6/01/2013

Resensi The Limith to Growth. Meadows dkk

The Limit to Growth adalah sebuah buku pada tahun 1972. Buku ini merupakan hasil penelitian yang disponsori oleh sekelompok orang dengan berbagai latar belakang keahlian dan profesi yang terwadahi dalam forum bernama The Club of Rome. Studi dilakukan oleh perguruan tinggi terkenal di Amerika Serikat, Massachusetts Institute of Technology (MIT) dibawah pimpinan Dennis L Meadows. Inti dari laporan The Limit to Growth adalah desakan kepada dunia agar pertumbuhan ekonomi dibatasi atau dikendalikan secara sadar. Juga didesak agar diciptakan konsensus untuk merumuskan zero growth dalam penggunaan sumber daya alam yang tidak terbarukan.
            Laporan MIT kepada the Club of Rome dalam buku The Limit to Growth pada awalnya sempat menggegerkan dunia, namun dengan berjalannya waktu, perhatian terhadap buku ini makin tidak terdengar dan akhirnya padam juga. Dunia kembali tenang dan pertumbuhan terus meningkat seakan-akan sumber daya alam tidak pernah akan habis.
            Untuk menjelaskan persoalan yang dihadapi dunia, MIT merumuskan lima persoalan dunia yang dijadikan unsur dalam model MIT, yaitu pertumbuhan industri yang sangat cepat, pertumbuhan penduduk dengan laju yang tinggi, kelaparan yang makin meluas, menipisnya sumber daya alam tak terbarukan dan kerusakan lingkungan.
            Laporan MIT dalam buku the Limit To Growth menarik perhatian saya karena kelangkaan sumber daya alam yang tidak terbarukan dijadikan salah satu permasalahan dunia. Unsur kelangkaan sumber daya alam yang tidak terbarukan ternyata tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan empat unsur yang lain yaitu permasalahan pertumbuhan industri, pertumbuhan penduduk, kelaparan dan kerusakan lingkungan.
            Sebagaimana dikemukakan dalam laporan MIT, kelima persoalan dunia tersebut satu dengan yang lain saling mempengaruhi dengan pola yang sangat kompleks. Model yang dikembangkan oleh MIT bertujuan untuk menjelaskan keterkaitan kelima unsur yang sangat kompleks tadi. Penjelasan ini dianggap penting karena banyak negara mengabaikan keterkaitan antara lima persoalan yang dikemukakan oleh MIT tersebut. Sebagai contoh, banyak negara beranggapan akan dapat mengentaskan kemiskinan dengan melakukan eksploitasi sumber daya alam tanpa mengindahkan kelestarian alam. Mereka melupakan bahwa ada keterkaitan antara kemiskinan dengan kerusakan lingkungan.
            Di Indonesia sendiri orang belum merasa perlu untuk membahas masalah kelangkaan sumber daya alam dalam kaitan dengan permasalahan nasional yang lain. Kebijakan negara tentang sumber daya alam di Indonesia belum berada dalam posisi ‘siaga’ (alert) tentang akan datangnya kelangkaan sumber daya alam yang tidak terbarukan di masa depan. Permasalahan sumber daya alam di Indonesia sampai sekarang masih berkisar pada pertumbuhan investasi, pertumbuhan eksport dan pertumbuhan pendapatan negara. Antisipasi terhadap kelangkaan sumber daya alam belum mendapat perhatian.
            Dalam bidang mineral, kebijakan negara selama ini juga masih terfokus pada permasalahan pertumbuhan investasi, pertumbuhan eksport dan pertumbuhan pendapatan negara. Kebijakan negara dalam bidang sumber daya mineral belum dikaitkan dengan permasalahan kemiskinan dan kebijakan industrialisasi. Bahkan kaitan antara kebijakan sumber daya mineral dengan kebijakan perlindungan lingkungan juga masih bersifat ad hock, belum terinegrasi.
            Sebenarnya negara-negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam bukannya tidak menyadari adanya persoalan dunia yang kait mengkait sebagaimana dilaporkan oleh MIT kepada the Club of Rome. Namun meskipun menyadari, banyak negara yang tidak berdaya untuk tidak mengejar pertumbuhan yang tinggi dalam eksploitasi sumber daya alam. Tekanan pasar dan kebutuhan pendanaan pembangunan di dalam negeri merupakan daya dorong untuk terus meningkatkan pertumbuhan eksploitasi sumber daya mineral di negara berkembang.
            Lepas dari peran sistem ekonomi yang kita pelajari dari, ada kenyataan bahwa selama beberapa dekade terakhir peran ekonomi ternyata dijalankan oleh organisasi-organisasi usaha. Organisasi usaha yang menjalankan ekonomi dunia merupakan perusahaan-perusahaan besar yang mencakup semua kebutuhan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh manusia. Perusahaan skala sangat besar ini beroperasi di berbagai negara tanpa terkendala oleh batas-batas kedaulatan negara. Perusahaan besar yang beroperasi lintas negara tersebut sering disebut disebut Trans National Corporation (TNC).
            TNC tidak hanya besar tetapi juga memiliki kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa besar. Mereka memiliki segalanya: dana, teknologi, pasar, akses ke kekuasaan dan segala macam informasi. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki, TNC dapat berbuat apapun untuk mewujudkan apa yang diinginkan.
            Dengan hadirnya TNC maka teori ekonomi yang kita pelajari di bangku sekolah tidak berjalan murni lagi. Pasar tidak lagi mencerminkan kebutuhan konsumen tetapi merupakan cerminan dari keinginan TNC. Mereka dapat mendiktekan apa yang mereka inginkan menjadi apa yang dibutuhkan oleh konsumen. TNC tidak hanya menguasai sistem pasar dan sistem produksi, tetapi juga menguasai sistem kehidupan manusia di bumi ini. Setiap aspek dalam kehidupan masyarakat ditentukan oleh apa yang menjadi keinginan TNC. Makanan yang dimakan orang, pakaian yang dikenakan, kendaraan yang digunakan, semuanya ditentukan oleh TNC. Bukan itu saja, gaya hidup dan keyakinan orang juga dipengaruhi oleh apa yang diinginkan TNC.
            Orang boleh berargumentasi bahwa masih ada negara yang berkewajiban melindungi rakyatnya terhadap keinginan pasar yang merugikan. Yang menjadi persoalan adalah bahwa negara tidak selalu beranggapan bahwa pertumbuhan pasar sebagai sesuatu yang merugikan rakyat dan negara. Negara justru beranggapan bahwa pertumbuhan adalah untuk kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan telah dijadikan merupakan parameter keberhasilan pembangunan yang menghasilkan kesejahteraan rakyat.
            Salah satu faktor pertumbuhan ekonomi yang diupayakan terus meningkat adalah investasi. Investasi harus terus tumbuh agar dapat memberi lapangan pekerjaan, pemasukan devisa dan pajak. Dalam bidang apa investasi harus dilakukan tidak terlalu dimasalahkan. Bagaimana dampak dari inevstasi terhadap kehidupan rakyat juga tidak perlu menjadi halangan untuk menerima investasi.
            Makanan siap saja seperti burger dari McDonald merupakan investasi yang membuka peluang kerja dan meningkatkan pendapatan negara. Masalah apakah burger merupakan makanan yang sehat atau tidak sehat, tidak perlu dipermasalahkan. Dengan dibukanya toko burger McDonald di mana-mana dianggap sebagai petunjuk keberhasilan pembangunan yang mensejahterakan rakyat.
            Apa yang terjadi kalau sikap terhadap pertumbuhan McDonald tadi diterapkan pada bidang industri sumber daya alam pada umumnya dan sumber daya mineral pada khususnya? Di mana letak kesalahannya kalau negara memacu pertumbuhan eksploitasi sumber daya alam yang bukan saja meningkatkan pendapatan pajak tetapi juga pendapatan devisa dan lapangan pekerjaan? Di sini kita perlu kembali ke model yang dikembangkan oleh MIT tentang keterkaitan antara pertumbuhan dengan persoalan kemiskinan, jumlah penduduk dan seterusnya.
            Para konservasionis pernah mengusulkan agar dalam hal eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan konsep mekanisme pasar tidak digunakan lagi. Dengan lain perkataan para konservasionis mengusulkan agar negara yang memiliki sumber daya alam menentukan sendiri tingkat produksi dan tingkat pertumbuhan eksploitasi sumber daya alam yang terbaik bagi negara dan rakyatnya. Dengan lain perkataan para konservasionis ingin mengatakan agar negara tidak mengacu pada kebutuhan TNC tetapi pada kebutuhan rakyatnya.
            Mungkinkah konsep para konservasionis diatas diterapkan? Sumber daya alam yang tidak terbarukan pada umumnya terdapat di negara-negara berkembang. Negara berkembang yang sedang membangun memerlukan investasi, memerlukan devisa dan memerlukan peningakatan pendapatan negara. Negara berkembang tidak memiliki apapun sebagai modal pembangunan selain apa yang diberikan oleh alam.
            Banyak negara berkembang yang berpendapat bahwa pertumbuhan adalah kebutuhan sekarang yang diperlukan untuk memberi makan, pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi dan segala bentuk kebutuhan rakyat yang lain. Pertumbuhan bukan masalah nanti yang dapat ditunda atau atau dibatasi. Kebijakan jangka pendek ini sangat sesuai dengan kebutuhan para politisi yang mengendalikan negara serta sesuai pula dengan kehendak TNC. Akibatnya kebijakan sumber daya alam selalu merupakan kebijakan yang bersifat ad hock.
            Dengan argumentasi diatas maka banyak negara berkembang menganggap kata konservasi merupakan sesuatu yang jauh dari jangkauan, merupakan sesuatu yang berada di awang-awang. Minyak dan gas bumi, mineral dan hutan adalah untuk hari ini dan bukan untuk hari nanti. Oleh karena itu pertimbangan masa depan dapat ditunda dulu.
            Kepentingan memang memiliki dimensi waktu dan dimensi ruang. Dari pengalaman maupun dari hasil penelitian kita mengetahui bahwa kebanyakan orang, organisasi ataupun negara lebih mengedepankan kepentingan dengan dimensi waktu pendek dan kepentingan dengan dimensi ruang yang sempit. Seorang ayah atau ibu sibuk dengan usahanya (kepentingan sempit dan waktu pendek) sehingga melupakan pendidikan anaknya yang merupakan kepentingan lebih luas pada jangka yang panjang. Sebuah bangsa dan negara dapat terjebak pada kepentingan dan permasalahan masa kini yang sempit sehingga melupakan kepentingan jangka panjang dan kepentingan lebih besar. Pertumbuhan yang dikejar oleh negara pada umumnya merupakan kepentingan jangka pendek dengan sasaran-sasaran kepentingan yang lebih sempit.
            Selama ini Indonesia juga menganut paham pertumbuhan sebagai kepentingan jangka pendek dengan sasaran-sasaran kepentingan yang sempit. Indonesia pernah menganut paham pertumbuhan at all cost. Dalam periode tahun 1966 sampai 1998 Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan bayaran masa depan bangsa yang sangat mahal.
            Sejak tahun 1970-an telah terjadi perdebatan tentang dilema antara pertumbuhan dengan konservasi lingkungan dan sumber daya alam. Perdebatan secara informal di kalangan akademisi terus berlangsung secara intensip dan juga makin meluas. Belakangan perdebatan pada tataran akademis yang tidak formal masuk dalam agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
            Berbagai teori dan konsep pembangunan diusulkan sebagai jalan keluar dari dilema pertumbuhan dengan konservasi. Salah satu jalan keluar yang diperkenalkan oleh PBB adalah konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Konsep Pembangunan Berkelanjutan dari PBB ini dari waktu ke waktu mengalami perubahan dengan tujuan agar sesuai dengan kebutuhan.

            Orang boleh marah-marah sambil bertanya kepada negara: Mengapa demikian? Di lain pihak orang juga dapat bersedih sambil bertanya: Mengapa demikian? Mengapa sesuatu yang telah disepakati tidak diterapkan? Mengapa negara tidak melakukan perubahan dalam melakukan eksploitasi sumber daya alam? Jawaban dari pertanyaan ini tentunya berada di luar lingkup buku ini.

No comments:

Post a Comment