai ke rumah Walter, kami harus melalui pepohonan di samping kanan-kiri jalan. Aku tahu di tempat itu tidak ada satu rumah pun, dan kuputuskan untuk bertindak di tempat itu. kutambah kecepatan sampai berada tepat di belakang mobilnya dan mulai menge-dim dan membunyikan klakson keras-keras. Aku bersiap untuk mencegatnya agar Walter berhenti, namun hal itu tak perlu dilakukan. Walter pastilah panik. Truknya mulai tak terkendali dan keluar jalan sebelum kemudian menghantam sebuah pohon sampai berhenti.
Aku menepi di belakanganya, merasa bimbang selang beberapa saat. Bayangan mahluk itu, seringai menjijikannya berkelebat dalam kepala membuatku bergidik. Aku segera keluar dari mobil, namun masih tetap membiarkan mesin tetap menyala.
“Hey, Walter!” teriakku.
Pintu mobil Walter terbuka dan dia melompat keluar dari truknya. “Sean? Sean The Shithead?” Dia bingung, namun jelas merasa kesal. Sean The Shithead adalah julukan yang ia berikan padaku sejak minggu keduaku bersekolah. Dalam satu bulan dia telah membuat seluruh kelas memanggilku dengan julukan itu. “Kau pikir lucu, heh?! Kuhajar kau, bangsat!”
Dia merangsek maju ke arahku dengan kedua tangan terkepal. Kembali, keraguan datang untuk memulai segalanya. Perasaan bersalah mengaliri setiap nadi. Hidup Walter akan segera berakhir, dan hal itu dikarenakan olehku. Ingatan kembali berlompatan di balik batok kepalaku. Semua penyiksaan di sekolah olehnya, senyum licik Pastel Man, wajah ayahku saat menggelepar sekarat di lantai ruang tamu. Akhirnya kata-kata yang terucap dalam nada merdu dari sosok mngerikan itu kembali terngiang.
“Seseorang harus mati agar yang lain tetap hidup.”
Walter semakin mendekat, sekaranglah saatnya atu tidak sama sekali. Aku harus memilih untuk memanggil atau tidak nama Pastel Man sebelum waktu yang ditentukan habis. Kuteriakan nama asli dari Pastel Man dengan emosi menggelegak ke arah Walter, sang bintang football. Walter terhenti sejenak, menatapku dengan bingung kemudian menemukan kembali kemarahan yang membimbingnya untuk kembali merangsek ke arahku – Pastel Man tak muncul. Untuk kedua kalinya di malam itu, aku bimbang dan menyangka telah sinting. Apakah yang terjadi sebelumnya nyata? Apakah ayahku benar-benar sakit? Kembali aku mengulang nama Pastel Man dengan tujuan menghadirkannya, namun kali ini tidak menghentikan Walter barang selangkah pun.
Dengan bengis dia mendorongku pada kap mobil, mencengkeram kerah baju dan memitingku. Walter mengangkat tangannya yang terkepal, bersiap untuk meninju. Aku hanya bisa merunduk dan mengangkat tangan sebagai tameng, namun tinjunya tak pernah menyentuhku. Saat membuka mata, barulah aku tahu diriku tidaklah gila. Wajah Walter begitu pucat. Mulutnya menganga persis seperti diriku saat melihat Pastel Man untuk yang pertama kalinya. Aku menoleh untuk meyakinkan diri bahwa mahluk tersebut memang berada di depan lampu mobilku. Wajahnya masih dihiasi senyum seperti yang kulihat sebelumnya, dan dari balik bibirnya yang tipis, terlihat deretan bak belati yang mampu merobek daging sampai ke tulang. Tidak ada satu pun di antara aku dan Walter yang mengucap. Kurasa aku sama ngerinya dengan Walter. Rasa mual menusuk perut begitu melihat Pastel Man mulai merangkak mendekat. Aku tak menatap wajah Walter. Bagaimana bisa? Walter akan segera mati di tangan monster mengerikan itu dan semua itu adalah kesalahanku. Seharusnya aku tak memanggilnya. Seharusnya aku tak menjabat tangannya!
“Maafkan aku.” Aku benar-benar menyesal saat itu, dan sampai sekarang pun masih merasakan hal yang sama.
Mataku masih lekat pada sosok Pastel Man, namun kurasa jauh lebih berat untuk melihat wajah Walter daripada harus mengatasi rasa takutku sendiri. Walter tak mengucap sepatah kata pun. Lampu mobil tepat menyinari wajah mahluk terkutuk itu sehingga kami berdua bisa melihatnya dengan jelas. Mata Pastel Man yang berwarna merah muda nampak berkilau dan memantulkan nyala lampu mobil.
Walter melepaskanku dan pontang-panting menuju truknya, namun monster terkutuk itu menerkamnya dengan kecepatan yang tak pernah terbayangkan. Jeritan pilunya jatuh pada ketidakpedulian Pastel Man yang telah membenamkan kuku hitamnya ke dalam perut Walter. Aku berusaha untuk memalingkan muka, namun Pastel Man memaksaku untuk mengingat perjanjian yang telah kami buat.
“KAU HARUS MENYAKSIKANNYA, ANAK MUDA! JANGAN LUPA BAHWA KITA PUNYA PERJANJIAN!”
Kupaksa diriku untuk kembali menghadapi pembantaian di depan mata. Senyum liciknya telah berubah menjadi seringai keji berlumur ekstasi. Nampak seolah bahwa mahluk laknat terkutuk itu mengalami orgasme saat menyiksa Walter, sementara jemarinya yang kurus namun kokoh itu semakin dalam terbenam dalam perut walter. Dengan satu sentakan, Pastel Man mengeleuarkan tangannya dari perut Walter. Apa yang kulihat kemudian adalah tangannya penuh dengan usus yang dilemparkan ke tanah saat ia mendekat ke arahku. Dua lubang kecil yang menggantikan letak hidung nampak mengembang sebagai pertanda bahwa mahluk tersebut puas akan hasil karyanya.
“Sudah berakhirkah?” Aku tak yakin apakah kalimat tersebut merupakan pertanyaan atau permohonan. Aku dan Pastel Man berhadapan satu sama lain.
Pastel Man kemudian mendogakkan kepala, mengaum penuh kemenangan. “Selesai? Ini hanya permulaan.” Dia kembali berbalik menuju Walter, yang sedang merangkak menuju truknya sementara isi perutnya tercecer di belakang. Pastel Man mencegat dan membantingnya ke atas aspal. Kemudian dengan mudahnya, dia mengangkat Walter dengan cara mencengkeram kepalanya. Selama beberapa saat, Pastel Man bermain-main sedikit dengan Walter, memaksa Walter untuk menatap wajahnya. DEngan tangan satunya yang erbebas, Pastel Man meraih ke dalam tasnya dan mengeluarkan serangga yang berukuran lebih besar kali ini. Serangga ini berbeda dengan yang ditelan ayahku, baik ukuran maupun bentuk. Jika serangga yang ia berikan pada ayahku hanya seperempat ukuran jemarinya, serangga kali ini berukuran sebesar sebuah bola golf. Bentuknya berlendir –kulit yang membungkus tubuhnya nampak berkilauan tersorot lampu mobilku. Pastel Man mengayun-ayunkan serangga menjijikan itu di depan wajah Walter selama beberapa saat.
“Jadilah anak penurut, nak. Buka mulutmu.”
Walter menjerit, mulutnya terbuka sehingga pastel Man bisa melakukan niatnya. Dia menjejalkan serangga berlendir itu ke dalam mulut Walter, melewati tonsil dengan jemarinya. Aku terus menyaksikan kengerian di depanku saat Walter tersedak, kurasa karena ukuran serangga itu yang terlalu besar saat memasuki tenggorokannya. Tidak berapa lama kemudian, muka Walter membiru. Aku yakin dia mati karena tercekik dan walau aku ingin menyelamatkannya, tidak ada satu hal pun yang bisa kuperbuat. Beberapa menit berlalu dan kemudian Pastel Man menjatuhkan tubuhnya yang sudah tak bernyawa.
Pastel Man mengamati semua kekacauan yang ia sebabkan selama beberapa saat, ia meresapi semuanya seolah-olah apa yang ada di sekelilingnya adalah sebuah karya tersohor dalam sebuah galeri seni. Kemudian iblis itu berbalik begitu saja, kembali ke dalam baying-bayang, menghilang dalam kegelapan malam tanpa mengucap sepatah kata pun. Aku hanya bisa berdiri menatap pemandangan yang ada dan rasa mual masih mengaduk perut sebagai efek atas apa yang telah kusaksikan. Aku tak tahu apa yang kuharapkan akan terjadi setelah semua perjanjian ini lunas terbayar. Tidak ada ledakan, tidak ada cahaya terang dimana kemudian aku akan melihat arwah Walter terhisap ke dalam neraka atau terbang ke sorga. Semua itu tidak terjadi, apa yang ada hanyalah mayatnya yang tergeletak begitu saja di atas jalanan beraspal. Seorang remaja yang mati dan pembunuhnya. Pastel Man hanyalah senjata, namun akulah yang menarik pelatuknya. Malam itu, seharusnya ada dua mayat di jalan itu.
Aku sadar kemudian bahwa tak ada waktu untuk meratap. Selang beberapa saat lagi, sebuah mobil bisa saja melintas dan mendapatiku sedang berada di tengah lokasi pembantaian. Aku segera berlari menuju mobilku dan memacunya menuju kota.
Pihak koroner menyatakan bahwa Walter tewas karena kecelakaan saat mabuk, walau saat itu jelas terdapat begitu banyak keraguan yang muncul mengingat betapa banyaknya keganjilan di balik kematiannya. Dari hasil otopsi sendiri tidak ditemukan serangga berlendir yang dijejalkan Pastel Man sebelumnya. Penduduk kota diliputi kabut duka nan tebal. Aku masih ingat lilin-lilin dinyalakan untuknya sebagai tanda duka yang dalam. Beberapa berita besar menjamur di media seiring berita kematiannya, mengingat Walter merupakan figur berbakat dalam bidang football. Ayahku pulih sepenuhnya hanya beberapa hari setelah serangan stroke menimpa. Beliau segera pulang. Beberapa saat kemudian aku lulus dari SMU dan bertemu dengan belahan jiwaku pada semester pertama perkuliahan. Namanya Diaa, dan dia merupakan gadis tercantik yang kulihat. Kami menikah tidak lama setelah kelulusan dan mendapatkan Mathew sebagai buah perkawinan kami. Namun aku tak bisa melupakan bahwa tanganku ikut berlumuran darah Walter. Beban dosa itu tetap kupikul sejak peristiwa malam itu. Tak perduli betapa keras aku mencoba melupakannya, kenangan kelam itu terus menghantui. Pastel Man tak mengijinkanku untuk melupakan dosa itu.
Dia pasti telah melihatku sebagai sebuah sasaran empuk karena iblis laknat itu selalu datang kembali saat salah seorang yang kucintai berada dalam ambang maut. Dia datang dengan tawaran yang sama saat aku menerimanya di malam memalukan itu. Walau mahluk itu telah begitu keras berusaha demi memuaskan dahaganya akan darah, gambaran kematian Walter yang begitu mengerikan tidak pernah lepas dari ingatan dan memberiku kekuatan untuk menolak tawarannya. Bahkan beberapa tahu kemudian, pada malam meninggalnya ayah, aku berhasil menolak tawarannya saat Pastel Man mengunjungi kami di kamar rumah sakit.
Aku telah dikutuk untuk selalu diuji oleh Pastel Man sampai mati. Ujian yang selama bertahun-tahun telah mampu aku hadapi hingga sampai pada suatu sore, saat diriku kembali terpuruk dan sekali lagi iblis terkutuk itu mengambil keuntungan dari titik terrendah dalam kehidupanku.
Diana dan Mathew sedang dalam perjalanan pulang dari airport setelah mengunjungi mertuaku. Aku sedang bekerja lembur demi merampungkan proyek yang sudah diburu tenggat waktu sehingga isteriku memilih untuk naik taksi daripada memintaku menjemput mereka.
Saat itu menjelang tengah malam dan aku sendirian di kantor saat telepon dari kantor polisi kuterima. Mereka mengatakan bahwa seorang pengendara mabuk menabrak taksi yang ditumpangi anak-isteriku. Diana dan sopir taksi meninggal seketika sedangkan puteraku dalam kondisi kritis. Aku duduk di belakang meja tanpa bisa berpikir jernih. Saat itulah kemudian kusadari bahwa diriku tak sendirian di dalam kantor. Dengan bertengger di atas meja bossku, Pastel Man memamerkan senyum licik dan menjijikan di wajahnya yang berkerut. Dia tak perlu menawariku perjanjian, apa pun itu dia jelas telah mengetahuinya.
“Bisakah kau selamatkan mereka?” tanyaku
“Ya dan tidak.”
“Apa maksudmu? Katakan, cepat!”
Seringai Pastel Man lenyap dan aku tahu dia tidak merasa senang dengan nada bicaraku. Ingatan saat dirinya mencengkeram wajahku saat terakhir kalinya aku meminta sesuatu darinya, membanjir kembali dalam arus kesadaran. Mungkin dia sadar bahwa aku bukanlah sebuah ancaman bagi perjanjian sebab alih-alih membentakku seperti yang ia lakukan pada masa lalu, dia memutuskan untuk menjelaskan maksudnya.
“Aku tak bisa mengembalikan seseorang dari kematian, hanya bisa menyelamatkan mereka sebelum menjadi pemilik Sang Maut. Isterimu telah mati. Kau harus merelakannya. Berbeda dengan puteramu, dia bisa diselamatkan. Dengan harga yang musti dibayar, tentunya.”
Kugali ingatan di balik batok kepalaku. Aku tak bisa menemukan satu orang pun dalam hidupku yang pantas mati di tangan monster biru muda terkutuk itu. Bahkan seseorang sebrengsek Walter pun tidak layak untuk menerima takdir mengerikan di malam itu karena keputusan tolol yang kubuat. Namun hanya puterakulah satu-satuya yang kupunyai sekarang, dan dia juga tak pantas mati. Mathew tak pantas mati karena seseorang telah membuat keputusan buruk malam itu dengan berada di belakang kemudi dalam keadaan sangat mabuk.
Suara merdu Pastel Man memenuhi ruangan kembali. Suaranya terdengar dari seluruh penjuru.
“Pengemudi mabuk yang menghantam taksi keluargamu masih hidup. Dan dia ada di rumah sakit sama dimana puteramu berada. Kenapa tidak dia saja?”
Untuk pertama kalinya, malam itu aku menatap langsung ke dalam mata merah muda Pastel Man. “Kau berkata bahwa korbannya haruslah orang yang aku kenal?”
“Semantik. Korban haruslah seseorang yang memiliki pengaruh langsung dalam hidupmu. Saat dia menabrakan mobilnya ke arah isteri dan anakmu, status kandidat telah tersemat padanya.” Pastel Man mengembangkan dua lubang kecil di wajahnya seperti biasa saat dia merasa puas akan dirinya.
“Baik. Kita lakukan sekarang juga,” kataku. Kujabat tangannya sebagai tanda resminya perjanjian yang dibuat di antara kami. Selanjutnya Pastel Man member instruksi agar perjanjian kami bisa berjalan.
Saat bertemu dengan dokter di rumah sakit, mereka memberikan berita perkembangan putraku. “Kami telah berusaha semaksimal mungkin, namun dia benar-benar seorang pejuang kuat.” Mereka menunjukan sikap optimis, namun dari sorot matanya aku tahu bahwa mereka yakin bahwa Mathew tidak akan berhasil melewati malam ini.
Mereka mengantarku ke kamarnya dan memberi waktu bagiku untuk bersamanya. Pastel Man sudah berada di kamar saat aku masuk, tersenyum ke arah Mathew di bawahnya. Denga cepat kututup pintu dan mengangguk ke arah sang monster. Dia memasukan tangannya yang kurus ke dalam tas dan mengeluarkan serangga aneh yang sama dengan yang ia berika kepada ayah. Aku membuka mulut Mathew dan dengan dua jemarinya, Pastel Man menjejalkan serangga itu ke dalam rongga mulut Mathew.
“Dia akan pulih sepenuhnya. Sekarang giliranmu.” Pastel Man menghilang di balik jendela kamar rumah sakit. Aku tak perlu mengecek apakah dia benar-benar pergi atau tidak. Jika dia muncul kembali, hal itu hanya terjadi jika aku memanggil namanya.
Saat menyetujui perjanjian di kantor, Pastel Man memberitahukan padaku kamar mana pengemudi mabuk itu berada. Lukanya tak separah Mathew jadi dia pastilah ada di sayap berbeda dari rumah sakit. Aku bisa merasakan degup jantungku yang seakan hendak menjebol rongga dada saat berjalan menuju kamarnya. Setiap langkah kaki yang kubuat, degup jantung terrasa semakin kencang. Akhirnya perasaan bersalah yang sama saat menatap mayat Walter kembali menyelimutiku. Aku akan mengambil nyawa orang. Siapakah diriku hingga berhak untuk menentukan hidup-matinya seseorang? Aku merasa sama menjijikannya seperti tampang Pastel Man. Mungkin aku tak punya gigi tajam yang menonjol atau berkulit biru yang berkeriput, namun jika tahu konsekuensi dari perjanjian yang kami buat dan aku masih memenuhinya, maka aku tak ada bedanya dengan monster terkutuk itu.
Aku melangkah memasuki pintu dengan sebisa mungkin tanpa menghasilkan suara, berharap tak seorang pun memergokiku menyelinap masuk. Saat menatap wajah pengemudi yang tak sadar di depanku, perasaan mual yang akrab kembali terrasa segera. Dia masih remaja, tidak lebih tua dari umur Walter saat aku dan Pastel Man secara tak adil merampas hidupnya sebelum sempat bersinar. Walter bisa saja menjadi seseorang yang berbeda saat dewasa, seseorang yang mampu melakukan hal baik dalam dunia ini, namun dia tak pernah diberi kesempatan. Pengemudi ini hanyalah remaja bodoh yang melakukan kesalahan. Sebuah kesalahan dimana dirinya tak pernah diberi kesempata untuk menebusnya. Aku melihat wajah Walter dalam wajahnya dan rasa mual kian menghebat merajam perut. Aku mencoba mengucapkan nama Pastel Man, namun tak mampu. Mungkin malaikat di pundakku tak mengijinkan hal itu terjadi. Aku tak boleh bertanggung jawab atas kematian seorang remaja lagi. Tidak kali ini. Aku menolak untuk menarik pemicu itu.
Aku keluar dari kamarnya tanpa pernah menoleh. Kuluagkan sisa malam itu dengan duduk di samping puteraku. Sinar mentari pertama menerangi kamar Mathew dan menyita perhatianku. Aku melongok keluar dari balik tirai dan menyaksikan matahari terbit untuk pertama kalinya sejak kematian Walter.
Sungguh menakjubkan.
Segaris warna merah muda yang melintang di cakrawala, tumpah memenuhi langit membentuk lembaran warna ungu nan mempesona. Aku menyaksikan pertunjukan cahaya mentari nan agung yang terbit pada akhirnya, dan hal itu sungguh sangat spektakuler tak terlukiskan kata.
Kubatalkan perjanjianku dengan Pastel Man sehingga kini nasibku berada di tangannya. Tanga yang nampaknya sebentar lagi akan menusuk perutku. Di sisi lain, Mathew akan pulih, sehat sepenuhnya. Akan berat baginya tumbuh tanpa adanya orangtua, namun dia sebelumnya telah begitu dekat dengan bibinya. Saudari isteriku merupakan sosok wanita luar biasa dengan kelaurga yang sangat penyayang. Dia merupakan wali legal dari Mathew dan telah berjanji pada kami sejak Mathew lahir untuk selalu menjaganya. Suaminya merupakan pria terhormat dan mereka tak pernah bermasalah dengan keuangan. Asuransi yang telah Diana dan aku ambil, bersama dengan uang tabungan yang telah kami persiapkan untuk Mathew menjelang kuliah akan menjamin bahwa takkan ada masalah keuangan saat Mathew ada dalam asuhan mereka.
Hanya masalah waktu sebelum Pastel Man datang kepadaku. Aku sadar bahwa ajal kian mendekat, namun aku tak takut. Justru aku akan menyongsongnya. Seolah-olah bahwa sosok bocah yang mati bersamaku pada malam mengerikan itu telah mendapatkan kesempatan baru. Saat aku pergi, semua rasa bersalah dan kebencian terhadap diri sendiri akan lebur bersamaku – sirna, sehingga jiwaku dapat terlahir kembali dalam keadaan suci. Seperti saat sebelum aku bertemu dengan monster itu.
Seperti kata Pastel Man:
"Seseorang harus mati agar yang lain dapat terus hidup."
***
Source: creepypasta.com
CreditTo – VincentVenaCava
-Slamet-