9/19/2012

Makalah Ekonomi Indonesia dari Revolusi sampai Reformasi


BAB I
PENDAHULUAN
I.1     Latar Belakang
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara.
Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.
Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, sosial dan teknik.
Selanjutnya pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk meningkat dalam jangka panjang. Di sini terdapat tiga elemen penting yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi.
I.2     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses pembangunan ekonomi nasional dari masa revolusi hingga awal Reformasi.?
2.      Apa saja yang menjadi kendala pembangunan ekonomi Indonesia pada masa tersebut?
3.      Bagaimana sejarah perencanaan pembangunan ekonomi Indonesia?
4.      Kenapa Indonesia menjadi Negara  yang didera oleh hutang luar negeri?
I.3    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini agar dapat memahami suasana dan arah pembangunan ekonomi nasional yang telah dilakukan dari masa revolusi, orde lama, Orde Baru hingga awal Reformasi yang terus menumpu kemajuan nasional yang lebih baik.
Tujuan lain dari penulisan ini juga agar dapat menambah wawasan masyarakat dalam mewujudkan kehidupan yang adil, makmur dan beradap atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, tertib, bersahabat, bersatu, aman, damai dan sejahtera.
I.4    Manfaat penulisan
Dengan selesainya penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada mahasiswa atau pembaca tentang pembangunan ekonomi nasional dari masa revolusi hingga awal reformasi.
I.5    Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini kami buat dengan mencakup beberapa poin yang terdiri dari tiga bab, yaitu:
                Bab I Pendahuluan
Bahasan dalam bab I ini terdiri dari beberapa bagian sebagai berikut:
I.1. Latar belakang
I.2. Rumusan masalah
I.3. Tujuan penulisan
I.4. Manfaat penulisan
I.5. Sistematika penulisan
                Bab II Pembahasan
Dalam bab II ini membahas mengenai isi atau inti dari makalah ini yang didalamnya terdiri dari beberapa poin sebagai berikut:
II.1 Perekonbomian Indonesia pada masa revolusi
II.2 Perekonomian Indonesia pada masa percobaan demokrasi pertama
II.3 Perekonomian Indosia pada masa demokrasi terpimpin
II.4  Perekonomian Indonesia pasda masa penciptaan orde baru
II.5 Perekonomian Indonesia pada masa keemasan orde baru
II.6 Krisis dan tantangan ekonomi orde baru
                Bab III Kesimpulan
Dalam bab ini terakhir dijelaskan kesimpulan atau poin-poin penting dari makalah yang telah kami susun mengenai perekonomian indonesia dari masa revolusi hingga awal reformasi.





























BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Perekonomian Indonesia pada Masa Revolusi
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia segera memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Meskipun di wilayah Hindia Belanda (Indonesia) telah berdiri pemerintahan Republik Indonesia (RI), Belanda tetap berkeyakinan bahwa wilayah tersebut masih berada dalam hak pemerintahan Hindia Belanda. Sejak saat itu secara de facto telah terdapat dua pemerintahan di wilayah Indonesia, yaitu pemerintahan RI dengan pimpinan Soekarno-Hatta dan pemerintahan sipil Belanda dengan pimpinan Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook. Keadaan tersebut berpengaruh pada dunia perekonomian Indonesia, termasuk dunia perbankan. Dalam periode 1945-1949 kegiatan perbankan telah berjalan dalam dua wilayah pemerintahan yang berbeda. Sementara Bank-Bank Belanda kembali berjalan di wilayah yang telah diduduki Belanda, pemerintah RI juga mempunyai upayanya sendiri untuk membangun sistem perbankan nasional yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
II.1.1 Kelembagaan Bank Masa Revolusi
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) berhasil menyepakati Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang dikenal sebagai UUD 1945. UUD 1945 ditetapkan guna memberi landasan dasar bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Oleh karena itu salah satu bidang yang mendapat perhatian besar dalam UUD 1945 adalah bidang pembangunan ekonomi. Pada 19 Oktober 1945 didirikan Jajasan Poesat Bank Indonesia (JPBI) yang diketuai oleh Wakil Presiden RI Mohammad Hatta. Dalam Akte Notaris pembentukan yayasan dinyatakan bahwa yayasan yang kemudian disebut dengan “Bank Indonesia” tersebut mempunyai wewenang untuk melakukan kegiatan sebagai bank umum yang memberi kredit, mengeluarkan obligasi, menerima simpanan giro, deposito dan tabungan serta memberikan informasi dan penerangan dalam bidang ekonomi. Sesuai dengan wewenang tersebut antara Oktober 1945 dan Juni 1946 yayasan mengeluarkan Obligasi Nasional 1946 yang mendapat sambutan spontan dari rakyat Indonesia. Dengan obligasi tersebut JPBI dapat membantu memperkuat keuangan negara. Pada 10 Oktober 1945 NICA telah memperoleh akses ke kantor-kantor pusat bank Jepang di Jakarta. De Javasche Bank (DJB) kembali diberi tugas sebagai bank sirkulasi dan mengambil peranan Nanpo Kaihatsu Ginko. Pertama kali DJB membuka Kantor Pusat di Jakarta pada 14 Maret 1946 kemudian diikuti dengan Kantor Cabang Semarang, Menado, Surabaya, Banjarmasin, Pontianak, Bandung dan Medan. Sebelumnya di Makassar dan Kalimantan, untuk pertama kali bank-bank menerapkan suatu pooling system dan Kantor Cabang DJB setempat bertindak sebagai pimpinan pool. Kemudian setelah Aksi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947 DJB membuka Kantor Cabang Palembang, Cirebon, Malang dan Padang. Tahap akhir pembukaan kantor cabang DJB dilaksanakan setelah Aksi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Pada saat itu dibuka Kantor Cabang Yogyakarta, Solo dan Kediri. Kantor Cabang Yogyakarta kemudian ditutup kembali pada 29 Juni 1949. Hal itu terjadi karena tentara Belanda ditarik kembali dari Yogyakarta setelah dilakukan diplomasi antara Belanda dan RI. Akhirnya hanya Kantor Cabang Aceh yang tetap belum dibuka kembali oleh DJB karena situasi dianggap belum memungkinkan. Pada periode 1945 – 1949 Kantor Pusat DJB terdiri dari satuan-satuan kerja yang meliputi Bagian Pengawasan Umum, Bagian Statistik-Ekonomi, Bagian Luar Negeri, Bagian Urusan Wesel, Bagian Urusan Efek, Bagian Pemberian Kredit, Bagian Sekretaris dan Urusan Pegawai, Bagian Tata-Usaha Pusat, Bagian Kas dan Uang Kertas Bank, Bagian Pembukuan dan Bagian Urusan Hasil.
II.1.2 Kebijakan Moneter Masa Revolusi
Perang kemerdekaan yang terus berkecamuk belum memungkinkan pemerintah RI untuk melaksanakan kebijakan moneter yang terencana secara sistematis untuk menunjang tercapainya stabilitas harga. Kebijakan yang ditempuh pada waktu itu lebih banyak ditekankan pada pemenuhan kebutuhan uang kartal baik untuk membiayai defisit keuangan negara maupun untuk kebutuhan transaksi. Pada periode ini pemerintah RI mengeluarkan beberapa undang-undang yang mengatur peredaran uang kartal sebagai langkah untuk mengurangi tekanan inflatoir akibat peredaran uang yang berlebihan. Setelah menerbitkan ORI pemerintah segera menentukan nilai tukar  ORI  baik terhadap nilai uang yang masih berlaku maupun untuk perhitungan pembayaran hutang melalui Undang-Undang No.19/1946 tanggal 25 Oktober 1946.  Selain menentukan nilai tukar uang tersebut, pemerintah RI juga telah menentukan beberapa aturan pengedaran uang sebelum dan sesudah diberlakukannya ORI.
 Sementara itu NICA juga menetapkan kebijakan moneter di wilayah yang dikuasainya. Langkah-langkah yang dilakukan oleh NICA (pemerintah pendudukan Belanda) lebih ditekankan pada kebijakan devisa dan lalu lintas perdagangan. Langkah moneter pertama yang dilakukan oleh NICA adalah mendevaluasi nilai tukar Gulden Hindia Belanda yang sejalan dengan perkembangan Gulden Belanda di Nederland. Karena tindakan devaluasi di Hindia Belanda dilakukan belakangan, maka rentang waktu antara 7 September 1945 hingga 6 Maret 1946 perbandingan pari 1:1 antara mata uang Gulden Belanda dengan Gulden Hindia Belanda ditiadakan.
II.1.3 Kebijakan Perbankan Masa Revolusi
Melalui Undang-undang No. 2 Prp. Tahun 1946 tanggal 5 Juli 1946 pemerintah membentuk Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi untuk Indonesia. Sebelumnya pada 22 Februari 1946 pemerintah telah terlebih dahulu membentuk Bank Rakyat Indonesia (BRI). BRI ditetapkan sebagai bank yang menjalankan usaha perbankan pada umumnya dengan mengutamakan pinjaman kepada rakyat kecil, khususnya petani. Di samping kedua bank pemerintah tersebut, pada periode ini telah ada beberapa bank swasta nasional yang beroperasi di Jawa yaitu : Bank Nasional Indonesia (Surabaya, sejak 1928) dan Bank Surakarta MAI (Solo, 10 Nopember 1945). Di luar Jawa, khususnya di Sumatera terdapat tiga bank swasta, yaitu Bank Indonesia (8 Mei 1946) di Palembang, Bank Dagang Nasional Indonesia (26 Januari 1946) di Medan dan Bank Nasional (sejak 7 Desember 1930) di Bukittinggi. Selanjutnya Pemerintah RI pada 1 Januari 1947 dengan bekerjasama dengan Bank Negara Indonesia mendirikan Banking and Trading Corporation (BTC) di Jakarta dengan maksud untuk meletakkan dasar bagi pengembangan suatu bank dagang yang dapat memberikan kredit bagi perdagangan ekspor-impor. Dalam kenyataannya peranan perbankan, termasuk Bank Negara Indonesia, yang beroperasi di wilayah RI pada periode revolusi masih sangat kecil. Bank-bank tidak mempunyai koresponden diluar negeri sehingga  tidak dapat berfungsi sebagai saluran lalu-lintas pembayaran dengan luar negeri. Meskipun demikian peranan perbankan nasional tersebut cukup penting dalam membantu pemerintah untuk mengedarkan ORI sebagai uang Republik Indonesia yang pertama kali. Pemulihan aktivitas perbankan di wilayah kekuasaan Belanda mulai dilaksanakan sejak Belanda berhasil memperoleh akses ke kantor-kantor pusat bank Jepang di Jakarta pada akhir 1945. Setelah itu kebijakan perbankan pertama yang dilaksanakan oleh NICA adalah melakukan penutupan bank-bank Jepang yaitu Syomin Ginko, Nanpo Kaihatsu Ginko, Mitsui Bank, Yokohama Specie Bank dan Taiwan Bank yaitu bank yang telah digunakan Jepang untuk membiayai pasukan pendudukan Jepang dalam Perang Dunia II.
II.1.4 Kebijakan Sistem Pembayaran Masa Revolusi
Hal terpenting yang harus dilakukan di tengah perjuangan kemerdekaan adalah penciptaan suatu identitas yang dapat menunjukkan kedaulatan Republik Indonesia. Salah satu cara yang ditempuh untuk mewujudkan identitas tersebut adalah melalui penciptaan mata uang. Oleh karena itu segera setelah proklamasi kemerdekaan muncul desakan kepada pemerintah RI untuk segera mengeluarkan mata uang Republik Indonesia. Pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah RI tanggal 2 Oktober 1945 yang menetapkan bahwa uang NICA tidak berlaku di wilayah RI. Berikutnya pemerintah mengeluarkan Maklumat Presiden Republik Indonesia No. 1/10 tanggal 3 Oktober 1945 yang menetapkan beberapa jenis uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Indonesia. Uang tersebut meliputi, (1) uang kertas De Javasche Bank dalam pecahan dari lima hingga seribu rupiah (2) uang kertas Pemerintah Hindia Belanda dalam pecahan dua setengah rupiah dan satu rupiah (3) uang kertas Pemerintah Balatentara yang terdiri dari pecahan seratus rupiah, sepuluh rupiah, lima rupiah, satu rupiah, lima puluh sen, sepuluh sen, lima sen dan satu sen (4) uang logam Pemerintah Belanda yang terbuat dari emas dalam pecahan sepuluh dan lima rupiah; bahan perak dalam pecahan dua setengah dan satu rupiah, lima puluh sen, dua puluh lima sen dan sepuluh sen; bahan nikel pecahan lima sen serta dari bahan tembaga dalam pecahan dua setengah sen, satu sen dan setengah sen. Setelah dikeluarkannya kedua maklumat tersebut pemerintah terus melakukan upaya pengkondisian sebelum dikeluarkannya mata uang Republik Indonesia. Akhirnya melalui Undang-Undang No. 17 tahun 1946 tanggal 1 Oktober 1946 pemerintah secara resmi menetapkan pengeluaran Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Selanjutnya pengaturan pengeluaran ORI, termasuk mengenai nilai tukarnya terhadap uang yang beredar lainnya ditetapkan dalam Undang-Undang No. 19 tahun 1946 tanggal 25 Oktober 1946. Sementara itu dengan Keputusan Menteri Keuangan tanggal 29 Oktober 1946 ditetapkan berlakunya ORI secara sah mulai 30 Oktober 1946 pukul 00.00. Pada hari itu juga Wakil Presiden RI Moh. Hatta juga menyampaikan pidato sambutannya atas berlakunya ORI melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta. Hingga terbentuknya Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) telah dilakukan 5 penerbitan / emisi yaitu:
         ORI Emisi I Djakarta 17 Oktober 1945 dalam delapan pecahan, yaitu 1 sen, 5 sen, 10 sen, ½ rupiah, 1 rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah dan 100 rupiah.
         ORI Emisi II Djokjakarta 1 Januari 1947 dalam empat pecahan, yaitu 5 rupiah, 10 rupiah, 25 rupiah dan 100 rupiah.
         ORI Emisi III Djokjakarta 26 Juli 1947 dalam pecahan ½ rupiah, 2½ rupiah, 25 rupiah, 50 rupiah, 100 rupiah dan 250 rupiah
         ORI Emisi IV Jogjakarta 23 Agustus 1948 dalam pecahan yang unik yaitu 40 rupiah, 75 rupiah, 100 rupiah dan 400 rupiah sedangkan pecahan 600 rupiah yang telah disiapkan tapi belum sempat diedarkan.
         ORI Emisi V Jogjakarta 17 Agustus 1949 merupaka rupiah baru dalam pecahan 10 sen baru, ½ rupiah baru dan 100 rupiah baru.
Oleh karena itu Pemerintah RI memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah tertentu untuk menerbitkan uang kertas atau tanda pembayaran yang sah yang berlaku secara terbatas di daerah yang bersangkutan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19/ 1947 tanggal 26 Agustus 1947, pemerintah daerah tingkat provinsi, karesidenan dan kabupaten menerbitkan Uang Republik Indonesia Daerah yang dikenal dengan URIDA. Beberapa URIDA yang pernah terbit antara lain adalah:
         URIPS. Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera
         URIDAB. Uang Kertas Darurat untuk Daerah Banten
          Surat Tanda Penerimaan Uang untuk DI Yogyakarta
          Kupon Penukaran Uang untuk Jambi
          Tanda Pembayaran Yang Sah untuk Karesidenan Lampung
         Mandat Dewan Pertahanan Daerah Palembang (DPDP)
         Tanda Pembayaran Yang Sah berlaku untuk Sumatera Selatan
         Bon Pemerintah Negara RI Kabupaten Asahan
         Mandat Pertahanan untuk Daerah Karesidenan Lampung
         Tanda Pembayaran yang sah berlaku untuk daerah Aceh
Sementara itu di wilayah yang diduduki Belanda telah beredar berbagai macam uang seperti uang kertas DJB, uang kertas dan uang logam Pemerintah Hindia Belanda serta uang Jepang.
II.2 Pembangunan Ekonomi pada Masa Percobaan Demokrasi Pertama
Indonesia akhirnya merdeka, setidak-tidaknya dalam pengertian hukum internasional, Dan kini menghadapi prospek menentukan masa depanya sendiri. Dalam sebuah negeri yang masih menunjukan adanya kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan tradisi-tradisi otoriter, maka banyak hal bergantung pada kearifan dan nasib baik kepemimpinan negeri itu. Akan tetapi, sebagian sejarah bangsa Indonesia sejak tahun 1950 merupakan kisah tentang kegagalan rentetan pemimpin untuk memenuhi harapan-harapan tinggi yang ditimbulkan oleh keberhasilan mencapai kemerdekaan. Dalam tahun 1950, kendali pemerintahan berada di tangan kaum nasionalis perkotaan dari generasi yang lebih tua dari partai-partai sekuler dan islam yang terkemuka. Ada suatu kesepakatan umum bahwa demokrasi diinginkan dan mereka itulah orang-orang yang akan dapat menciptakan sebuah negara demokrasi. Akan tetapi, pada tahun 1957 percobaan demokrasi pertama ini telah mengalami kegagalan, korupsi tersebar luas, kesatuan wilayah negara terancam, keadilan sosial belum tercapai, masalah-masalah ekonomi belum terpecahkan, dan banyak harapan yang ditimbulkan oleh revolusi tidak terwujud.
Masalah-masalah ekonomi dan sosial yang dihadapi bangsa Indonesia setelah pendudukan jepang dan  Revolusi sangatlah besar, perkebunan-perkebunan dan instalasi-lnstalasi industri di seluruh penjuru negeri rusak berat. Mungkin yang paling penting ialah bahwa jumlah penduduk meningkat tajam. Diperkirakan jumlah penduduk pada tahun 1950 adalah 77,2 juta jiwa, pada tahun 1955 berjumlah 85,4 juta jiwa, dan menurut sensus pada tahun 1961 adalah 97 juta jiwa. Produksi pangan meningkat teapi tidak cukup. Di Jawa, produksi beras perkapita sedikit menurun dari tahun 1950 sampai 1960. Maka, sejumlah beras impor makanan masih diperlukan. Pertanian banyak menyerap tenaga kerja baru dengan membagi pekerjaan kepada sejumlah buruh yang jumlahnya meningkat terus. Tetapi dengan menurunnya jumlah lahan yang dimiliki, banyak keluarga petani tidak lagi memiliki lahan yang cukup untuk menafkahi hidup mereka dan harus mencari banyak, atau kebanyakan, pendapatan mereka dengan menjadi buruh upahan. Banyak dari mereka yang  berduyun-duyun ke kota-kota yang tumbuh secara cepat sekali. Secara alami kota-kota raja yang lebih besar menjadi fokus kegiatan politik, sehingga masalah-masalah pedesaan sering diabaikan.
Karena di Jawa terdapat ibukota negara, maka daerah luar jawa pada umumnya cenderung dilupakan oleh pemerintah pusat. Dalam upaya penyubsidi perekonomian impor jawa, maka rupiah Indonesia dipertahankan dalam nilai tukar yang sengaja dibuat tinggi. Tindakan ini menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi daerah-daerah luar jawa yang  berperekonomian ekspor serta mendorong munculnya pasar gelap dan terjadinya penyelundupan. Sebagian besar bidang perdagangan dan industri menderita.
Pemulihan ekspor Indonesia berlangsung lambat. Minyak, penghasil devisa terbesar kedua setelah karet adalah yang paling besar harapanya untuk jangka panjang. Pada tahun 1957, produksi minyak mencapai dua Kali lipat tingkat produksi pada tahun 1940, tetapi sebagian dari peningkatan ini dikonsumsi di dalam negeri. Selama tahun 1950-6, permintaan bensin di dalam negeri meningkat 64,5%  dan permintaan minyak tanah meningkat 200,5%. Pada umumnya, program-program infrasrtuktur pemerintah yang sangat penting untuk sektor ekspor (seprti jalan raya, pelabuhan, pengedalian banjir, irigasi, kehutanan) memburuk, dan nilai tukar yang dibuat untuk mendiskriminsikan para pengekspor. Di bidang ekonomi, pada umumnya kepentingan-kepentingan non-Indonesia tetap mempunyai arti yang penting. Shell dan perusahaan-perusahaan Amerika, Stanvac dan Caltex, mempunyai posisi yang kuat dalam bidang industri minyak, dan sebagian besar pelayaran antar pulau berada ditangan perusahaan pelayaran KPM Belanda. Perbankan didominasi oleh perusahaan-perusahaan Belanda, Inggris, dan Cina. Orang-orang Cina juga banyak yang menguasi kebanyakan kredit pedesaan. Bagi  yang tahu, tampak jelas bahwa bangsa Indonesia secara ekonomi tidak merdeka, suatu kenyataan yang mendukung radikalisme pada akhir tahun 1950-an.
Dengan lambatnya pemulihan ekonomi dan meluasnya pengeluaran pemerintah, maka tidaklah mengherankan bahwa inflasi dari masa perang dan revolusi terus berlanjut. Biaya hidup umum meningkat sekitar 100% selama setahun 1950-7, tetapi angka ini menyembunyikan fluktuasi yang lebih tajam di daerah-daerah, pada kurun waktu, dan untuk komoditas-komoditas tertentu. Semua sektor kemasyarakatan menderita sampai pada tingkatan tertentu akibat kenaikan harga. Para pegawai yang digaji dan para buruh upahan sangat berpengaruh, sedangkan para tuan tanah, para pejabat desa yang diberi tanah sebagi pengganti gaji, dan para petani produsen beras relatif diuntungkan. Dibandingkan dengan masa pendudukan jepang dan tahun-tahun revolusi, keadaanya lebih baik bagi sebagian besar rakyat Indonesia pada tahun 1950-7, tetapi kemerdekaan tidak menghasilkan kemakmuran umum yang diharapkan banyak orang.
Setelah berakhirnya perang Korea, keadaan ekonomi Indonesia menjadi memburuk. Antara bulan Februri 1951 dan September 1952, harga karet, ekspor nasional yang terpenting, turun 71%. Penghasilan pemerintah tentu saja merosot. Dalam upaya untuk memperbaiki neraca perdagangan yang tidak menguntungkan serta keluarnya cadangan emas dan devisa, maka pemerintah mengenakan bea tambahan sebesar 100 sampai 200 persen terhadap impor barang mewah dan mengurangi pengeluaran. Dengan demikian, dampak-dampak yang paling buruk dari krisis ekonomi dapat dikurangi secara bertahap.
Pada masa ini (1950-7), muncul sebuah sistem ekonomi baru yang  disebut ekonomi liberal, karena dalam politik dan sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Padahal, pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya, sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka. Di masa ini, munculah upaya-upaya untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain:
         ‘Gunting Sjafruddin’, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) pada 20 Maret 1950. Istilah ‘Gunting Sjafruddin’ ini melekat pada era Sjafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan pada kabinet Hatta II. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
         Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing. Impor barang tertentu dibatasi dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi. Pemberian kredit juga diberikan pada perusahaan-perusahaan pribumi agar mereka bisa berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Tapi, usaha ini gagal. Pengusaha pribumi memiliki sifat yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi.
         Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951, lewat UU No 24 Tahun 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
         Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mendagri kala itu, Iskak Cokrohadisuryo. Langkah yang dilakukan adalah menggalang kerja sama antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha nonpribumi wajib memberikan latihan-latihan kepada pengusaha pribumi. Sementara itu, pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini pun tidak berjalan dengan baik. Pengusaha pribumi kurang berpengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
         Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya, banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
II.3 Perekonomian Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin
Ditengah-tengah krisis tahun 1957 diambilah langkah-langkah pertama menuju suatu bentuk pemerintahan yang oleh presiden Soekarno dinamai “Demokrasi Terpimpin”. Ekonomi Terpimpin adalah bagian dari demokrasi merupakan dimana aktivitas ekonomi disentralisasikan dipusat pemerintahan, sementara daerah merupakan pendukung perekonomian. Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966, yaitu dari dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga Jatuhnya kekuasaan Sukarno.
Disebut Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada kepemimpinan Presiden Sukarno. Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno adalah kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu presiden.
II.3.1Tugas Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil sebagai warisan masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih mantap/stabil.
Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer/Liberal. Hal ini disebabkan karena pada masa Demokrasi parlementer, kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala negara, sedangkan kekuasaan Pemerintah dilaksanakan oleh partai.
Pada saat presiden Soekarno menjadi presiden, Soekarno mengumumkan pembentukan Kabinet Karya dengan mengangkat Djuanda Kartawidjaja sebagai perdana mentri, Djuanda Kartawidjaja sudah lama menduduki kabinet selama tahun 1945 dia juga dihormati karena mengerti soal ekonomi. Untuk Mentri luar negeri presiden soekarno mengangkat Dr. Subandrio dan wakilnya K.H. Idham Chalid dari Nahdatul Ulama, Hardi dari Partai Nasional Indonesia, dan Dr. Johannes Leimena dari partai Kristen.
II.3.2 Kebijakan Ekonomi pada Demokrasi Terpimpin
                Devaluasi mata uang rupiah
Tujuan dilakukan Devaluasi yaitu guna membendung inflasi yang tetap tinggi, mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat dan Meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.
                 Membekukan Deposito
Deposito bank yang besar jumlahnya dibekukan karena untuk mengurangi uang dari Rp 32 Miliyar menjadi 21 Miliyar dengan sekali pukul.
                Pembentukan Bapennas ( Badan Perancang Pembangunan Nasional )
Awalnya dibentuk pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin oleh Moh. Yamin yang beranggotakan 50 orang yang bernama Depernasi ( Dewan Perancang Nasional ) tugasnya yaitu untuk Mempersiapkan rancangan undang-undang pembangunan yang berencana, dan menilai penyelenggaraan pembangunan.
Masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembagunan proyek besar dalam bidang industri, akan tetapi prasaranan pembangunan tidak berjalan lancar sesuai harapan maka diganti dengan nama Bapennas yang dipimpin oleh presiden Soekarno, tugas Bapennas yaitu menyusun rencana jangka panjang dan tahunan baik rasional maupun daerah, mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan serta membentuk Deklarasi Ekonomi ( Dekon ).
Untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Terpimpin Indonesia yang menjadi bagian dari strategi umum revolusi Indonesia. Strategi Dekon adalah mensukseskan Pembangunan Sementara Berencana 8 tahun yang polanya telah diserahkan oleh Bappenas tanggal 13 Agustus 1960. Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah Berdikari yaitu berdiri diatas kaki sendiri. Tujuan utama dibentuk Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
                Nasionalisasi perusahaan Belanda
Pengambil alihan perusahaan milik belanda menjadi perusahaan milik pemerintah Indonesia.
                Pembentukan Front Nasional
Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Tugas front nasional adalah sebagai berikut :
Menyelesaikan revolusi Nasional, melaksanakan pembangunan dan mengembalikan Irian Barat.
                Pembentukan Komando Tertinggi Operasi Ekonomi ( KOTOE ) dan Kesatuan Operasi ( KESOE )
Dikeluarkan peraturan tanggal 17 April 1964 mengenai adanya Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP) dalam usaha perdagangan. Selain itu diadakannya peleburan bank-bank Negara. Presiden berusaha mempersatukan semua bank negara ke dalam satu bank sentral sehingga didirikan Bank Tunggal Milik Negara berdasarkan Penpres No. 7 tahun 1965. Tugas bank tersebut adalah sebagai bank sirkulasi, bank sentral, dan bank umum. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilakukan peleburan bank-bank negara seperti Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan tugas dan pekerjaan masing-masing. Tindakan itu menimbulkan spekulasi dan penyelewengan dalam penggunaan uang negara sebab tidak ada lembaga pengawas.
Kegagalan pemerintah dalam menanggung masalah ekonomi, disebabkan karena semua kegiatan ekonomi terpusat sehingga kegitan ekonomi mengalami penurunan yang disertai dengan infasi, masalah ekonomi tidak diatasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, tetapi diatasi dengan cara-cara politis, kemenangan politik diutamakan sedangkan kehidupan ekonomi diabaikan (politik dikedepankan tanpa memperhatikan ekonomi). Kagagalan-Kegagalan Sistem Ekonomi Demokrasi Terpimpin tersebut meliputi:
         Terjadi inflasi
         Harga-harga barang naik sekitar 500% selama setahun
         Pemerintah tidak menghemat biaya pengeluaran-pengeluarannya
         Banyak proyek mercusuar pemerintah dan juga sebagian akibat politik kontroversi dengan Malaysia dan juga negara-negara barat
         Penghasilan negara berkurang karena adanya gangguan keamananakibat pergolakan daerah yang menyebabkan ekspor menurun
         Pengambilalihan perusahaan Belanda yang tidak diimbangi oleh tenaga kerja yang cakap dan berpengalaman
         Pengeluaran biaya untuk menyelenggarakan Asia Games 1962
         Tidak adanya aturan yang jelas
         Terjadi krisis moral
         Tingginya tingkat korupsi birokrasi.
Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sering bertentangan antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya. Tidak ada ukuran yang objektif untuk menilai suatu usaha atau hasil dari suatu usaha. Terjadinya berbagai bentuk penyelewengan dan salah urus. Kebangkrutan tidak dapat dikendalikan, masyarakat mengalami kesulitan hidup, kemiskinan, dan angka kriminalitas yang meningkat.
II.4 Perekonomian Indonesia pada Masa Awal Orde Baru         
Sampai beberapa bulan setelah usaha kudeta 1965, masa depan politik Indonesia masih belum jelas. Pada akhirnya, Soeharto membangun apa yang dikenal dengan Orde Baru Indonesia. Orde Baru terbentuk dengan dukungan yang  sangat besar dari kelompok-kelompok yang ingin terbebas dari kekacauan masa lalu.
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasikurang lebih 650 % per tahun.
Terdapat persamaan antara kebijakan orde baru pada dekade awal dan kebijakn periode politik etis pemerintahan kolonial. Seperti pemerintahan zaman Belanda, orde baru juga berjanji akan membangun ekonomi nasional dan akan meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan. Orde baru memang mampu meningkatkan ekonomi nasional, tetapi tidak mampu meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan. Orde baru mengembangkan gaya pemerintahan yang paternalistik namun juga menindas. Orde baru berusaha mencari keterlibatan rakyat untuk mendapatkan legitimasi, tetapi hanya lewat cara-cara yang dikendalikan dengan cermat. Sebagian besar pembangunan ekonomi nasional bergantung pada perusahaan asing dan hanya terjadi perumbuhan kecil pada industri pribumi.
Orde baru harus menghadapi masalah sosial yang lebih besar daripada yang dihadapi para reformis di masa politik etis. Hal ini terjadi sebagian karena belanda gagal menyelesaikan masalh ini karena dekade sebelumnya, dan sebagian lagi karena berlalaunya waktu dan pergolakan yang terjadi sejak penaklukan jepang membuat masalah tersebut kian konfleks. Belanda gagal memenuhi kesejahteraan bangsa yang pada tahun 1930 berpenduduk 60,7 juta. Karena kelalaian selama beberapa dekade lalu dan mendesaknya kebutuhan untuk terlebih dulu mengendalikan ekonomi bangsa di tahun-tahun setelah 1965, maka mungkin tak mengejutkan jika pemerintahan orde baru awalnya tidak mampu berkontribusi banyak dalam memenuhi kesejahteraan penduduknya, yang pada sensus tahun 1971 telah mencapai 119,2 juta jiwa dan 147,3 juta pada tahun 1980.
Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat. Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.
II.     Perekonomian Indonesia pada Masa Keemasan Orde Baru
Pertengahan dasawarsa 60-an adalah masa suram bagi perekonomian bangsa Indonesia. Pada masa tersebut, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta. Sehingga, pada permulaan Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun.  Tingkat produksi dan investasi di berbagai sektor utama menunjukan kemunduran semenjak tahun 1950. Pendapatapan riil perkapita dalam tahun 1966 sangat mungkin lebih rendah daripada tahun 1938. Sektor industri yang menyumbangkan hanya sekitar 10% dari GDP dihadapkan pada masalah pengangguran kapasitas yang serius. Diawal dasawarsa tersebut defisit anggaran belanja negara mencapai 50% dari pengeluaran total negara, penerimaan ekspor sangat menurun, dan selama tahun 1964-1966 hiperinflasi melanda negara ini dengan akibat lumpuhnya perekonomian. Hal di atas menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah menempuh cara sebagai berikut:
                 Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
 Keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan masa Demokrasi Terpimpin, pemerintah menempuh cara :
- Mengeluarkan Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan.
 - MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, progr stabilitas dan rehabilitasi, serta program pembangunan.
                Kerja Sama Luar Negeri
Keadaan ekonomi Indonesia pasca Orde Lama sangat parah, hutangnya mencapai 2,3-2,7 miliar sehingga pemerintah Indonesia meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pemerintah mengikuti perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo Jepang pada 19-20 September 1966 yang menanggapi baik usaha pemerintah Indonesia bahwa devisa ekspornya akan digunakan untuk pembayaran utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Perundingan dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut:
       Utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1968 ditunda pembayarannya hingga tahun 1972-1979.
       Utang-utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1969 dan 1970 dipertimbangkan untuk ditunda juga pembayarannya.
Perundingan dilanjutkan di Amsterdam, Belanda pada tanggal 23-24 Februari 1967. Perundingan itu bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat lunak yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Inter Governmental Group for Indonesia). Melalui pertemuan itu pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar negeri. Indonesia mendapatkan penangguhan dan keringanan syarat-syarat pembayaran utangnya.
         Pembangunan Nasional
Dilakukan pembagunan nasional pada masa Orde Baru dengan tujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil.
Pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Jendral Soeharto yang memulai memegang kekuasaan pemerintahan pada bulan Maret 1966 memberikan prioritas utama bagi pemulihan roda perekonomian. Menjelang tahun 1969 stabilitas moneter telah tercapai dengan cukup baik, dan pada bulan April tahun itu Repelita I dimulai. Daswarsa setelah itu, penuh dengan peristiwa-peristiwa penting bagi perkembangan ekonomi di Indonesia. Perekonomian tumbuh lebih cepat dan lebih mantap dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya; pergeseran-pergeseran telah terjai dalam struktur perekonomian dan komposisi output nasional. Selama sekitar dua belas tahun rezim Orde Baru, Soeharto mengecap keberhasilan luar biasa. Rencana pembangunan ekonominya disokong oleh melonjaknya harga minyak pada tahun 1970-an. Hingga awal 1980-an, indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Dari tahun 1971 hingga 1981, tingkat pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto (PDB) berkisar pada angka 7,7%, dan tidak pernah berada dibawah angka 5%. Prestasi ini kebanyakan karena pendapatan dari minyak, yang tetap tinggi hingga 1982, terutama dipicu lagi oleh perang Irak-Iran 1979. Pada tahun 1981, Indonesia merupakan penghasil gas alam cair terbesar di dunia. Namun, meskipun begitu, sampai saat ini Indonesia masih tergolong dalam kelompok negara-negara miskin di dunia. Dilihat dari segi pendapatan  perkapitanya, yaitu sebesar US$ 300 pertahun, memang sudah berada diatas pendapatan negara termiskin di dunia (US$ 90); tetapi perlu diingat bahwa negara terkaya di dunia berpendapatan diatas US$ 14.000 perkapita pertahun.
Krisis yang melilit pertamina memerlukan waktu yang cukup lama untuk diatasi. Pemerintah mempertahankan perusahaan Krakatau Steel milik Pertamina dan pengembangan pulau Batam, meskipun dalam skala yang lebih kecil. Caltex dan Stanvac dituntut untuk menerima pengurangan keuntungan. Akhirnya, krisis itu bisa diatasi. Kebetulan saja krisis ini menghilankan begitu banyak likuiditas sehingga mengendalikan tekanan inflasi akibat kenaikan harga minyak. Kalau pada tahun 1974 tingkat inflasi tahunan mencapai 41%, pada tahun-tahun selanjutnya dalam dekade itu, tingkat inflasi hanya berkisar antara 10-20%_ dianggap masih terlalu tinggi bagi sekalangan ekonom.
Bagi sebagian besar warga indonesia, keuntungan yang ditimbulkan oleh harga minyak yahun 1970-an memberikan perbaikan nyata dalam standar hidup. kini, pemerintah dapat memenuhi janjinya untuk memenuhi kesejahteraan rakyat indonesia, suatu janji yang menjadi landasan legitimasi rezim. prestasinya dalam sektor pertanian, pendidikan, dan kesehatan sangat mengagumkan, terutama jika dibandingkan dengan catatan prestasi pemerintah kolonial Belanda atau pada masa pemerintahan Sukarno.
Investasi untuk irigasi, jenis bibit baru, pupuk dan pestisida menggenjot produksi beras dan bahan pangan lainya. Pada tahun 1960-an, tingkat ketersediaan beras diperkirakan kurang dari 100 kilogram perkapita, namun pada tahun 1983 angka itu berubah  menjadi 146 kilogram. Impor beras berkurang hingga hampir tidaka ada, dan Jakarta mengklaim terlah mencapai swasembada beras pada pertengahan tahun 1980-an. Prediksi-prediksi pesimistis bahwa indonesia akan mengalami krisis pangan segera tersingkir oleh optimisme. Prestasi luar biasa ini merupakan hasil dari kemajuan teknologi, kebijakan pemrerintah, daninisiatif serta kerja keras dari para petani-jelata indonesia.
Ukuran-ukuran kesejahteraan yang terjadi pada masa orde baru sudah menunjukan perbaikan. Tapi, jika perbaikan itu dibandingkan negara-negara Asia lain, potret kemiskinan Indonesia masih tampak jelas. Perbaikan kesejahteraan dan pendidikan yang dilakukan rezim, sebagaimana perkembangan ekonomi, lebih terkonsentrasi di indonesia bagian barat, terutama pulau jawa. Jawa merupakan sebuah tempat yang menjadi daerah letak ibukota negara, fokus pembangunan pemerin tah, tempat tinggal mayoritas penduduk, dan juga menjadi fokus perpolitikan indonesia. Bagi kaum elite indonesia, pulau luar jawa menempati urutan bawah dalam daftar prioritas mereka.
Pembangunan ekonomi dan konsentrasi pada manufaktur di Jawa Barat, dengan sendirinya, menyebabkan kebalikan yang cukup berarti dari penataan ulang yang pada masa kolonial, ketika pengarahan produk Indonesia ke pasar luar negri memperlemah jaringan perdagangan pra-kolonial yang menghubungkan masyarakat antarpulau. Sekarang, untuk pertama kalinya dalam satu abad, ekonomi negara mulai terbentuk seiring karena indonesia mengalami revolusi industri yang terlambat berbasis tenaga kerja yang murah. Bahan baku dari luar Jawa diperdagangkan ke puasat-pusat industri di jawa. Disanalah bahan baku diolah menjadi barang jadi dan dijual ke seluruh indonesia, seperti juga ke luar negeri. Sekali lagi, ini memungkinkan kepulauan Indonesia dipersautkan oleh keuntungan ekonomi dan kepentingan sendiri.
Pembangunan ekonomi dan investasi pemerintah dalam bidang kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan membawa perubahan signifikan bagi indonesia, termasuk urbanisasi yang pesat. Pada tahun 1990, sebanyak 30,9% penduduk bisa dianggap sebagai kaum urban. Di daerah pedesaan, listrik, sekolah, sepeda motor, dan tayangan-tayangan televisi mengenai peristiwa-peristiwa nasional dan gaya hidup perkotaan mampu mengubah persefsi secara radikal.kaum kaya perkotaan semakin kaya, dan demikian juga halnya dengan banyak penduduk di pedesaan. ada suatu presepsi politis bahwa terjadi kesenjangan yang semakin lebar antara kaum kaya dan miskin di pedesaan, namun hanya sedikit bukti yang mendukung hal tersebut, dan malah bebrapa bukti menunjukan kebalikan hal tersebut.
Dalam banyak hal, Suharto dan struktur pemerintahanya tampak tak tertandingi, namun terjadi bebrapa perubahan signiofikan di sekitar diri Suharto. Dari tahun 1982 hingga 1986, Indonesia harus menyesuaikan diri dengan turunya harga minyak; hari-hari keuntungan telah belalu. Terjadi kelebihan prodksi minyak dunia dan resesi di perekonomian negara-negara maju. Devisa dan ekspor Indonesia menurun. Pembangunan sejauh ini masih mengesankan dan pertumbuhan tahunan terus berada pada level 4%. pada tahun 1982, pendapatan tahunan perkapita meningkat hingga hampir US$ 600, yang membuat Bank Dunia mengklasifikasikan ulang Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah. Namun, pembangunan juga menimbulkan tingkat  utang luar negeri yang tinggi, yang sebagian besarnya dalam bentuk Yen Jepang dan Dolar Amerika. Total utang luar negeri mencapai US$ 20944 juta pada tahun 1982, 40.071 juta tahun  dan 51.415 juta pada tahun 1988. Secara berurutan, masing-masing toptal utang mewkili 29,2, 52,2, dan 64,1% PDB atau merupakan 18,1, 37,3, dan 40,2% rasi pembayaran utag (debet serice ratio). Angka-angka ini sudah cukup membunyikan peringatan bahaya dalam banyak sektor. Namun, produksi beras terus meningkat, menurut sumber pemerintah, dan ini sangat penting bagi kesejahteraan rakyat indonesia. Selama lima tahun  hingga 1982 produksi beras meningkat 36% dan swasewmbada nasional hampir tercapai. Hasil panen yang luar biasa besarnya menyusul pada periode 1983 -5.
Nasionalis ekonomi didorong oleh meningkatnya rasa bangga Indonesia atas prestasinya. Ketika kontrak Stanvac atas ladang minyak Sumatra habis mas berlakunya pada bulan November1983, Pertamina mengambil alih. Pemerintah menutup perusahaan-perusahaan asing untik melatih penduduk lokal. Pemerintah juga berusaha mengembangkan industri lokal sebisa-bisanya, terutama mendorong ekspor nonmigas. Pariwisata menjadi sumber utama devisa asing dan meledak sejak peertengahan 1980-an di Bali. Devaluasi pemerintrah hingga 28% pada bulan Maret 1983 mendorong pertumbuhan pariwisata, sebagaimana halnya didorong oleh izin masuk bebas visa bagi sebagian besar wisatawan asing yang diberlakukan pada tahun yang sama.
Pemerintahan Suharto telah sukses melawati masa lima tahun kesulitan ekonomi. Perencanaan ekonomi yang cermat, penghematan fiskal, dan devaluasi rupiah mampu menggairahkan perbaikan ekonomi. Demi mengatasi masalah kesesakan” (bouttleneck) yang besar dalam dunia perdagangan indonesia, Suharto mengeluarkan intruksi presiden pada tahun 1985 yang menghapuskan badan cukai Indonesia yang terkenal korup dan tidak kompeten serta meneken kontrak dengan Swiss Societe dari General de Surveillance untuk mengambil alih fungsinya, hal mana membawa perubahan dramatis. Pengurangan besar-besaran dalam hal tarif diperkrnalkan pada tahun 1986, meskipun kepentingan pribadi para kroni dalam industri baja, plastik, dan katun dilindungi dari perubahan-perubahan ini. Asian Wall Street Journal memperkirakan bahwa harga baja di indonesia berada 25-45% diatas harga pasar internasional, sedangkan plastik berada 15-25% diatas harga pasar internasional. Dari 1987 hingga 1992, pertumbuhan ekonomi rata-rata tahunan adalah 6,7%, meskipun sudah tidak ada lagi pendapatan yang tinggi dari minyak. Manufaktur dan ekspor nonmigas  lainya menjadi unggulan perekonomian Indonesia. Pada awal 1980-an, proforsi tenaga kerja dalam sektor pertanian turun menjadi dibawah 50% untuk pertamakalinya. Kemiskinan menurun dan hanya ada sedikit bukti yang mendukung kecurigaan adanya jurang yang semakin lebar antara yang kaya dan yang miskin.
Namun, memang terdapat bukti mengenai adanya kesenjangan lebar pembangunan regional, yang berakibat jelek di masa depan. Tetapi, pembedaan utama kini bukan membedakan antara Jawa dan  tahun 1990, Jawa menghasilkan 62% dari PDB (Produksi Domestik Bruto) nonmigas. Terjadi pula perkembnangan yang signifikan din Sumatra dan banyak devisa dari turisme Bali. Jadi perbedaan yang dikedepankan adalah antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur yang jauh tertinggal. Indonesia secara keseluruhan masih merupakan negar miskin, terlepas dari kemajuan yang dicapai dalam pembangunan dan munculnya gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, dan bagian timur jauh lebih miskin daripada bagian barat.
Pada bulan Maret 1988, Suharto kembali terpilih oleh MPR sebagai presiden untuk kelima kalinya. Dengan segala kepercayaan diri yang dimiliki seorang ndeso yang menjadi negarawan dunia dan dikelilingi oleh keluaraga yang semakin kaya, para kroni, dan para penjilat yang menaburinya dengan pujian berlebihan, Suharto betindak untuk memastikan tidak ada seorangpun yang akan menentang kekuasaanya.
Kondisi domestik dan internasional tetap soportif terhadap rezim Suharto. Di dalam negeri, kelas menengah urban kosmopolitan yang terdidik muncul dengan identitas dan prilaku yang semakin islami. Kelas menengah ini menyadari  bahwa mereka diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan pembangunan Suharto dan bahwa mereka berada di tengah-tengah jutaan masyarakat indonesia yang masih sangat miskin. Jadi kelas menengah indonesia berharapa adanya reformasi rezim, namun secara umum merka tidak begitu tertarik dengan kemungkina revolusi “people’s power” di indonesia. Mereka tahu bahwa jika kaum miskin dimobilisasi secara politis, sasaran utamanya pastilah kaum elite atas dan para cukong, sedangkan sasaran keduanya mungkin sekali harta kelas menengah. Makanya, dibuatlah kompromi-kompromi, yaitu kelas menengah menoleransi pelanggaran hukum dan poendekatan keamanan ABRI yang keras sebagai harga pembangunan.
Tidak hanya kelas menengah ini yang menoleransi penyimpangan rezim sebagai harga bagi keuntungan mereka. Penduduk desa pedalaman mengalami pemerahan dari pihak-pihak diatas mereka, namun mereka juga memandang adanya keuntungan nyata dari rezim Suharto: listrik di pedesaan, dibangunya sekolah dan klinik, beras dan uang berlimpah, inflasi moderat, dan kemungkinan masa depan lebih baik bagi anak-anak mereka.
Di luar negeri, negara-negara barat memandang Indonesia sebagai negara pembangunan yang konservatif. Indonesia merupakan contoh aksi penyelamatan yang luar biasa suatu negara dari bencana sosial politik ekonomi. Pembangunan indonesia memberikan berbagai kesempatan bagi individu, usahawan, dan pemerintahan barat untuk menangguk keuntungan dari pertumbuhan Indonesia.
II.6 Krisis dan Tantangan  Ekonomi Orde Baru
Indonesia dan konteks internasional berubah drastis sejak akhir 1980-an. Berakhirnya perang dingin dan keruntuhan serta pecahnya Uni Soviet mengartikan bahwa pemerintahan demokratis barat tidak begitu lagi melihat perlunya kerjasama dengan rezim-rezim dunia ketiga. Pada saat yang sama, perkembangan-perkembangan itu mengarahkan pemerintah Indonesia dan militer untuk meningkatkan kekerasan, karena mereka khawatir dengan segala potensi kekerasan etnisnya juga akan runtuh seperti Soviet. Rezim Soeharto melakukan hal ini ketika kelas menengah Indonesia mulai tidak begitu toleran terhadap penyimpangan-penyimpangan rezim, dan ketika peningkatan rasa keislaman telah menuntut adanya keadilan dan moralitas yang begitu besar. Dalam kondisi penuh tantangan ini, keluarga Soeharto dan klik penguasa semakin menggila dalam korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan mereka. Kemudian, krisis keuangan Asia menceburkan Indonesia kedalam bencana ekonomi, sehingga tidak ada lagi alasan utama bagi rakyat untuk mendukung pemerintah. Pada tahun 1998, rezim Soeharto runtuh di tengah-tengah suasana yang mirip dengan suasana kelahiranya di tahun 1965-6, yaitu di tengah-tengah krisis ekonomi, kerusuhan, dan pertumpahan darah di jalan-jalan.
Di tengah situasi yang kacau ini, Timor Timur juga mulai muncul sebagai wilayah berbahaya bagi Jakarta. Hingga 1989, provinsi itu tertutup bagi dunia luar dan ABRI bebas berkeliaran di sana, sebelum akhirnya provinsi itu di buka kembali. Hal ini memberikan kesempatan bagi dunia luar untuk menilai hasil pemerintahan Indonesia di Timor Timur. Hasil kekuasaannya adalah kombinasi dari investasi pembangunan ( meskipun Timor Timur tetap menjadi provinsi dengan PDB per kapita terendah di Indonesia ) dengan usaha untuk menekan identitas politik rakyat Timor Timur, eksploitasi sumber daya setempat ( terutama kopi, kayu cendana, dan marmer ) oleh tokoh-tokoh senior ABRI dan oleh kebrutalan ABRI. Dalam tahun-tahun berikutnya, muncul masalah-masalah baru karena meningkatnya dominasi pembangunan ekonomi lokal oleh pemukim Indonesia dari luar Timor Timur (terutama orang Bugis dan Makasar).
Meskipun demontrasi yang di sertai kekerasan semakin sering terjadi di Timor Timur, namun pemerintah pusat dan ABRI setempat bertekad untuk menentang segala perubahan fundamental di sana. Selain itu pemerintah luar negeri pun terus mendukung rezim Soeharto dan menganggap Timor Timur sebagai gangguan kecil yang mereka yakini seharusnya bisa di atasi oleh Jakarta. Pada bulan Desember 1989, Australia dan Indonesia menandatangani perjanjian untuk secara bersama mengeksploitasi zona ‘Celah Timor’ antara dua Negara. Namun sepuluh tahun kemudian Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia dan menggantikan Indonesia sebagai mitra Australia dalam perjanjian itu. Amerika serikat meneruskan penjualan pesawat F-16 kepada Jakarta pada akhir bulan tersebut dan bulan juni 1990 IGGI setuju untuk meningkatkan bantuan kepada Indonesia menjadi US$ 4,5 miliar atau meningkat 4,6% dari bantuan 1989.
Pada awal 1990-an, korupsi rezim sudah semakin menggurita dan menjadi rahasia umum di dalam dan luar negeri. Semua anak Soeharto menumpuk kekayaan. Mereka menjalankan perusahaan pengumpul uang berskala besar. Anak-anak Soeharto menikmati transaksi istimewa dalam jalan tol, impor komoditas strategis, eksplorasi sumber daya alam, dan dalam banyak bidang lain. Beberapa cukong yang dulu mendapatkan kekayaan kotor hasil kerja sama dengan Soeharto kini dengan sukses mengubah bisnisnya menjadi bisnis legal. Diperkirakan sekitar 70% kegiatan ekonomi swasta berada ditangan orang Cina pada tahun 1990-an. Aburizal bakrie merupakan satu-satunya pengusaha pribumi berskala besar yang bisa berjalan secara sah sejajar dengan kelompok cukong salim, astra, dan dharmapala.
Beberapa skandal terburuk berkaitan dengan hutan tropis Indonesia yang berharga. Di perkirakan luas hutan Indonesia di tahun 1989 menyusut hampir 30% dari tahun 1950. Dalam dekade pertama pemerintahan Soeharto, konsesi penebangan kayu diberikan dengan biaya rendah kepada perusahaan cukong dan ABRI yang kemudian mengsub-kontrakan kepada penebang Malaysia dan Filipina. Pada tahun 1980, Indonesia merupakan pengekspor kayu tropis terbesar di dunia. Ketika permintaan dunia atas kayu lapis menurun, raja-raja kayu berpaling kepada pemerintah untuk menyubsidi perpindahan usaha mereka menjadi produsen papan erat. Banyak area yang di hancurkan, terutama di Kalimantan. Sekitar 2,5 juta orang dayak terusir dari rumah tradisional mereka di sana.
Kekayaan keluarga Soeharto, para kroni dan cukong yang berlebihan, jelas melukai rakyat jelata dan usahawan pribumi, sehingga memicu respons bersentimen agama. Islam sering menjadi sasaran serangan selama bertahun-tahun, namun kini usaha rezim untuk mengooptasi kepentingan Islam membuatnya harus bereaksi lebih positif terhadap aspirasi Islam di banding masa lalu.
Pada tahun 1990, Abdurrahman wahid mengejutkan banyak pengikutnya dengan mengumumkan bahwa NU akan mendirikan Bank kredit pedesaan untuk membantu usahawan kecil dan para petani, dan bank itu akan di jalankan berdasarkan prinsip barat, yaitu memberlakukan bunga yang melanggar prinsip Alquran. Yang mengejutkan lagi, mitra NU adalah Bank summa, bagian dari grup astra yang di pegang oleh keluarga cina-kristen. Dua ribu cabang akan di bangun, namun yang terjadi hanya Sembilan cabang yang dibuka sebelum Bank summa bangkrut pada tahun 1992. Saham Bank summa di ambil alih oleh Koran jawa pos. Grup astra diambil oleh dua cukong, prajogo pangestu dan liem sioe liong.
Hal yang lebih signifikan lagi adalah berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991 yang dijalankan berdasarkan prinsip Islam, dengan tidak memberlakukan bunga dan beroprasi dengan prinsip ortodoks bagi-hasil dan bagi-rugi. ICMI mendukung inisiatif ini dan Soeharto memberikan bantuan dengan uang dari salah satu yayasan yang ia kendalikan. Ketika Indonesia mengalamai krisis moneter enam tahun kemudian, Bank Muamalat bertahan cukup baik dibandingkan bank lain, karena bank ini tidak terikat dengan komitmen finansial yang membangkrutkan hampir seluruh sektor bisnis modern Indonesia.
Ketika muncul tuntutan akan adanya masyarakat yang lebih adil dan ketika perilaku rezim semakin menyimpang, pendekatan represif ABRI terhadap segala masalah menimbulkan insiden heboh yang berdampak internasional. Pemerintah Kanada, Denmark dan Belanda membatalkan program-program bantuan. Pada awal 1992, pemerintah Belanda yang mengetuai konsorium IGGI menegaskan bahwa bantuan untuk Indonesia harus dibarengi dengan perbaikan Indonesia atas pelanggaran HAM. Respons Soeharto mencerminkan keyakinannya pada kedudukan dirinya sendiri dan bangsanya. Soeharto tidak mau menerima petuah-petuah dari pemerintah asing dan mengumumkan Indonesia tidak akan lagi menerima bantuan dari IGGI. Dengan demikian Soeharto membubarkan kelompok yang telah menyalurkan bantuan ke Jakarta selama 25 tahun itu. Soeharto menerima penghormatan yang luas di Indonesia, bahkan dari banyak pengkritiknya karena reaksi yang sangat nasionalis ini.
Soeharto meminta Bank Dunia untuk membentuk konsorium bantuan baru tanpa Belanda sebagai anggota. Dia tahu pasti dia tidak akan rugi apa pun karena pada tahun 1991 bantuan Belanda tidak lebih dari 2% dari keselurahan bantuan IGGI. Hasilnya adalah terbentuknya Consultative Group on Indonesia (CGI) yang beranggotakan semua mantan anggota IGGI kecuali Belanda. CGI ini merupakan kelompok pemberi utang terbesar untuk Indonesia.
Penduduk Indonesia gelisah, konflik sosial menyebar, perasaan anti Soeharto menguat dalam diri militer, apalagi dalam kalangan kelas menengah dan partai politik, dan kini perekonomian pun semakin bahaya. Meskipun pertumbuhan ekonomi tetap berada di atas 5% ketika melewati pertengahan 1990-an, tingkat suku bunga juga masih tinggi. Banyak perusahaan swasta meminta pinjaman luar negeri dan meminta utang dalam bentuk dolar atau yen sementara nilai rupiah untuk membayar utang itu pun semakin menurun. Utang luar negeri pemerintah Indonesia pun sangat besar. Pada tahun 1992, diperkirakan total utang luar negeri berada di atas US$ 84 miliar. Ini merupakan 67,4% dari PDB, dan 32,1% rasio pembayaran utang. Tetapi angka ini termasuk utang swasta, yang sebenarnya lebih besar lagi. Ketika para investor asing mulai melihat ada kesempatan untuk berinvestasi di tempat lain selain Indonesia, dan ketika beberapa perusahaan mulai kesal terhadap korupsi dalam dunia bisnis Indonesia, investasi asing melorot dalam empat tahun berturut-turut.
Pada tahun 1993-4, pemerintah memperkenalkan beberapa kebijakan untuk mendorong investasi asing, yang kemudian pulih pada tahun 1994. Sejak saat itu mulailah masa pertumbuhan pesat. 8,1% pada tahun 1995, kemudian 7,4% pada tahun 1996, dan hampir 8% pada tahun 1997. Tetapi, inflasi tidak berada jauh di bawah angka pertumbuhan dan investasi asing kembali menurun. Para usahawan serakah Jakarta membuat perjanjian utang luar negeri yang besar, yang tak lama kemudian membuat negara ini terpuruk. Anak-anak Soeharto menjadi kaya luar biasa dari usaha mereka. Banyak dari usaha mereka itu bertumpu pada uang yang dengan sigap bersedia dipinjamkan oleh kepentingan-kepentingan luar negeri, karena perusahaan Soeharto dijamin pasti mendatangkan untung. Kabar burung yang beredar mengatakan bahwa keluarga Soeharto berinvestasi jarang menggunakan uang mereka sendiri.
Rezim menjadi lebih represif dengan harapan mampu membungkam ancaman-ancaman politik dan mengeruk kekayaan secepatnya. BUMN merupakan bagian besar perekonomian karena mewakili kira-kira 30% dari PDB pada awal 1990-an. BUMN merupakan ciri utama, sebagian karena banyak orang Indonesia yang masih tidak memercayai kapitalisme swasta dan sebagian lagi karena dalam masa Soeharto, BUMN merupakan sumber penting patronase elite. Sebagai perusahaan komersial, kinerja BUMN secara umum bervariasi dari buruk hingga buruk luar biasa. BPIS pimpinan Habibie mengendalikan sederetan industri berteknologi tinggi yang menghabiskan miliaran dolar uang negara. Pada 1992, Habibie memutuskan untuk membeli 39 kapal angkutan laut bekas Jerman timur yang diperkirakan menghabiskan anggaran US$ 482 juta untuk membeli dan memperbaikinya, yang direncanakan kebanyakan akan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan BPIS.
Sementara itu, enam anak Soeharto memerah dengan rakus segala kesempatan yang ada buat mereka. Mungkin ibu mereka kalah, Ibu Tien, yang juga telah banyak dituduh melakukan korupsi, yang bertindak sebagai filter antara Soeharto dan anak-anaknya, sehingga mampu membatasi keserakahan anak-anaknya tersebut. Jika memang demikian halnya, kematian Ibu Tien pada bulan april 1996 menyingkirkan unsur pengekang itu.
Salah satu skandal bisnis keluarga yang mencolok mencuat pada awal 1996. Dikabarkan Indonesia akan merakit mobil nasionalnya sendiri di dalam negeri, yang mensyaratkan adanya pembebasan pajak. Dengan keputusan presiden, kontrak perakitan itu jatuh ke tangn Tommy Soeharto dan perusahaan manufaktur mobil dari korea, kia, yang dibebaskan dari pajak dan bea masuk. Namun, segera ketauan bahwa usaha bersama ini sama sekali tidak akan membuat mobil nasional di Indonesia. Malah, mobil itu sepenuhnya buatan kia yang diberi label nasional, sehingga mampu terhindar dari segala macam pajak dan bea masuk serta mendatangkan keuntungan besar bagi kedua belah pihak. Tommy mengatakan bahwa ia akan mengirim orang Indonesia untuk bekerja di pabrik kia di Korea, sehingga akan tepatlah bahwa mobil tersebut adalah mobil nasional. Yang lebih absurd mobil baru tersebut dinamakan Timor. Soeharto menyetujui pengimporan 45.000 mobil Timor pada tahun pertama. Hal ini memicu protes keras dari luar, karena ini melanggar peraturan perdagangan internasional. Pada 1994 Soeharto menggambarkan dirinya sebagai penjunjung tinggi perdagangan bebas, namun tampak jelas bahwa keluarga lebih berarti bagi dirinya.
Iklim internasional Indonesia menjadi semakin anti rezim, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Soeharto memang disambut baik oleh Clinton dalam satu kunjungan kenegaraan ke Washington pada 1995, namun hal itu tidak meredam kemarahan Amerika terhadap kasus mobil nasional Tommy setahun kemudian. Yang semakin memperburuk kedudukan Internasioanal Indonesia adalah ketika hadiah Nobel perdamaian 1996 diberikan secara bersama kepada dua pemimpin Timor Timur, Uskup Belo dan Jose Ramos-Horta.
Indonesia kini memiliki utang jangka pendek yang sangat besar, karena banyak utang masuk ke Indonesia yang biasanya dalam bentuk dolar Amerika, sehingga membengkak karena mengikuti pergerakan rupiah yang tidak bagus. Sistem perbankan yang menangani semua uang ini sama sekali tidak tertata dengan baik.  Jepang, mesin ekonomi kawasan asia, masih dalam resesi yang berkepanjangan sepanjang tahun 1990-an. Jadi, Indonesia tidak dalam kondisi bagus untuk menghadapi kejutan ekonomi. Keadaan cuaca pun tampaknya tidak bersahabat bagi Indonesia karena badai kekeringan El nino yang parah telah mengurangi produksi beras hingga 10% pada tahun 1997-8, dan memperparah kebakaran hutan, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Namun nampaknya Bank Dunia terkesan oleh kemilau Jakarta, pada mei 1997 masih mengatakan bahwa fundamental Indonesia dalam keadaan baik.
Kemudian, krisis asia yang muncul di Thailand menghantam Indonesia. Rupiah selama ini berada dalam kisaran Rp 2.500/ US$, namun nilai ini segera merosot di bulan Juli 1997. Pada bulan Agustus, nilai mata uang menurun 9%. Bank Indonesia mengakui bahwa ia tidak bisa membendung nilai rupiah yang terus merosot. Pada akhir Oktober, nilai tukar rupiah menjadi Rp 4.000/ US$. Dari sini rupiah semakin terpuruk. Pada bulan Januari 1998, rupiah tenggelam hingga level sekitar Rp 17.000/US$, atau kehilangan 85% nilainya. Bursa saham Jakarta hancur. Hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut, tabungan kelas menengah lenyap, dan jutaan pekerja diberhentikan dari pekerjaan mereka.
Respons pertama pemerintah terhadap krisis mencerminkan kesombongan dan kurangnya kesadaran terhadap realitas. Reformasi diumumkan, namun proyek keluarga dan para kroni terus dilindungi. Perjanjian dengan IMF pada bulan Oktober 1997 mengakibatkan ditutupnya 16 bank, tetapi dua bank yang dimiliki keluarga Soeharto dibuka kembali. Lalu, dimulailah tarik urat antara IMF dan Soeharto yang menjadi konsumsi publik dan semakin meneguhkan anggapan para pengamat dalam dan luar negeri bahwa rezim ini sudah begitu dalam terbelit nepotisme, korupsi, dan inkompetensi. Ada seruan-seruan reformasi dari banyak pihak, tapi tetap tidak mendatangkan hasil. Pilar utama rezim, yaitu Soeharto sendiri, tampak tidak sekuat dulu.
Pada bulan Januari 1998, Soeharto mengumumkan rancangan anggaran negara yang absurd karena memasukan asumsi nilai tukar rupiah yang berlaku enam bulan sebelumnya. Pada tanggal 15 Januari terjadi konflik yang membuat IMF mengancamam akan menunda bantuan kalau Soeharto tidak mengambil langkah reformasi yang realistis. Pada saat itu rupiah mencapai  kurs yang paling jelek.
Tuntutan akan reformasi terus meningkat seiring dengan seamakin memburuknya krisis ekonomi dan semakin jelas bahwa rezim tidak mampu untuk mereformasikan diri. Demontrasi mahasiswa semakin marak. ABRI membiarkanya selama demontrasi itu dilakukan dalam kampus. Tapi, pada awal Mei, mahasiswa sudah turun ke jalan-jalan di kota besar. Pada 12 mei, penembak jitu ABRI menembak mati empat mahasiswa demonstran di Universitas Trisakti Jakarta. Kejadian ini menjadi titik balik. Kematian mereka, bersama dengan keruntuhan ekonomi, kebrutalan ABRI, korupsi rezim, dan kemustahilan akan adanya reformasi, telah memporak-porandakan benteng terakhir keabsahan rezim dan ketertiban sosial. Pada bulan Mei 1998 Orde baru pun runtuh di tengah kekacauan.
                  






















BAB III
KESIMPULAN

Pembangunan ekonomi Indonesia dari masa revolusi sampai berakhirnya rezim Soeharto mengalami pasang surut. Di awal kemerdekaan, pemerintah mendirikan Bank Indonesia untuk menjalankan semua aktivitas perbankan serta memberikan informasi dan penerangan dalam bidang ekonomi. Di masa orde baru, Indonesia dihadapakan pada masalah-masalah ekonomi yang besar. Pemerintah memberikan prioritas utama bagi pemulihan roda perekonomian salah satunya dengan program pembangunan jamgka panjang secara periodik lima tahunan atau biasa disebut pelita(pembangunan lima tahun). Hasilnya cukup baik, perekonomian Indonesia berkembang pesat.
Memasuki akhir 1980-an,  krisis keuangan Asia semakin menenggelamkan Indonesia pada bencana ekonomi nasional. Utang luar negeri yang sangat besar pun semakin menghancurkan perekonomian. Utang luar negeri yang membengkak disebabkan karena uang yang masuk ke dalam negeri umumnya berbentuk dolar, sedangkan nilai rupiah terhadap dolar sangatlah buruk waktu itu. Di  tengah-tengah krisis yang dialami, keluarga Soeharto dan para penguasa semakin menggila dalam korupsi. Hal inimengakibatkan kebencian rakyat kepada Soeharto dan keluarganya. Tahun 1998 Orde Baru pun runtuh di tangah-tengah krisis ekonomi nasional yang sangat buruk.